Ackerley Case

By meynadd

585 129 17

Sebuah penyerangan besar secara diam-diam terjadi di istana kerajaan Ackerley. Menewaskan beberapa anggota ke... More

Prologue
Chapter I : Attendance
Chapter II : The Night After Tea Banquet
Chapter IV : Unaware
Chapter V : Two Faces At Dining Table
Chapter VI : Women Talk
Chapter VII : King Darwin's Partner
Chapter VIII : Knights Of Finlein
Chapter IX : Brother Plans
Chapter X : Yorefall City Park
Chapter XI : Run Away
Chapter XII : The Deductions

Chapter III : A Big Responsibility

51 13 3
By meynadd

Pagi hari menjelang, langit terlihat sangat mendung. Sekumpulan awan abu-abu membentang luas dari utara hingga selatan. Angin timur berhembus kencang, cukup untuk menerbangkan dedaunan dan menumbangkan ranting pepohonan. Para bangsawan beserta antek-anteknya berkumpul di sebuah ladang rumput yang telah membentuk enam lubang persegi panjang. Tak ada satupun warna selain hitam yang dipergunakan. Di antara mereka tak ada yang tidak membawa payung. Semuanya sudah bersiap kalau hujan hendak menyapa.

Yang berdiri di baris terdepan adalah sang ratu sendiri, tentu ditemani kedua dayangnya. Dan salah satu di antaranya berusaha memayungi sang ratu. Kedua air mata Ratu Virginia tak henti-henti menetes begitu menelisik enam batu nisan secara bergiliran.

Sebuah batu nisan besar berdiri kokoh di antara lima batu nisan lain, bertuliskan King VII of Ackerley, Darwin Wallenscoot (1746-1801). Lalu di sebelahnya berdiri batu nisan putra penerus takhta, Prince of Ackerley, Charles Wallenscoot (1774-1801).

Dan diikuti empat batu nisan yang dimulai dari gelar tertinggi di bawah raja oleh Duke of Reakstone, Mark Hekkins (1744-1801). Marquis of Finlein, Rupert Quill (1745-1801). Count of Yorefall, Lennox Thompson (1744-1801). Kemudian diakhiri batu nisan yang bertuliskan Viscount of Nearvist, Sean Rudolf (1743-1801).

Lima keluarga yang tertinggalkan tidak luput menangisi masing-masing peti mati yang tengah diturunkan menggunakan tali oleh dua puluh empat sukarelawan istana. Nyaris keenam peti mati diturunkan dalam waktu bersamaan.

Suara gemuruh langit terus beriringan dengan tetesan hujan yang perlahan mengguyur selama proses upacara pemakaman. Sang pendeta yang berdiri di antara barisan-barisan bangsawan sedang melafalkan doa terhadap keenam pemimpin kerajaan Ackerley yang dikebumikan tersebut sampai saat dimana segala proses pemakaman berjalan lancar dan keenamnya sudah ditimbun tanah. Satu per satu di antara mereka mulai meninggalkan lokasi begitu hujan semakin menderas setiap detiknya.

Sementara Ratu Virginia masih berada di tempat bersama antek-anteknya. Dia termangu, menatap keenam gundukan tanah di hadapan sampai tanah itu menjadi becek, terkikis oleh air hujan. Dia juga merotasi ke sekeliling ladang rumput itu, berjejer juga batu nisan dari para raja, ratu, dan bangsawan terdahulu yang tak jauh dari keenam batu nisan tersebut.

Dia sejenak berpikir, bagaimana bisa keenamnya tewas dalam satu malam? Belum lagi semalam sang ratu mengumpulkan seluruh penjaga di istana dan bertanya apakah ada seseorang atau sekelompok orang yang memasuki istana.

Para penjaga yang menjaga di setiap sudut istana hanya bergeming, mereka semua tidak mengetahui jika ada yang berusaha menyerang anggota kerajaan terutama sang raja dan putra penerus takhta. Belum lagi kedua penjaga gerbang utama istana menghilang dan tidak diketahui keberadaannya. Dari situ, sang ratu memerintahkan mereka semua untuk menggandakan penjagaan istana bagian barat, timur, utara, dan selatan terutama pintu gerbang utama.

Ratu Virginia lantas berasumsi setibanya dia di istana setelah dari pemakaman.

Mungkinkah tewasnya mereka dilakukan secara sembunyi-sembunyi? Sang ratu membatin dengan tak karuan.

Sejak dua dini hari, Ratu Virginia terserang rasa gelisah ketika menulis surat untuk menyampaikan kepada bangsawan wanita tentang tewasnya suami mereka. Takut bagaimana respon yang diberikan oleh mereka.

Respon mereka lumayan beragam. Ada yang menanggapinya dengan serius, histeris dan juga meringis. Belum lagi salah salah satu di antara mereka menuntut keadilan dan berharap kepada sang ratu supaya kasus ini dapat dipecahkan.

Ratu Virginia terduduk lemas di sebuah sofa, di kamar pribadinya, wajah sang ratu terlihat begitu pucat dan kedua kelopak mata yang sedikit menghitam akibat mengatur segala prosesi pemakaman semalaman. Hingga kedua dayangnya memperhatikan sang ratu dengan prihatin.

"Yang Mulia Ratu, apa Anda tidak apa-apa?" tanya dayang Tansy tanpa menghilangkan rasa hormatnya. Sedangkan dayang Mary berkata, "Apa ada sesuatu yang Anda ingin kami lakukan, Yang Mulia?"

Ratu Virginia menggeleng lemah. "Tidak apa-apa. Tidak ada yang perlu kalian lakukan." Sesaat dia terpikir akan sesuatu setelah semua yang terjadi.

"Apakah kabar kematian mereka sudah tersebar ke masyarakat, Nona-nona?" Dayang Tansy dan dayang Mary saling berpandangan. Kemudian kembali menoleh kepada sang ratu.

"Sudah, Yang Mulia," ujar mereka serempak.

"Malah kabar tersebut tersebar sangat cepat setelah para pengawal istana berkeliling tiap daerah untuk menyampaikannya." Dayang Mary mengimbuhkan, beberapa saat dayang Tansy menambahkan. "Dan berita itu juga dimuat dalam koran-koran oleh para wartawan kerajaan, Yang Mulia."

Mendengarnya, Ratu Virginia merasa lega. Dia telah mengutus beberapa pengawal untuk menyampaikan berita kematian Raja Darwin, Pangeran Charles beserta keempat bangsawan lain ke seluruh rakyat di kerajaan Ackerley. Berita yang menggemparkan ini memang sepatutnya diketahui oleh semua orang tanpa terkecuali.

Sebagai ratu satu-satunya di negeri ini, dia terpaksa mengambil alih kekuasaan yang seharusnya dipegang oleh sang raja. Zaman kian berubah. Setelah bertahun-tahun lamanya, melewati tujuh pemimpin yang didominasi kaum pria. Sudah saatnya seorang wanita yang memimpin kerajaan dan menjalankan pemerintahan sebagaimana mestinya.

"Baiklah. Kalian berdua boleh pergi." Ratu Virginia menginterupsi kedua dayangnya. Dirasa tidak ada yang perlu dikerjakan. Mereka lantas pamit undur diri dan meninggalkan kamar.

Tampak dari jendela kamar, hujan yang sejak tadi terus-terusan mengguyur di luar kian berhenti. Langit cerah perlahan menunjukkan keberadaannya, memancarkan cahaya mentari melalui jendela-jendela kamar sang ratu. Tak lama berselang, suara ketukan pintu terdengar.

"Masuklah," sambut Ratu Virginia. Pintu kamar terbuka dan menampilkan seorang pengawal kerajaan seraya membungkukkan badan.

"Ada apa, pengawal?"

"Yang Mulia, para bangsawan wanita ingin bertemu dengan Anda."

     Ratu Virginia mengerutkan dahi. Menurutnya pertemuan ini terlalu mendadak, padahal mereka semua dua jam lalu bertemu di pemakaman dan sekarang ingin bertemu dengannya di istana langsung? Ditambah tak ada tanda-tanda surat yang dikirimkan perwakilan di antara mereka.

"Kenapa mereka tidak membuat janji bertemu sebelumnya?"

"Katanya, mereka ingin memberitahu Anda secara langsung tanpa melalui surat terlebih dahulu, Yang Mulia." Ratu Virginia mengangguk kemudian memintanya keluar lebih dulu. Dia lantas berganti pakaian, dari gaun berwarna hitam ke gaun berwarna kuning kasual dengan berenda putih. Lalu beranjak dari kamarnya menuju ruangan singgasana.

***

***

     "Salam, Yang Mulia Ratu." Keempat wanita itu membungkuk hormat. Ratu Virginia yang duduk anggun di singgasananya mengangguk.

     "Apa yang membuat kalian semua tiba-tiba datang kemari?" tanya sang ratu mendatar.

     Salah satu di antara mereka, maju selangkah dari barisan kemudian menjawab, "Maaf tidak mengabari lebih dulu kepada Anda, Yang Mulia. Sebenarnya iktikad kami datang kemari adalah menanyakan pendapat Anda tentang semua yang telah terjadi."

     Sang ratu tampak menantikan apa yang ingin dikatakan selanjutnya oleh Duchess Eliza. Wanita berambut cokelat itu terbata-bata menyampaikan sesuatu. Hingga wanita berambut merah kehitaman di belakangnya, kemudian maju selangkah.

     "Menurut Anda, apa yang harus kami lakukan ketika para suami sudah meninggal?" Marquise Hellen lantas menyampaikan iktikad mereka. Wajahnya memelas, minta pendapat.

     Ratu Virginia mengamati keempat wanita bangsawan satu per satu. Dia menghela napas, kemudian berkata mutlak.

     "Sebaiknya kalian semua menggantikan posisi suami kalian masing-masing dalam memimpin wilayah kekuasaannya."

     "Tapi, Yang Mulia. Bukankah lebih baik jika posisi tersebut diberikan oleh keturunannya?" Seorang wanita berambut hitam unjuk diri dari barisan. Countess Abigail menyanggah pernyataan tersebut yang menurutnya tidak relevan terhadap apa yang seharusnya mereka lakukan. Namun, Ratu Virginia tetaplah Ratu Virginia. Dia akan selalu berpegang atas prinsip yang telah dijalankannya selama menjadi seorang ratu.

     "Justru karena itulah kalian memiliki kesempatan untuk memimpin selayaknya yang dilakukan oleh kaum pria," ujarnya.

     "Lalu bagaimana dengan hukum tertulis yang menyatakan wanita tidak diperbolehkan memimpin atau memerintah sesuatu?" tanya seorang wanita berambut pirang, tidak lain tidak bukan Viscountess Yocelyn. Di buku-buku peraturan raja terdahulu memang melarang seorang wanita memimpin dan ikut campur dalam urusan ketataan negara. Tapi bergilirnya raja dari generasi ke generasi, membuat aturan itu menjadi tidak tetap.

Contohnya pemerintahan pada masa Raja Darwin, yang membolehkan istrinya ikut dalam urusan ketataan negara walau tidak secara menyeluruh.

"Hukum itu sebetulnya tidak tetap, Viscountess Yocelyn. Karena Raja Darwin dan Pangeran Charles telah wafat, sayalah yang harus menggantikan peranan mereka dan sudah saatnya aturan seperti itu diubah kembali."

Negara (kerajaan) Ackerley masih menganut sistem monarki absolut. Dimana seorang raja atau ratu sebagai simbol kekuasaan tertinggi dalam suatu pemerintahan. Mereka berhak melakukan sesuatu dan membuat peraturan perundang-undangan atas kehendaknya sendiri tanpa ada campur tangan dari pihak lain. Tidak seperti sistem di negara tetangganya, Inggris, yang menganut sistem monarki konstitusional.

Begitu Ratu Virginia berkata demikian, tak ada lagi yang berusaha membantah perkataannya. Sang ratu kemudian meminta pengawal untuk memanggil pencatat undang-undang kerajaan ke ruangan singgasana. Setelahnya, Ratu Virginia dengan lantang mengucapkan,

"Seorang wanita bangsawan berhak untuk memerintah atau memimpin, dengan maksud menggantikan posisi seorang suami yang sudah meninggal dunia dan sebelum masuk masanya seorang keturunan untuk meneruskan kepemimpinan tersebut. Jika tidak ada hal-hal bersangkutan tidak wajib bagi seorang wanita melakukannya."

Sang pencatat undang-undang kerajaan pun duduk dan mencatat di sebuah meja yang tersedia, dia telaten menggores tinta hitam di atas permukaan perkamen dengan pena bulu miliknya. Kemudian mengulangi apa yang dicatatnya ke hadapan sang ratu.

"Sampaikan aturan ini ke seluruh masyarakat dan kabarkan bahwa istri-istri pemimpin mereka yang akan memimpin wilayah, agar mereka mengetahuinya dan terdiktraksi oleh rumor tidak sedap tentang kematian keenam bangsawan tersebut."

Sang pencatat itu membungkukkan badan lalu menggulung perkamen dan membenahkan diri, sesaat kemudian pamit dan meninggalkan ruangan singgasana.

"Tunggu, apa yang Anda maksud 'rumor tidak sedap tentang kematian keenam bangsawan tersebut', Yang Mulia?" Duchess Eliza yang pertama kali menyadarinya, angkat suara sembari menirukan kalimat yang dilontarkan sang ratu. Ketiga pasang mata, menatap kepadanya lalu menoleh kembali ke depan.

"Saya berasumsi bahwa masyarakat saat ini pasti membuat rumor aneh tentang kematian mereka berenam. Terutama mendiang Raja Darwin dan Pangeran Charles," ungkap Ratu Virginia dengan keteguhan hatinya. Viscountess Yocelyn yang sejak tadi tidak tahan dengan semua ini akhirnya bersuara.

"Itu sangat aneh. Seperti yang Anda sampaikan di surat sebelumnya kalau mereka terbunuh di ruang rapat kerajaan pada malam hari. Tapi tidak ada satupun yang mengetahui ketika penyerangan itu terjadi. Seolah si pembunuh melakukannya dengan cara diam-diam."

Ruangan singgasana lengang untuk beberapa saat. Mereka semua larut dalam pikiran masing-masing. Mengaitkan antara satu hal dengan hal lainnya dan mempertanyakan bagaimana si pembunuh bisa melakukan penyerangan semulus itu. Dan alasan mengapa si pembunuh mengincar keenam bangsawan sekaligus dalam satu waktu?

"Lalu siapa yang akan menyelidiki kematian suami kami, Raja Darwin beserta penerus takhtanya?" Marquise Hellen bertanya dengan nada sedikit bergetar.

Sejak raja ke-VI memerintah pada tahun 1755-1785. Tidak ada tanda-tanda kemunculan profesi detektif swasta apalagi detektif kerajaan pada masa itu. Sementara lima tahun sebelumnya pada tahun 1750 di Inggris sudah mulai bermunculan profesi tersebut.

Ratu Virginia mempertimbangkan dengan matang dan penuh keyakinan pada dirinya. Sang ratu turun dari singgasana, menghampiri keempat wanita itu. "Saya yang akan menyelidiki kasus itu sendiri. Kalian semua tidak perlu khawatir. Kalian cukup mengurusi wilayah masing-masing. Jika ada masalah, laporkan kepada saya."

Semua wanita bangsawan tertegun dan mengangguk patuh. Sebelum mereka pamit, Duchess Eliza ingin mengatakan sesuatu.

"Yang Mulia, jika Anda memerlukan bantuan, kami bersedia membantu Anda menangani kasus tersebut." Ratu Virginia mengangguk dan mempersilakan mereka semua pergi meninggalkan istana.

***

Sebelum menuju ke kamarnya, Ratu Virginia memutuskan untuk mengecek ruang rapat kerajaan. Melewati lorong-lorong istana yang didominasi warna putih dan kuning. Kemudian berbelok ke arah kiri dan berjalan sekitar satu menit dan akhirnya tiba di ruangan yang dia tuju. Sang ratu membuka pintu dan membiarkannya menganga hingga merebakkan bau-bau amis dari sisa-sisa darah yang menempel di permukaan meja panjang, kursi dan juga pada lantai beludru walau sudah dibersihkan oleh pelayan-pelayan istana.

Sang ratu berjalan menuju meja kerja khusus sang raja di belakang meja panjang itu. Menelisik dan membuka satu per satu laci meja. Hingga Ratu Virginia menemukan sebuah gulungan perkamen di dalamnya. Sang ratu mengangkat sebelah alis begitu membentang perlahan gulungan di tangannya dan membelalakkan mata ketika membaca kalimat demi kalimat yang tertulis.

Yang terhormat,
Baginda Raja Darwin Wallenscoot

Sudah saatnya kepemimpinanmu hancur, di tangan seorang keturunan yang akan membalaskan dendam sebuah keluarga yang secara turun-temurun selalu ditindas.

Begitu saat itu tiba, maka kau akan tahu sendiri bagaimana rasanya menjadi seperti kami ini.

—    B. O. L

Sontak Ratu Virginia menutup mulut. Pikirannya melayang ke masa dimana seorang pengawal tiba-tiba memasuki ruangan singgasana membawa gulungan perkamen ketika Raja Darwin hendak melakukan pertemuan bersama para bangsawan.

Apakah ini surat yang dimaksud waktu itu? Ratu Virginia membatin. Lalu mengernyit, ketika melihat sebuah inisial yang terdapat di bawahnya. Lalu siapa B.O.L ini? Apakah dia ada kaitannya saat penyerangan itu terjadi? Batin sang ratu mendesak ketika sebuah petunjuk berada di tangannya. Dengan segera, dia menggulung perkamen lalu membawanya keluar untuk menemukan siapakah dalang yang mengirim surat tersebut.


Continue Reading

You'll Also Like

4.2M 575K 69
18+ HISTORICAL ROMANCE (VICTORIAN ERA/ENGLAND) Inggris pada masa Ratu Victoria Sebelum meninggal, ibu dari Kaytlin dan Lisette Stewart de Vere menyer...
1M 92.4K 71
Seorang gadis berumur 17 tahun. meninggal karena tertabrak Lamborgini. ya, sangat elit memang. bisa bisanya ia tertabrak dengan Lamborgini. gadis itu...
2M 314K 69
Kapan nikah??? Mungkin bagi Linda itu adalah pertanyaan tersulit di abad ini untuk dijawab selain pertanyaan dimana sebenarnya jasad I Gusti Ketut Je...
Ken & Cat (END) By ...

Historical Fiction

7.2M 765K 53
Catrionna Arches dipaksa menikah dengan jenderal militer kerajaan, Kenard Gilson. Perjodohan yang telah dirancang sejak lama oleh kedua ayah mereka...