9 Segitiga Hati

145 54 7
                                    

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.



Rezeki itu tidak ada yang tertukar, nyasar, apalagi salah alamat. Termasuk rezeki sehat dan kemudahan segala urusan.

~~oOo~~

"Hah? Bukan!" 

Kamala langsung menggeleng keras. Tawanya terdengar pelan.

"Dia bukan tunangan aku. Kenal juga baru di pesawat dari Medan kemarin."

Ridwan terdengar menghela napas panjang. Bibir lelaki itu melengkung ke atas.

"Baguslah."

"Hah? Kok, bagus malahan?" Kamala kebingungan.

"Udah, ah. Gue mau balik dulu. Bye, Kam."

Kamala bengong. Dia bingung dengan sikap aneh Ridwan. Namun, wanita itu tak ingin terlalu ambil pusing.

Dia juga segera pergi meninggalkan ruang rapat. Kamala sengaja tidak tinggal di kubikelnya. Langkahnya terus tertuju keluar kantor dan menyusuri trotoar yang lumayan panas tersiram cahaya matahari.

Kamala terus berjalan tanpa memperhatikan arah dan tujuan. Dia hanya ingin menjauh sejenak dari suasana kantornya yang penuh permusuhan. Wanita itu sudah hafal bila saat ini dirinya nekat kembali kee kubikelnya, perundungan akan diterimanya kembali.

“Mbak Kamala?”

Langkah wanita itu terhenti seketika. Jantungnya berdebar kencang. Sangat perlahan dia menoleh hanya untuk mendapati harapannya masih jauh panggang dari api.

Entah harus senang atau bersedih karena tidak menemukan Dion, wanita itu membalas senyum lebar yang diberikan Sarah. Adik Dion itu berdiri di belakangnya dengan menenteng ransel besar.

“Pulang kerja, Mbak?” Sarah berbasa-basi.

Kamala menggeleng. “Baru istirahat.”

Wanita itu tidak balas bertanya. Dia sedikit kebingungan membuka percakapan. Suasana canggung tercipta di antara mereka berdua.

Namun, sifat Sarah berbeda seratus delapan puluh derajat dibanding sifat Kamala. Perempuan muda itu mengoceh penuh semangat, meski tahu Kamala tidak terlalu merespons.

“Aku baru pulang kuliah, Mbak. Seneng aja gitu karena dosennya nggak dateng. Eh, Mbak sudah makan? Kalau belum, makan bareng, yok? Aku yang traktir.”

Kamala langsung menggeleng-gelengkan kepala. Dia buru-buru menjelaskan saat melihat gurat kecewa di wajah Sarah.

“Bukan kamu yang harus traktir aku.” Kamala segera menjelaskan. “Biar aku saja yang traktir.”

“Oke. Setuju.” Wajah Sarah semringah.

Berdua mereka kembali berjalan menyusuri trotoar. Ada satu kafe kecil berkonsep back to nature tidak jauh dari lokasi kantor Kamala. Tepat di samping kafe tersebut adalah butik pakaian khusus muslimah dengan interior shabby chic yang menenangkan mata.

Blasio NoteWhere stories live. Discover now