Kaki Bumi

By gemamembiru

11.1K 1.1K 188

Sebab manusia akrab dengan kehilangan, kegagalan, dan menaruh harapan. Mereka di penduduk Kaki Bumi, sedang b... More

[1] Hujan dan Nirianika
[2] Fotografi; Nawala
[3] Hari-Hari Setelah Perpisahan
[4] Peta Hilang Mengenai Rumah
[5] Orang Asing
[6] Keluarga

[7] Pura-Pura Bukan Manusia

1K 117 23
By gemamembiru

"Demi Tuhan. Aarav Bagaskara, maju lo!"

Nawala baru membuka pintu rumah Jero ketika telinganya menangkap suara laki-laki itu menggelegar meneriaki Bagas. Bangunan berbentuk dua lantai milik kediaman keluarga Jero tampak nyaman. Seluruh perabotannya ditata rapi dan aroma vanila dari pengharum ruangan mengumbar ke segala arah. Semuanya tampak baik-baik saja, kecuali bagian tengah meja tamu.

Uno dan Remi—nama kucing Jero—tengah menyantap dry food yang bertebaran di lantai. Kotak penyimpanan makanan entah di mana, tapi kedua kucing gembul itu tampak menikmati momen menyantap seluruh dry food yang bertebaran di lantai. Di samping Uno dan Remi, Bagas tampak puas sementara Jero menatapnya dengan pandangan nyalang.

"Uno sama Remi lo apainnnn?"

"Mereka lagi mukbang, Jer."

"Demi ...."

"IYA, AMPUUUNNN!"

Kaki Bagas kontan berlari dengan kecepatan kilat ketika Jero di belakangnya tampak bertekad bessar untuk menangkap laki-laki Gemini itu. Mereka mengitari ruang tamu tiga kali, sampai akhirnya Jero berhasil menarik kerah baju Bagas dan mencubit paha Bagas. Sebagai penonton, Rasi yang duduk di sofa depan tertawa keras.

"IYAAA JERO, GUE MINTA MAAFFF."

"Seperti biasa, Jero selalu menang," komentar Rasi.

"Kudanil kalau udah jatuh di suatu lubang, enggak bakal mau jatuh ke tempat yang sama lagi, Gas. Lah, lo yang manusia malah ngulang kesalahan yang sama terus." Nawala ikut berdecak.

Mata Bagas memicing menatap kedua temannya. Mendumel karena tidak ada satu pun orang yang memihaknya.

Setelah berhasil mengamankan Uno dan Remi serta memerintah Bagas untuk membereskan sisa makanan di lantai seorang diri, Jero mengambil posisi duduk di depan Rasi. Remi berada di pangkuannya, tampak nyaman dengan elusan tangan Jero di kepala.

"Lo ngelus kepala kucing mulu, ya, Jer. Coba sesekali elus kepala cewek gitu."

Nawala tertawa. "Lo pernah emang, Si?"

"Ya, pernah! Emang gue Jero yang pacarannya sama kucing?"

Orang yang mereka bicarakan tampak tak peduli. Senyum lebar Jero masih menghiasi wajahnya sampai kedua matanya tenggelam ketika Remi semakin manja dalam pangkuannya.

Sadar bahwa dia tidak punya banyak waktu, Nawala mengambil kameranya yang dia titipkan di Jero tadi pagi. "Gue langsung cabut, ya."

"Idiiihh, bantuin gue dulu sini!" rengek Bagas dengan wajah memelas. Tangannya melempar makanan kucing sampai ke bawah meja—yang dihadiahi pelototan tajam Jero. Dan Nawala tentu saja tidak merasa perlu repot-repot membantu.

"Mau ke mana, Na?"

"Fikom."

"Lo beneran, yaaaa?" Jero mengalihkan tatapannya pada Nawala, menatap laki-laki itu curiga. "Udah, deh. Jangan denial mulu."

"Kagaaa anjir."

"Ada apa, woiii? Gue kok nggak tauuu?" Tubuh Rafa maju ke depan, penasaran dengan obrolan asing ini. "Kenapa Nawala dengan Fikom?"

"Kemarin waktu gue ke Sabuga sama Nawala, dia katanya mau foto-foto pas Tulus lagi nyanyi. Tapi pas gue datengin, dia malah ...."

"Malah apaaaaa?!!!!!" Rafa semakin gemas karena Jero sengaja menggantungkan ucapannya.

"Malah nonton bareng anak Fikom yang waktu itu ngirimin banyak makanan pas Nawala lagi sakit. Tapi Nawala keukeuh katanya bukan gebetan dia."

"Oh, si Inka?" Bagas ikut nimbrung setelah meletakkan kotak makanan kucing kembali pada tempatnya.

Rasi berdecak. "Ini kenapa gue doang yang enggak tahu apa-apaaaaa?"

"Ya emang nggak ada apa-apa!" Nawala memutar bola matanya. Orang-orang yang bilang lingkar pertemanan laki-laki menyenangkan karena jarang bergosip, mereka salah besar. Ketiga temannya ini kalau sudah penasaran dengan suatu hal bisa mendadak jadi intel negara.

"Jangan, deh. Orangnya baru putus," kata Bagas.

"Ya, enggak apa-apa. Justru kesempatan bagus itu, biar bisa ditemenin pas lagi ngerasa kosong." Rasi yang menimpali.

"Idih, yang ada dijadiin pelarian, begeee!" (Bege: bego)

Sebelum obrolan itu semakin panjang, Nawala membuka pintu rumah Jero. Dia melambaikan tangan, menyudahi topik ini dengan, "Gue diajak jadi fotografi di acara tahunan anak Fikom. Jadi, mau ikut briefieng sebentar acaranya."

"Ya, kalau mau sambil modus juga nggak apa-apa."

Nawala menutup pintu. Malas kembali menjawab godaan itu.

*

Suara sepatu Nawala menggema di aula Fakultas Ilmu Komunikasi. Sore menuju malam adalah waktu yang mulai sepi di kampusnya. Hanya mahasiswa yang memiliki kepentingan rapat atau kerja kelompok yang masih menetap. Dan dia menjadi orang terakhir yang keluar dari aula setelah pertemuan dengan Maharga—ketua acara Kabumi—tadi sore.

Fokus Nawala terbagi, salah satu tangannya menggulir kamera yang menggantung di lehernya sementara tangan kirinya mencoba menggapai daun pintu. Ketika tangannya menarik pintu itu, suara langkah buru-buru dan dorongan pintu yang keras membuatnya mundur dua langkah. Detik selanjutnya, seorang perempuan dengan napas berantakan masuk ke dalam aula dan memblokir pintu tiba-tiba.

"Hah." Dia menarik napas kasar.

"...."

"HUAAAAAAA!" Perempuan itu melompat ke samping begitu mendapati sosok Nawala yang sedang menatapnya tanpa suara. Tangannya berada di depan dada, menetralkan jantungnya yang berdegup kencang karena mendadak terkejut. "Oh ...."

"Ketemu lagi," sapa Nawala dengan melambaikan tangan. "Hai, ngapain ke sini?"

"Ini kan fakultas gue hahaha. Lo ada perlu di sini, Na?"

"Oh, iya." Nawala memiringkan kepalanya. "Gue tadi ada perlu sama ketua acara Kabumi. Maharga namanya, lo kenal?"

Bola mata Inka praktis membulat. "Na, jangan sebut nama dia kayak gitu!"

"Kenapa?"

"Udah ada aturan khusus dilarang nyebut nama dia. Sebut aja Kuaci."

Bibir Nawa sedikit terbuka, lucu mendengar sebutan itu. "Ya, gue tadi ada perlu sama Kuaci. Buat acara Kabumi, gue dari perwakilan UKM Fotografi diundang buat jadi dokumentasi partnership."

Pandangan Inka menatapnya penuh belas kasih. "Hari-hari lo ke depan bakal berat kayaknya. Semangat."

"Sebentar, ya. Gue cek dulu di aula."

Itu adalah sebuah suara familier yang datang dari luar aula. Entah kenapa, Nirianika membelakkan matanya. Dia melompat ke sisi kiri untuk bersembunyi di balik pintu, yang dalam hitungan detik terbuka lebar dan ia tenggelam di balik pintu kayu itu.

"Oh, lo belum balik, Na?" Maharga memasukkan ponselnya ke saku kala menyapa kawan bicaranya.

Bola mata Nawala menatap ke arah Inka yang memberinya sebuah suara seperti jangan-kasih-tau-gue-ada-di-sini. Meski tidak tahu kenapa, Nawala mengalihkan pandangannya pada Maharga.

"Kenapa balik ke aula, Ga?"

"Ada barang yang ketinggalan."

Nawala mengangguk-angguk. Sepatunya sengaja menempel pada sisi pintu yang menyembunyikan Inka, membantu agar perempuan itu tidak menderita seorang diri menahan pintu agar tetap terbuka. Maharga sempat bingung mengapa Nawala tidak ingin menutup pintu dan tak ingkah dari tempatnya, jadi Nawala mengangkat sedikit kameranya.

"Mau lihat hasil foto-foto dulu," jelasnya.

"Pintunya ditutup aja, pegel lo nanti nahan pintu terus."

"Enggak apa-apa," jawab Nawala. Dia memiringkan kepala, bingung memberi alasan. "Takutnya ... ada yang salah paham lihat kita di aula berdua."

"...."

"... hehe?"

Tawa Maharga terdengar canggung. "Oke."

Maharga pulang dengan lambaian tangan kaku setelah mengambil barangnya yang tertinggal. Menyisakan Nawala dan Nirianika yang tengah menatapnya dengan menahan tawa.

"Takut ada yang salah paham?" goda Inka sambil tertawa terbahak-bahak. "Nawala lucu banget!"

Mau tak mau, Nawala jadi ikut terkekeh. "Gue nggak kepikiran alasan lain. Lagian, lo kenapa nggak mau ketemu dia?"

"Gue tiba-tiba masuk ke aula juga gara-gara nyaris papasan sama dia di koridor. Lah, dia malah masuk ke sini."

"Kenapa?"

"Apanya?"

"Kalian?"

"Kita?"

"Jangan jawab pertanyaan pakai pertanyaan, Inka," ujar Nawala gemas.

Inka tersenyum lebar sampai matanya menyipit. "Udah sore, Na. Pulang, gih."

"Lo emang nggak pulang?"

Sambil menutup pintu aula, Inka mengelengkan kepala dengan pipi menggembung. "Iya, tapi nanti. Soalnya gue lagi kabur sebelum menghadapi masalah. Hehe."

"Oh, ya?"

"Iya. Lo mau ikut?"

"Ke mana?"

"Ke ujung dunia!"

"Mau ngapain ke ujung dunia?"

"Mau tersesat."

"Supaya?"

"Supaya enggak ada orang yang kenal kita dan kita bisa bernapas dengan nama baru yang kita rangkai sendiri. Kita juga bisa ngarang cerita bebas tentang hidup kita, masalah kita, dan apa yang kita mau!" Inka tertawa kecil setelah menyelesaikan ucapannya.

Tangan kanan Nawala diletakannya di dahi, seolah sedang mencoba melihat pandangan di depannya. "Ujung dunianya enggak kelihatan."

"Kita kejar sampai dapat!"

"Setelah dapat?"

"Kita bisa pura-pura jadi bukan manusia!"

"Ayo!"

Nawala memberikan tangan kanannya, disanggupi dengan tangan kanan Inka yang menggenggam erat tangannya. Tanpa aba-aba, sepasang manusia itu berlari menyusuri koridor sambil tertawa. Berusaha menemukan ujung dunia yang entah di mana letaknya.

Obrolan itu aneh, tapi entah kenapa Nawala terhibur.

*

Setidaknya, ada satu tempat di dunia yang punya sifat netral.

Nawala ingat pertama kali ia memilih merantau ke Bandung dengan memegang sebuah alasan; kabur dari hidupnya. Dia pernah begitu tepuruk hidup dalam kekangan ibu kota Indonesia, menyaksikan bagaimana tubuh kaku Ibu tak bergerak di atas kasur, dan dia memiliki status tanpa ibu di hari-hari selanjutnya. Dia ingat bagaimana isak tangis terbesarnya selama hidup ketika harus meninggalkan rumah dan memperbaiki puing-puing kecil di panti asuhan.

Jakarta penuh sesak. Lalu-lalang manusia selalu ramai setiap menit. Terlalu banyak manusia yang tinggal di sana, barang kali Ayah juga satu dari mereka yang mengenyam hidup di kota itu. Lantas, tekadnya semakin bulat. Dia akan lari, kabur ke kota yang berjarak sesekat mata dan menuju Bandung bersama satu kotak makan milik Ibu.

Proses berdukanya sakit sekali.

Kalau bukan karena satu grup OSPEK dengan Bagas, Jero, dan Rasi, Nawala pasti hanya akan menghabiskan hidup seorang diri di Bumi Pasundan dalam kamar indekosnya. Ketiga orang itu yang senang mengajaknya keluar meski dia mengerang lebih suka di kasur daripada bertemu manusia. Masih banyak tempat di Bandung yang tidak dia tahu meski sudah dua tahun bernapas di sini.

Termasuk tempat yang didatanginya sekarang.

"Katanya, kalau lempar batu tiga kali ke pohon itu, nanti permintaan kita bakal dikabulin, Na."

Nawala melirik Inka yang tengah memungut batu kerikil. "Serius?"

"Bohong."

Lemparan batu pertama jatuh di antara rumput-rumput panjang.

"Terus kenapa tetap dilempar?"

"Kan kita sekarang bukan jadi manusia. Boleh ngapain aja, karena kita bukan manusiaaaaaa!"

Laki-laki itu terkekeh. Sambil memungut kerikil, dia bertanya, "Emang jadi manusia itu gimana?"

"Enggak seruuuuuuuuu!" Inka melempar kerikil terakhirnya. "Harus pura-pura senyum, harus bisa menuhin ekspektasi semua orang, harus jadi sempurna, harus lari ngejar ritme kehidupan orang lain, harus ini, harus itu. Terus ...."

"Harus makan, tapi manusia enggak selalu punya uang," tambah Nawala.

"Harus pulang ke rumah, padahal rumah nggak bikin nyaman."

"Harus bayar pajak."

"Harus kerjain banyak tugaass!"

Ketika lemparan batu terakhir Nawala mendarat di tempat terjauh, dia duduk di atas rumput. Inka mengikutinya.

"Untung kita sekarang bukan manusia, Ka," bisiknya.

Rasanya menyenangkan jika Nawala saat ini dapat melepas kehidupannya sebagai manusia. Dia bisa rehat dari rasa luka, bisa tersenyum tanpa memikirkan hari esok, pun dia bisa menjadi bahagia tanpa syarat untuk apa-apa.

"Manusia itu kadang nyebelin, ya, Na," ujar Inka tiba-tiba. Nawala yang di sampingnya menoleh sekilas, tak bersuara. "Banyak banget nuntut sesuatu, bahkan kadang di luar batas kemampuan kita sendiri. Kadang kita udah sampai babak belur, nih, tapi masih juga disuruh ini-itu. Gue sampai mikir kayak ... ini mereka yang enggak pernah puas atau emang gue yang nggak pernah cukup baik?"

Inka tertawa setelah menyelesaikan kalimatnya. Sambil tersenyum, dia menoleh pada kawan bicaraya. "Menurut lo gimana?"

Tangan Nawala meletakkan satu kerikil di depan Inka. "Harapan itu timbul karena kita ngerasa orang itu mampu untuk nuntasin apa yang kita mau. Kalau ternyata orang itu emang beneran bisa nuntasinnya, harapan kita jadi nambah lagi." Nawala meletakkan kerikil baru di atas batu tadi. "Manusia enggak akan pernah puas. Kalau bisa ngelewatin A, seharusnya bisa juga ngelewatin B. Karena harapan sifatnya terus-menerus dan panjang."

"Jadi ...." Nawala mengambil kerikil yang disusunnya tadi, lalu melemparnya ke depan. "Sebagai manusia yang ditaruh sebuah harapan di luar kemampuan, kita boleh sesekali ngacak-acak harapan itu. Karena, Ka ...." Nawala menjeda.

"Nuntasin segala harapan manusia itu bukan jadi tugas kita." []

***
KaBi #3

***

Berhubung sekarang 6 Juni,
selamat #HariBagasSedunia 🫶🏻

Link oneshot Bagas aku share di Instastory gema.membiru, yaa! Di highlight "Wattpad"

Continue Reading

You'll Also Like

245K 15.2K 41
Masalah besar menimpa Helena, ia yang sangat membenci bodyguard Ayahnya bernama Jason malah tak sengaja tidur dengan duda empat puluh empat tahun itu...
368K 14.8K 33
Siapa yang punya pacar? Kalau mereka selingkuh, kamu bakal ngapain? Kalau Pipie sih, rebut papanya! Pearly Aurora yang kerap disapa Pie atau Lily in...
4.8M 177K 39
Akibat perjodohan gila yang sudah direncakan oleh kedua orang tua, membuat dean dan alea terjerat status menjadi pasangan suami dan istri. Bisa menik...
4.8M 35.7K 30
REYNA LARASATI adalah seorang gadis yang memiliki kecantikan yang di idamkan oleh banyak pria ,, dia sangat santun , baik dan juga ramah kepada siap...