DINI HARI GALIH ✔️

Oleh purpleliyy

34.1K 4.7K 2.7K

Tentang Galih yang penuh pengorbanan. Selalu sabar, menyayangi tanpa syarat. Bersusah-payah, berkorban tanpa... Lebih Banyak

01 - Galih, Nenek, dan Januar
03 - Mas Galih
04 - Bertanya-tanya
05 - Nenek Bangga sama Galih?
06 - Harus Lebih Keras
07 - Tak Ingin Jauh
08 - Tidak Sedih
09 - Dera
10 - Sekat Napas
11 - Marah, Seperti Apa?
12 - Tidak Boleh Sedih, Galih...
13 - Semangat, Galih!
14 - Masih Banyak yang Peduli
15 - Gambar Nenek
16 - Gara-gara Gelas
17 - Diceritakan Saja
18 - Dengan Pak Rafdi
19 - Mama Afiani
20 - Menawan
21 - Bunga itu Layu
22 - Bunga itu Dipetik
23 - Yang di Dunia
24 - Lenyap Berkumpul (TAMAT)
cerita angst baru!💔

02 - Galih, Si OB

1.9K 253 83
Oleh purpleliyy

**•̩̩͙✩•̩̩͙*˚ ˚*•̩̩͙✩•̩̩͙*˚*

"Kalau udah besar, Mas Galih harus jadi orang sukses. Jadi kebanggaan Papa sama Mama dan adik. Mas Galih harus rajin dan pinter, biar kayak Bapak B.J Habibie. Jenius, berpendidikan tinggi, berakhlaknya juga baik."

Aku ingat pesan dan keinginan Mama. Selalu ingat, tak pernah lupa. Namun, aku kecewa dengan kehidupan. Kehidupan memaksaku untuk tak dapat membanggakan Mama, Papa, dan... Januar.

Aku tidak bisa menjadi seperti Bapak B.J Habibie. Boro-boro buat pesawat, sekolah SMA saja tidak.

Setelah kematian orangtua dan kakekku yang terjadi tiba-tiba, hidupku jadi berubah. Dari kekurangan, menjadi sangat kekurangan.

Orang miskin. Dua kata itu memanglah pantas disandingkan untukku juga keluargaku. Sejak dulu, kami bukan orang berkecukupan. Orangtuaku, kakek-nenekku, mereka semua orang menengah ke bawah.

Warisan orangtua? Apa yang kalian harapkan? Tidak ada. Hanya rumah tua milik Kakek berisi tiga kamar ini saja yang jadi peninggalan. Ini pun sudah sangat aku syukuri sebab tak perlu mengontrak rumah di tengah kungkungan kejam Jakarta.

Aku terpaksa putus sekolah setelah berhasil mendapatkan ijazah SMP. Sempat lanjut SMA, tetapi hanya bertahan 2 bulan saja. Aku terpaksa berhenti sebab Nenek tiba-tiba jatuh sakit, tak bisa lagi bekerja sebagai pembantu rumah tangga tuk membiayai hidupku dan Januar.

Sejak sakit saat itu, Nenek tidak bisa berjalan lagi. Kursi roda pun jadi kakinya untuk sehari-hari.

Uang kami semakin habis, hingga tidak bisa membeli makanan untuk sehari-hari. Hanya mengandalkan pemberian tetangga-tetangga yang berbaik hati. Lantas, di situlah aku merasa harus berhenti menimba ilmu karena berbeda nasib dengan kawan-kawanku yang lain. Aku tak mungkin hanya diam mengharapkan belas kasih.

Usiaku 16 tahun saat berhenti sekolah. Lalu Januar, saat itu dirinya berusia 10 tahun, masih SD kelas 5.

Aku tidak tega bila Januar harus putus sekolah juga. Maka, aku korbankan sekolahku demi Januar bisa melanjutkan sekolahnya. Berat. Apalagi, setiap melihat teman-temanku masih asyik bersekolah setiap harinya. Iri bukan kepalang. Dulu, aku sering menangis sendirian saking inginnya sekolah. Bahkan, aku kerap bermimpi pergi ke sekolah. Namun, kembali lagi ke dunia, lantas tersadar itu hanya mimpi belaka.

Tidak apa-apa, Galih. Berulang-ulang kukatakan kalimat itu pada diriku sendiri. Aku harus bersyukur, sudah cukup bersekolah sampai SMP dan 2 bulan SMA. Aku sudah mengetahui lumayan banyak hal. Sementara Januar, waktu itu masih kelas 5. Dia belum tahu banyak hal, harus terus bersekolah sampai tahu banyak hal.

Kalau aku tidak bisa sesukses B.J Habibie idola Mama, setidaknya adikku harus bisa menjadi B.J Habibie untuk Mama dan Papa.

Oleh karena itu, aku melakukan apa pun supaya bisa bertahan dan menghidupi nenek serta adikku. Aku berusaha supaya Januar bisa terus sekolah dan menggapai cita-citanya.

Aku? Aku tidak punya cita-cita di bidang profesi karena orang sepertiku agaknya tidak mesti lagi mempunyai cita-cita. Kalau dulu, punya. Aku sangat ingin jadi tentara, mengabdikan diri untuk negara. Tapi, ya sudahlah. Tinggal angan-angan saja.

Yang kupunya sekarang bukan cita-cita, tetapi harapan. Aku berharap adikku bisa sukses menjadi seorang dokter seperti keinginannya sejak dulu. Aku berharap Nenek selalu sehat dan panjang umur, supaya dapat terus menyayangiku.

Di usia 16, aku mulai bekerja apa pun. Ya, apa pun---asal bukan mencuri, dan mampu menghasilkan uang yang cukup. Cukup untuk makan sehari-hari, untuk keperluan sekolah Januar, juga untuk obat-obat Nenek jika jatuh sakit.

"Galih." Seseorang memanggilku. Lamunanku yang diiringi dengan gerak tangan menyapu pun luntur.

Aku menengok. "Iya, Pak?" sahutku siap.

"Beliin nasi goreng Pak Gembul, ya? Dua, pedes. Pakai telur sosis dua-duanya," perintahnya.

Itu Pak Rafdi, direktur perusahaan ini.

"Iya, Pak," balasku patuh, sambil menerima uang 100 ribu dari Pak Rafdi.

Kulepaskan sapu dan pengki. Menyandarkan dua benda itu ke tembok pojok berwana putih. Selanjutnya, aku ke luar gedung ini. Mengunjungi rumah makan nasi goreng milik Pak Gembul yang kebetulan tubuhnya memang gembul, makanya dipanggil 'Pak Gembul'.

Kalau tidak salah, itu istilahnya body-shaming, kan? Setahuku, itu tidak baik karena mengejek bagian tubuh. Tapi, herannya Pak Gembul tidak tersinggung dipanggil 'Pak Gembul'. Malahan, menamai rumah makan nasi gorengnya dengan nama 'Nasgor Pak Gembul'.

Sekarang, pukul 7 malam. Sebentar lagi, aku boleh pulang karena kantor tempatku bekerja tutup pukul 8. Setelah membelikan nasi goreng untuk Pak Rafdi, aku akan bergegas pulang.

Di jalan menuju rumah makan nasi goreng Pak Gembul, pikiranku tiba-tiba terbentur pada ingatan di hari kemarin lusa. Tentang ungkapan Januar yang membutuhkan uang 27 juta untuk masuk kuliah kedokteran.

Jurusan impian adikku bergengsi, di universitas yang juga bergengsi. Lantas biaya masuknya membuat aku meringis dan nyaris menangis.

Aku harus cari uang ke mana? Pertanyaan ini bergelut hebat di kepalaku sejak 2 hari lalu.

Setelah berjalan di atas trotoar, aku pun sampai di tempat Pak Gembul mencari nafkah. Tempat makan ini dekat dari kantor. Sekitar 100 meter saja. Dibandingkan dengan restoran, tempat makan ini lebih cocok disebut kedai sebab tak terlalu besar.

"Bang, telur-sosis, dua, pedes," ucapku pada seorang pemuda, anaknya Pak Gembul.

Dia diam saja, tidak menengok ke arahku, tidak juga menyahutiku. Namun, dia dengar semua pesanan tanpa sedikit pun bingung.

Aku duduk di kursi tunggu yang terbuat dari plastik. Memegangi selembar uang merah Pak Rafdi baik-baik. Jangan sampai diterbangkan angin.

Semilir angin malam meniup poni-poniku yang tak tertata rapi. Perut laparku jadi dingin dan berbunyi-bunyi. Aroma nasi goreng yang diolah oleh anak dan dua pekerja Pak Gembul, meliuk-liuk ke indera penciumanku yang sensitif. Aku menelan ludah otomatis.

Seingatku, aku punya uang sedikit di dompet. Aku ingin membelikan dua bungkus untuk Nenek dan Januar. Pak Rafdi biasanya baik, aku yakin dia tidak akan marah bila menunggu pembuatan dua porsi lagi untuk kubawa pulang.

Satu bungkus untuk Januar, satu bungkusnya lagi untukku dan Nenek. Nenek makannya sedikit, paling setengah bungkus pun tidak habis. Mubadzir kalau beli tiga bungkus. Lebih baik, aku menghabiskan nasi goreng Nenek yang kuyakini takkan beliau tandaskan nanti.

Aku berdiri. Menyampaikan pada anaknya Pak Gembul untuk membuatkan dua porsi lagi.

Lalu, menunggu lagi. Dan... terpikirkan lagi. Aku harus cari uang ke mana? Pertanyaan itu kembali menjajah otak, membuat tatapanku mengawang-awang.

Pinjam uang, ya? Ke orang, ke bank, atau ke koperasi? Kalau ke pegadaian... entahlah. Tak ada yang bisa kugadaikan sebagai jaminan. HP-ku murah. Hartaku yang agak mahal hanya motor. Itu pun tidak akan sampai 27 juta karena motor tersebut keluaran jadul. Lagi pula, motor itu dipakai Januar setiap hari ke sekolah dan ke mana-mana. Aku tidak mungkin menggadaikannya. Pasti anak itu akan murka.

Kalau aku, biasa naik angkutan umum untuk mencapai tempat kerja. Untungnya, pihak kantor memberikan tunjangan transportasi sebanyak 250 ribu per bulan (di luar gaji 2 juta). Lumayan, sedikit meringankan masalah ongkos jalan.

Menunggu hampir 45 menit, akhirnya semua pesanan selesai. Semoga Pak Rafdi tidak marah. Tapi, aku yakin beliau tidak akan marah.

Aku membayar semuanya, kemudian kembali berjalan ke kantor sambil menenteng 2 plastik hitam berisi 4 bungkus nasi goreng berbeda kasta. Punya Pak Rafdi, dua-duanya pakai telur dan sosis. Punyaku, pakai telur saja, itu juga hanya punya Januar. Nenek tidak terlalu banyak keinginan sama sepertiku. Yang penting ada makanan untuk makan malam, kami sudah bersyukur.

....

Sesampainya di kantor kembali, aku langsung mencari Pak Rafdi di ruangannya.

"Permisi." Aku berucap sopan sambil mengetuk pintunya pelan.

Pak Rafdi sedang mengobrol dengan seorang wanita muda, istrinya. Mereka menoleh, lalu Pak Rafdi mengizinkanku masuk.

Aku pun masuk. Tersenyum sopan kepada Pak Rafdi juga istrinya, Bu Anggun, yang rambutnya dicat berwarna putih seperti selebriti.

"Pak, ini mau taruh di piring atau mau dibawa pulang?" tanyaku sopan, sedikit membungkuk rendah.

"Mau saya bawa pulang," jawab Pak Rafdi.

Aku tersenyum dengan gigi. "Oh, iya, Pak. Permisi." Aku meletakkan seplastik nasi goreng di atas meja kerjanya. "Maaf agak lama ya, Pak. Ini kembaliannya."

"Untuk kamu aja." Pak Rafdi merespons singkat, lantas menghentikan gerakan tanganku.

Aku tersenyum malu, mengangguk. Dengan senang hati menerima uang 40 ribu di genggamanku ini. "Makasih banyak, Pak," kataku.

Pak Rafdi mengangguk, lantas aku pun pamit untuk ke luar. Membiarkan kedua suami-istri itu dengan urusan pribadi mereka.

Omong-omong, kalau tidak salah, Bu Anggun sedari tadi memperhatikanku. Aku jadi gugup. Bukannya suka, lebih ke malu. Apa aku bau?

Aku mengangkat ketiak kananku dan mengendusnya sekilas. Tidak bau, kok. Aku mengangkat ketiak kiriku. Tidak bau juga. Semoga penciumanku tidak salah.

Lantas, aku menghela napas lega, sambil terus melangkah menuju ruang khusus OB dan Cleaning Service guna merapikan barang-barangku sebelum pulang ke rumah.

**•̩̩͙✩•̩̩͙*˚Bersambung˚*•̩̩͙✩•̩̩͙*˚*

.
.
.
.
.

CATATAN:
Bukan sadboi, Galih itu strongboi. Semoga para bebep-bebepku di sini setia menemani perjalanan Galih di cerita ini😇🍀

Lanjutkan Membaca

Kamu Akan Menyukai Ini

4.4K 933 32
Nata melempar jurnal birunya kesal. Bagaimana tidak, usahanya untuk melupakan Tirta semakin sulit ia lakukan. Semakin ia ingin menjauh maka semakin T...
10.3K 1.3K 36
[ON GOING] New Adult | Religi | Romantic Drama Ageng Candramaya Lintang, seorang penulis novel platform digital yang karyanya telah dibaca jutaan kal...
442K 70.4K 38
<< Sebuah seni untuk merelakan yang pergi >> Dua saudara kembar Hiroshima dan Nagasaki harus berjuang menyelamatkan hidupnya dari kelaina...
5.1K 700 22
(T-Fiction; cerita berlatar Thailand) Bangun tidur? Upload. Selesai mandi? Upload. Makan? Upload. Berangkat sekolah? Upload. Apa pun yang Kris lakuk...