You Are My Morning Glory

By KeiWinset

70.9K 11.1K 912

Umumnya, perempuan yang akan mengejar laki-laki untuk meminta pertanggungjawaban. Tapi, berkah atau musibah s... More

Blurb
KAROS PUBLISHER PROUDLY PRESENT: THE FLOWERS SERIES
01. Lelaki Serupa Legolas
02. Nikahi Aku
03. Jangan Panggil Aku 'Dek'
04. Cuma Kamu Yang Bisa
05. Pacaran Dulu
06. Ajak Aku ke Rumahmu
07. Bertemu Ayah Arcano
08. Nikah Kontrak?
09. Bimbang
10. Cano Sayang
11. I'll stay
12. Ayo, Menikahlah Denganku
13. Morning Glory
15. Tangled
16. Sin
17. Di sini, bersamaku
18. Luka itu masih ada
19. Ayo pulang
20. Tell Me Where it hurts
21. Broken Inside
22. Feeling Guilty
23. It Hurts
24. Aku dan Mama
25. A Cruel World
26. Ajak Aku
27. Ayo Pergi
28. Gelas Kaca
29. Pamit (End)

14. In Time

1.9K 432 32
By KeiWinset

"Morning Glory, kenapa bisa diartikan harapan baru?" tanyaku.

"Mau kuceritakan?" Ia menawarkan.

"Tentu, ceritakan padaku tentang bunga ini," pintaku seraya menatap pria yang duduk di sisiku.

Ia tersenyum dan dengan cepat binar itu hadir di kedua matanya. "Tentu," jawabnya antusias. Ia meraih pinggangku dan membawaku duduk di pangkuannya. Mengecup bahuku lembut, lalu mulai bercerita.

"Bunga ini hanya akan mekar pada saat pagi hari mulai pukul lima hingga pukul delapan."

"Cuma sebentar," timpalku.

"Tumbuhan annual, artinya jenis tumbuhan yang berumur pendek, umurnya kurang lebih satu tahun saja."

"Kasihan sekali." Tanpa sadar aku bergumam.

Terdengar Arcano terkekeh lirih. "Jangan khawatir, walau pesonanya tak lama, Ia akan mekar silih berganti dengan bakal bunga yang baru setiap harinya. Mungkin itu yang memberikan makna harapan baru. Kata 'pagi' menyimpan segudang makna yang mengagungkan dalam hal kehidupan. Pagi merupakan awal munculnya pancaran sinar mentari, pertanda adanya kehidupan di bumi. Pagi adalah awal yang menyegarkan dan mendamaikan hati dan awal kita memulai segala aktivitas di dunia.

Begitu besarnya makna dan harapan yang terkandung dalam setiap pesona bunga Morning Glory yang bermekaran di pagi hari. Mekar silih berganti, menyematkan setiap harapan baru."

Aku tersenyum dan menatap kembali pria di sisiku dengan lembut. "Pinter banget merangkai kata, siapa yang ngajari?"

"Ibu." Ia tertawa.

Dan seketika aku tersenyum hambar. Manggut-manggut, aku berujar lagi, "Masih sering mengobrol dengannya ya?"

Ia mengangguk tanpa ragu. "Semalam aku nggak bisa tidur. Jadi aku ke kamar ibu dan mengobrol dengannya nyaris sampai jam tiga pagi. Aku menceritakan banyak hal padanya. Termasuk tentang kamu." Senyumnya mengembang.

"Apa dia menyukaiku?"

Ia mengangguk.

"Syukurlah." Kucubit pipinya pelan lalu kembali berujar. "Nanti, kalau kelak kita sudah menikah, misal kamu merasa nggak bisa tidur, bangunkan aku, ya. Mengobrol saja denganku. Aku akan dengan senang hati menemanimu semalaman."

Tatapan Arcano dalam, masih saja terkesan kelam. Sebelum ia sempat berkata-kata lagi, aku buru-buru memeluknya erat. "Kamu sudah berjanji untuk menjadikanku teman berbagi. Oke? Jadi apapun yang ingin ceritakan, ceritakan saja padaku," bisikku.

Pria itu tak menjawab. Aku hanya sempat merasakan anggukan kepalanya yang samar.

Mari kita lakukan ini pelan-pelan, Arcano Sayang ...

***

Setelah dari rumah Arcano, aku segera menuju studio foto. Mengenakan kaos oblong dan celana chino miliknya, aku ke sana naik taksi. Menolak tawaran Arcano dan juga ayahnya untuk diantarkan.

Pak Herry mengatakan proses lamaran dan juga pernikahan akan dilakukan secepatnya. Ia janji besok akan berkunjung untuk menemui Papa dan Mama. Dan aku benar-benar tak sabar ingin melihat reaksi mereka.

"Wow." Itu kata pertama yang Mbak Susan lontarkan ketika menyaksikan penampilanku. Sesungguhnya, ini pertama kalinya aku berdandan seperti ini. Biasanya celana jeans ketat dipadu kaos lengan pendek yang tak kalah ketat. "Penampilan yang lebih kasual, santai, dan tetap cantik kayak biasanya." Ia memuji.

Aku tersenyum sembari mengangkat bahu.

"Jadi curiga, jangan-jangan semalam kamu nggak pulang ke rumah. Yang kamu pake mirip banget sama baju cowok." Mbak Susan melanjutkan.

Aku menatap perempuan itu, lalu tergelak. Dan ia tahu bahwa itu adalah jawaban 'ya' untuk dugaan yang barusan ia lontarkan. "Dengan Mas Legolas itu?"

Kali ini mengangguk tanpa ragu. Mbak Susan yang tengah duduk di balik komputer menatapku dengan penuh selidik. "Serius?"

"Yup."

"Maksudku, ini artinya hubungan kalian serius?"

"Yup." Aku kembali mengulang jawaban.

"Dan ... jangan bilang kalau kamu berencana menikah dengannya dalam waktu dekat ini?"

"Why not?" Aku bertanya balik.

Mbak Susan bangkit, menarik kursi dan membawa mendekat lalu mendudukinya. Kemudian, ia menatapku dengan serius. "Ge, ini bukan karena Mamamu ingin agar kamu cepat-cepat cari suami, kan? Bukan karena kamu dikejar umur, kan? Sampai-sampai kamu memaksakan diri untuk menjalin hubungan buru-buru dan berencana menikah dalam waktu dekat?"

Aku tak menjawab cecaran kalimat yang Mbak Susan ucapkan. Lagipula, mau jawab apa? Toh, sebagian prasangkanya benar. Bahwa aku memang buru-buru ingin mendapat suami, demi Mama, demi umur yang sudah nggak lagi muda, dan utamanya, demi bisa segera keluar dari rumah.

"Jika memang begitu, please don't. Jangan lakukan itu, Ge. Menikahlah jika kamu sudah siap dan menemukan orang yang tepat, bukan karena kamu sedang dikejar target. Menikah di usia tiga puluh itu nggak masalah. Memulai kehidupan rumah tangga di usia lebih dari itu pun, no problem. Bahkan punya anak di usia empat puluh pun, masih mungkin. Don't let people rush you with their timelines. It's your own life." Perempuan itu berujar bijak. "Bahkan yang nggak memutuskan menikah selamanya pun, ada. Lagipula, pernikahan itu bukan satu-satunya indikator pencapaian kesuksesan manusia." Ia kembali menambahkan.

Aku tersenyum kecut lalu menopang dagu dengan telapak tangan. "Menikah jika siap, punya anak jika pengen, nggak pun nggak masalah. Di negara plus enam dua, bisakah hidup sesantai itu? Sadly, not. People always keep commenting at everything without any reason, walau itu nggak bakal nambah saldo di rekening mereka. Nikah muda diributin, nikah telat diomongin, nggak nikah apalagi. Pun soal anak, karir, apa saja." Aku terkekeh. "Tapi ya ... mau gimana lagi." Aku mengangkat bahu, pasrah.

"Aku hanya nggak ingin kamu terjebak dengan sebuah pernikahan yang nggak bahagia, Ge. Aku dan Mas Oky agak trauma dengan beberapa pria yang dekat sama kamu dan ... begitulah. Percayalah, kalau sekarang dia ada di sini, pasti dia juga bakal ngasih nasehat yang kayak tadi." Mbak Susan kembali berujar.

Aku tersenyum lagi dan mengangguk. "Terima kasih, Mbak. Aku paham, kok. Mbak Susan dan Mas Oky adalah saudara yang luar biasa di sini." Kalimatku terjeda, mencoba menimang sejenak karena ragu akan kalimat yang ingin kuucapkan.

"Mbak, tadinya aku juga berpikir kalau misal aku memutuskan menikah, tak lain dan tak bukan hanyalah karena keinginan Mama dan juga umurku yang nggak lagi muda. Tapi, nyatanya nggak begitu. Sekarang, aku menemukan pria yang baik, yang menggemaskan, yang ingin kulihat sosoknya manakala aku hendak tidur, ataupun ketika aku membuka mata di pagi harinya. Pria yang membuatku senyum-senyum senewen layaknya gadis remaja yang tengah kasmaran, dan ... pria yang mungkin saja akan membuatku sering-sering membeli Hair Dryer dan ...." Mbak Susan keburu tergelak.

"Dan mungkin saja kami akan tetap saling rebutan pengering rambut berikut catokannya." Kali ini aku ikut terbahak, disusul kembali gelak tawa Mbak Susan.

"Kali ini ... aku ingin segalanya berjalan sebagaimana mestinya, Mbak. Dia, atau mungkin tidak sama sekali." Aku kembali berujar tanpa ragu.

Mbak Susan menatapku dalam. "Kedua matamu berbinar, Ge. Kamu bahagia banget kayaknya."

Dan aku hanya mampu mengangguk haru. Memang seperti itulah diriku yang sekarang.

"Aku akan tetap mendoakan yang terbaik untukmu, Ge."

"Terima kasih banyak ya, Mbak."

Perempuan itu menepuk pundakku lembut sebelum akhirnya kami menyudahi obrolan serius di pagi hari ini.

"Ngomong-ngomong, Mas Oky kemana?" tanyaku.

"Salah satu anaknya ada acara sekolah. Jadi ia dan Mbak Indah memutuskan untuk menemaninya." Ia menjawab. "Co-parenting yang luar biasa, ya? Walau sudah resmi bercerai, mereka tetap bahu membahu untuk melakukan pengasuhan kepada anak, berbagi tanggung jawab yang sama. Urusan anak tetap nomor satu. Lagipula memang seharusnya begitu, kan? Bikinnya bareng, tanggung jawabnya juga bareng."

Aku tertawa lirih mendengar kalimat yang terakhir. Betul. Bikinnya bareng, tanggung jawabnya juga bareng.

"Sungguh, jadi orang tua itu memang nggak mudah." Mbak Susan kembali ngedumel sembari menyeret kembali kursi yang tadinya ia duduki ke tempatnya semula.

Dan kali ini aku tercenung.

***

Aku melangkah perlahan memasuki halaman. Pukul delapan malam lebih sedikit. Ada orang di ruang tamu dan mobil yang kukenal terparkir di luar halaman. Pasti Aditya dan Amel di sana. Sementara Papa dan Mama duduk-duduk di teras samping, mengobrol dengan intens. Manakala Mama yang bicara, Papa akan memperhatikan dengan seksama. Pun begitu sebaliknya.

Walau hubunganku dengan Mama terjalin rumit, harus diakui bahwa hubungan Papa dan Mama senantiasa harmonis. Terpaut jarak umur yang lumayan, Papa lebih tua 15 tahun, tak menjadikan mereka sebagai pasangan yang timpang. Tak pernah terlihat mereka bertengkar dengan hebat. Manakala terlibat adu argumen yang lumayan sengit, akan selalu ada salah satu pihak yang mampu mengendalikan diri, menenangkan situasi. Mama yang lebih sering meledak-ledak, ada Papa yang akan mengimbangi dengan kesabaran yang luar biasa.

Pasangan yang saling mengisi dan bersinergi.

"Ingat pulang rupanya?" Mama menyapa ketus ketika menyadari kedatanganku. Karena sudah menduga akan mendapatkan sambutan seperti ini, maka emosiku tak terpancing.

"Tidur di mana semalam?"

"Teman." Aku menjawab pendek sembari mendekati mereka. "Ada yang mau kubicarakan sama Papa dan Mama. Mau ngomong di sini apa di dalam?" tanyaku.

Mama menatapku was-was. "Bikin masalah lagi? Bikin onar lagi? Ribut? Berantem?" Ia menerka. Papa menepuk paha Mama lembut. "Mama, tolonglah ... Ada Aditya tuh di dalam." Ia memperingatkan.

"Enggak." Aku menjawab pertanyaan Mama.

"Terus soal apa? Penting?"

"Enggak juga." Aku menjawab lagi.

"Ya udah, ngomong sekarang aja. Setelah itu cepat masuk sana. Makan." Mama memberi perintah.

Jika ada hal kecil yang membuatku tersentuh tentang sosok Mama, mungkin hanya ini. Seburuk apapun hubungan kami, walau ia mencercaku, memarahiku, bahkan ketika kami adu mulut, Mama tak pernah berhenti membuatkan makanan lezat untukku. Kami sering tak bertegur sapa nyaris selama beberapa hari manakala habis bertengkar hebat, tapi akan senantiasa menyiapkan makan untukku. Pagi, siang, malam, tak terlewat. Terhidang rapi di meja, entah makanan itu kusantap atau tidak.

"Aku mau nikah. Besok ia dan orang tuanya akan datang ke sini untuk melamar sekaligus membicarakan pernikahan." Aku berujar kemudian.

Dua orang di depanku itu melongo. "Apa?" Mama tersentak. Papa tak kalah kaget. "Sebentar, ini..." Ia buru-buru bangkit menghampiriku.

"Serius, Pa." Aku menyahut kalimat Papa yang menggantung.

"Ge, kamu nggak hamil, kan?" tanya Mama tiba-tiba. Ia juga ikut bangkit dengan raut muka campur aduk. Mendengar pertanyaannya, aku terkekeh sinis. "Di antara semua pertanyaan, kenapa itu yang Mama pikirkan?" tanyaku ketus.

"Karena kamu mendadak banget, Ge." Ia kembali protes.

Aku kembali tertawa getir. "Terserahlah. Yang penting aku sudah bilang kalau aku mau nikah," ucapku lagi. Melangkah memasuki ruang tamu, terlihat Amel dan Aditya sudah berdiri di ambang pintu. Sepertinya mereka beranjak karena mendengar sedikit keributanku dengan Mama.

"Kamu sudah dengar, kan? Aku sudah dapat calon suami. Sekarang kamu boleh lega." Aku menatap Amel dengan dalam. Dan gadis itu tak menjawab. Pria di sisinya menatapku dengan wajah datar, namun matanya berkilat. Aku menyibakkan rambut lalu berujar padanya, "Besok kamu juga boleh datang ke acara lamaranku," ucapku jutek, lalu melenggang santai menyusuri ruang tamu untuk menuju kamar.

***

Bersambung ...

Terima kasih untuk yang masih betah mampir. Biar lambat, asal tamat yes. Wkwkwkwk...

Continue Reading

You'll Also Like

392K 42.7K 22
Sinopsis Saling percaya dan menjaga adalah sebuah komitmen rumah tangga yang tentu saja harus hidup dalam hati tiap orang yang sudah mendapatkan gela...
25.4K 3.2K 22
Hubungan haobin itu ga jelas, tiap ketemu ada aja bahan gelud nya. Tapi lebih ga jelas lagi sifat shanbin setelah minum cairan warna pink yang di kas...
36.5K 7K 14
felix nemu buku di ruang arsip kantor barunya. buku jurnal dengan ukiran cantik berwarna biru laut felix yang memang hobi membuat jurnal pada akhirny...
900K 33.2K 18
Aku, jatuh cinta dengan adik mantan kekasihku yang usianya sebelas tahun lebih muda. Perempuan yang gengsinya selangit, dan membuat hidup tenangku be...