Playlist: Harry Styles - As it Was
. . .
Manusia akan cenderung menyalahkan manusia lain, keadaan atau apa pun tiap kali mereka memiliki permasalahan, untuk sekedar membuat mereka merasa lebih baik dan tidak terlihat menyedihkan.
Dan itulah yang kulakukan sekarang. Menyalahkan manusia berengsek bin bangsat bernama ... sial, aku pun tak sudi untuk menyebut namanya lagi. Mungkin terkesan tidak bersyukur, tapi kata Christina Perri; I'm only human and I bleed when I fall down. Jadi, itu adalah hal yang normal bukan?
Saat kata seandainya terlintas di dalam pikiranku. Aku selalu mengandaikan untuk tidak resign dari perusahaan terakhirku bekerja tiga bulan yang lalu. Sebuah keputusan impulsif yang harus kubuat gara-gara lelaki sialan itu. Oke, anggap saja dia ... lelaki di drakor yang punya istri dokter lalu selingkuh dengan wanita yang lebih muda dan lebih cantik, siapa namanya?
Oh! Lee Tae-oh!
Ya sebut saja lelaki sialan itu Tae-oh. Semua ini gara-gara dia. Sebelum jadi pengangguran seperti sekarang, aku bekerja di perusahaan IT konsultan ternama yang sudah punya jam terbang tinggi. Gajiku sudah sangat-sangat lumayan meski hanya sebagai ERP implementor. Walaupun aku harus berpindah-pindah lokasi kerja sesuai dengan kantor klien, tapi setidaknya aku punya pijakan. Tidak seperti sekarang yang hanya mengandalkan honor dari pekerjaan part-time dua kali dalam seminggu sebagai trainer pembuatan website di salah satu perusahaan.
Hampir setahun aku berpacaran dengan lelaki itu. Dia bekerja sebagai auditor di perusahaan yang kantornya berada di gedung yang sama dengan kantorku. Aku memang tidak sering berada di kantor karena harus mengunjungi kantor klien/user. Tetapi, aku memergoki Tae-oh suka memerhatikanku tiap kali kami berpapasan di pintu lift atau di lobi gedung. Akhirnya kami berkenalan, pacaran dan sudah terjadi begitu aja.
Aku punya masalah trust issue di dalam diriku tiap kali berhubungan dengan seseorang. Tidak tahu kenapa aku selalu berpikiran negatif jika pacarku menunjukkan sedikit saja gelagat yang mencurigakan. Aku akan berasumsi bahwa pacarku telah selingkuh di belakangku. Aku tahu itu tidak sehat. Maksudku, kita tidak bisa terus-terusan memelihara pikiran negatif sebelum mengetahui fakta yang sebenarnya. Saat umurku menginjak 30 tahun, aku berusaha menepis itu dan berusaha sebisa mungkin untuk tidak impulsif dan mengedepankan emosi. Percayalah, aku melakukan itu bukan demi kelanggengan hubunganku bersama seorang pria, tetapi untuk diriku sendiri. Karena aku sadar, bila aku terus seperti ini, aku tidak bisa memiliki pasangan hidup.
Aku berusaha sebaik yang kubisa saat aku menjalani hubungan dengan lelaki sialan itu. Hubungan kami baik-baik saja di sepuluh bulan pertama. Namun, di bulan ke sebelas, dia mulai menunjukkan sikap yang tak biasa. Dia sembunyi-sembunyi saat menerima panggilan telepon, memberikan tatapan canggung padaku ketika dia sedang membalas pesan di ponselnya dan masih banyak yang lainnya yang tak bisa kusebutkan satu persatu. Dia selalu menjawab dari klien tiap kali kutanya dari siapa. Aku memercayainya—ya setidaknya aku berusaha untuk itu. sampai akhirnya kecurigaanku bertambah saat kusadari dia tidak pernah mau tiap kali kuajak makan siang bareng di kantin gedung kantor saat aku sedang tidak ada kunjungan ke kantor klien. Dia bilang ingin menjaga privacy. Oke, aku ikuti kemauannya, karena aku pun tidak begitu suka mengumbar kehidupan pribadi atau asmaraku ke publik macam selebgram-selegram masa kini.
Suatu hari, kami sedang makan malam di sebuah restoran chinese food. Dia izin keluar restoran sebentar untuk menerima panggilan telepon. Aku yang tidak mau curiga terus menerus, menyusulnya diam-diam keluar restoran. Dari balik dinding pembatas yang terbuat dari ukiran kayu di lorong restoran, aku menguping pembicaraannya. Yang membuatku sakit hati adalah dia menyebut dirinya sebagai Ayah. Dengan hati yang berdenyut nyeri, aku berusaha menahan emosi sampai kami selesai makan malam. Selepas itu aku mencecarnya tentang statusnya. Hingga akhirnya dia mengaku kalau dia sudah punya istri dan satu anak, tetapi sedang dalam proses perceraian.
Beruntunglah dia karena pengendalian diriku. Kalau tidak, mungkin sudah kutampar bolak-balik sambil membalikkan meja akibat rasa murkaku padanya. Saat itu aku memutuskannya. Aku benci dan teramat benci jika mengetahui pasanganku selingkuh. Ya, mungkin dia tak menganggap bahwa dirinya adalah peselingkuh. Namun, bagiku sama saja. Selama belum ketok palu di pengadilan agama, dia pria beristri.
Sekitar sebulan setelah aku memutuskannya, istrinya mendatangi gedung kantorku. Waktu aku menemuinya di lobi, dia langsung menjambak rambutku dan mengataiku pelakor tahu malu. Aku tak berusaha melawannya secara fisik. Biarpun begini, aku masih tahu sopan santun. Aku berusaha mengatakan secara baik-baik akar permasalahannya. Namun, tetap saja, bagi istrinya, aku hanyalah pelakor kegatelan. Aku bagaikan ulat bulu bagi rumah tangga mereka. Dan aku tak bisa mengendalikan emosi seseorang yang berapi-api.
Keributan yang terjadi saat itu tentu saja memancing keingintahuan orang lain, dan menjadi santapan publik. Saat HRD kantorku tahu, aku dipanggil dan disidang. Meski aku tidak salah, aku tetap mendapatkan surat peringatan karena memancing keributan. Selama seminggu, aku menjadi buah bibir. Aku sering mendengar namaku dan nama perusahaan tempatku bekerja disebut-sebut tiap kali aku sedang di dalam toilet. Aku memutuskan untuk mengundurkan diri karena tak tahan pada gunjingan memalukan yang kudengar terus-menerus, terlebih ketika orang-orang sok tahu yang mengedepankan kata 'katanya' itu menyangkut pautkan dengan orangtuaku tanpa mereka tahu fakta yang sebenarnya terjadi.
Sosok Tae-oh yang manipulatif sedemikian rupa untuk menyembunyikan identitas diri demi mendapatkan seorang gadis, mengingatkanku pada bapak. Keluargaku tidak harmonis sejak aku masuk SMA dan puncak kehancuran keluargaku terjadi ketika aku menginjak kelas 3. Orangtuaku bercerai karena bapak ketahuan selingkuh. Mungkin, bukan untuk yang pertama kali, karena sebelum ibuku meninggal, beliau bercerita bagaimana bapak dulu berkali-kali selingkuh di belakang ibu. Dan hal itu makin membuatku tak menganggap bapak masih ada meski dia masih hidup.
Sial, mengingat ibu aku jadi ingin menangis, apalagi saat mengetahui penderitaan ibu selama ini.
Kuhembuskan napas berat begitu masuk ke sebuah gedung perkantoran di daerah Jakarta Selatan. Berharap penuh aku bisa lolos dan diterima bekerja di perusahaan ini. Perusahaan yang kudatangi sekarang bukan perusahaan besar seperti kantorku dulu. Waktu kubaca company profile-nya sekilas di website, perusahaan ini baru berjalan enam tahun, tetapi hebatnya sudah menggaet perusahaan-perusahaan besar sebagai kliennya. Dan sebagai wanita berusia 33 tahun, jobless, jomblo, dan tidak ada orangtua (tuh kurang apa lagi coba?) aku harus segera mendapatkan pekerjaan demi menanggung biaya hidup. Aku sadar sekali diumurku yang sekarang tidak semudah itu untuk mendapatkan pekerjaan bila dibandingkan dengan pelamar freshgraduate atau pelamar yang pernah berkuliah di universitas ternama.
Kedua pelamar yang lain sudah dipanggil, tinggal tersisa aku yang duduk di sebuah ruangan kecil bertuliskan meeting room untuk menunggu giliran. Kuketuk-ketukkan jariku ke meja sementara kedua mataku memandangi layar ponsel dengan senyuman lebar. Indra—adikku satu-satunya mengirimi foto-fotonya dengan keindahan kota Nijmegen. Setidaknya ada yang membuatku tersenyum hari ini.
"Mbak Idrana," panggil Bu Grace—HRD di perusaan ini, bersamaan dengan suara handle pintu yang diputar. "Mari saya antar ke ruangan CTO."
Aku mengangguk sopan dan menampilkan senyum ramah. Aku berjalan di sisi Bu Grace, melewati sebuah ruangan luas yang dibatasi oleh kubikel-kubikel, sampai kami berhenti di sebuah ruangan bertuliskan CTO.
"Silakan wawancara dengan Pak Satria ya," ujar Bu Grace sebelum meninggalkanku.
Aku mengetuk pintu tiga kali hingga terdengar suara dari dalam, "Masuk."
Aku masuk ke dalam ruangan dan menutup pintunya, lalu duduk di salah satu kursi yang ada di depan meja.
Kupikir, CTO-nya sudah agak tua, rupanya masih muda. Tampan lagi. Pak Satria membaca dan membalik lembar demi lembar berkas yang ada di tangannya, dan ada fotoku di situ.
"Saya panggilnya Idrana atau..."
"Nana saja, Pak," potongku.
"Oke, Nana," kali ini Pak Satria mengalihkan pandangannya dari berkas yang ia baca untuk menatapku.
Jujur nih ya. Dengan alis tebal, sorot matanya yang tajam dan sedikit lesung pipi yang tampak ketika Pak Satria tersenyum itu, membuat jantungku deg-degan, selain karena aku gugup, tapi begitu melihat sebuah cincin yang melingkar di jari manisnya, buyar sudah.
"Kemarin sudah di tes dan interview sama Andro, ya. Jadi saya nggak akan bertanya masalah teknis pekerjaan lagi. So, Nana," tatapan Pak Satria sangat serius, "apa yang membuat kamu tertarik bekerja di Erosoft?"
Pertanyaan interview yang sulit kujawab selain pertanyaan; apa rencana kamu lima tahun ke depan adalah pertanyaan ini. Aku harus berpikir beberapa menit untuk menjawab, mengaitkan strategi pada posisi dan tempatku bekerja. Dan kalau sekarang aku hanya menjawab 'butuh uang' ya sudah pasti akan dicoret dari daftar dan tidak bisa lolos karena pada umumnya, ya seperti itu.
Aku berdoa dalam hati sebelum menjawab, "Waktu saya baca sekilas company profile-nya, ada kalimat work and grow with some of the most talented and tech-obssessed people in the industry." Ya Tuhan, untung aku masih hapal. Aku berdeham sebelum melanjutkan lagi, "Mungkin di tempat ini saya bisa belajar dan menajamkan skill saya, cause literally this place is the house everything of good."
Aku berdecak kagum dalam hati pada diriku sendiri. Kalimat terakhir itu kupikir adalah slogan di perusahaan ini, seperti yang tertulis di website Erosoft. Beginilah pentingnya membaca tentang profil perusahaan yang kita lamar sebelum datang interview.
Pak Satria mengangguk-anggukan kepalanya sembari tersenyum lebar. Semoga saja ini pertanda baik. Selanjutnya Pak Satria menjelaskan tentang job desc secara detail sebagai ERP implementor yang sudah sedikit dijelaskan oleh Mas Andro—orang yang mewawancara dan mengetesku kemarin.
"Sebetulnya sih, saya oke," kata Pak Satria, ia mengetukkan-ngetukkan penanya di atas meja, "tapi kamu yakin mau bekerja di sini? pressure-nya tinggi, lho."
Sepertinya di mana-mana begitu. Tekanan pekerjaan selalu ada. Aku ingin menjawab, tetapi sedikit ragu. Hingga kemudian Pak Satria itu tertawa kecil.
"Bukan maksud saya untuk nakut-nakutin."
Aku menggaruk kepala yang tidak gatal sama sekali, ikut tertawa kecil.
"Kerja di bawah tekanan wajar saja terjadi, Pak," timpalku. "asal masih manusiawi."
"Well, perihal gaji dan tunjangan sudah dijelaskan oleh Bu Grace ya. Untuk yang berkaitan dengan tanggal gajian, lembur dan lain-lain yang ada hubungannya dengan payroll bisa kamu tanya langsung ke Bu Grace sebelum taken kontrak."
Bagai disiram air dingin rasanya hatiku. Setelah tiga bulan menganggur, akhirnya dapat pekerjaan juga. Aku tidak bisa menyembunyikan binar-binar di kedua mataku.
"Terima kasih banyak, Pak."
"Sama-sa—"
Perkataan Pak Satria terhenti oleh suara pintu yang terbuka tiba-tiba dan suara seorang pria berteriak.
"Sat, lama-lama gue pindahin juga ya nih kantor ke gedung yang nggak memperbolehkan anabul masuk! Lo ngapain sih masih bawa-bawa ulet bulu raksasa ke kantor? Dia kurang ajar banget masuk ke ruangan gue, udah tau gue geli—"
Aku menengok ke belakang, pria berpawakan tinggi, alis lebat, rahang tegas dan berpakaian rapi yang tidak kuketahui apa jabatannya di sini menghentikan kalimatnya ketika matanya berpapasan dengan mataku.
"Lo bisa nggak sih ketok pintu dulu sebelum masuk? Nggak sopan banget, gue lagi interview. Maaf, ya, Nana. Ulet bulu yang dimaksud itu bukan ulat bulu beneran kok, tapi kucing saya. Oh ya, dan ini Eros, CEO di perusahaan ini. Ros, kenalin ini Nana, staf baru kita, anak buahnya Andro nanti."
Aku tersenyum sebelum bangkit untuk menyalami pria yang berdiri tak jauh dari kursiku duduk. Dari jarak yang cukup dekat sekarang, aku merasa pernah mengenali wajah pria ini. Dan pria bernama Eros itu menyipitkan matanya yang sudah cukup sipit, tampaknya dia juga mengenaliku sampai akhirnya dia bersuara, "Nana yang dulu sekolah di SMA Bina Nusa bukan? Yang dulu suka dikepang satu, pake poni dan suka pura-pura sakit tiap ada latihan paskibra."
Sial, siapa dia sebenarnya? Mengapa dia bisa tahu?
Dia menjulurkan tangan dengan seringai di bibirnya ia berkata, "Nice to see you again, Nana. Saya Chung cowok yang pernah nembak kamu, lalu kamu tolak."
Chung? Aku berpikir dan mengingat-ingat. What the hell!
"Kamu cowok yang sering dipanggil Achung?" aku bertanya dengan kedua alis terangkat tinggi.
"Yep."
Aku menjabat tangannya singkat sambil tersenyum malu. Bukan malu lagi, aku malu bukan main bila mengingat kejadian itu.
"Jadi kalian udah saling kenal?" tanya Pak Satria. "tapi di riwayat pendidikan kamu nggak tertulis SMA Bina Nusa."
"Saya pindah sekolah, Pak," jawabku.
Itu sebabnya aku menolaknya waktu itu, tapi tak bisa kuutarakan apa penyebabnya.
"Senang bertemu lagi, Chung, eh, Pak Eros maksudnya. Saya permisi dulu, terima kasih banyak Pak Satria."
Aku sedikit buru-buru keluar dari ruangan Pak Satria. Ya Tuhan, kenapa ada saja halangannya. Padahal aku sudah senang bukan main bisa bekerja lagi, tapi mengetahui fakta bahwa Eros, CEO di kantor ini adalah cowok yang dulu pernah kutolak cintanya, pasti akan membuatku merasa tidak nyaman. Kenapa harus dia sih yang menjadi bos di sini? Dan kenapa postur badannya bisa berubah sedemikian beda? Dulu, yang kuingat rambutnya jabrik meski pakai jel, mungkin balon bisa meletus kalau lewat di atas kepalanya. Dulu kupikir namanya beneran Achung, karena dia punya darah tionghoa, tapi bukan itu alasannya. Anak-anak di sekolah dulu memanggilnya Achung seperti nama etnis tionghoa, karena dia cungkring.
Wait, Eros, Erosoft. Holy shit! Jadi Erosoft diambil dari nama Eros?
Sial. Kalau saja tidak butuh, ingin rasanya kubatalkan saja dan tak jadi bekerja di Erosoft, tapi hatiku kecilku berkata, butuh duit, Na. Jakarta keras. Inget bayar kos-kosan, duit tabungan makin tipis. Lagi pula kejadian itu sudah berlalu begitu lama dan setiap orang di dunia ini pasti berubah, kan?
***
Hola!
Welcome to the Nana and Eros's world!
Please do vote, leave comment and follow.
Merci beaucoup!