Menolak Move On [Hiatus]

بواسطة shbakri

133 22 4

[Teenfiction - Spiritual - Spin-off Menolak Bersama] Prinsip yang Hanif bangun untuk tidak menikah sebelum ki... المزيد

Prologue
Bab 01 - Insiden
Bab 02 - Atmosfer Bumi

Bab 03 - Rupanya Dia

28 3 1
بواسطة shbakri

No promises, but I will try to give my best.

•••••

Genggaman hangat dari cinta pertama saya berhasil menguatkan hati seperti tengah menolak keras takdir yang sedang dijalani. Belaian yang begitu lembut itu mengisyaratkan bahwa semua akan baik-baik saja dan memang ini yang terbaik.

Melihat saya yang masih terlihat belum ikhlas, Ayah menepuk pelan pundak saya sambil berkata, “Ikhlaskan Eila, ya? Dia bukan untuk kamu.” Saya hanya mengangguki itu. Semoga saya bisa seperti Abu Qilabah yang tetap bersyukur dan sabar meskipun anaknya telah dimakan singa di atas gundukan pasir.

Langkah kaki yang kami dengar kian dekat. Kini dua pasang sandal yang tengah melangkah ke mari juga bisa saya lihat. Seketika jantung saya berdegup jauh lebih cepat dibanding saat menabrak Bu Ratna kemarin.

“Assalamualaikum.”

Suara lembut itu menghipnotis. Saya menunduk masih tak mau melihat perempuan yang akan menikah dengan saya. Sungguh, saya takut ekspektasinya tentang saya buyar.

Mama menyenggol ketika saya tak kunjung menjawab salam itu. Dari iris mata saya bisa menangkap bahwa perempuan itu sudah mengambil posisi duduk bersebelahan dengan ibunya yang jaraknya dengan Ayah juga tak begitu jauh. Ya Allah, semoga saya tidak terkena serangan jantung mendadak.

Kemudian saya menjawab salamnya belum berani. Area yang saya lihat hanya kaki yang menginjak lantai rumah asing ini.

“Ini ... putri saya.” Saya bisa menangkap Bu Ratna tengah menatap kami sambil memegang dua bahu putrinya. “Yolanda namanya.”

Yolanda? Nama itu seperti tidak asing. Di mana saya pernah mendengarnya? Ingin melihat siapa perempuan itu, kepala saya rasanya berat dan enggan untuk mendongak.

“Yolan, ini Hanif. Calon suami kamu,” imbuh Bu Ratna memperkenalkan diri saya.

“Hanif?” saya mendengar suara Yolanda mengulang nama saya. Sepertinya dia juga tidak asing dengan saya. Apa jangan-jangan?

Seketika saya mendongak dan menatap perempuan itu. Subhanallah betapa terkejutnya saya dengan sosok yang kini duduk di samping Bu Ratna. Dia juga tak kalah terkejut dari saya.

Kaki saya langsung tegak. Berdiri dari sofa dan mengusap wajah kasar. Saya benar-benar tidak menyangka dengan semua plot twist dari Allah mengenai ini semua. Apa harus Yolanda?

Ya Allah bagaimana saya menahan diri untuk tidak menyakitinya, jika perempuan ini satu-satunya media yang menghubungkan saya dengan Eila saat itu. Dia pasti tahu bagaimana perasaan saya saat ini. Sama sekali tak berubah jika itu mengenai Eila.

“Kalian saling kenal?” tanya Ayah. Saya memijit pelipis. Masih belum 100% percaya bahwa Yolanda adalah anak Bu Ratna. Pantas saat wanita itu menunjukkan foto anaknya saya tidak asing, bahkan Bu Ratna sendiri memastikan bahwa saya mengenal anaknya saat itu.

“Mereka teman saat SMA.”

Jangan tanyakan bagaimana terkejutnya kedua orang tua saya dengan penjelasan yang Bu Ratna kasih barusan. Kenyataannya, doa yang saya panjatkan ingin dinikahkan dengan teman SMA diijabah oleh Allah. Sayangnya saat itu saya lupa tidak meminta jika Eila orangnya. Kini, doa itu terkabul dengan sosok baru yang akan menjadi pelengkap iman ini.

Apa harus Yolanda?

“Nif?” Mama ikut berdiri. Dia mengelus pundak saya berusaha menguatkan. Kisah masa lalu ini belum selesai, dan saya harus menikah dengan teman dekat masa lalu saya? Impossible. Ya Allah, saya masih berharap bahwa semua ini mimpi. Tolong bangunkan saya sekarang juga. Halo kamera, saya tidak kuat.

—————

Setelah lamaran singkat hari itu, pihak keluarga memutuskan untuk mempercepat hari pernikahan saya. Katanya, niat baik harus disegerakan. Itu artinya saya akan segera melepas masa lajang. Saya akan mempersunting seorang wanita untuk menjadi permaisuri dan menduduki singgah sana di samping saya. Kami akan beriringan, bergandeng tangan menggapai rida Illahi. Namun, yang menjadi pertanyaan apa bisa?

Hari ini kami akan melakukan fitting gaun pernikahan. Tentu tidak hanya berdua, ada Mama dan juga calon mertua saya, Bu Ratna. Ya Allah, jika memang saya harus melepas masa lajang ini tidak dengan Eila, saya ikhlas.

Tidak ada percakapan romantis seperti calon pengantin pada umumnya, setelah mencoba beberapa gaun, kami melepasnya kembali dan pergi mencari gedung yang cocok untuk suasana pernikahan indoor. Selama perjalanan hanya ada kerusuhan Bu Ratna yang nampaknya menjadi orang paling antusias di sini, sesekali saya juga meladeninya agar tak sampai tersinggung.

Rasanya memang ingin berandai-andai. Jika saja agama saya tidak melarang itu, mungkin saat ini yang keluar di mulut hanya andai, andai, dan andai. Andai saya tidak menabrak Bu Ratna hari itu, misalnya.

“Ini gedungnya bagus. Di depan ada taman, bisa untuk area smooking, atau justru kalau ada yang bosen di dalam, mereka bisa keluar refresh pikiran,” kata Bu Ratna. Sorot matanya mengedar menikmati suasana gedung yang sepertinya akan menjadi kesepakatan.

“Bu, ini kan pernikahan Yolan dan Hanif—”

“Mas Hanif, Yolan,” koreksi ibunya saat perempuan yang akan menjadi calon istri saya memanggil tanpa embel-embel mas, meskipun sedikit geli mengingat umur kami sama, tapi apa boleh buat?

“Iya, ini kan pernikahan Yolan sama Mas Hanif biar kita aja yang nentuin konsepnya gimana. Kasih kesempatan juga buat Mas Hanif milih, Bu,” kata Yolanda seperti tak enak pada saya. Padahal saya tidak merasa keberatan sama sekali. Mau konsep seperti apa, saya ikut saja. Selama tidak melanggar syariat.

Lho, ya nggak papa Ibu ikut campur. Kalau Ibu sama Mama mertua kamu pasrahin semuanya ke kalian ya bisa hancur konsepnya. Makanya Ibu pilihin, biar nanti pas udah saling cinta terus flashback hari pernikahan kalian nggak sedih-sedih banget.” Bu Ratna berkata demikian karena beliau tahu jika pernikahan ini atas dasar tanggung jawab saya kepada beliau, bukan semata-mata mencintai putrinya.

Saya melihat Mama mengelus lengan Yolanda menenangkan. Beliau juga sempat mencubit gemas pipi perempuan itu. “Udah nggak apa-apa. Pasrahin semua ke orang tua. Biar nggak kecewa. Benar kata Ibu kamu, kalau menyesuaikan sama konsep kalian ya nggak jadi-jadi nikahnya. Percaya sama Mama dan Ibu, ya?”

Lagi-lagi saya merasa aneh saat Mama memanggil dirinya mama di hadapan perempuan yang akan menyandang status sebagai calon istri ini. Rasanya seperti masih asing. Saya berdoa semoga istilah asing dalam satu atap tidak terjadi dalam kehidupan pernikahan kami.

Mama dan Bu Ratna mulai berjalan mengelilingi area gedung dan meninggalkan saya dengan Yolanda dalam kecanggunggan. Kami tidak sendiri, masih ada dua pegawai yang berada tak jauh dari tempat kami.

Em, Mas.”

Saya mendengar suara itu ragu-ragu. Sejak lamaran singkat hari itu, kami tidak membicarakan apa-apa memang. Mungkin Yolanda baru akan membicarakannya sekarang.

“Maaf kalau Ibu aku jadi seenaknya gini. Aku juga nggak tau kenapa beliau bisa minta bentuk tanggung jawab kayak gini. Aku ....”

Belum selesai melanjutkan bicara, saya langsung menyela tak ingin mendengar permintaan maaf yang sama sekali bukan kesalahannya. “Saya nggak papa. Ini takdir,” ucap saya sekenanya.

Seberusaha apa untuk bersikap biasa-biasa saja kepada Yolanda, hati saya ternyata masih enggan untuk melakukannya. Semua masih terasa sangat kaku.

“Kita bisa buat kesepakatan pernikahan kalau Mas mau,” katanya. Saya menoleh seketika. Kesepakatan? Astaghfirullah, di zaman seperti ini dia masih menganut rangkaian cerita fiksi dari makhluk fana.

“Tidak ada kesepakatan pernikahan. Saya ingin pernikahan ini menjadi ta’aruf seumur hidup. Tegur saya jika saya ada salah, saya pun akan begitu ke kamu. Kita sama-sama saling menjalankan kewajiban dan hak,” kata saya. Tanpa memandang ke arah perempuan itu, saya kembali berkata, “Saya paham, mencintaimu akan menghadirkan sebuah resiko yang berat, bahkan, kecil untuk saya bisa melewatinya, tapi saya akan berusaha untuk itu. Tolong percaya.”

•••••

To be continued.

Masih ada yang nggak rela kalau Hanif bakal mau nikah? Hihi, sama :)

All rights reserved. Tag my wattpad account if you want to share anything about this stories.

Indonesia, 18 Juli 2022 | Jangan lupa prioritaskan Al-Qur’an.

واصل القراءة

ستعجبك أيضاً

269K 15.4K 38
Spin off: Imam untuk Ara cover by pinterest follow dulu sebelum membaca.... ** Hari pernikahan adalah hari yang membahagiakan bagi orang banyak,namun...
217K 15.5K 47
ini cerita pertama maaf kalo jelek atau ngga nyambung SELAMAT MEMBACA SAYANG(⁠≧⁠▽⁠≦⁠)
19.3K 3.6K 3
[A DAN Z UNIVERSE] Dibaca berurutan: A dan Z, ATHARRAZKA, ATHARRAZKA 2: Aryan, ATHARRAZKA 3: Zyana. Zyana Falisha Atharrazka, anak perempuan semata w...
6.4M 504K 118
"Kenapa harus Ocha abi? Kenapa tidak kak Raisa aja?" Marissya Arlista "Saya jatuh cinta saat pertama bertemu denganmu dek" Fahri Alfreza