Blasio Note

By swp_writingproject

5K 1.5K 166

Bagaimana jadinya bila seorang penulis tidak mampu menulis lagi? Kamala adalah seorang editor sekaligus penul... More

1 Cahaya di Atas Cahaya
2 Orang Pencemas Mati Hanyut
3 Novel Stensilan
4 Mantan Pacar
Mari Kenalan
5 Jarak Cinta
6 Sang Penghafal
7 You are Not Alone
8 Cinta adalah ....
9 Segitiga Hati
10 Calon Imam Rumah Tangga
11 Lahirnya Alter Ego
12 Blasio Note
13 Ablasio Retina
14 Insyaallah Kita Bertemu Lagi
15 Kenyataan yang Menyakitkan
17 Kontrakan, I Love You!
18 Menikahi Cinta atau Iman?
19 Kegelisahan Dua Hati
20 Salah Paham
21 Gelap Mata dan Hati
22 Light after Darkness
23 Esok 'kan Lebih Baik
24 Mitsaqan Ghalidza
25 Volunteer Jiwa
26 Menulis Rencana Masa Depan
Epilog

16 Hak untuk Hijrah

149 53 3
By swp_writingproject

Kamala uring-uringan. Suasana hatinya turun drastis. Pertemuan dengan Nando dan Amara masih meninggalkan perasaan tidak nyaman di dirinya.

"Kam, ada tamu di lobi bawah. Minta ketemu sama elo."

"Siapa?" tanya Kamala pada rekannya yang baru saja kembali dari tugas luar.

"Namanya Sarah. Katanya dia sudah minta izin naik, tapi nggak elo izinin."

Gerakan tangan Kamala di atas tombol kibor langsung terhenti. Pandangannya membeku terpaku ke layar laptop.

"Buruan gih, kasih izin. Manis anaknya. Lumayan buat cem-ceman."

Kamala tak menggubris permintaan rekan kerjanya. Dia menunggu lelaki itu pergi sebelum mengirim pesan ke resepsionis bawah.

[Tolong bilang pada siapa pun tamu yang mencari. Saya sedang ada tugas luar. Minta mereka tinggalkan pesan untuk saya. Terima kasih.]

Wanita itu menghela napas panjang. Dia tidak suka kucing-kucingan dengan Sarah. Namun, apa daya. Kondisinya memang sedang tidak bersemangat untuk bertemu siapa pun.

Sejujurnya Kamala malah sangat ingin menutup akses komunikasi dengan semua orang. Keinginannya untuk tenggelam dalam cangkang kehidupannya dan mengisolasi diri dari dunia luar jauh lebih menggoda dibandingkan prospek mendapat rezeki dari bersosialisasi dengan orang lain. 

"Kam, ada deadline lagi nggak?"

Cangkang Kamala yang semula tertutup rapat kembali membuka. Sedikit. Hanya sedikit. Sekadar cukup untuk mengintip siapa yang bertanya padanya.

"Udah nggak," jawabnya jujur.

"Mau bantuin gue nggak? Ada proyek satu lagi ini. Minggu depan deadline, tapi gue baru kelarin tiga puluh halaman."

Kamala mengerjap-ngerjapkan mata. Dia tahu tabiat teman-teman kerjanya. Hanya baik kalau sedang ada butuh. Saat urusan sudah selesai, mereka akan kembali merisaknya dan menganggap diri mereka paling sepaling-palingnya.

Lalu Kamala teringat perkataan Ridwan. Sekali-kali dirinya perlu mengatakan 'tidak' pada permintaan orang lain. Khususnya jika permintaan itu berpotensi membuat kehidupannya yang damai jadi terganggu.

"Maaf, nggak bisa," tolak Kamala lirih.

Terjadi keheningan sejenak. Kamala mencoba tidak menatap temannya. Otaknya terus memproses satu rencana besar yang akan dilakukan bila naskah Syaron sudah masuk masa pra pesan.

"Sombong banget, sih. Mentang-mentang selalu jadi kesayangan bos."

Kepalan tangan Kamala terbentuk di samping laptop. Dia memejamkan mata. Telinganya mendengar suara langkah kaki menjauh disertai gumaman penuh kekesalan.

Kamala tidak peduli. Sejujurnya dia juga mulai tidak mau peduli dengan pandangan orang lain pada dirinya. Benak wanita itu hanya dipenuhi oleh penyakit yang kini tengah diderita. Kamala sudah tak sabar untuk mengeksekusi rencananya terkait ablasio retina yang dia derita.

Perlahan Kamala undur diri dari ruangan. Dia menaiki rooftop. Satu-satunya tempat yang dinilainya paling aman di kantor. Tempat di mana dia tidak perlu berinteraksi dengan orang lain dan bisa merenung sepuas hati.

Suasana rooftop yang cukup panas tidak menyurutkan Kamala untuk berdiam diri di sana. Dia memilih satu tempat cukup teduh yang letaknya tepat di samping blower. Wanita itu lantas membuka kotak bekal dan mulai menyantap ayam goreng yang sudah dingin.

"Sebentar lagi," ujarnya pada diri sendiri. "Setelah Syaron final selesai, kamu bisa pulang, Kam."

Pandangannya terpekur. Embusan angin membawa udara panas yang membuat kulit wajahnya tersengat. Dulu Kamala selalu merasa gerah. Beberapa kali dia pasti mengeluh jika hawa panas itu menerjang kulitnya.

Namun, sekarang berbeda. Tubuh Kamala sudah tertutup rapat. Kerudung yang dikenakannya juga membuat kepalanya terlindung dari terik panas. 

Anehnya, Kamala tidak merasa gerah. Seluruh ketakutannya hilang sudah saat pertama kali mencoba memakai hijab. Justru perasaan damai yang menenangkan tidak henti menyelimutinya.

Dan Kamala suka itu.

Tangannya meraba kain halus yang membungkus kepala. Sekarang aktivitas Kamala berubah. Dia tidak lagi hanya sekadar makan siang sambil melamun, atau makan siang sambil membaca buku-buku favorit.

Kamala kini punya rutinitas baru yang membuatnya senang. Kali ini wanita itu membawa papan tablet dan mulai membaca fikih wanita, satu buku digital yang dibelinya dari salah satu situs web penerbit besar Indonesia.

Tengah asyik membaca, Kamala nyaris meloncat dari duduknya karena kaget. Seseorang menepuk bahunya dari belakang. Seraut wajah oval dengan senyum lebar terlihat tengah menatap ke arahnya.

"Sarah?" pekik Kamala terkejut.

Perempuan itu tertawa kecil. Tanpa menunggu dipersilakan, dia duduk tepat di sebelah Kamala. Tidak ada jarak di antara mereka sebab Sarah juga tengah mencari tempat berteduh.

"Benar kata Mas Dion. Mbak Kama memang suka menyepi di atap." Perempuan muda itu cekikikan. Dia melirik ke arah wanita yang masih terlihat syok di sampingnya. Wajah ramah Sarah kontradiktif dengan ekspresi Kamala yang gado-gado tidak karuan.

"Kok, bisa ada di sini?" Kamala bertanya tergagap-gagap.

"Terbang, Mbak," kekeh Sarah keras.

Saat melihat Kamala terus berdiam diri, perempuan itu akhirnya berkata.

"Aku nekat naik. Toh, gedungnya nggak diprivat. Lift bisa bebas dinaiki siapa aja. Jadi, yah. Iseng aja nyari Mbak Kama di sini. Ternyata ketemu."

Keheningan memekakkan terjadi. Kamala kembali menundukkan pandangan. Dia salah tingkah, tidak tahu harus bersikap bagaimana.

Anehnya Kamala tidak merasakan ketidaknyamanan. Justru sebaliknya, Sarah yang ada di sisinya malah memberikan kehangatan yang tidak pernah diketahui Kamala bisa muncul dari dirinya.

"Mas Dion udah balik ke Malang, Mbak." Sarah melaporkan.

Kamala hanya mengangguk singkat. Dia kembali terdiam. Wanita itu bisa merasakan tatapan penasaran Sarah tertuju padanya.

"Aku nggak nyangka Mbak Kama akhirnya berhijab. Alhamdulillah."

Kamala mendongak. Dia tidak salah dengar. Suara Sarah penuh rasa syukur yang tulus. Tidak ada kepura-puraan pada diri perempuan itu.

Kamala mendadak disengat keharuan. Matanya berkaca-kaca. Susah payah wanita itu mencoba menahan diri agar tidak menangis. Sikap Sarah membuatnya sangat diterima.

"Mas Dion udah nitipin Mbak Kama sama kami."

Kamala menoleh. Bola matanya membesar. "Kami?" tanya wanita itu bingung.

Sarah tersenyum. "Itulah yang ingin aku katakan sama Mbak. Tapi Mbak nggak mau ketemu aku."

"Bisa tinggalkan pesan, kan?" Kamala menelengkan kepala.

"Ribet, ah. Entar juga Mbak Kama cuma baca doang." Sarah tertawa.

"Dosa prasangka buruk ke orang." Kamala menegur.

"Cieee ..., yang udah mulai bahas dosa." Sarah masih tertawa.

Bibir Kamala melengkung membentuk senyum tipis. Pandangannya menerawang ke depan. Tatapannya terpaku ke arah puncak gedung tinggi di seberang kantornya. Di latar belakang langit cerah dengan matahari yang bersinar terik sedikit membuat pusing. Kamala kembali memejamkan mata.

"Kami itu ... aku dan teman-teman kampus aku. Kami sering adakan kajian rutin. Mbak Kama boleh ikut, loh."

Kajian.

Mendengar kata itu, batin Kamala tersentak. Kajian seolah jauh dari bayangan seorang Kamala. Dia meringis dalam hati. Kehidupan duniawinya ternyata sudah sangat mendominasi sampai-sampai Kamala merasa sangat asing mendengar kata-kata bermakna religius.

"Apa aku pantas?" 

Pertanyaan itu tercetus begitu saja. Kamala langsung membekap mulut. Sadar jika dirinya tidak seharusnya menanyakan hal itu.

Namun, tawa renyah Sarah kembali menenangkan hati Kamala. Pandangan keduanya bertemu.

"Kenapa nggak pantas? Kajian itu hak semua orang beragama Islam. Termasuk juga hijrah." Sarah menatap lekat-lekat sosok berkerudung rapat di sampingnya. 

"Terus mencari hidayah dan berhijrah juga hak setiap muslim. Harusnya sih, nggak ada larangan. Sayangnya manusianya yang masih suka ngasih larangan ke diri sendiri untuk berubah jadi lebih baik."

Pipi Kamala memerah. Dia tahu perkataan Sarah tidak bermaksud menyindir. Namun, ucapan perempuan muda itu menohok hati Kamala.

"Kalau Mbak Kama mau, kapan-kapan aku ajak ke tempat kajian aku. Tenang aja. Nggak ada doktrin apa-apa kok, Mbak. Cuma kajian biasa." 

Sekali lagi wajah Kamala memerah. Dia merasa malu. Sudah begitu asingkah Islam bagi Kamala sampai-sampai untuk mengajak kajian pun Sarah sampai perlu menenangkan dirinya?

"Oke." Hanya itu jawaban yang meluncur dari mulut Kamala.

Mereka mengobrol sampai jam istirahat usai. Saat Sarah akhirnya pulang dan Kamala kembali ke meja kerjanya, hati wanita itu masih diselimuti kebahagiaan. 

Sarah ibarat keluarga baru yang ditemukannya. Keberadaan Sarah berbeda dengan keluarganya di panti asuhan. Ada sesuatu dalam interaksinya dengan Sarah yang membuat Kamala merasa nyaman dan kembali bersemangat untuk berubah jadi lebih baik.

Bonusnya lagi Sarah termasuk anak gaul yang sangat up to date dengan berita-berita terkini. Mengobrol dengan Sarah bahkan jauh lebih menyenangkan dibanding bersama Dion. Mungkin karena mereka sama-sama wanita, jadi ada rasa pengertian otomatis yang muncul di antara Kamala dan Sarah.

"Circle pertemanan yang gaul, tapi tetap dekat sama Allah memang another level of happiness." Kamala tersenyum senang.

Bibirnya mulai bisa bersenandung lirih. Sayangnya kebahagiaan terlalu cepat dirasa Kamala. Biasanya sesuatu yang datang dengan cepat juga akan berakhir dengan cepat pula.

Itulah yang terjadi pada Kamala. Saat dia membuka laptop, wanita itu dikejutkan dengan belasan pos eletronik dari Nando.

"Ngajak balikan? Dia udah putus dari Amara karena masih cinta sama aku? Duh, ini orang kelainan jiwa apa mentalnya lagi terganggu? Enak banget kalau ngomong."

Tanpa berpikir panjang Kamala langsung menghapus surel Nando. Dia fokus bekerja, sesekali mengucek mata karena sakitnya kembali kambuh. Namun, ketenangan Kamala kembali diuji saat dirinya pulang kantor.

Wanita itu menimang amplop di tangannya. Dia berdiri dan mengedarkan pandangan ke penjuru ruangan. Kantornya telah sepi orang. Jam pulang memang sudah terlewati selama tiga puluh menit.

"Apa ini keputusan yang tepat?" Kamala bertanya pada dirinya sendiri.

Dia menunduk. Amplop di tangannya hanya berisi selembar kertas. Namun, bebannya serasa tengah memegang sepuluh buku tebal hanya dengan satu tangan.

Kamala menelan ludah. Dia menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan. Langkahnya bergema di ruangan yang sunyi.

"Bismillah. Bantu aku ya, Allah." Kamala berucap saat membuka pintu dan masuk ke ruangan sejuk berpendingin udara.

Bersambung --->>

Continue Reading

You'll Also Like

250K 14.4K 35
Spin off: Imam untuk Ara cover by pinterest follow dulu sebelum membaca.... ** Hari pernikahan adalah hari yang membahagiakan bagi orang banyak,namun...
859 247 27
Anzilla Jhonson, wanita Amerika keturunan Yahudi yang begitu benci dengan islam karena cerita turun-temurun di keluarganya. Dia sengaja berkuliah di...
460K 38.6K 39
"1000 wanita cantik dapat dikalahkan oleh 1 wanita beruntung." Ishara Zaya Leonard, gadis 20 tahun yang memiliki paras cantik, rambut pirang dan yang...
169K 2.4K 5
Kala rasa itu telah tenggelam oleh luka yang dalam. Apakah kamu yang akan datang dan bertahan. Terus mengetuk pintu hati dan memelukku dengan cinta...