EPOCH [Selesai]โœ“

Por trajec70ries

42.1K 7K 442

Lavanya Yozita harus mengalami hal aneh di hidupnya. Karena setelah kecelakaan malam itu, dunia Lava berubah... Mรกs

โ€ขPROLOGโ€ข
[1] Siapa kamu?
[2] Masih Shaga
[3] Jawaban Tuhan?
[4] Pasar Malam
[5] Jembatan Untuk Pemberhentian
[6] Dunia Asing
[7] Dunia Karangan?
[8] Merah
[9] Spiderman Badungan
[10] Seni Memahami
[11] Sesederhana Rembulan
[12] Bumi Dan Cinta
[14] Perihal Rasa
[15] Sajak Yang Bersuara
[16] Kebutuhan Hati
[17] Perbatasan Antara Hidup Dan Mati?
[18] Tangis Yang Disembunyikan Peluk
[19] Malam Manis
[20] Sebuah Petaka
[21] Buku
[22] Lembaran Kosong
[23] Siapa Pembunuhnya?
[24] Tidak Berdetak
[25] Titik Terang?
[26] Kekacauan Manis
[27] Isyarat Mimpi
[28] Mawar Merah dan Rimbawa
[29] Jalan Yang Tertutup Kabut
[30] Bunga Terakhir (End)
โ€ขEPILOGโ€ข

[13] Tentang Satu Hari

1K 194 13
Por trajec70ries

Alam semesta itu menyimpan banyak sekali misteri. Namun jika kita mampu memaknai setiap halnya dengan prasangka positif, mungkin itu akan lebih menghibur keresahan hati.

Mungkin kita dapat belajar dari sepotong senja yang rela ditelan malam untuk kemudian memberi kesempatan pada bulan dan ribuan bintang sebagai gantinya. Mungkin juga dari hujan yang rela jatuh berkali-kali pada alam semesta ini, memberi bumi kehidupan walaupun tatkala jatuh, ia harus meresap bersama tanah. Atau juga sebuah lilin yang akan habis dilahap oleh apinya sendiri. Lilin perlahan memang tiada, tapi lilin sempat menjadi sumber cahaya bagi mereka yang membutuhkan eksistensinya.

Lalu, harus bagaimana Lava memaknai kehidupannya saat ini? Layaknya sepotong senja? Atau hujan yang rela jatuh berkali-kali? Atau mungkin lilin yang dilahap habis oleh api?

Lava masih duduk di bangku UKS, menatap Shaga yang masih berbaring dengan mata terpejam. Shaga belum sadarkan diri. Sejurus kemudian, ia dapat melihat butiran keringat mulai menghiasi pelipis Shaga. Lava masih geming, tatapannya masih sama datarnya. Bahkan, Lava sudah seperti orang yang memiliki karakter antagonis di dalam sebuah buku dongeng. Diam sembari memperhatikan orang yang tengah sekarat. Menunggu waktu yang tepat untuk bersorak penuh kemenangan.

Tapi jelas bukan seperti itu karakter Lava di sini. Dia memang menghitung waktu, tapi untuk menunggu Shaga tersadar dan membuka matanya.

Dan benar, sejurus kemudian, Shaga membuka matanya. Reaksinya mungkin persis seperti Lava tadi seusai terbangun dari mimpi buruknya.

"Lo kenapa? Lo mimpiin apa? Apa yang terjadi sebenarnya, Ga? Atau ini karma karena lo nggak mau ngasih tau semua yang terjadi di dunia aneh ini?" Lava mencecar Shaga dengan rentetan pertanyaan. Tatapan Lava datar tapi Shaga dapat melihat ada api yang ia sembunyikan dari balik bola matanya. Lava direndam habis oleh kemarahan.

Dengan begitu saja, Shaga mengambil nafas panjang. Kemudian, Shaga mengubah posisinya menjadi duduk menghadap Lava. Shaga tampak memijat pelipisnya sebentar, menyembunyikan raut wajah frustasi yang sangat kental itu.

"Ada apa? Ada sesuatu yang aneh?" tanya Shaga.

Lava diam. Menatap Shaga. Hingga tanpa menjawab, Lava langsung berjalan keluar UKS. Melihat itu, Shaga langsung mengejar Lava.

"Lav? Hey! Ada apa?"

Lava terus berjalan. Tak mengindahkan sama sekali teriakan Shaga. Sampai pada akhirnya, ia merasakan tangannya di raih oleh Shaga. Dimana Shaga yang membalikkan badannya untuk menghadap cowok itu.

"Ada apa hm?" tanya Shaga tenang.

Tatapan Lava nyatanya masih setajam sebelumnya. Tapi mempertimbangkan kondisi Shaga yang baru saja pingsan, akhirnya Lava mencoba meredam segenap carut-marut hatinya itu.

"Lo istirahat aja. Kita bahas besok," ucap Lava.

Shaga menggeleng. "Nggak. Kita bahas sekarang."

Lava merotasikan bola matanya. "Apa? Lagian kalo gue tanya lo pasti nggak akan ngasih jawabannya ke gue. Udah besok aja, Ga. Gue juga cape. Lo mendingan istirahat. Muka lo pucet banget."

Seusai mengucapkan itu dengan raut letihnya, Lava melepaskan genggaman tangan Shaga. Namun baru saja membalikan badan, suara Shaga menghentikannya.

"Lav kenapa kamu selalu ngajuin pertanyaan yang sama? Pertanyaan yang jelas-jelas jawabannya ada di kamu sendiri!" ucap Shaga.

Mendengar itu, tiba-tiba saja darah Lava seakan mendidih. Amarah yang tadi sempat bersembunyi, kini langsung menjulang tinggi, meronta ingin di lepaskan.

"Ga, lo mikir dong! Kalo jawabannya ada di gue, nggak mungkin gue ngemis-ngemis jawabannya ke lo! Dan kenapa? Kenapa lo justru nuduh gue! Pasti ada sesuatu yang lo sembunyiin kan dari gue!" ucap Lava dengan nafas yang tak beraturan.

Shaga terdiam.

"Kenapa diem? Bener ucapan gue? Iya?!" tantang Lava.

Sejurus setelahnya, Lava menemukan tatapan Shaga tenang namun menusuk. "Dari sekian banyak orang di dunia yang kamu bilang aneh ini, cuma kamu yang sadar kalo semesta ini berubah. Itu artinya orang lain nggak ngerasain perubahan kehidupan kayak yang kamu alamin!" ucap Shaga.

"Terus gimana sama lo sendiri? Hah? Apa bedanya sama lo?!"

Shaga menelan salivanya. Entah bagaimana ia harus menjawab ucapan Lava. Tapi, tapi sebelumnya kehidupannya terasa baik-baik saja. Shaga merasa bahwa ia memang mengenal Lava, atau mungkin memang sudah seharusnya ia mengenal Lava. Tapi Lava justru selalu menanyakan hal yang tidak masuk akal.

Lava tersenyum smirk. "Nggak bisa jawab kan?" setelah mengucapkan itu, Lava benar-benar berjalan menjauhi Shaga. Walau pada akhirnya, ada ucapan Shaga sempat terdengar dengar jelas di telinganya. Lava tetap berjalan, tapi kalo boleh jujur, ucapan Shaga kali ini tak bisa Lava abaikan.

"Gimana kalo kita adalah dua jiwa yang sama-sama tersesat?"

***

Terkadang, Lava ingin menguasai alam semesta. Menjadikannya malam yang berdurasi lebih lama. Menenggelamkan senja agar tak susah payah merelakan eksistensinya di alam raya. Atau mungkin membiarkan bumi menangis sepanjang hari. Sebab Lava suka ketika hujan turun.

Atau bahkan, yang paling sederhana, ia ingin mengendalikan bising di kepalanya. Menghancurkannya walau sehari saja. Tak masalah bila bising itu hadir lagi, tapi yang jelas ia mau satu hari bebas dari riuhnya sekotak beban di pikirannya.

Di rooftop sekolah, Lava berdiri sekarang. Menatap senja yang menyala merah, seakan-akan tengah marah dan akan membakar bumi detik ini juga. Dan kalian tau, ada yang lebih menyebalkan sekarang. Pemandangan di bawah sana, dua insan yang nampaknya tengah dimabuk asmara. Merayakan romansa merah hati yang menyala-nyala. Bercumbu berkali-kali, mengadu kelihaian aib dari bibir mereka. Lava menyaksikan itu sedari tadi. Arkan dan Gladia.

Ck ck ck, miris sekali dirinya.

Tidak. Lava tidak marah dengan kelakuan keduanya. Bahkan jika Arkan langsung berlari kepadanya dan mencumbu dirinya. Lava tetap akan membalasnya. Ayolah, Lava tidak akan marah ketika dia sendiri tau bahwa dunia sedang mempermainkan dirinya. Jadi, Lava akan lebih gila. Sangat gila.

Dan satu lagi, Lava tidak akan mempertanyakan maksud dari kelakuan Gladia. Karena akan Lava ulangi, bahwa dia akan lebih gila di dalam dunia yang gila ini.

Berbicara tentang hari ini, Lava bisa dihitung lebih banyak menghabiskan waktu di rooftop. Setelah beradu mulut dengan Shaga, Lava langsung menuju rooftop dan membiarkan dirinya gila sendirian di sana. Menghadapi bisingnya suara dari dalam kepala itu sendirian.

Aish! Ini sedikit menjengkelkan. Terlebih ia menemukan jam tangannya yang telah menunjukan pukul setengah enam sore. Artinya gelap memang akan segera melahap alam semesta. Lava masih betah berada di sini. Bahkan kala matanya menangkap pergerakan Gladia dan Arkan yang beranjak pergi, kaki Lava tetap tertahan di sana.

"Ck, ini lagi cari tempat sepi atau lagi nunggu waktu yang tepat buat bunuh diri?"

Lava reflek melihat ke belakang. Dan sesuai dugaannya, dia adalah Shaga. Pakaiannya masih sama dengan dirinya, menggunakan seragam sekolah.

"Tergantung. Kalo memungkinkan ya gue pilih opsi kedua," jawab Lava enteng.

Shaga diam. Ia menatap Lava cukup lama, dimana Lava langsung protes kala merasa tengah ditelanjangi bulat-bulat oleh tatapan Shaga. "Apa?" sewot Lava.

Langkah kaki Shaga mendekat. "Kalo beneran mau pilih opsi kedua. Biarin aku ngelakuin ini."

Lava reflek mengambil satu langkah mundur ketika Shaga sudah menjulang tinggi di hadapannya. Namun dengan segera, Shaga melingkarkan tangan kirinya di pinggang Lava untuk menahan pergerakan cewek itu. Spontan Lava terkejut sembari melihat sekilas tangan Shaga yang berada di pinggangnya.

Lava mendongak. "Nggak usah macem-macem! Lepasin!"

"Marah-marah mulu," jawab Shaga.

"Ya lo ngeselin banget anjir!"

"Kalo nggak kayak gini yang ada kamu kabur-kaburan terus. Bisa kan kita bicara pakai kepala dingin? Dasar sumbu pendek!" ketus Shaga.

Lava langsung melotot garang, "apa lo bilang?!"

"Lah itu baru aja aku bilangin. Udah mulai."

Kembali lagi, decakan itu menyambar indra pendengaran Shaga. "Minggir lo!" namun nyatanya usaha Lava gagal, Shaga justru kian merapatkan jarak di antara keduanya.

Lava tersenyum miring. Menatap Shaga yang juga tengah menatapnya dengan intens. "Apa? Mau nyium gue?" tantang Lava.

"Hm. Boleh?"

"Sini kalo..."

Lava sontak terdiam kala tangan Shaga mengusap pelan bibir Lava. Menelusuri bibir Lava dengan jemarinya, dimana perlakuan Shaga sungguh membuat bulu kuduk Lava meremang hebat. "Aku masih inget Arkan sempet ninggalin jejak di sini," ucap Shaga.

Setelah mengucapkan itu, Shaga menatap Lava dalam-dalam. Seakan tatapan itu adalah sihir yang tengah ia keluarkan untuk membawa Lava ke dalam dunianya. Membuat Lava terdiam atas perlakuannya. Usapan itu benar-benar membuat laju jantung Lava semakin cepat. Oksigen pun terasa sulit untuk di hirup indra penciuman Lava. Dan menyebalkannya, Lava tak bisa menyangkal bahwa ada perasaan nyaman yang diberikan oleh Shaga saat ini. Hingga lambat laun, kepala Shaga mulai mendekat seiring dengan Lava yang sialnya memejamkan mata. Layaknya scene film romantis, dimana sang lelaki yang sudah memiringkan kepala untuk sebuah adegan panas.

Kalian tau bagian epic-nya? Disinilah sekarang. Di atas rooftop, dimana senja sedang memperlihatkan eksistensi yang lebih menohok dari sebelumnya, nyatanya menjadi saksi dan ikut mendengarkan bagaimana perut Lava berbunyi nyaring— minta untuk segera diberi asupan.

Krkkk krrkkk

Sontak keduanya saling menatap. Mata yang sempat terpejam, kini Lava buka lebar-lebar. Hingga bersamaan dengan kedua pipi yang memerah, Lava mendorong Shaga untuk menjauh dari tubuhnya. Melihat muka Lava yang sudah sangat merah, Shaga tak bisa meredam tawanya. Tawa cowok itu pecah.

"Diem lo!" ketus Lava sembari menahan malu.

Mendengar ucapan Lava, Shaga semakin tertawa kencang.

"SHAGA!!!"

***

Milyaran bintang sudah menunjukan kehadirannya di langit malam. Seakan di pimpin oleh bulan sabit, para bintang mulai berkedip-kedip sesuai arahan yang diberikan sang pemimpin.

Kedua insan itu masih di atas rooftop. Setelah tertawa puas karena tingkah Lava, Shaga akhirnya menyerahkan dua bungkus roti dan satu kotak susu coklat. Katanya, "nih, marah-marah mulu emang bikin cepet laper."

Lava awalnya gengsi, menolak pemberian Shaga. Dia memutuskan untuk pulang saja. Tapi sialnya, mereka sudah terjebak di dalam sekolah. Semua gerbang sudah digembok dengan sempurna. Jadilah, disinilah mereka sekarang. Tidur di atas rooftop dengan berbantalkan tas. Menatap bintang yang untuknya sangat ramai. Seakan mereka tau, kesepian bukanlah hal yang menyenangkan untuk dijamah oleh jiwa setiap harinya.

"Gimana kalo kita adalah dua jiwa yang sama-sama tersesat? Gimana kalo kenyataan sebenarnya adalah kita yang hidup di dunia khayalan?" tiba-tiba saja, Shaga mengulang ucapannya siang tadi.

Lava terdiam sejenak. Matanya masih menatap bintang walau sejujurnya otak Lava langsung berfikir keras, "maksudnya?"

Shaga menatap Lava. "Ya, cuma ada dua kemungkinan sekarang. Dunia khayalan kamu atau mungkin dunia khayalan aku. Kita ada di salah satunya."

"Hmm, kalo bener kayak gitu, ya tinggal tunggu waktu aja buat kita bebas dari dunia khayalan ini. Lo pasti tau, di drama atau mungkin di cerita novel, sekeras apa pun usaha kita buat keluar dari kutukan ini, semuanya bakalan sia-sia," jawab Lava enteng.

"Kutukan, ya?" lirih Shaga seraya tersenyum gamam.

"Hmm,"

Lantas, keheningan menjadi jeda untuk sesaat. Mereka sibuk dengan isi pikirannya masing-masing. Hingga beberapa waktu setelahnya, Shaga lagi-lagi menjadi orang yang membuka topik.

"Lav, kalo aku bawa kamu sehari aja buat seneng-seneng sama aku, kamu mau?" ucap Shaga.

"Hmm," gumam Lava yang masih memejamkan matanya di bawah hamparan bintang.

Shaga menarik nafas panjang sebelum akhirnya menutup matanya. "Suatu saat nanti, aku pengin bawa kamu masuk ke dunia aku, Lav. Dunia dimana aku bakalan nunjukin sisi lain dari diriku. Dunia dimana aku bisa numpahin semua keresahan aku ke kamu. Aku pengin kamu tau semua tentang aku, Lav. Aku mau berbagi segalanya sama kamu. Walaupun satu hari, tapi aku mau kamu mencintai aku dengan utuh."

Dengan begitu saja, Lava mengalihkan pandangannya kepada Shaga yang tampaknya masih menikmati dunia gelapnya. Ia terpejam seraya tersenyum tipis. "Kenapa orang itu gue, Ga? Kenapa orang yang lo pilih buat masuk ke dunia lo adalah gue?" tanya Lava.

"Aku cuma mau kamu, Lav."

Lava meneguk ludahnya. Dimana pandangan keduanya langsung bertemu kala Shaga mengalihkan penglihatannya.

"Kayak yang lo bilang tadi tentang dunia kita sekarang, gue rasa banyak kemungkinan yang nungguin kita di belakang..."

"Gimana kalo ternyata kita harus berpisah sebelum satu hari keinginan itu terwujud?" tanya Lava.

Senyuman Shaga terukir di sana. Memberikan desir kehangatan yang entah sejak kapan bersemayam di jiwa Lava.

"Setidaknya aku dan kamu pernah melewati hari-hari kemarin bersama. Memang kita nggak bisa mengendalikan takdir dan alam semesta. Tapi setidaknya, sewaktu semesta ngasih aku kesempatan untuk menaklukan dunia dimana kita masih bisa bersama, rasa-rasanya aku nggak pantes mengkhawatirkan tentang hari esok," ucap Shaga.

"Sekarang kita masih beriringan walaupun nanti nggak menutup kemungkinan kalo kita bakalan berpisah di persimpangan jalan. Jadi, ayok nikmatin hari ini selagi kita masih ada kesempatan."

Selagi masih ada kesempatan.

***
To be continue

*Halooo semuaaaa, Shaga hadirrrrr iniiii!! Kalo suka jangan lupa vote dan komen yaaa😀🤍

Kalo ada pesan yang mau disampaikan, sini sampaiin aja. Siapa tau ada yang mau mengeluarkan unek-unek sama alur ceritanya wkwk...

Tapi hari ini segitu dulu ya, mayan banyak si partnya ini🤍

Minggu, 05 Juni 2022.

See you🤍

Seguir leyendo

Tambiรฉn te gustarรกn

1.9K 351 32
Seperti pendar temaram lembayung senja di ufuk cakrawala. Setelah menggantungkan keindahannya di jumantara, dia pergi meninggalkan memori indah bagi...
1.4M 65.1K 42
Menjadi istri antagonis tidaklah buruk bukan? Namun apa jadinya jika ternyata tubuh yang ia tepati adalah seorang perusak hubungan rumah tangga sese...
22.4K 2.7K 44
Elegi dan Tawa. Sebuah cerita klasik. Penuh kesederhanaan dengan warna berbeda-beda yang dibawa oleh setiap karakternya. Berlatar waktu beberapa tahu...
313 217 10
balas dendam. itulah yang aku cari. tapi, aku tidak bisa melakukannya bila masa lalu terus menghancurkanku secara perlahan. aku ingat mereka, aku ing...