The Fate of Us | Jaerosè

By jaeandje

270K 22.9K 3.9K

Bagaimana jadinya apabila seorang Ketua Dewan Rumah Sakit secara tiba-tiba 'melamar' salah satu dokter reside... More

PROLOGUE
01
02
03
04
05
06
07
08
09
10
11
12
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31

13

8.1K 660 93
By jaeandje

Haiii, how have you been? Masih mau setia nunggu cerita ini terus kan? thank you🥺

Tbh gue lagi preparing cerita baru yang bakal gue rilis kalo cerita yang ini udah tamat, cuma ngasih tau doang sih wkwk

Anyway jangan lupa vote & komennya yaa, serius gue suka banget liat semua komenan kalian semua ahahah

Enjoy!

Ini kenapa pada curiga sama Jisya?😭

Part ini bakal menjelaskan kecurigaan kalian bener atau engga, so be ready.

Oya, warning. Untuk nama-nama pegawai yang muncul nanti ngga bakal ada roleplayer/visualisasinya karena perannya juga tidak begitu penting.

sorry if there any typo and this is a very looooong part.






Tangga demi tangga dilewati, Jehan menuruni sambil menyisir rambut hitamnya menggunakan tangannya. Matanya mengedar ke penjuru area rumah dan mendapatinya kosong seolah tidak berpenghuni.

Maklum karena jam masih menunjukkan pukul enam pagi, mungkin semua orang masih dalam tidur nyenyaknya. Hanya saja tidak untuk Rasel.

Perempuan itu sedang sibuk dengan urusannya sendiri di pagi-pagi begini. Jehan justru terheran soalnya hari ini merupakan hari libur sebagaimana yang Rasel katakan kemarin malam.

"Lo ngapain bangun pagi-pagi?" tanya Jehan penasaran.

"Emang pada dasarnya perempuan itu harus bangun pagi tau, apalagi kalo udah jadi istri" jawab perempuan itu.

Rasel menoleh lalu tersenyum merekah kala ia melihat kedatangan Jehan, "Tumben lo bangun pagi?!"

"Gue kebangun gara-gara alarm lo" cetus lelaki itu seraya mengambil botol mineral dari dalam kulkas.

"Berisik banget" ketusnya. Rasel hanya terkekeh tanpa merasa bersalah.

"Berhubung lo udah bangun, ayo temenin gue!" ucap Rasel yang sudah berdiri di samping Jehan.

Jehan mengernyit bingung sambil meneguk air mineral dingin di genggamannya. "Kemana?"

"Lari pagi" jawabnya.

"Gue baru tau lo suka olahraga, sejak kapan?" Jehan melipat kedua tangannya di depan dada sembari menyandarkan tubuhnya pada kulkas.

"Kepo amat sih, buruan temeniinn. Emangnya lo mau istri lo yang cantik ini digenitin sama orang asing?"

Jehan melihat istrinya dari atas sampai bawah lalu setelahnya menatap Rasel dengan datar. "Liat baju lo sekarang-- Kekurangan bahan apa gimana?"

"Ganti dulu sana" titahnya.

Rasel mengernyit seraya menunduk untuk melihat apakah ada yang salah dengan bajunya. Saat ia berpikir bahwa setelan lari paginya ini tidak ada masalah, Rasel menggeleng keras.

"Ngga mau, males. Udah ini aja ayo buruaan" rengek Rasel sambil menarik lengan kekar sang suami.

"Ganti bajunya, Raselia. Itu terbuka banget lo pikir gue bakal ngizinin lo keluar make baju gini?"

"Ya Tuhan, Je. Baju lari itu emang rata-rata kaya gini tau?!" sentak Rasel karena sifatnya yang keras kepala.

Jehan menatap Rasel dengan tatapan yang super datar. Wajah lelaki itu tidak berekspresi sama sekali, "Ganti atau ngga ada lari pagi hari ini?"

Rasel cemberut, tidak suka dengan ancaman yang Jehan berikan. Ia berdecak lalu setelahnya pergi menuju kamar menuruti perintah Jehan dengan hati yang sudah diselimuti rasa kesal.

"Mainnya ngancem--" gerutu Rasel diselangkahan pada tangga.

Jehan tersenyum kecil. "Yang tertutup, Sel, gue ngga mau tau!"

"IYA, TUAN, IYAAA" balasnya berteriak sekaligus menggeram sebal.

-

Pasangan suami istri yang selalu menjadi topik perhatian terutama bagi setiap media, sedang menghabiskan waktu mereka dengan olahraga lari pagi di sekitaran perumahan elit mereka.

Jarang sekali mereka menampakkan diri di area perumahan maka aktivitas pasangan ini di pagi hari ini menjadi perbincangan penghuni lain.

Meskipun bukan akhir minggu, perumahan elit yang mereka tinggali selalu ramai setiap paginya seolah mereka semua tidak ada agenda bekerja.

Bagi Jehan jogging itu hal yang biasa. Malah ia sewaktu dulu memang rutin melakukannya bersama Marven atau Yaslan atau Ezzra, namun akhir-akhir ini ia cukup sulit meluangkan waktu untuk melakukan rutinitas sehatnya.

Ya seperti yang kalian tau, kehidupan beberapa waktu terakhir sungguh kacau dan mengenaskan.

"Je, bentar dulu. C-cape nih" sahut seorang wanita yang membungkuk di bekakang Jehan sedang mengatur napasnya yang terengah.

Jehan berhenti lalu membalikkan tubuhnya dan tersenyum melihat wanita itu yang sepertinya sangat kelelahan. Ia melangkah mendekat ke arahnya kemudian ikut membungkuk.

"Istri aku cape, hm?" goda Jehan sengaja.

Rasel mendesis dan memberikan tatapan sinis karena ia tidak terbiasa dengan penggunaan kata 'aku'.

"Berisik"

"Galak" gumam Jehan sambil terkekeh, tangannya sembari mengelus lembut kepala Rasel.

"Kita jogging baru duapuluh menit loh, masa gitu doang udah cape?"

Rasel sontak tegakkan tubuhnya, "Lo ngga ngizinin gue beli minum sih kan gue hauss"

"Jahat banget masa beli minum aja ngga boleh? Lo mau bikin gue dehidrasi yaaa??"

Jehan tertawa sambil mengacak-acak rambut Rasel dengan gemasnya. "Yaudah ayo beli"

"TELAT AH!" jawab Rasel menggeram kesal. "Gue ngga sanggup kalo balik lagi, jauh banget"

"Mau gue gendong?" tanya Jehan yang langsung diberi gelengan oleh istrinya.

"Jadi maunya apa?"

Tak diduga Rasel malah menggandeng lengan Jehan dan menarik lelaki itu kembali berjalan. "Pulang aja deh, lo bentar lagi ada meeting kan?"

Bibir Jehan tertarik untuk membuat senyuman manis, ia melepaskan gandengan Rasel lalu ia berjongkok di depan Rasel sehingga wanita itu kebingungan.

"Sini naik, katanya cape?" ucap Jehan seraya menepuk-nepuk punggungnya.

Rasel menuruti ucapan Jehan dengan menaiki punggung suaminya secara perlahan supaya ia tidak menyakiti lelaki itu. "Baik banget suami guee--"

Kedua tangan mulus putih Rasel melingkar pada leher Jehan, kemudian ia menyimpan dagunya di bahu kanan suaminya itu.

Jehan menahan tubuh kecil Rasel dengan cara menyelipkan tangannya di belakang lutut sang istri. Setelah dirasa nyaman dengan posisi itu, Jehan melanjutkan jalannya menuju rumahnya yang tidak jauh dari titik mereka saat ini.

"Ngga berat kan, Je? Ngga dong ya" kekeh Rasel.

"No comment, ntar lo ngambek" balas Jehan yang langsung dihadiahi pukulan.

"Secara ngga langsung lo mau bilang gue berat kan?! Ish" dengus Rasel.

"Gue ngga bilang apa-apa loh, Sel" ujarnya.

Rasel memilih untuk tidak melanjutkan topik pembicaraannya yang itu, ia memejamkan kedua matanya menikmati angin pagi yang terasa amat sejuk dan segar.

Sinar matahari yang cerah dan juga menyehatkan serta kicauan burung menghiasi pagi hari ini. Tentunya Rasel manfaatkan dengan baik yang caranya bersenang-senang bersama sang suami.

Ya sebenarnya hanya berolahraga santai saja, tapi Rasel suka.

"Lo tau ngga? Jalan pagi atau jogging bareng kaya sekarang itu salah satu impian gue ketika gue berumah tangga" celetuk Jehan yang entah bawaan darimana tiba-tiba ingin berbagi cerita.

"Dulu gue seringnya jogging bareng Marven atau Ezzra dan ya lo tau sendiri rasanya biasa aja, like nothing special. So I thought if I did a jog with the person I love, it would be different"

"And it is feels different" ucapnya sambil tersenyum.

Rasel sontak membuka matanya lalu menoleh ke samping. Untuk beberapa detik mulanya, Rasel takjub dengan pemandangan di hadapan dia. Entah mengapa Rasel merasa Jehan jauh lebih tampan apabila dilihat dari samping.

Pelipisnya yang sudah banjir keringat, bulu matanya yang cukup lentik, alis tebalnya, hidung mancungnya, dan rahangnya yang begitu tajam membuat lelaki itu nyaris sempurna.

Tuhan menciptakannya dengan baik sampai Rasel merasa sangat beruntung dipertemukan lelaki yang nyaris sempurna itu bahkan menjadikannya sebagai miliknya.

Pokoknya Jehan punya Rasel seorang.

Jujur, Rasel tidak mau berbagi keindahan pari purna yang Jehan punya dan selalu ia pancarkan. Tetapi ia tidak boleh egois, karena suaminya itu termasuk orang penting di pekerjaannya.

"Udah puas ngeliatinnya?"

Lamunan Rasel langsung buyar detik itu juga. Ia tidak sadar ternyata saat ini Jehan sedang menatapinya.

Namun tidak seperti biasanya dimana Rasel pasti akan salah tingkah kali ini wanita itu tidak merasa malu diperhatikan begitu oleh lelaki di depannya, justru ia malah melebarkan senyumnya.

"Gue pengen egois sebenernya, Je. Gue ngga mau orang-orang liat kegantengan lo ini tapi--"

Jehan kembali berjalan sambil menunggu Rasel melanjutkan ucapannya. Matanya lurus ke depan sementar telinganya fokus terhadap kalimat yang akan Rasel lontarkan nantinya.

"Sayangnya sebelum gue kenal lo, lo udah tenar duluan jadinya banyak yang udah tau muka ganteng lo," lanjutnya dengan nada sedikit lesu.

"Gapapa deh, orang-orang boleh ngagumin lo tapi kalo yang ini--"

Cup

"Cuma gue doang yang boleh, oke?!"

Langkah kaki Jehan spontan berhenti ketika Rasel memberi kecupan singkat di bagian pipi kanannya.

Ia menoleh sebentar, melihat istrinya tersenyum senang bercampur bangga. Sangat mustahil jika Jehan bisa menahan dirinya untuk tidak tersenyum.

Sepertinya Rasel sudah bukan wanita pemalu lagi ya? Buktinya ia sudah mulai berani menciumnya di depan umum meskipun pada pipinya, tetapi itu bisa dibilang kemajuan yang bagus bukan?

Jehan suka Rasel yang begini. Tidak lagi sungkan atau malu untuk memanjakan suaminya sendiri.

Kepalanya mengangguk kecil seraya melanjutkan langkah kaki besarnya, "Iya cuma lo yang boleh"

"Lagi coba,"

"Ngga mau, sekali aja cukup" tolak Rasel sembari terkikik.

"Oh ya, tadi lo bilang kalo salah satu impian lo jogging bareng sama orang yang lo cintai karena lo pikir rasanya bakalan beda dan ternyata emang beda, jadi maksudnya orang yang lo cintai itu gue nih?"

Pertanyaan yang satu itu berhasil membuat Jehan terbungkam dan langkahnya memelan seiring pikirannya bergumul ria apa ia dapat mengiyakan pertanyaan tersebut atau tidak.

Cinta. Hal yang sederhana namun memiliki jutaan makna sehingga mengatakan cinta itu tidak bisa sekehendaknya.

Bisa dibilang mengatakan cinta merupakan suatu hal yang sakral karena cinta adalah satu ekspresif yang menggambarkan perasaan seseorang, sementara semua yang menyangkut perasaan tidak boleh di permainkan.

Katanya untuk bisa tau apakah kita mencintai seseorang atau tidak, harus dengan melalui banyak kenangan atau saling memahami satu sama lain. Tapi ada juga yang berpendapat beda sehingga bagi Jehan sendiri sulit untuk mengetahuinya.

Mencintai satu sama lain? Sejujurnya Jehan tidak tau karena hampir enam bulan menikah, mereka berdua tidak pernah menyinggung soal cinta.

Bahkan Jehan masih belum memahami definisi cinta yang sesungguhnya.

Sayang sekali padahal selama enam bulan ini semua sikap dan perlakuan Jehan terhadap Rasel maupun sebaliknya sudah lebih dari cukup untuk memaknakan arti dari cinta.

Jehan mengambil napasnya dalam-dalam, "Gue sayang lo, Sel"

"Gue juga" timpal Rasel langsung.

Tidak tau apa yang lucu namun saat itu juga mereka tertawa bersamaan seraya masuk ke area pekarangan rumah setelah pintu pagar dibukakan oleh penjaga keamanan.

Kepulangan pasangan suami istri itu langsung dihampiri oleh sekretaris pribadi Jehan yang telah menunggu di depan pintu utama bersama tiga dari banyaknya jagapati yang Jehan punya.

Rasel tersenyum dan melambai ke arah Marven. "Haii, Ven!"

Tentunya Marven membalas membalas senyum manis nan ramah istri majikannya. "Selamat pagi, Bu Rasel"

"Kok masih manggil gue 'bu' sih?! Kan gue udah bilang panggil nama ajaa--" ujar Rasel tak suka.

Marven terkekeh kecil, "Ya gimana ya, meskipun lo sama gue itu seumuran tapi karena lo istri dari atasan gue otomatis gue anggap lo sebagai atasan gue juga"

"Tapi lo sama Jehan bukan sebatas atasan bawahan doang kan?" Rasel melirik Jehan sebentar kemudian berubah menjadi menoleh seluruhnya.

"Lo sama Marven temenan dari SMA, berarti gue boleh dong anggep sekretaris lo sebagai temen gue juga??"

Beberapa detik Jehan menatap Marven kemudian ia berpaling hingga kini dirinya saling beradu tatap dengan sang istri.

"Gue ngga punya hak buat ngelarang lo temenan sama siapa aja" katanya.

Rasel mengulas senyuman lebar, salah satu tangannya bergerak mengelus lembut puncak kepala Jehan dan lengkungan tipis terulas di bibir lelaki itu.

"Mauu turun dong, Je" pinta Rasel yang langsung diladeni oleh lelaki yang menggendongnya.

Entah apa alasan pastinya namun Marven dibuat tersenyum oleh pasangan di hadapannya. Bukan apa-apa, tetapi Marven bisa merasakan atmosfer yang menyejukkan begitu melihat sorot pandang mereka untuk satu sama lain.

Katakan saja alay, namun ketahuilah bagi Marven ini adalah kemajuan yang sangat baik. Mengingat hal yang satu ini kali pertamanya melihat Jehan memancarkan sorot hangat dari kedua matanya.

Marven malah ingin mengabadikan momen langka ini, tapi sepertinya tidak mungkin karena takutnya Jehan berpikir yang tidak-tidak.

Sejujurnya menyaksikan secara langsung juga sudah cukup baginya.

"Rapat pagi ini udah gue undur sejam tapi gue dapet kabar, semua anggota divisi udah siap termasuk Jendra sama Natalie"

"Yang gue suruh gimana? udah kan?"

"Gue udah beli sesuai pesanan lo dan udah gue simpen di minibar" jawab Marven.

Jehan mengangguk paham, lalu ia menepuk bahu sekretaris sekaligus sahabatnya. "Thanks, Ven"

Setelah itu Jehan menengok ke arah Rasel yang tengah meregangkan tubuhnya. Tangan kekarnya mengapit pipi Rasel dan menariknya lembut agar wanita itu menatapnya.

"Tadi lo pengen bubur kan? Tuh ada di dalem, makan gih" ucap Jehan yang langsung membuat mata Rasel berbinar senang.

"SERIUS?!"

"Iya"

Dengan perasaan senang dan ekspresi bahagia, Rasel langsung berlari masuk ke dalam rumah dan mencari makanan yang Jehan sebut tadi.

Jehan dan Marven tersenyum kecil melihatnya, "Bocah banget" gumam Jehan.

"Hari ini Rasel libur katanya, gue ngga mau dia sendirian"

"Tenang, bos. Pengawal yang ada disini kan orang-orang terlatih bokap lo, mereka pasti bisa ngejaga Rasel" balas Marven seraya merangkul Jehan untuk menjauhkan pikiran negatif lelaki itu.

"Bukan itu maksud gue. Lo harus cari cara biar Rasel ngga kesepian di rumah--" sentak Jehan berujung memberikan titah.

Marven menatap Jehan dengan tatapan aneh tak lama kemudian ia berdecih geli. "Sejak kapan lo jadi perhatian kaya gini hah?"

"Gue mandi dulu" ucap Jehan sengaja mengalihkan pembicaraan dan menghindari Marven yang sudah pasti akan menggodanya.

Saat itu juga Jehan berjalan masuk ke dalam rumah lalu berencana langsung membersihkan diri karena sebagai pimpinan rapat ia tidak bisa menunda rapat lebih lama lagi.

Tentu saja Marven mengikuti dari belakang sambil terkekeh geli.

Di ruang tengah saja mereka berdua bisa melihat Rasel sedang menyantap sarapan yang disiapkan oleh Marven atas suruhan Jehan.

Jehan menggelengkan kepalanya tetap berjalan tanpa berencana menghampiri istrinya. "Temenin dia, Ven. Tapi jangan macem-macem awas aja lo"

"Kalo pawangnya modelan lo mana berani gue macem-macem" kekeh Marven.

Seringai kecil timbul di wajah Jehan begitu dia mendengar jawaban Marven. Langkahnya yang hendak menaiki tangga terhenti lagi ketika dia mendengar sebuah panggilan untuknya.

"Eh Jehan bentaarr--"

Mau tidak mau Jehan membalikkan badannya sejenak lalu alisnya bertaut ketika mendengar Rasel berucap tidak jelas karena mulutnya lagi mengunyah makanan.

"Ditelen dulu makanannya baru ngomong" ujar Jehan memperingati dengan raut sebal, ia tidak mau wanita itu berujung tersedak nantinya.

Rasel sontak menyengir setelah menelan seluruh makanan di mulutnya. "Gue boleh ikut ke kantor lo?"

"Ikut?"

"Please???" Rasel memberikan tatapan memohon kepada Jehan, berharap lelaki itu luluh.

Jehan menyandarkan diri pada gagang pegangan tangga dengan tangannya melipat di depan dada. Ia berlagak berpikir, mengiyakan permintaannya apakah ide yang bagus atau tidak.

Hanya saja perasaan Jehan tidak enak saat ini seakan sesuatu yang kurang baik akan terjadi.

"Je, lo kan tau gue libur hari ini terus lo tega gitu ngebiarin gue kesepian disini?"

"Hari ini gue ada rapat dan kemungkinan bakalan lama, jadi gue ngga akan bisa nemenin lo disana, Marven juga ngga bisa karena dia harus ikut gue rapat" kata Jehan.

"Gue ngga minta lo buat temenin gue, Jehan" Rasel mengerutkan bibir bawahnya. "Pleasee, boleh ikut yaa?" pintanya sekali lagi.

"Janji kok ngga akan ganggu waktu lo rapat" Tangannya mengacung dan membentuk angka dua disertai cengiran lebarnya.

Jehan memandangi wajah Rasel cukup lama yang tak lama kemudian ia mengangguk. Hal ini membuat Rasel refleks berjingkrak senang dan terlihat sekali wanita itu kesenangan.

"Yaudah cepetan mandi sana"

"Lo ngga akan mandi?" pertanyaan bodoh ini keluar dari mulut Rasel.

Jehan terdiam namun selang beberapa detik, ia mengulas senyuman miring dan memberikan sorot menggoda.

"Kebetulan gue juga mau mandi, gimana kalo bareng?" tanya Jehan dengan suara beratnya.

Marven spontan menutup dan mengusap kedua telinganya. Dirinya merasa tidak nyaman juga tidak terbiasa dengan tutur kata Jehan yang clingy seperti itu.

"Ngaco banget kalo ngomong--" Rasel memberi desisan kesal serta tatapan yang cukup sinis.

"Lo mandi di kamar tamu pokoknya" tambahnya yang langsung melenggang pergi meninggalkan Jehan yang sedang terkekeh geli.

°°°

Jehan berjalan ke arah kursi duduknya dengan penuh wibawa bersamaan dengan Marven di sampingnya.

Sudah menjadi keharusan begitu Jehan masuk ke ruang rapat ini, semua karyawan lebih tepatnya kepala dari setiap divisi disana secara kompak berdiri untuk sekedar menyapa dan menyambut kedatangan atasan mereka.

Dari sekian karyawan yang ada diantaranya ialah Jendra dan Natalie. Topik bahasan rapat kali ini menyangkut divisi Jendra serta ada yang harus Natalie diskusikan mengenai satu proyek hasil kolaborasi perusahaan Jehan dengan perusahaa Natalie.

Marven menyerahkan beberapa map yang berisi beragam dokumen sebelum ia mendudukan diri pada kursi di dekat Jehan.

"Silakan, langsung dimulai saja" ucap Jehan sembari membaca berkas di hadapannya.

Mendengar arahan darinya, kepala divisi bagian keuangan berdiri lebih dulu sebagaimana urutan pembahasan rapat kali ini dimulai dengan divisi mereka.

"Beberapa bulan yang lalu terjadi penundaan pengiriman supply obat dari Amerika. Meskipun hanya ditunda 3 hari, tapi hal itu sangat berpengaruh khususnya untuk divisi keuangan"

"Karena pihak rumah sakit Hadvent menghubungi divisi humas bahwa mereka membutuhkan tiga jenis obat dengan kondisi darurat sehingga kami memutuskan untuk mempercepat pengiriman yang berakibat biaya jasa pengiriman meningkat menjadi tigakali lipatnya"

"Waktu itu kami menanggung resiko yang sangat besar sehingga perlu berdiskusi dengan divisi manajemen risiko untuk mencari solusi terbaik"

"Kalian sudah menemukan cara untuk mengcover pengeluaran yang melebihi batas itu?" tanya Jehan

"Sudah, Pak"

Jehan mengangkat kepalanya dan menatap si kepala divisi keuangan yang ia kenal bernama, Rendra Hatama. "Laporannya saya terima. Kalau begitu ada hal lain yang harus didiskusikan?"

"Tapi setau saya setelah masalah itu selesai tidak ada permasalahan lain jadi perlu saya katakan bahwa kamu sebagai kepala divisi keuangan bekerja dengan sangat baik" lanjutnya.

Anehnya pria bernama Rendra yang menjabat sebagai kepala divisi itu tidak merasa tenang ataupun gembira kala Jehan memujinya. Dia malah menundukkan kepalanya.

Justru itu membuat kening Jehan berkerut dan timbul rasa curiga. "Ada masalah apa?"

"Begini, Pak. Pengiriman supply obat dan alat teknologi untuk proyek kolaborasi dengan Bu Natalie yaitu pembangunan klinik masyarakat harus tertunda juga" katanya.

"Alasannya apa kali ini?"

Rendra, dia menelan salivanya dan mengambil napas panjang sebelum menjawab pertanyaan Jehan yang terdengar menakutkan.

"Divisi uji kualitas produk industri farmasi Jerman berhasil mendeteksi pemalsuan obat dan setelah menganalisis ulang mereka juga menemukan bahan berbahaya di dalam kandungannya" jelas Rendra sembari menayangkan sebuah powerpoint yang ia siapkan.

"Dan para investor meminta biaya ganti rugi, Pak"

Kabar yang satu ini mengejutkan semua pegawai yang ada di dalam ruangan. Mereka semua langsung mengalihkan pandangannya ke arah layar besar di depan sana.

"Pemalsuan?" Jehan tersenyum kecut sembari berdecih meremehkan.

Natalie, Jendra dan Marven menyembunyikan rasa terkejutnya akan informasi yang dijelaskan kepala divisi keuangan ketika mereka mendengar decihan Jehan.

Tidak hanya mereka bertiga, yang lainnya sengaja menutup mulut mereka juga.

"Katakan pada mereka ada kesalahan karena perusahaan kita tidak akan pernah melakukan sesuatu sejahat itu, kalian sudah puluhan tahun bekerja disini seharusnya setuju bukan?"

Jehan mengetuk meja dengan jemarinya, dilihat tampangnya sekarang melebihi dari kata santai. Seakan dia tidak menghiraukan masalah baru ini.

"Lagian saya sendiri yang menyaksikan obat-obatan dan alat-alat itu teruji klinis" lanjutnya.

Natalie spontan tersenyum miring. Apa yang di katakan Jehan barusan itu benar, masalahnya ia melihat dengan mata kepalanya sendiri kalau pria itu memang menghadiri kegiatan uji klinis jarak jauh.

Dan apa? Pemalsuan serta konsolidasi kandunga bahan? Omong kosong. Perusahaan KNG's Group maupun perusahaan Natalie sama sekali tidak punya keberanian untuk melakukan hal keji seprti itu.

"Pak, saya sarankan bapak untuk mengutamakan masalah ini sebelum ada tuntutan dari WHO dan biaya ganti rugi yang lebih besar" ucap seorang kepala divisi general affair.

"Lalu sementara waktu untuk masalah ganti rugi menurut saya tidak perlu dipedulikan dulu, nanti-"

"Tidak dipedulikan? Para investor sudah marah besar karena masalah ini, jadi lebih baik kita urusi biaya ganti rugi sebelum mereka mengadakan rapat dan menarik investasi mereka" cela Rendra tidak setuju atas saran dari kepala divisi general affair yang bernama, Fanny.

Fanny menatap Rendra, "Untuk apa membayar ganti rugi disaat kita tidak melakukan kesalahan?"

"Pak Jehan, Pak Marven dan Bu Natalie melihat sendiri setiap proses pengujian dan pemeriksaan waktu itu, tidak ada masalah. Lagipula divisi uji klinis kita pasti menyimpan salinan dokumennya" perkataan Fanny yang berhasil membungkam Rendra.

"Lalu kita bisa pakai itu sebagai bukti bahwa farmasi pusat tidak melakukan kesalahan apapun." tambahnya terdengar tegas.

Marven menoleh ke arah Jehan dan terlihat lelaki itu sedang asik memainkan pulpen. "Bisu ya lo? Ngomong sesuatu coba" bisiknya.

Tidak ada balasan darinya, lelaki itu malah tetap bermain dengan pulpen membuat Marven dibuat jengah oleh sikapnya yang kelewat santai.

"Pak Jehan, bagaimana tanggapan bapak? Dan apa yang harus kami lakukan untuk masalah ini?"

Jehan menyimpan pulpen di tangannya dengan kasar, menimbulkan rasa takut terhadap kalimat yang akan Jehan lontarkan nanti. Mereka merasa sedikit terintimidasi sekarang.

"What do you think, Nat?" Jehan menatap Natalie yang ternyata sudah menatapnya juga disertai senyuman tipis.

"It seems you have the same thoughts as me"

Natalie terkekeh dan mengangguk kecil. "We're sabotaged"

Jehan langsung memetikkan jarinya, pertanda ia satu pemikiran dengan perkataan Natalie. Tentu saja menimbulkan atmosfer kebingungan untuk semua yang ada di dalam ruangan tak terkecuali Marven dan Jendra.

"Yang memberitahu kamu tentang masalah ini orang industri farmasi Jerman?"

Rendra mengangguk mantap. "Iya, Bu"

Natalie bersenandung pelan, memicingkan kedua matanya tertuju pada layar besar di depan merek. "Apa kalian tidak merasa ada yang aneh?"

Semua yang ada disana langsung mengernyit tak paham kecuali, Jehan.

"Saya bisa memegang ucapan saya bahwa saya, Jehan, dan Marven melihat semua obat-obat dan alat-alat itu disertifikasi aman. Kalian tau sendiri proses pengiriman obat dan alat maksimal satu atau dua minggu sedangkan hari ini adalah hari keempat belas setelah sertifikasi, itu artinya sudah tidak bisa lagi ditunda."

"Seperti yang Bu Fanny bilang, divisi uji klinis kita pasti punya dokumen simpanan. Tapi maaf itu tidak akan menjamin dokumen itu bisa jadi bukti kalau nantinya WHO menuntut kita, kenapa?"

Mendengar tutur kata Natalie barusan, Jendra dan Marven spontan menyeringai. Mereka berdua baru menangkap arti tersirat dari ucapan wanita itu.

"Disaat banyak saksi mata pada pengujian waktu itu dan jelas sekali tidak ada kesalahan tapi mereka masih saja tetap memojokkan perusahaan ini---"

"Bukankah jelas ada seseorang yang berusaha menyabotase perusahaan kalian?"

Suasana di ruangan besar yang didominasi oleh warna abu terang dan furnitur sederhana namun menambah nilai elegannya sangatlah hening kala Natalie mengutarakan tanggapannya.

Natalie berdiri lalu menghela napas. "Dua minggu yang lalu Jehan masih rawat inap di rumah sakit, tapi tetap rela mengikuti tiap proses uji sertifikasi yang berlangsung sangat lama. Jadi saya tanya--"

"Kalian meragukan ucapan atasan kalian sendiri?"

Jendra melirik Natalie lalu tertawa sangat pelan agar tidak terdengar oleh yang lain, terutama orang di sampingnya.

Dari dulu, awal KNG's Group menjalin kerja sama dengan perusahaan Natalie, wanita itu tidak pernah gagal mengutarakan pendapatnya dan selalu membuat orang-orang di sekitar diam terbungkam karena perkataannya masuk akal.

Sebelas duabelas dengan sang kakak kedua sebenarnya, mereka memiliki karakter yang tak jauh berbeda makanya keduanya bisa bekerja sama dengan sangat baik.

Tak hanya sekali Jehan dan Natalie memiliki satu pemikiran yang sama. Saat acara rapat seperti ini keduanya akan saling memberi dan menerima baik saran ataupun kritik, bahkan terkadang bisa menebak isi pikiran satu sama lain.

Bisa dibilang mereka saling itu melengkapi, tentunya di dunia bisnis.

Dan sebagai partner bisnis yang telah berjalan selama lebih dari lima tahun harus dikatakan bahwa kemistri Jehan dan Natalie tak tertandingi, mengingat mereka sudah mengenal dari zaman kuliah.

Hal ini yang membuat Jendra salut terhadap kakaknya dan Natalie.

"T-tidak, Bu" setelah dua menit hening tidak ada jawaban, akhirnya ada satu orang yang dengan penuh keberanian menjawab.

Natalie mengulas senyum tipis begitu ia melihat muka tegang di setiap orang kecuali Jnfra, Jehan dan Marven. "Ngga usah tegang--"

"Maaf jika kesannya saya ikut campur terhadap masalah perusahaan kalian, tapi teknologi yang akan dikirim merupakan proyek kolaborasi saya dengan KNG's Tech jadi otomatis saya harus turun tangan untuk mengurus masalah ini bersama kalian."

"Perusahaan KNG itu besar, sangat besar. Resiko utama punya nama besar ada tiga. Yang pertama, kerugian. Kedua kondisi pasar yang tidak stabil. Dan yang ketiga, persaingan yang ketat"

"Perlu diingat orang yang mau bersaing dengan kalian tidak hanya satu atau dua perusahaan saja tapi banyak. Kalau gitu apakah mungkin mereka tidak nekat untuk menjatuhkan perusahaan?"

Jehan belum mau mengeluarkan suaranya. Tiap kata yang Natalie tuturkan persis sekali dengan rencana apa yang akan Jehan ucapkan nanti.

Di posisi begini, Jehan hanya ingin mendengarkan saja tanpa berencana menyela penjelasan wanita yang notabenenya tak hanya sebagai rekan kerja melainkan juga teman seperjuangan.

"Dan kalian harus selalu ingat ini, tidak ada yang namanya persaingan sehat di dunia bisnis."

"Jadi jangan mengesampingkan kecurigaan ada seseorang yang merencanakan ini semua. Saya dan kalian harus lebih waspada"

Setelah penjelasan tersebut, mereka yang belum paham kini perlahan mulai memahaminya. Dan juga berpikir bahwa semua perkataan Natalie sangat benar serta masuk akal.

"Tapi jangan khawatir, saya dan Jehan sudah memiliki solusinya"

"Jehan terlihat santai karena sejujurnya saya dan Jehan sudah menduga hal seperti ini akan terjadi di masa mendatang, dan benar. Jadi Jehan meminta saya untuk merubah tujuan pengiriman sementara waktu--"

Natalie menerima serahan dokumen yang diberi asistennya lalu menyuruhnya untuk membagikan dokumen tersebut ke setiap orang.

"Ini adalah hasil revisi yang saya buat diam-diam bersama Marven dan Jendra. Tidak ada maksud apa-apa, hanya saja saya merasa lebih baik untuk menyiapkan semuanya hingga matang lalu saya akan mendiskusikan ini dengan kalian terutama, Pak Jehan"

Untuk kali ini Jehan merubah raut wajahnya jadi lebih serius, sembari membaca dokumen yang disiapkan Natalie dengan teliti karena ini adalah pertama kalinya mengetahui rencana final Natalie bersama Marven dan Jendra.

"Sebelum kalian bertanya, mohon dengarkan penjelasan saya dulu"

Natalie berjalan menuju sebrang meja sehingga kini ia berhadapan dengan Jehan. "Targetnya saya ubah yang semula pasar Asia menjadi pasar Amerika"

"Dari awal Amerika memang sudah target kita bagaimanapun juga pasar mereka adalah pasar terbesar di dunia. Jadi alat dan obat-obatan yang di Jerman akan dikirim ke Amerika nanti malam dengan sertifikasi yang baru"

"Malam ini?" Para kepala divisi disitu bergumam terkejut.

"Sertifikasi baru?"

Wanita itu mengangguk, "Alat dan obat-obat itu sudah tertunda lama sedangkan klinik masyarakat kita sangat membutuhkannya, jadi saya rasa sudah tidak bisa ditunda lebih lama lagi"

"Untuk alat dan obat-obatan yang disebut palsu dan bahaya ini akan dikirim ke China karena ada seorang doktor yang membeli dengan harga yang sangat tinggi, jadi kalian ngga perlu khawatir lagi untuk masalah ini"

"Segala proses pengiriman dan lain-lain akan diurus oleh orang saya di Amerika" ucapnya yang menjadi kalimat penutup pemaparan pendapat miliknya.

Jehan tersenyum puas mendengar penjelasan itu, ia memanggut paham. "Kami melakukan dengan diam-diam bukan karena takut kinerja kalian tidak akan sesuai ekspektasi---"

"Kami hanya tidak ingin orang yang menyabotase tadi mengetahui rencana cadangan ini atau kerugian akan lebih besar."

Jehan menghela napasnya lalu berdiri dan menatap satu persatu orang yang di dalam ruangan. "Jendra, harga pasar saham saat ini bagaimana?"

"Turun, tapi masih bisa teratasi" jawabnya sembari menatapi layar benda pipih di tangannya.

"Kalau begitu, kamu urus dengan divisi keuangan untuk masalah investor"

"Oke, bos!"

"Divisi uji kualitas dan pengembangan produk, untuk video rekaman pengujian sama salinan dokumen kemarin kalian kirim ke asisten Natalie untuk masalah kesepakatan pembelian."

"Baik, Pak"

"Fanny, divisi umum bertugas mengurus segala proses pengiriman dan pemasaran di Amerika maupun China."

"Baik, Pak"

"Divisi Marketing, kalian buat proposal baru untuk pemasaran di Amerika. Saya yakin kalian bisa tapi saya sarankan bekerja sama dengan Natalie agar sesuai dengan pasar disana dan hasilnya pun maksimal"

"Siap, Pak"

"Divisi personalia, selidiki diam-diam siapa orang yang sudah berani melakukan ini dan menjebak perusahaan kita. Kalau butuh bantuan kalian bisa menghubungi Marven langsung,"

"Siap, Pak"

"Ada yang ingin ditanyakan?" Semuanya menggeleng bersamaan sebagai respon.

Jehan melihat ke arah jam tangannya. "Kalau begitu rapat hari ini selesai, terima kasih."

"Terima kasih, Pak"

Begitu ia mengucapkan penutup Jehan berjalan keluar ruangan diikuti Marven, Natalie dan Jendra di belakangnya.

Jendra mempercepat langkahnya untuk menarik kakaknya ke dalam rangkulannya. "Keren juga lo, bang"

"Gimana lo bisa ngeduga masalah kaya gini?"

Natalie tertawa sembari menoyor pelan kepala Jendra. "Kakak lo kan punya indra keenam"

"Just joking-- Ya kakak lo ditunjuk jadi direktur ngga mungkin ngga ada alasan"

"Nah yang ini juga!" pekik Jendra saat dia melihat kehadiran Natalie.

"Kemistri lo sama abang gue emang gokil sih, big applause dari gue--" Jendra menepuk tangannya sebagai rasa salutnya terhadap Natalie dan Jehan.

"Should we have lunch together? I will pay for this time" ajak Natalie.

Jendra mengangguk setuju, tidak ada penolakan di otaknya terlebih bisa terbilang Natalie sangat jarang sekali mentraktir makan.

Natalie tipikal orang yang sedikit pelit sebenarnya.

"Reservasi tempat biasa" ucap Natalie kepada asistennya yang berjalan di sampingnya.

"Baik, Bu"

"Bisa-bisanya lo berdua ngerencanain sesuatu di belakang gue," sinis Marven mendelik tidak suka ke arah Jehan maupun Natalie.

"Je, lo tau ngga sebuntu apa gue tadi buat cari solusi masalah ini? Eh taunya lo punya solusi sendiri, emang---"

"Rasel dimana, Ven?" pertanyaan Jehan yang ini sengaja menyela Marven yang tadi meluapkan rasa kesalnya.

"Mana gue tau. Dari tadi kan gue rapat bareng lo" jawab Marven yang langsung dihadiahi tatapan tajam.

Marven gelagapan takut ditatap seperti itu. Ia langsung merogoh ponselnya di saku celana, lalu mencoba menghubungi satu karyawan yang mungkin saja melihat keberadaan Rasel.

"Rasel ikut lo ke kantor?" tanya Natalie.

Jehan mengangguk kecil sembari menengok kanan dan kiri, mencari istrinya yang entah pergi kemana. Padahal tadi pagi Rasel sudah berjanji tidak akan pergi jauh-jauh selama tidak ada yang mengawasinya.

Mereka bertiga, Marven, Jendra juga Natalie mengikuti misi Jehan mencari keberadaan sang istri di gedung yang sangat luas dan besar ini.

Namun perhatian mereka tercuri ketika melihat kerumunan dekat ruang makanan ringan serta kopi-kopian. Mereka berempat menghampirinya dengan begitu penasaran oleh apa yang terjadi.

Samar-samar kerumunan itu menyebutkan nama Jehan dan Rasel sehingga rasa ingin tau mereka bertambah.

"Pindahin aja ke ruang Pak Jehan, kalo posisi tidurnya kaya gini kesian ntar badannya sakit"

"Lo yang pindahin, mumpung rapatnya belom beres"

"Gue?! Dia istrinya Pak Jehan mana berani gue ngangkat tubuhnya, kalo gue dipecat lo mau tanggung jawab?"

"Ya terus gimana?! Masa dibiarin? Nanti Pak Jehan marah woi"

"Lagian rapatnya Pak Jehan belom beres, ngga akan ada yang liat. Gue bakal tutup mulut kok,"

"Ada CCTV kalo lo lupa,"

"Eh gue juga ngga tega banguninnya"

"Bentar gue salah fokus, lagi tidur aja cantik banget ya.."

"Atau kita rebahin aja? Tapi gue ngga berani nyentuh sumpah!"

"Bu? Bu Rasel?"

Salah satu dari banyaknya orang disitu menepuk bahu orang di sampingnya saat dirinya melihat kedatangan Jehan bersama tiga lainnya berjalan di belakangnya.

"Ada Pak Jehan--" bisiknya.

Saat itu juga mereka yang mengerumuni menoleh dan langsung menjauh, memberikan ruang untuk atasannya itu. Tidak lupa juga mereka menyapa lebih dulu yang sudah menjadi kebiasaan.

"Selamat siang, Pak, Bu" sapa mereka bersamaan dengan suara kecil sebab tidak ingin mengusik tidur tenangnya ibu negara.

Marven, Jehan, Jendra juga Natalie tersenyum manis sebagai balasan sapaan mereka. "Ada apa ini rame-rame?" tanya Natalie dengan ramah.

"Itu-- Saya ngga sengaja liat Bu Rasel ketiduran disini," jawab salah satu karyawan yang menjadi orang pertama melihat Rasel tertidur di kursi kecil ini.

Jehan menatapi Rasel yang tidak terkusik sama sekali dengan kegaduhan di dekatnya. Bibirnya tertarik sehingga menimbulkan lengkungan tipis namun berarti.

Pria itu mendekat lalu berjongkok di hadapannya sambil menarik helaian rambut yng menghalangi wajah damainya ketika tidur.

"Udah berapa lama dia tidur disini?"

"M-maaf, Pak, saya kurang tau" jawab orang tadi.

"Kok bisa ya ketiduran disini? Diposisi yang ngga enak lagi" guman Natalie merasa heran.

Jendra menggelengkan kepalanya, "Ajaib emang kakak ipar gue yang satu ini" sahutnya.

Pasalnya Jendra pernah melihat wanita itu tertidur dengan posisi yang tak jauh berbeda dengan sekarang di kursi dekat UGD, jadi dia tidak merasa terkejut lagi.

Justru Jendra malah merasa semakin heran.

"Sepertinya Bu Rasel sudah puas bermain sampai terlihat kelelahan seperti ini--" ujar karyawan yang lainnya disertai kekehan.

"Bermain?"

Karyawan itu mengangguk. "Tadi saya melihat Bu Rasel bermain komputer dengan pegawai yang lain"

"Lalu saya juga sempat melihat ibu bermain dengan ikan-ikan di akuarium sana" tambahnya.

"Dasar--" gumam Jehan sedikit terkekeh gemas.

Jehan mengambil salah satu tangan Rasel untuk ia elus lembut, hatinya mengatakan sepertinya Rasel kelelahan setelah jogging pagi tadi langsung ikut pergi ke kantor dan di kantor pun istrinya itu mengatakan ingin jalan-jalan menyusuri setiap area perusahaan.

"Gue udah bilang kalo mau istirahat langsung ke ruangan gue aja" gumamnya sembari terkekeh.

"Perlu gue bantu buat mindahinnya ngga?" tanya Marven iseng.

"Kalo masih mau kerja disini, ngga usah aneh-aneh lo" ketus Jehan langsung. Jawabannya ini sukses membuat Marven dan para pegawainya tertawa.

"Buruan pindahin, bang. Ngga nyaman amat tidur kaya gitu" sahut Jendra turut merasa tidak enak hanya dari melihat saja.

Jehan melepaskan jas biru dongkernya lalu ia serahkan kepada Marven. Setelah itu dia mulai menyelipkan kedua tangannya, yang satu pada sela-sela belakang lutut sementara satunya lagi di belakang punggungnya.

Pria itu melakukan secara perlahan supaya tidak mengganggu tidur lelapnya. Setelah mengangkat tubuh ramping istrinya, Jehan bergegas menuju ruangannya yang terletak belasan langkah dari sini.

"Kalian semua dapat bonus bulan ini" ucap Jehan kepada karyawan-karyawan tadi sehingga mereka bersorak senang dalam diam.

Dikasih bonus oleh atasan sendiri, terlebih atasannya adalah Jehan Atharizz Kanagara. Sungguh momen yang langka.

"Istri lo lucu juga ya, Je" sahut Natalie. Sejujurnya jika Natalie terlahir sebagai laki-laki, tentunya dia akan jatuh cinta kepada wanita itu.

"Karena dia bocah, so yeah--"

"Bukan itu maksud gue!" sentak Natalie kesal.

Jendra, Marven begitu juga dengan Natalie masih tetap mengikuti arah langkah kaki Jehan meski entah kemana tujuannya.

"Pak Jehan, maaf. Ada tamu yang menunggu bapak di bawah" ujar satu karyawan yang bekerja di bagian pusat informasi atau lobby.

Langkah Jehan spontan berhenti sejenak, ia menghela napasnya. "Untuk saat ini saya ngga bisa nerima tamu dulu, tolong buat janji temunya besok saja"

"T-tapi, Pak.."

"Desain perusahaan lo masih sama ya? Ngga ada beda-bedanya,"

Suara itu familiar. Sangat familiar di telinganya, Marven dan Jendra. Begitu mendengar sahutan orang tersebut, mereka berempat menoleh ke sumber suara untuk memastikan siapa orang itu.

Dan sesuai tebakan, mereka menyembukan rasa kagetnya dengan cepat. Pikirannya bergumul ria memikirkan apa yang membuat orang itu berani datang kesini.

"Dia tamunya?" tanya Jehan dengan suara berat. Karyawan tadi mengangguk kecil.

"Pak Jehan belum memberi izin tapi kamu membawa dia masuk?" Marven memberi tatapan tajam kepada karyawan itu yang saat ini sedang menundukkan kepalanya.

"M-maaf pak"

"Lancang banget y--"

"Udah, Ven" ujar Jehan yang menginterupsi agar Marven tidak membuang waktu memarahinya.

Sedari tadi Jehan benar-benar tidak melepaskan pandangannya dari tamu yang berdiri di hadapan nya sambil tersenyum aneh.

"She's sleeping, huh?" Orang itu memandangi Rasel yang terlelap di gendongan Jehan.

Jendra mengeraskan rahangnya sembari melirik ke setiap titik untuk memastikan tidak ada sesuat yang membahayakan.

Perasaan sensitifnya spontan membuat dirinya harus waspada karena tindakan orang yang datang tak diundang itu selalu tidak tertebak.

Dari sini sepertinya kalian bisa tau siapa orang tersebut.

Jehan berusaha keras untuk tidak terpancing emosi sekarang, harus ingat tempat kalau dia masih berada di kantor dengan pegawai yang berlalu lalang.

Jadi ini yang membuat perasaannya terasa tidak enak?

Orang yang berperawakan tinggi dan memiliki tubuh kekar berdiri di hadapan Jehan, Marven, Jendra dan Natalie sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana.

"Ke ruangan gue" ucap Jehan lalu setelahnya kembali melanjutkan langkahnya menuju tempat ia bekerja yang tak jauh dari posisi saat ini.

"Je!"

"Bang!"

Marven maupun Jendra memanggil bersamaan. Mereka tidak habis pikir dengan keputusan Jehan yang sedikit gegabah membiarkan orang luar masuk ke ruangannya seperti sekarang.

Saking ketakutan akan terjadi hal-hal yang tidak seharusnya terjadi, Marven sudah memegangi pistol miliknya bersembunyi dibalik jas yang ia kenakan. Di situasi begini mereka harus waspada karena tidak hanya Rasel atau Jehan yg menjadi ancamannya, melainkan seluruh isi perusahaan juga.

Natalie menahan tangan Marven ketika lelaki itu hendak mengikuti langkah kakaknya. "Itu siapa?"

"Lo sama Jendra kenapa sampe gelisah gini?"

"Bukan sekedar tamu kan?"

Marven menghembuskan napasnya, lalu setelah itu dia melepaskan cekalan Natalie. "Mending lo pulang, Nat"

"Wait, there is something wrong between you guys. I can help you maybe?" tanya Natalie yang terdengar khawatir.

"For this one? No, you can't" sentak Marven, dia memberi sorot tegas dan tidak main-main dgn ucapannya.

"Lo bisa kena imbasnya juga"

Natalie mengernyit tidak paham. Dengan begitu ia membiarkan Marven pergi tanpa mengucapkan apa-apa lagi, tapi bukan berarti rasa ingin taunya Natalie berkurang justru rasa itu kian menambah.

Tunggu, tamu yang datang tak diundang tadi sangat familiar di matanya. Tampaknya Natalie berpikir keras untuk mengingat sosok siapa orang itu, karena rasanya ia mengenal dia.

"Yakin banget gue pernah liat orang itu, tapi siapa ya?" gumam Natalie sesekali menggigit kuku jemarinya.

"Jia, kamu tau siapa orang itu? Saya rasa pernah liat--" Natalie bertanya kepada asistennya sendiri dengan suara kecil.

"Dia Tuan Navarez, Bu Nat" katanya.

Alis Natalie bertaut, nama Navarez terdengar tak asing di telinganya. "Navarez??"

Namun selang beberapa detik, dipikirannya langsung terlintas satu nama. Ia memekik seolah baru saja menemukan harta karun.

"JEKSA NAVAREZ?!"

°°°

Suasana cerah karena matahari siang menuju sore ini masih terik dan sinarnya memenuhi pun ruangan yang hampir delapanpuluh persennya dimodifikasi dengan kaca-kacaan.

Meski begitu, atmosfer di ruangan besar tersebut sangatlah canggung, aneh, bahkan mencekam da mengintimidasi satu sama lain.

Tamu yang tidak pernah terpikirkan akan datang tanpa kabar apapun kini sedang melihat-lihat ke setiap penjuru ruangan. Dari ekspresinya terlihat lelaki itu datang karena suatu alasan, meskipun entah apa.

"Gini cara lo ngejamu tamu, Je?" sindirnya.

Jehan tersenyum miring sebelum ia memberi semacam kode kepada asistennya yakni Marven dan memintanya untuk mengambil segelas teh atau kopi.

"Gue sama lo ngga seakrab itu tapi karena gue baik hati dan gue ngga mau bikin masalah di kantor gue sendiri, so please have a sit, Sa"

Melihat Jeksa hendak duduk di sofa sebrang Rasel, dengan pergerakan cepat Jendra duduk pada pinggiran sofa. Upayanya yang sengaja untuk menghalangi Jeksa berdekatan dengan kakak iparnya.

"Istri gue lagi tidur, jangan ganggu dia" ucap Jehan dengan nada memperingati.

Jeksa menatap kakak adik di depannya, kemudia dirinya mengangguk pasrah menuruti perkataan Jehan dan tidak ada niat apapun.

"Protektif" cetusnya.

"Selama lo masih hidup dan bebas gue ngga boleh berhenti protektif" kata Jehan langsung dibalas dengan kekehan Jeksa.

"Well-- I can undertand for that"

Marven kembali dengan dua cangkir kopi, lelaki itu menyimpan minuman tersebut tapi dia tidak pernah berhenti waspada.

"Lo ngga masukkin sesuatu ke dalam minuman gue kan?" tanya Jeksa memastikan.

"Gue udah bilang, gue ngga mau bikin masalah di kantor gue sendiri" ujar Jehan.

"Oh iya, gimana keadaan lo sekarang? Tapi gue lebih khawatir sama kondisi istri lo dibohongin sama suaminya sendiri"

"Gue bohong atau engga, bukan urusan lo" balas Jehan agak ketus disertai tatapan tajamnya.

"Ngga perlu basa basi, ada urusan apa lo dateng kesini?"

Jeksa menyeruput kopi yang disediakan sambil memikirkan jawaban apa yang pantas diberikan terhadap pertanyaan Jehan.

"Lo tenang aja. Gue kesini untuk masalah bisnis bukan yang lain" katanya.

"Bisnis?" Jehan mengernyit karena rasanya ada yang aneh. "Sejak kapan lo mau bahas bisnis sama gue?"

Jeksa tersenyum sembari menggaruk pelipisnya yang tidak gatal, "Perusahaan lo punya proyek pembangunan klinik masyarakat di Amerika kan?"

"Tapi gue denger keperluan farmasi dan segala teknologinya bermasalah. Whoa, gue ngga ngira lo bisa seceroboh ini, Je"

Decihan meremehkan keluar dari mulut Jehan begitu mendengar perkataan Jeksa barusan.

"Ngga usah pura-pura bodoh, gue tau itu ulah lo"

"Ini alasannya gue ngga bisa ngeremehin lo--" ujar Jeksa langsung disertai decakannya, tidak terima permainan diam-diamnya dapat ditebak oleh pria itu.

"Gue kesini mau buat kesepakatan."

Kali ini Jehan yang menyeruput kopinya, namun sorot matanya tidak pernah lepas sedetik pun dari lelaki bak jahanam di depannya.

"Kesepakatan?" Jeksa mengangguk dengan cepat.

"Perusahaan gue bakalan bantu proyek lo yang tertunda tapi lo harus berhenti ngusik tunangan gue" ucapnya yang membuat Jehan menyeringai.

"Ngeliat lo berusaha keras nutupin identitasnya, bikin gue semakin yakin kalo gue kenal orangnya" gumam Jehan sangat kecil supaya tidak terdengar oleh siapapun.

"Lo ngusik istri gue itu artinya gue bisa ngusik balik tunangan lo, jadi kenapa gue harus berhenti? Karena dia takut gue tau identitasnya? Percuma"

Jeksa mengeraskan rahang dan mengepalkan kedua tangannya pertanda ia berhasil terpancing hanya dari pertanyaan biasa yang bahkan belum menyinggung pada satu nama.

Marven dan Jendra memicingkan matanya, mereka secara teliti menilik gerak-gerik serta pancaran matanya saat Jehan sengaja memprovokasinya dengan identitas tunangan Jeksa yang begitu misterius.

Jehan tersenyum penuh kemenangan. Melihat ekspresi Jeksa menahan amarahnya membuat dirinya sedikit puas, padahal Jehan hanya baru memancing dengan sederhana.

"Tegang amat muka lo--" Jehan sengaja tertawa ngejek sejenak. "Tenang aja, gue belom tau siapa tunangan lo"

"I admit she's really good at covering up her identity, but unfortunately she won't be able to hide forever because sooner or later I'll find out who she is." lanjutnya tidak bermain-main.

"Tapi kalo lo mau gue berhenti ngusik tunangan lo, ada satu syarat. Lo juga harus berhenti ngusik istri gue" ucap Jehan siapa tau bisa bernegosiasi.

Ya meskipun negosiasi dengan Jeksa satupun tidak pernah berhasil karena lelaki itu cenderung cerdik dan licik.

Jeksa menatap Rasel yang masih tidur nyenyak di samping suaminya, kemudian ia tertawa kecil.

"Istri lo itu ngeliat apa yang seharusnya ngga dia liat, Jehan. Lo pikir gue bisa diem aja? Engga--"

"Honestly, it's your fault though." Jeksa berdiri dari duduknya dan mendekati Rasel disana.

Jehan hanya diam mendengarkan, dan dia menunggu lelaki brengsek itu melanjutkan perkataannya.

Kali ini Jehan memberi kode kepada adiknya maupun Marven untuk tidak menghalangi dia yang ingin menghampiri Rasel.

Sepasang netra hitam yang begitu tajam dan penuh dengan hasrat ingin membunuh itu memandangi setiap inci dari wajah Rasel yang sedang berada di alam mimpi.

"Dia cantik," gumam Jeksa tanpa sadar.

"Seandainya lo ngga nikahin dia, hidup Rasel sekarang pasti aman-aman aja. Gue ngga perlu sekejam ini dan lo juga ngga perlu ngelindungin dia dengan segala cara, buang-buang tenaga"

"Persaingan kita juga ngga bakal serumit ini. Bisa dibilang lo yang memulai semua ini, Jehan. Jadi lo harus siap akibatnya,"

Ucapannya ini berhasil membuat Jehan terbungkam.

"Lo tega ngeliat istri lo sendiri menderita?" tanya Jeksa sengaja memojokkan.

Jendra berusaha keras untuk tidak menghajar orang gila dan jahat layaknya titisan iblis itu. Ia sangat terpancing saat ini namun Marven terus memperingatinya agar tidak terjadi keributan.

"Jangankan Rasel, lo sendiri ngga menderita, hah?"

"Don't you dare to touch her" sahut Jehan dengan sedikit menggeram, begitu lirikan ujung matanya bagian kiri mendapat Jeksa yang hendak menyentuh wanitanya.

"Gue tau Rasel menderita, tapi bukan berarti gue bakal nyerah dan ngebiarin dia mati di tangan lo gitu aja"

"Satu hal lagi, gue punya masalah juga dendam sama lo jauh sebelum gue kenal dan nikah sama Rasel"

"Alaya, Yaslan, Ezzra, Marven juga punya dendam pribadi sama lo. Lo inget kan apa yang udah lo lakuin ke mereka?"

"Disini gue ngebantu mereka dengan semua yang gue punya, jadi gue macem-macem sama lo bukan cuma karena lo ngusik istri gue,"

Jehan memberikan tatapan datar namun sangat mematikan ke arah Jeksa yang sedang jongkok di dekat istrinya sambil menyeringai. "Get away from her, bro"

"Kesabaran gue ada batasnya, Jeksa"

Lelaki jahanam itu terkekeh ketika Jendra dengan inisiatifnya menarik kerahnya sedikit kasar juga menjaga jarak antara kakak ipar.

"Jauh-jauh dari kakak ipar gue" ucap Jendra terdengar lebih ke arah ancaman.

Di tengah situasi ini, Rasel masih tertidur nyenyak meskipun beberapa saat sempat menggeliat tapi percakapan mereka sm sekali tidak mengganggu aktivitas tidurnya.

Jeksa tersenyum miring lalu mengangguk ngalah saja. Toh mencari keributan bukanlah rencananya datang kesini, niatnya hanya sekedar membuat kesepakatan. Namun tampaknya Jehan menolak mentah-mentah meski secara tidak langsung.

"Gue dateng kesini murni buat kesepakatan, tapi karena lo nolak jangan salahin gue kalo sesuatu terjadi terhadap istri lo," kata Jeksa sembari merapihkan bajunya.

"Do whatever you want. But I warn you, before you and your men do anything to hurt her, I will finish you off first." balas Jehan seolah tidak takut dengan ancaman halusnya.

"Jangan lupa, Pak. Tigapuluh menit lagi bapak ada janji temu--" sahut Marven mendadak pakai bahasa formal.

Marven sengaja, ia memberi tanda agar Jehan menyudahi perbincangan tidak jelas yang hanya membuang waktu saja.

Jendra menyuruhnya pergi dari sorot matanya, ia sudah tidak bisa lagi menahan emosinya jika Jek masih berada di hadapannya. Bahkan tangannya telah terkepal kuat untuk meninju wajahnya, tapi dirinya harus ingat tempat.

Jeksa melunturkan senyumnya, lalu ekspresinya pun berubah drastis. Kali ini matanya terpancar amarah dengan aura yang mematikan, ia menatp Rasel, Jehan, Jendra dan Marven bergantian.

"I'll go now. But I wonder what you and your team will do to protect her this time?" Jeksa memberi tatapan tidak bersahabat ke arah Jehan.

"And tell your fiancé. If she's not a coward, stop hiding and fight me head-on." balas Jehan tidak kalah tajam.

Jeksa dan Jehan sempat beradu tatap untuk beberapa detik sebelum Jeksa meninggalkan ruangan dengan tangan yang terkepal serta rahang yang mengeras.

Kepergian Jeksa membuat Marven dan Jendra spontan mengumpat dan menggeram kesal.

"Bajingan! Dateng tiba-tiba cuma buat ngancem?! Kurang ajar,"

"Bagus lo nolak kesepakatan dia, Je"

"Dan masalah proyek perusahaan ternyata ulah dia? Lo tau ini sejak kapan, bang?"

Jehan mengelus lembut samping kepala Rasel sambil tersenyum kecil. Sungguh ia menyukai wajah damai perempuan itu ketika tertidur.

"Bang?"

"Gue cuma nebak sebenernya karena Jeksa tiba-tiba ngebahas proyek perusahaan tentang pembangunan klinik masyarakat. Gue kenal Jeksa, dia bukan tipikal orang yang suka bahas bisnis sama musuhnya selain ngejadiin bisnis itu sebagai ancamannya"

"Brengsek," umpat Marven.

"Udah gue bilang, Jeksa itu licik"

Marven duduk di depan Jehan dan menatapnya dengan serius. "Rencana lo apa sekarang?"

"Gue mau nunggu tunangannya keluar dulu baru bertindak. Ada sesuatu yang ngga beres tentang tunangan Jeksa, tapi gue belum tau itu apa"

"Gue setuju. Tunangan Jeksa cukup berbahaya jadi kita harus hati-hati" timpal Jendra.

"Apapun caranya gue harus lindungin Rasel segimana bokap gue ngelindungin dia sekalipun nyawa gue taruhannya" ucap Jehan.

Lelaki itu memejamkan matanya dan menghela napas. Dia benar-benar hampir depresi karena rasa bersalahnya kepada Rasel yang harus mengalami kehidupan seperti ini.

"Habis bahas apaan sih? Kok serius banget mukanya," celetuk seseorang dengan suara purau yang menjadi ciri khas orang baru bangun tidur.

Jehan spontan menoleh dan melihat istrinya sedang mengucek mata. Ia mengulas senyum kecil, "Nyenyak banget tidurnya. Mimpi apa aja, hm?"

Perempuan itu menyengir lebar. "Gue tidur lama ngga?"

"Lumayan. Cape ya? Gue udah bilang di kantor bakalan lebih bosen,"

"Tapi gue main game sama pegawai lo, seru tau! Udah beres? Pulang yuk?!"

Jehan membantu Rasel merapihkan rambutnya yang berantakan. "Gue masih ada janji temu, lo pulang duluan aja ya? Jendra yang nganter--"

Rasel mengerutkan bibir bawahnya lalu dirinya menggerutu kesal, "Kerja mulu"

"Janji temu ini penting banget, Sel. Gue ngga bisa ngebatalin, maaf"

Jehan menarik wajah Rasel supaya perempuan itu menatapnya, "Gue ngga bakal pulang tengah malem kok"

"Bener ya? Awas aja kalo jam sepuluh lo belum di rumah, ngga akan gue bukain pintunya" ancam Rasel yang membuat Jehan, Marven dan Jendra terkekeh.

°°°

Jehan menarik bangku lalu mendudukkan dirinya di hadapan seseorang yang telah menunggunya.

"Apa yang mau lo bahas, Sya?"

Jisya melirik ke arah Marven di samping mereka seolah ia sedikit ragu untuk mengatakannya jika orang lain mendengarnya.

"Marven orang yang paling gue percaya, lo tenang aja dia ngga bakal buka mulut sembarangan" ujar Jehan langsung ketika ia menangkap keraguan dari mata Jisya.

"Oke, sorry. Kalo gitu gue mau nanya dulu sejak lo jadi suami Rasel, lo ngerasa ada yang aneh sama dia ngga?"

"Aneh gimana maksud lo?"

"Misalkan dia ngalamin kejadian yang buruk tapi ngga sampe satu hari dia lupa kejadian itu kaya kejadian itu ngga pernah terjadi"

Jisya menatap Jehan dengan serius, menunggu jawaban suami sahabatnya itu. Dia memainkan jemarinya sebagai pelampiasan dari rasa gugup yang entah apa penyebabnya rasa itu muncul.

Merasa semakin tertarik terhadap pembahasan ini, Jehan memandangi Jisya dengan alisnya yng bertaut. "Kenapa lo bisa tau tentang itu?"

"Lo ngerasain kan? Sejak kapan?" tanya Jisya memastikan.

Jehan membuang mukanya ke sembarang arah sementara otaknya bergulat mengingat waktu saat pertama kali Jehan menyadari Rasel punya satu keanehan.

"Sejak keluarga Rasel dateng ke rumah. Padahal gue yakin banget ada sorot kecewa dari matanya, dan ngga sampe setengah hari dia langsun lupa. Gue kira Rasel emang sengaja nutupin kecewanya tapi dia kaya gitu ngga cuma sekali" jawabnya.

"Rasel bahkan ngga inget kejadian yang menimpa gue kemarin" lanjut Jehan dengan suara lesu.

"Rasel ngga inget kejadian tragis lo karena itu kebiasaan dia, Je" cela Jisya.

"Maksud lo?"

Jisya tersenyum kecut, "Lo bilang ngga sampe setengah hari Rasel langsung lupa pertemuan keluarganya, bagi istri lo berurusan sama keluarga besarnya itu sama aja mimpi buruk--"

"Dan ngelupain mimpi buruk udah jadi kebiasaan Rasel dari dulu."

Masih dengan kerutan di dahinya, Jehan berusah keras mencerna dan memahami perkataan Jisya.

"Jadi maksud lo Rasel sengaja?"

Jisya menghela napasnya sembari mengangguk. Kemudian ia merogoh sesuatu di dalam tasnya dan mengeluarkan semacam buku catatan kecil.

"Sebenernya gue ngga punya hak buat ngasih tau lo tentang ini, soalnya Rasel minta gue buat tutup mulut. Tapi lo suaminya sekarang dan gue rasa lo harus tau ini, Je"

"Ini semua semacam diary Rasel yang dia titip ke gue. Emang curhatannya ngga banyak tapi Rasel nulis ini karena takut dia bener-bener lupa sama apa yang dia alamin sebelumnya,"

Jehan membuka buku kecil tersebut dan mulai membacanya dengan seksama, tidak ingin ada yang terlewat sedikitpun.

"Lo pernah denger istilah alter ego?"

Pria yang berstatus suami Rasel itu mengangkat kepalanya, "Rasel punya alter ego?"

Jisya mengangguk kecil sebagai jawabannya. Ia tau mungkin ini sangat mengejutkan bagi Jehan dan Marven di sampingnya. Tapi bagaimanapun juga mereka harus bisa menerima fakta ini.

Toh alter ego hanyalah kebiasaan, bukan penyakit mental. Alter ego itu sangat berbeda jauh dengan kepribadian ganda dimana alter ego adalah suatu karakter yang sengaja dibuat berujung kebiasaan sedangkan kepribadian ganda kelainan atau penyakit mental.

"Rasel kaya gini karena masa lalunya. Lo tau kan apa penyebab orang tuanya meninggal? Bagi dia kematian orang tuanya itu trauma terbesar dan Rasel pernah bilang ke gue dia hampir depresi cuma karena dia berusaha buat move on,"

"She finally move on, but to her moving on was not enough so Rasel decided to do memory suppression to forget her all bad memories."

Memory suppression atau penekanan memori yang digunakan sebagai salah satu cara untuk menghilangkan ingatan buruk yang terus muncul.

Penekanan ini menggunakan fungsi otak dalam tingkat tinggi, seperti penalaran dan berpikir rasional bisa mengganggu kerja otak dalam mengingat suatu memori. Teknik ini sebenarnya sama saja dengan melatih otak untuk mematikan suatu ingatan dengan menggantikannya dengan ingatan lain yang lebih menyenangkan.

Dengan ilmu yang ia dapat untuk menghilangkan semua memori buruknya, Rasel menjadikannya kebiasaan sehingga bagi perempuan itu mudah untuk melupakan kejadian yang bisa memancing trauma terbesarnya.

Sekecil apapun kejadian tidak mengenakannya masih bisa memicu kenangan terburuknya kembali berputar. Itulah alasan Rasel terbiasa untuk langsung mematikan segala kejadian buruk yang ia alami.

"Gue ngga tau Rasel masih suka nulis-nulis kaya gini atau engga, tapi gue harap dari sini lo bisa paham kenapa Rasel gampang ngelupain memori buruknya"

Seketika kenangan dimana Rasel berada di titik tersulitnya sampai sahabatnya itu hampir memilih untuk menyerah kembali berputar di otaknya dan Jisya menahan agar air matanya tidak jatuh.

Bagi Jisya melihat kondisi Rasel waktu itu sangat menyedihkan sekaligus menyakitkan.

"Walaupun Rasel terbiasa ngelupain-- And she always look happy, smiling or laughing but it's just a fake, Je"

"Dulu Rasel selalu cerita ke gue tentang ini, gue tau pernikahan lo berdua karena paksaan doang tapi gimanapun juga sekarang lo suaminya dan gue minta lo buat gantiin gue jadi tempat ceritanya bisa kan?"

Jehan menatapi buku catatan di depannya dngn tatapan kosong. Apa yang baru ia dengar sangat tidak di sangka, mulanya Jehan tidak akan terlalu berempati dengan yang lain tetapi mengapa kali ini rasa empatinya memuncak?

Marven juga sama terkejutnya. Ia tidak mengira perempuan yang selama ini ia kenal ceria dan kekanakan nyatanya hanya meredam kenangan buruknya.

Peradaan kedua lelaki ini sama-sama terenyuh begitu Jisya selesai menceritakan semua yang dia ketahui.

"I'll do my best" ujar Jehan dengan suara kecil.

Jisya mengulas senyumnya, selama enam bulan terakhir dia menyaksikan perubahan sikap Jehan kepada sahabatnya. Itulah alasan dia memutuska untuk cerita tentang rahasia terbesar Rasel, meski dia harus mengingkar janjinya.

Jehan adalah sosok yang pantas untuk dijadikan tempat sandaran, Jisya yakin dengan penilaiannya ini.

"Not will, but you have to do your best. Rasel itu sahabat gue dan yang gue pengen cuma dia aman dan bahagia. Dulu itu tugas gue, tapi lo suaminya jadi ini tugas lo sekarang"

"Asal lo tau, Jehan. Gue ngga pernah setuju sama pernikahan lo berdua dan jujur gue takut nantinya lo ngga ngetreat dia sebagai istri. Setiap detiknya gue selalu kepikiran, 'Is she okay?' apalagi lo baru kenal dia beberapa hari sebelum sah jadi suami istri"

Jehan mendengarkan ungkapan hati Jisya selaku sahabat terdekat istrinya. Sejujurnya dari awal mengenal Rasel beserta teman-temannya, Jehan memiliki rencana untuk berbincang dengan kedua teman Rasel.

Namun sayangnya belum menemukan waktu yang pas sampai saat ini akhirnya bida berbincang bersama salah satu sahabatnya.

"Tapi sekarang gue percaya sama lo, Jehan" Jisya memberikan senyum terbaiknya, menunjukkan juga ketulusan dari perkataannya barusan.

Jehan tidak mengatakan apa-apa, dia hanya bisa tersenyum simpul sebagai responsnya. Sepasang matanya beralih memandangi benda kecil yang melingkar di jari manisnya.

"Gue ngga tau harus bilang apa selain makasih, thanks a lot, Sya. I really appreciate you for wanting to tell me about this"

Marven merogoh ponselnya dari saku dalam jas yang ia kenakan ketika merasa getaran pertanda ada panggilan masuk.

Matanya langsung melolot sejenak saat melihat nama dari orang yang memanggilnya, namun tak lama kemudian Marven berdeham dan merubah ekspresi wajahnya sembari menekan tombol terima panggilan.

"Halo? Ada apa, Bu?"

'MARVEENNN KENAPA BELOM PULANG?! Gue nelfon Jehan daritadi kok ngga diangkat sih?!'

"Em--" Marven menutup speaker ponselnya dan menatap Jehan yang tengah menatapnya juga bertanya siapa dibalik panggilan tersebut.

"Nyonya besar nelfon kenapa ngga lo angkat, hah?!"

Jehan menggidikkan bahunya, "Hape gue disilent"

"Sialan lo, Je" umpat Marven langsung.

'Marvennn????'

Lagi-lagi Marven berdeham sebelum menjawab, "Jehan masih ngobrol sama klien, Sel. Kayanya bentar lagi beres, sabar ya, bu"

Detik itu juga hubungan telfon dimatikan oleh majikannya secara sepihak membuat Marven agak takut datang ke rumah nanti.

"Dimatiin sama bini lo" cetus Marven membuat Jehan dan Jisya tertawa kecil.

"Gue tebak ada kemajuan diantara lo berdua ya?" celetuk Jisya bermaksud mengusili pria beristri itu.

"Kalo diliat-liat lo berdua emang cocok banget sih," lanjurnya.

Jehan menahan untuk tidak tersenyum namun gagal. Lengkungan sangat tipis terukir dibibirnya namun tidak tau harus bagaimana utk merespon wanita itu yang memang sengaja menggodanya.

"Can I ask you something?" tanya Jisya ragu.

"Go ahead"

"Do you love her? Cause I saw the way she looks at you is very different like you're a special person so it's clearly she loves you." kata Jisya sambil tersenyum aneh.

Jehan terbungkam. Dia paling tidak bisa menjwb pertanyaan yang satu itu.

"Ada yang mau lo bahas lagi? Gue harus pergi" kata Jehan sengaja mengalihkan pembicaraan.

"One more thing" Jisya menahan tangan Jehan ketika lelaki itu hendak beranjak dari duduknya.

"Gue janggal aja tentang ini. Jadi sekitar dua atau tiga minggu setelah lo nikah sama Rasel, ada satu pasien mau konsul pasca operasi luka tembaknya. Karena titik bekas operasi itu di area dada otomatis departemen Rasel yang harus turun tangan,"

"Hari itu gue yakin banget kalo itu pertama kalinya Rasel sama pasien ini ketemu, tapi mereka ngobrol kayak udah kenal dari lama dan disitu dia nyebut-nyebut nama lo. Gue ngira pasien ini temen lo, tapi gue ngga liat dia di acara resepsi pernikahan lo waktu itu"

Jisya mengedarkan pandangannya, memastikan dulu tidak ada yang mendengarkannya sebelum ia melanjutkan pengutaraan kejanggalannya.

"Waktu lo pergi ke Singapura gue, Rasel, Lola niatnya mau minum-minum nah di seperjalanan kita bertiga ngga sengaja ketemu pasien ini, tapi gue ngga percaya itu cuma kebetulan"

Marven spontan menatap Jehan. Mereka berdua tau betul siapa pasien dan kemunculannya masa itu memang bukan kebetulan.

Jehan mengetuk-ngetuk jarinya pada meja, tidak tau harud merespon bagaimana karena ini adalah salah satu rahasia yang tak diketahui oleh banyak orang.

Apalagi Jisya termasuk orang luar jadi Jehan tidak bisa sembarang cerita tentang Jeksa, takutnya wanita itu akan terkena imbasnya juga.

"Mungkin ini karena perasaan gue yang terlalu sensitif, tapi ada yang aneh antara Rasel sama pasien ini. Gue liat Rasel ketakutan banget hari itu."

"Nama pasien itu Jeksa kan?" cela Jehan yang membuat Marven membulatkan matanya dan memaki majikannya itu di dalam hati.

Jisya menutup mulutnya yang menganga, "Kok lo tau? Lo beneran kenal dia?! Jangan bilang lo ada kaitannya--"

"Bos, nyonya besar nelfon lagi" sahut Marven sembari melihat ke arah layar ponselnya.

Jehan menilik jam tangannya lalu terkekeh. Ia bangun dari duduknya, "Kayanya gue harus pergi sekarang"

"Once again thank you for today, gue ngga bakal sia-siain kepercayaan yang lo kasih buat gue. Go home safely, Sya"

Jisya mengangguk, "Eh kalo Rasel ngambek lo manjain dia aja, pasti luluh kok"

Tawa kecil keluar dari mulut Jehan, lelaki itu mengacungkan jempolnya pertanda ia paham dengan saran yang Jisya berikan.

Tanpa mengucapkan apa-apa lagi Jehan beserta Marven di belakangnya pergi meninggalkan Jisya dan tempat tersebut. Diluar, Jehan mengubah ekspresinya dengan cepat.

"Gue tau yang terakhir barusan bukan Rasel, siapa?"

Marven mensejajarkan langkahnya agar dirinya tidak perlu mengatakan dengan suara kencang. "Ezzra"

"Ah iya gue baru inget, Ezzra, Jendra, Alaya sama Yaslan punya dua kecurigaan tentang perempuan yang ngebantu misi kita hari itu" ujar Marven.

Langkah kaki panjang Jehan langsung terhenti, ia menoleh dan terpampang raut penasaran dimuka lelaki itu. "Dua? Siapa aja?"

"Pertama, orang-orang dibawah lo. Kedua ruang lingkupnya pertemanan Rase tapi untuk ini gue udah periksa alibi temen-temennya di tanggal itu and nothing suspicious"

"Kalo gitu sekarang lo harus periksa alibi semua orang terdekat yang dibawah gue' kats Jehan yang langsung diangguki Marven.

"Satu lagi, Je. Ezzra baru ngabarin gue dia sama kakak lo curiga kalo tunangan Jeksa ada diantara sahabat Rasel,"

"Sahabat-sahabat Rasel? Atas dasar apa? He's found something about them?"

Marven menggeleng ragu, "Gue belum tau, tapi gue rasa kita harus hati-hati. Jadi menurut lo antara Lola atau Jisya?" tanyanya berhati-hati.

"Bukan Jisya." tukas Jehan langsung dan terdengar sangat yakin. Marven cukup ragu dengan balasannya ini.

"Kenapa lo yakin banget bukan dia?"

Jehan menatap Marven dengan serius, "Gue bisa liat ketulusan dari matanya,"

"Jadi menurut lo--" Marven mengikuti Jehan yang kembali berjalan menuju mobilnya.

"Lola?"

to be continued~~~

sooooo glad to be back!!! UAS nya dah beres nich, kalian gimana?

yok ngaku siapa yang kemarin ovt sama Jisya? 🤣🤣

Untuk part ini, how was it?

jangan lupa vote ya!

fyi. ini draft untuk cerita baru yang bakal gue rilis setelah cerita ini tamaatt. Jujur draftnya udah >10 kiwww


always want to say this, thankss a lot for your support. Loovee from me muavh😙

see u di part selanjutnya, besties!

Continue Reading

You'll Also Like

90.3K 10K 30
"Tunggu perang selesai, maka semuanya akan kembali ketempat semula". . "Tak akan kubiarkan kalian terluka sekalipun aku harus bermandikan darah, kali...
144K 14.3K 26
Xiao Zhan, seorang single parent yang baru saja kehilangan putra tercinta karena penyakit bawaan dari sang istri, bertemu dengan anak kecil yang dise...
158K 11.8K 86
AREA DILUAR ASTEROID🔞🔞🔞 Didunia ini semua orang memiliki jalan berbeda-beda tergantung pelakunya, seperti jalan hidup yang di pilih pemuda 23 tahu...
AZURA By Semesta

Fanfiction

220K 10.6K 23
Menceritakan sebuah dua keluarga besar yang berkuasa dan bersatu yang dimana leluhur keluarga tersebut selalu mendapatkan anak laki-laki tanpa mendap...