TESTIMONI TIME😍
Yuk yang mau bisa ke shopee, tokopedia, atau lazada mowteaslim ya! Atau WhatsApp 0896032104731🤗
___________
Playlist ~ Tak Mungkin ku Melepasmu (Dygta)
__________
Dilarang baca sebelum vote, chapter ini lebih panjang. Melanggar? Tanggung sendiri akibatnya di kemudian hari:)
__________
PLAK!!
Bukan, bukan pipi Gatra yang merasa panasnya tamparan sang ibu. Saat membuka mata, yang ia lihat justru ibunya berdiri di depan sang istri dengan posisi tangan istrinya menyentuh pipinya sendiri.
Layangan tangan itu bukan mendarat di pipi Gatra yang sudah siap untuk segala konsekuensi yang harus ia terima, tapi tamparan itu justru melayang ke pipi mulus Kana, istrinya yang mendapat tamparan mentah-mentah dari sang mertua.
"Dasar perempuan jalang!" Maki Mak Samil pada gadis yang tega mengambil
putranya dari ibunya sendiri.
Sakit itu bukan hanya Kana rasakan di pipinya, tapi lubuk hatinya jauh lebih merasakan pedih akibat penolakan mertuanya ini. Gadis muda itu menunduk sembari menyentuh jemarinya ke pipi kanan miliknya, berharap pedih bekas tamparan itu lekas hilang.
Dalam tunduknya, tanpa Kana sadari air matanya menetes. Tak pernah sama sekali ia mengharapkan penolakan dari ibu kandung suaminya, ya ibu mertuanya sendiri.
Dari sekian banyak cerita fiksi yang ia tamati, mengapa harus bagian ini yang terjadi dalam hidupnya?
"Mak!" Pekik Gatra yang terkejut akan layangan tangan ibunya kepada pipi Kana. Refleks pria itu menarik tangan Kana yang menutupi pipinya dan mengelus bekas tamparan barusan.
Nilam yang menyaksikan itu sontak menarik tangan ibunya, ia tidak menyangka ibunya tega menampar Kak Kana, meskipun Nilam juga paham, hati Maknya lebih sakit menghadapi kenyataan ini.
"Mak istighfar," Ucap Nilam sembari menenangkan emosi ibunya. Raut cemas gadis itu tampak ketara sekali.
"Kau perempuan yang buat anakku durhaka sama ibu kandungnya sendiri!" Maki Mak Samil dengan bentakannya lagi pada Kana. "Puan tak tau diri!"
Nilam menatap Abangnya yang masih menenangkan istrinya dengan tatapan khawatir. "Mak udah jangan ribut di sini, nggak enak sama tetangga kamar." Sahut Nilam. "Ayo masuk dulu, Bang, Kak."
Benar saja, Nilam menarik tubuh ibunya untuk lekas masuk ke kamar hotel itu. Ditariknya bangku agar Kana dan Abangnya bisa duduk, sementara ibu dan dirinya duduk di ranjang.
"Kau tau? Aku menghidupi anakku dari dia di rahimku sampai dia sudah menjadi seperti ini, aku! Aku rawat anakku, aku sapih dia, aku didik dia. Sekarang kau datang dan ambil anakku tanpa restuku?!" Hati Samil makin sakit saat melihat gadis yang bersama dengan putranya.
Tanpa sadar emosi itu menghadirkan air mata di pelupuk matanya. "Kau pun seorang perempuan, seharusnya bisa berpikir! Bagaimana kalau suatu saat anakmu mencampakkan ibunya sendiri!"
Jemari Nilam mengelus pundak ibunya, "Mak, tenang..." Bisiknya. Ia khawatir karena kakak iparnya tengah mengandung. Takut ucapan Maknya menjadi doa untuk janin tersebut.
"Biarlah, Nilam," Tolak Samil. "Rasa sakit hatiku jauh lebih pedih dari tamparan di pipi kau tadi. Aku ini ibunya! Kau ini siapa?! Perempuan asing yang bahkan aku tak tau bibit bobot bebetmu!"
Kana masih menunduk, tak berani ia tatap mata ibu mertuanya. Khawatir suara tangisnya akan semakin terdengar. Sementara Gatra, dia duduk di samping istrinya sembari terus mengelus punggung gadis itu.
"Dan..." Samil menggantungkan kalimatnya, "Asal kau tau, anakku sudah ku jodohkan dengan anak orang terpandang di kampung," Ujarnya.
Detik itu juga Kana mendongak, genangan air mata dan wajah memerah itu terlihat jelas. Keterkejutan di raut wajahnya semakin bertambah kala melihat Nilam menunduk.
Jadi Nilam sebenarnya sudah mengetahui perjodohan itu?
"Apa-apaan, Mak?" Tanya Gatra yang kini membuka suaranya. Demi Tuhan ia khawatir akan menjadi anak yang durhaka pada ibunya sendiri.
"Kenapa?" Tanya Samil balik. "Kau sendiri yang mau perjodohan ini. Sekarang mereka sudah setuju, dan kau diam-diam menikahi perempuan lain?!"
Kalau sudah seperti ini, Nilam sudah tak punya nyali untuk ikut campur. Wajah abangnya tampak menyeramkan sekali. Kesal yang dipendam atas dasar ia sedang berbicara dengan ibunya. Coba kalau bukan ibunya, sudah dipukul sedari tadi oleh pria itu.
Suara keras ibu mertuanya membuat kepala Kana pening seketika. Banyak beban pikiran yang ia rasa ditambah fakta yang ia terima membuat pening itu berubah menjadi rasa mual. Kana tak jarang merasakan ini, pusing dan mual, bahkan sesak napas saat menghadapi situasi mencemaskan.
Rasanya persis seperti saat ia terjun ke lapangan untuk berdemo sebelum akhirnya Gatra datang menyelamatkannya, persis seperti itu. Bedanya hari ini, Kana sudah tak sanggup lagi menahan gejolak rasa mual yang tercipta.
Dengan cepat Kana berdiri menghampiri Nilam. Tentu Nilam sigap dengan itu. "Kenapa, Kak?" Tanyanya dengan panik.
"A—aku... Ke toilet, Lam."
"Di sana ayo, kak, aku temenin." Nilam menuntun Kana yang masih menangis dalam diamnya, menahan sesegukan nyatanya bukan perihal mudah.
Baru saja Gatra berniat mendampingi istrinya, Kana cepat menggeleng dan meminta Gatra untuk tetap berbicara dengan ibunya.
Hueek!
Benar saja, Kana bisa memuntahkan itu semua. Selesai mengeluarkan sisa makanannya, kepala Kana sedikit lebih ringan. Ia menghela napas untuk melegakan sedikit sesaknya tadi.
"Apa aku harus ke psikolog?" Gumam Kana di depan cermin sembari menatap pantulan dirinya yang mengenaskan.
Sebenarnya ada apa dengannya? Mengapa hal-hal yang tidak menyenangkan kerap kali membawa rasa pusing serta mual berlebih pada diri Kana?
Suara ketukan di pintu terdengar sebab Kana sudah agak lama di dalam bilik toilet tersebut. "Kak Kana nggak papa?" Tanya Nilam dari luar.
Dengan cepat Kana menghapus sisa air matanya dan membuka pintu kamar mandi. "Maaf lama, Lam." Ucapnya sangat pelan agar tak terdengar oleh Gatra dan ibunya.
Nilam dengan raut cemasnya mengusap bahu kakak iparnya itu. "Kasian dedeknya kalo Kak Kana stress gini. Ini pasti mual karena Mak bentak-bentak." Bisiknya.
Tentu, Kana menggeleng, "Enggak kok, nggak papa, Lam."
"Kak Kana kalo nggak kuat minta Abang pulang aja ya? Biar Mak nanti aku yang urus." Tutur Nilam yang begitu khawatir. "Aku nggak mau risiko ponakanku kenapa-napa."
Menyadari istrinya yang belum keluar dari balik dinding pembatas toilet, Gatra segera menghampirinya. Apa yang ada di hadapannya kini ialah pemandangan Kana sedang dipeluk oleh adiknya. Diberikan ketenangan di sana.
"Bang, kasian Kak Kana," Ucap Nilam. "Mending kalian pulang aja."
Kana menolak hal tersebut dengan gelengannya, "Nggak papa kok, Bang, aku baik-baik aja." Tutur Kana dengan senyum tipisnya.
Senyum tipis Kana itu bukanlah senyum yang wajar. Ada luka yang ia tutupi di dalamnya.
Dan apa tadi Kana memanggilnya di depan Nilam?
'Bang?'
Ah, Gatra melirik langkah kaki kedua gadis itu sebelum menyunggingkan senyum. Panggilan cukup sederhana tapi entah mengapa membuat hatinya berdesir.
Gatra paham, lidah Kana pasti kaku memanggilnya demikian.
"Mak," Panggil Gatra yang kali ini saatnya dia berbicara pelan-pelan dengan ibunya. "Abang tau ini semua salah, tapi demi Allah, Mak, bukan maksud Abang ngelupain orangtua Abang sendiri."
Mak Samil menatap dengan raut wajah terlukanya.
"Nggak ada niat Abang campakkan Mak sendiri, itu nggak mungkin, Mak. Mak tetep Maknya Abang, nggak akan ada yang gantikan itu." Tutur Gatra dengan nada lembutnya. Kelembutan yang mengingatkan Kana dengan bagaimana pria itu berinteraksi dengan Hapsari, mediang ibunya.
Gatra menghela napas, jemarinya bergerak menggenggam jemari Kana. Sontak pemiliknya menatap sentuhan itu dengan terkejut.
"Dan sekarang Abang sudah beristri. Perempuan yang Abang pilih sendiri. Yang InshaAllah bisa bantu Abang buat bisa lebih berbakti sama Mak." Tutur Gatra sembari menatap mata ibunya lekat-lekat.
Ibu pada umumnya akan terharu mendengar ucapan anaknya barusan. Tapi Samil? Air mata dan sakit hatinya tak bisa terhapus begitu saja.
"Mak tak mau tau," Ucap Mak Samil. "Ceraikan perempuan ini dan nikahi gadis yang Mak pilihkan untukmu."
Detik itu juga sepertinya Kana sudah tak sanggup lagi mendengarnya. Ia berharap bisa menghilang begitu saja dari situasi seperti ini. Hatinya terlalu lemah untuk menerima hinaan dan fakta mengejutkan.
Kalau Gatra menceraikannya, dengan siapa lagi Kana bertahan hidup?
Kana sama sekali tak bisa berpikir jernih sekarang. Ia tidak ingin kehilangan pria yang begitu ia cintai. Pria yang mau menikahinya dengan kondisi hidupnya yang hancur lebur. Kana tak ingin kehilangan Om Gatranya.
Tak ingin lagi menjauh.
"Mak! Ya Allah, istighfar!" Pekik Nilam yang terkejut dengan ucapan Ibunya. "Mereka udah nikah, Mak. Udah sah di mata Allah. Nggak bisa segampang itu Mak suruh pisah." Protesnya.
Nilam berlari kecil dan berjongkok di depan kaki ibunya yang terduduk, posisi seperti sedang sungkem. "Mak nggak mau liat cucu Mak sendiri?" Tanyanya lirih.
"Maksud kau apa lah, Lam?!" Bentak Mak Samil pada putrinya yang aneh sekali. Mengapa tiba-tiba membela perempuan murahan itu?
"Ck!" Decak Nilam, "Istri Abang ini lagi mengandung anaknya Abang, alias cucunya Mak sendiri!"
[ D A R A A J U D A N ]
“Perbuatan halal yang sangat dibenci Allah adalah thalaq (cerai)”(HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah)
Waduh kira-kira gimana respon Mak Samil tau mau punya cucu dari Om Gatra 😭🙏 kelanjutan udah
tersedia di karyakarsa (fridayukht) atau WHATSAPP yaa 0896032104731
FRESH BARU UPDATE