Ackerley Case

By meynadd

587 129 17

Sebuah penyerangan besar secara diam-diam terjadi di istana kerajaan Ackerley. Menewaskan beberapa anggota ke... More

Prologue
Chapter I : Attendance
Chapter II : The Night After Tea Banquet
Chapter III : A Big Responsibility
Chapter IV : Unaware
Chapter V : Two Faces At Dining Table
Chapter VI : Women Talk
Chapter VII : King Darwin's Partner
Chapter IX : Brother Plans
Chapter X : Yorefall City Park
Chapter XI : Run Away
Chapter XII : The Deductions

Chapter VIII : Knights Of Finlein

36 9 0
By meynadd

Pusat Ekonomi dan Perdagangan, Wilayah Finlein, Kerajaan Ackerley. Maret, 1801.

Antusiasme seluruh penduduk Finlein dalam menyambut musim semi yang tinggal menghitung hari, tak pernah surut sejak beberapa tahun terakhir. Malah festival musim semi yang diadakan tahun ini jauh lebih semarak dari tahun-tahun sebelumnya.

Sepertinya Marquise Hellen Quill selaku pemimpin di wilayah itu sekaligus penanggung jawab festival berhasil mendobrak pembaruan dari kebijakan yang dilakukan oleh mendiang suaminya, Marquis Rupert Quill. Dan laporan tersebut diterima oleh sang ratu selaku kurator selama festival itu berlangsung.

"Saya tidak menyangka, Marquise Hellen bisa mengkoordinasi semuanya dengan sangat baik," gumam Ratu Virginia dengan kagum. Sinar mentari pagi turut mencerahkan suasana hatinya.

Di festival kali ini, Ratu Virginia tampak muda dua puluh tahun ketika mengenakan terusan gaun merah muda dengan pernak-pernik bunga di bagian pinggiran gaunnya. Rambut oranye keriting dikuncir kuda, tak lupa bandana warna merah muda yang menghiasi kepalanya.

Dari kejauhan, netra hijau sang ratu melirik orang-orang yang lalu lalang yang bersinggah ke kios satu lalu ke kios yang lain sehingga menciptakan lautan manusia di antara tenda-tenda tersebut.

"Yang Mulia, menurut Anda berapa anggaran yang dihasilkan dari bazar festival musim semi tahun ini?" tanya Louis yang berdiri tepat di samping sang ratu seraya mencelupkan pena bulu ke botol tinta lalu mengapit gulungan perkamen.

Ratu Virginia berpikir sejenak kemudian berkata, "Mungkin sebesar 10.000.000 Dough yang setara dengan 500.000.000 Pound di Inggris, Louis."

Pria beruban itu menganga sekaligus memelotot dengan tidak percaya. Dia menoleh ke sang ratu dari samping yang terlihat santai setelah mengucapkannya kemudian kembali menoleh ke arah kerumunan warga yang semakin ramai setiap detiknya di bazar yang berjarak sekitar sepuluh meter di sana.

"Itu jumlah yang sangat banyak, Yang Mulia!" seru Louis sembari menorehkan pena bulu ke sebidang perkamen. Ratu Virginia tersenyum tipis, mengangguk pelan. Masih menatap kerumunan tersebut.

Ratu Virginia Wallenscoot beranggapan bahwa banyaknya perwakilan pengusaha-pengusaha daerah Reakstone, Nearvist, dan Yorefall yang dikirimkan untuk berinvestasi dengan pengusaha-pengusaha di Finlein tahun ini, justru hal itu akan menguntungkan banyak pihak terlebih lagi Finlein akan menjadi pusat ekonomi dan perdagangan berpengaruh di Ackerley.

Lalu hasilnya akan disetor ke Bendahara Kerajaan kemudian dimasukkan ke kas negara sebagai uang pajak yang nantinya digunakan untuk pembangunan nasional. Mengingat bahwa Ackerley merupakan sebuah negara (kerajaan) kecil.

"Namun, tidak menutup kemungkinan angka itu tidak bisa tercapai, Yang Mulia," celetuk Louis setengah yakin.

"Betul. Karena penyerangan beberapa hari lalu, perekonomian Ackerley sempat terimbas. Dari laporan Marquise Hellen, angkanya turun menjadi 56,7 % dari 69,4% sehari setelah penyerangan. Tiga hari kemudian angkanya naik menjadi 58,3% lalu turun lagi menjadi 52,9% sehingga festival bazar musim semi tetap diselenggarakan untuk memulihkan perekonomian Ackerley walau belum secara menyeluruh," jawab sang ratu dengan nada prihatin.

"Kenapa Anda tidak meminta bantuan ke negara tetangga atau ke kerajaan sekutu, Yang Mulia?" Ratu Virginia lantas menggeleng keras. Keputusan tersebut sangatlah buruk.

"Tidak bisa. Ackerley baru saja mengikat aliansi dua minggu yang lalu. Akan sangat aneh rasanya kalau kita meminta bantuan di saat kabar kematian Raja Darwin menyebar luas sampai ke para petinggi negara yang pernah mengikat aliansi dengannya, hingga surat-surat belasungkawa banyak berdatangan ke istana. Selagi perekonomian negara ini masih bisa dikontrol, sepertinya tidak masalah, Louis."

Ketika Ratu Virginia menoleh ke samping kanan, dia bisa melihat dahi pria beruban itu tertekuk sambil menatap cemas ke arahnya. Seolah bisa membaca pikiran Louis, Ratu Virginia pun menenangkan.

"Tidak perlu khawatir, Louis. Para petinggi negara tersebut tidak akan menganggap saya pembunuhnya. Untuk menghindari spekulasi yang tidak diinginkan, kasus penyerangan itu dirahasiakan ketat dari luar Ackerley. Dapat dipastikan hanya warga Ackerley dan kita-kita saja yang tahu."

Sang ratu mengakhiri kata dengan senyuman terulas kepada sang pendamping.

Louis ikut tersenyum dan mengangguk paham, kembali menorehkan pena bulu ke sebidang perkamen di genggaman.

Sejak bekerja selama satu pekan di bawah perintah sang ratu, Louis selalu mencatat apapun yang diutarakan Ratu Virginia guna mengenali dan mempelajari pola pikirnya. Jika dirasa ada sesuatu yang salah menurut Louis, sudah sepatutnya seorang penasihat pribadi meluruskan hal tersebut.

Pria beruban itu lekas menggulung perkamen, lalu menyimpan botol tinta, pena bulu ke dalam saku jas klasik seraya berkata, "Baiklah, Yang Mulia. Sudah waktunya kita kembali ke istana."

Pergerakan Louis yang hendak berbalik ke belakang menuju kudanya mendadak terhenti ketika Ratu Virginia masih bergeming di tempat.

"Tunggu sebentar, Louis." Ratu Virginia menginterupsi tegas.

"Tapi ... Yang Mulia, ada hal yang belum kita ...."

Belum selesai Louis menyelesaikan kalimatnya, sang ratu sudah lebih dulu mengangkat sebelah tangan ke belakang, mengisyaratkan sang pendamping untuk diam. Pandangan Ratu Virginia masih menatap ke depan dengan intens. Kedua netra hijau lantas menyipit tajam terhadap gerombolan warga yang saling dorong-dorongan di tengah himpitan tenda-tenda di sana. Pria maupun wanita tampak berdesak-desakan hingga ada sebagian dari mereka yang keluar terbirit-birit dari bazar.

"Yang Mulia!" panggil Louis sambil menatap ngeri pemandangan tersebut.

Ratu Virginia tidak merespon. Degup jantungnya berpacu lebih cepat begitu suara desingan keras di ujung bazar sana terdengar, suara itu berdesing-desing disusuli suara jeritan histeris orang-orang yang berhamburan ke segala arah.

Kerongkongan sang ratu nyaris tersekat ketika menyaksikan dari kejauhan sesosok berjubah yang menunggangi kuda hitam tengah menodongkan sebuah senapan angin ke seorang pengusaha di salah satu kios bazar. Sang ratu memelotot ngeri saat melihat tiga tubuh pengusaha lain terbujur kaku di tanah dengan cairan merah yang menggenangi jalanan.

"Cepat naik ke kereta, Yang Mulia!" teriak Louis dengan panik di saat semua orang kocar-kacir, berusaha menyelamatkan diri.

Ratu Virginia menoleh ke arah Louis di belakangnya yang sudah bersiap di atas kuda tunggangannya bersama dua pengawal lain di kemudi kereta kuda kerajaan. Begitu sang ratu menoleh kembali ke depan, dia mendapati sesosok itu menatap ke arahnya sekilas lalu menyeringai.

Sesosok itu menarik todongan senapan dari targetnya kemudian berbalik arah, bergegas meninggalkan tempat dengan memacu kuda hitam membelah jalanan.

Ratu Virginia bergeming, tak menghiraukan teriakan Louis yang berkali-kali memintanya naik ke kereta. Sang ratu bertanya-tanya. Sebenarnya apa iktikad di balik sesosok misterius itu sampai membuat kekacauan selama festival berlangsung? Justru apa yang dia harapkan dari festival musim semi tahun ini tidak berjalan sesuai rencana.

Sorot mata menajam, telapak tangan terkepal. Hatinya bergemuruh. Didominasi dengan kemurkaan yang mencekik kesabarannya.

"Louis!" tegas Ratu Virginia. Membalikkan badan.

"Iya, Yang Mulia?"

"Kumpulkan para kesatria Finlein ke istana sekarang juga." Ratu Virginia berkata tenang dengan nada yang tegas. Berjalan menuju ke kereta kuda.

"Sesuai perintah Anda, Yang Mulia Ratu." Louis merespon dengan hormat, menghempas tali kuda, kemudian membawa kudanya menuju suatu tempat bersamaan Ratu Virginia yang sudah naik ke kereta kuda kerajaan dan meninggalkan lokasi kejadian.

***

***

"Dimana tugas kalian sebagai kesatria sejati?"

Ratu Virginia berkata lantang terhadap dua puluh kesatria berseragam baja yang tengah tertunduk-tunduk, tak berani mendongak dan melawan ratu mereka yang meluapkan rasa amarah di singgasananya.

"Saya melihat ada orang asing yang meneror ibu kota sampai memakan tiga korban pada saat festival. Seharusnya kalian lebih tahu dari saya!" tukas sang ratu menaikkan nada bicara beberapa oktaf.

Sesuai buku peraturan perundang-undangan kerajaan Ackerley pasal 10A yang berbunyi, "setiap kesatria yang mendedikasikan diri kepada negara wajib bertugas menjaga, melindungi, mengayomi, mengawasi, seluruh lapisan masyarakat dari berbagai bentuk ancaman, serangan, dan tindakan jahat lainnya agar dapat menciptakan lingkungan masyarakat yang aman dan damai."

Lalu diikuti pasal 10B yang berbunyi, "setiap kesatria dibagi menjadi beberapa tim dan masing-masing tim diketuai oleh panglima kesatria yang mana setiap tim ditunjuk tugas di masing-masing daerah di Finlein, Reakstone, Nearvist dan Yorefall untuk menjadi penegak hukum, penegak keadilan, pemimpin masyarakat, serta menjadi pembela kaum tertindas."

Entah kenapa setelah penyerangan besar di istana tempo lalu membuat Ratu Virginia sedikit sensitif atas aksi teror yang terjadi di Finlein tadi pagi.

Berbeda dengan kasus penyerangan enam bangsawan, Ratu Virginia tak punya kuasa penuh terhadap kasus teror tersebut karena yang menjadi tanggung jawab hanya para kesatria Finlein itu sendiri. Walaupun begitu, Ratu Virginia punya hak untuk menggerakkan para kesatria jika mereka tidak bisa menjalankan tugas sebagaimana mestinya.

"Siapa di antara kalian yang menjadi ketua tim?" Pertanyaannya menggelegar sepenjuru ruangan singgasana hingga membangkitkan rasa takut dua puluh kesatria yang berdiri di depannya.

Namun salah satu dari mereka melangkah maju dari barisan dan mendongak ke arah sang ratu dengan keberanian penuh seraya berkata, "Saya, Yang Mulia Ratu."

Ratu Virginia menurunkan intensitas amarahnya, dia mengedip-ngedipkan mata tak percaya begitu dapat melihat rupa pria muda yang ternyata sebaya dengan mendiang Pangeran Charles.

"Tunggu," interupsi sang ratu.

Sambil mengeluarkan telunjuk, dia melanjutkan. "Apakah Anda adalah putra dari Marquise Hellen?"

Pria muda berambut kecoklatan itu mengiyakan. Garis rahangnya menegas. Seutas alis tebal coklat menyatu. Tak lupa jambang yang membuat tampilannya berseragam baja terlihat sangat sangar dan kharismatik. Lantas menyilang lengan kanan ke sebidang dada bidang kirinya lalu membungkuk penuh hormat.

"Perkenalkan nama saya Ryan Quill, Yang Mulia Ratu."

Ratu Virginia mengangguk. Sebelumnya dia tak pernah berkenalan dengan putra dari pasangan Marquis Rupert Quill dan Marquise Hellen Quill. Ditambah dia sekedar tahu bahwa pria muda yang merupakan salah satu kesatria di Ackerley merupakan teman karib dari Pangeran Charles karena dulu dia sering melihat keduanya berlatih bertarung bersama di halaman istana.

"Baiklah, Panglima Ryan. Sebagai ketua di tim ini, mengapa Anda tidak mengkoordinasi yang lain untuk memantau sekitaran Finlein?"

"Maafkan saya, Yang Mulia Ratu. Kejadian itu terjadi begitu cepat ketika kami semua baru tiba di Finlein."

Kening sang ratu lantas berkerut. Apa yang menjadi alasan mereka datang terlambat saat aksi peneroran terjadi? Darimana saja mereka saat itu? Hendak saja dia bertanya demikian, Panglima Ryan terlanjur membuka suara.

"Kami semua pergi ke Nearvist untuk memenuhi panggilan Lord Vincent, Yang Mulia Ratu. Beliau meminta tim kami dan seluruh tim kesatria untuk melacak keberadaan Scorpious."

Untuk sesaat Ratu Virginia terdiam, kedua tangan mencengkeram erat gagang kiri-kanan singgasana.

Setelah memperingati untuk tidak ikut campur tempo lalu, ternyata tidak cukup membuat Vincent jera. Dengan memanfaatkan kedudukan tertingginya dalam lingkaran kesatria, justru Vincent dapat leluasa mencari tahu lebih dalam urusan sang adik.

Ratu Virginia berasumsi bahwa Vincent pasti mengutus seseorang untuk menggali informasi selama satu pekan ini dengan berbagai macam cara tanpa disadari. Tapi, alangkah lebih baik jika dirinya membiarkan tindakan sang kakak dan melihat hasilnya nanti.

"Sebelum kalian kemari apakah kalian sudah membereskan semua kekacauan di ibu kota?" tanya sang ratu kian merendahkan nada suara.

"Sudah, Yang Mulia. Saya akan mengomando tim ini untuk mengawasi sekitaran Finlein dan mengupayakan agar kejadian tersebut tidak terulang kembali."

"Baiklah, kalian semua boleh pergi."

Dua puluh kesatria berseragam baja membungkuk hormat secara bersamaan kemudian membalikkan badan, berjalan menjauh dari singgasana. Tiba-tiba sang ratu teringat sesuatu.

"Kecuali Anda, Panglima Ryan."

Langkah Ryan lantas terhenti tepat setelah beberapa kesatria di depannya sudah lebih dulu meninggalkan ruangan.

Sang ratu lekas turun dari singgasana, menghampiri ke arah pria muda tersebut seraya berujar, "Ada hal penting yang ingin saya bicarakan empat mata dengan Anda."

Continue Reading

You'll Also Like

369K 31K 155
Title: Death Is the Only Ending for the Villainess BACA INFO!! Novel Terjemahan Indonesia. Hasil translate tidak 100% benar. Korean » Indo (90% by M...
Ken & Cat (END) By ...

Historical Fiction

7.2M 766K 53
Catrionna Arches dipaksa menikah dengan jenderal militer kerajaan, Kenard Gilson. Perjodohan yang telah dirancang sejak lama oleh kedua ayah mereka...
BITTER TRUTH [END] By Angel

Historical Fiction

8.6M 1.1M 91
"Buktikan bahwa bukan kau yang meracuninya dengan pedang ini" ucap Duke Hevadal dengan wajah yang sedingin dinginnya pada putri kandungnya sendiri El...
4.2M 576K 69
18+ HISTORICAL ROMANCE (VICTORIAN ERA/ENGLAND) Inggris pada masa Ratu Victoria Sebelum meninggal, ibu dari Kaytlin dan Lisette Stewart de Vere menyer...