17 Kontrakan, I Love You!

152 51 5
                                    

[Jangan lupa klik lagu di atas sambil baca chapter ini, ya.]


💜💜💜💜💜


Rumah itu tidak perlu mewah. Asalkan dia lapang dan memberikan kenyamanan pada siapa pun yang hendak pulang padanya.

 

~~oOo~~

Kontrakan, I love you!

Kamala menghirup dalam-dalam udara pagi hari di jam lima pagi. Suasananya cukup dingin dan sejuk. Namun, wanita itu tahu jika Malang saat ini memberikan tipuan pada warga barunya.

Sepekan sudah Kamala tinggal di kota ini. Dan label Malang sebagai kota yang dingin hanya bertahan di dini hari sampai pagi menjelang. Setelahnya kota ini punya tingkat kegerahan yang cukup tinggi, meski masih lebih rendah dibanding Jakarta.

“Enaknya ngapain aku hari ini?” Kamala yang sudah selesai berolahraga kilat langsung kembali masuk rumah.

Dia melemparkan diri ke sofa kecil warna merah marun. Satu-satunya tempat duduk di ruangan publik lantai bawah. Sisanya adalah lesehan dan lesehan.

Kamala beruntung mendapatkan rumah kontrakan yang nyaman di lingkungan individualis. Itu cocok dengan karakternya. Tinggal masuk rumah, bersibuk-sibuk ria dalam rumah, tanpa perlu merisaukan tetangga julid.

Tentu fasilitas yang cenderung egois itu membutuhkan dana tidak sedikit. Namun, Kamala tak masalah. Harga sewa rumah mencapai lima belas juta rupiah per tahun dinilainya affordable dan worth it dengan karakter para tetangga yang tidak sibuk mengurusi orang lain.

Seolah mengetahui jika Kamala tengah gabut, ponsel di atas meja berdering nyaring. Wanita itu hanya melirik tanpa berniat mengangkat panggilan.

“Maafin Kama, Buk. Kama nggak bisa ke panti sekarang.” Wanita itu berkata pada diri sendiri.

Dia sudah memberi tahu panti tempatnya dibesarkan tentang resign yang dilakukannya. Ibu panti menanyakan akan ke mana Kamala pergi, yang dijawab wanita itu dengan bahasa singkat dan datar.

Malang.

Ke sanalah Kamala kembali pulang setelah merantau bertahun-tahun. Alih-alih menetap di panti asuhan, Kamala justru menyewa sebuah rumah dua lantai di wilayah Griya Shanta.

Telepon tadi adalah panggilan kesekian kalinya dari ibu panti yang mengundangnya datang ke panti asuhan. Kamala tidak siap menerima berondongan pertanyaan tentang alasan pengunduran dirinya. Dia menolak dengan berbagai dalih.

Namun, Kamala tahu cepat atau lambat dia harus bertemu orang tua asuhnya. Suka atau tidak suka Kamala harus menghadapi risiko itu.

“Apa yang harus aku lakukan sekarang?” Wanita itu bertopang dagu.

Laptop terbuka dalam kondisi mati. Gairah menulis Kamala lenyap. Setelah naskah Syaron selesai minggu lalu, wanita itu hanya menganggur.

Dia ingin menulis, tetapi kondisi matanya mulai tidak memungkinkan. Mau membaca pun tambah susah karena huruf-huruf di halaman buku terlihat seperti tinta luntur terkena air. Tak bisa terbaca mata Kamala.

“Ya, Allah. Susah sekali hidupku, sih?” Wanita itu mengeluh. “Mana sendirian pula di sini. Kenapa sejak kenal Dion sama Sarah, aku jadi merasakan benar-benar kesepian saat sendiri?”

Kamala menyalakan laptop. Dia teringat rencana kajian yang diutarakan Sarah. Sayang keputusannya resign dan pindah dadakan membuat rencana itu hanya tinggal rencana.

Blasio NoteWhere stories live. Discover now