=/= Love

Від SangBison

5K 207 445

Untuk menjadi lebih baik kita perlu berubah, namun dengan berubah apakah kita selalu jadi lebih baik ? Bagaim... Більше

Disclaimer
Chapter 2 : Good Boy Gone Bad
Chapter 3 : "Kontak"
Chapter 4 : Now and Before
Chapter 5 : Asserting Dominance
Chapter 6 : The First Hit
Chapter 7 : Ally or Foe
Chapter 8 : Student Council
Chapter 9 : The Terror Behind Her Smile
Chapter 10 : Him
Chapter 11 : Memories
Chapter 12 : Blood
Chapter 13 : Theo
Chapter 14 : Dirinya
Chapter 15 : Regret(s)

Chapter 1 : Endless Free Fall

1K 24 8
Від SangBison

"Now, break me more, just break mе..."

------------------------------------------

Manusia hidup dengan berbagai perasaan dalam hidupnya. Sedih, senang, kecewa, bangga, dan masih banyak lagi. Perasaan inilah yang membuat kita menjadi manusia. Rasa inilah yang membuat manusia yang kuat ataupun lemah.

Namun ada satu rasa yang begitu dibenci oleh orang banyak. Tak lain tak bukan adalah rasa sakit. Sakit yang begitu dalam hingga tubuhmu tak mampu berfungsi semestinya.

Seharusnya kini aku menangis, namun air mataku terasa kering. Hampa dan sesak disaat bersamaan, entah mengapa rasa ini kembali mengisi rongga dadaku.

Ponsel genggam hitam itu berdering kembali, nama wanita yang dulu kusukai itu muncul ditemani foto wajah manisnya yang kini hanya menyayat hati lemah ini.

Setiap kali aku ingat apa yang terjadi hari ini, aku hanya bisa termenung. Sedih yang kurasa sudah tak tertampung menghalangi minat untuk menyelesaikan sekolah hari ini.

Wanita itu, ia mencium pria lain. Sosok pria yang bahkan tak kukenal dan dia melakukannya di muka publik. Bibir manis nan lembut yang kujaga dan kuhormati, direnggut oleh pria itu.

Apakah aku membenci wanita itu ? Ya, aku marah karena aku merasa perjuanganku tak berguna. Namun aku tak punya energi untuk marah, aku hanya ingin duduk terdiam di lantai ruang tengah rumah yang dingin ini.

Tapi dalam hati kecilku, aku bisa marah padanya. Hanya ada rasa kecewa, bukan pada dirinya tapi pada diriku sendiri. Jika ia sampai harus mencari pria lain, apakah berarti aku yang tak mampu membuatnya nyaman ?

Kepala yang terasa berat ini kusandarkan ke sofa berwarna cream chocolate. Aku kembali menghela nafas, berusaha mengeluarkan sedikit penat dan stress dari diriku sendiri. Aku tak bisa memahami perasaanku. Mataku yang terasa berat terus menekan diri yang lelah ini. Kurasa memang benar, terkadang tidur adalah pelarian sementara yang terbaik.

***

Chika P.O.V.

Aku terpaku, rasa shock, takut, dan amarahku bersatu ketika bibir ini bertemu dengan bibir pria yang baru kukenal itu. Aku tak bisa berkutik, cengkraman kuatnya di pundak ini menghalangi upayaku untuk membebaskan diri.

Ciuman pertamaku, yang kujaga bersama pacarku harus diambil secara paksa oleh pria asing ini. Aku benci dirinya, aku tak mau seperti ini.

"APAAN SIH !"

Ucapku keras diikuti tamparan kasar ke wajahnya yang agak tirus. Tamparan itu begitu keras hingga menarik perhatian orang banyak. Bekas memar merah meninggalkan jejak sakit di pipi kanannya. 

Air mataku perlahan turun, aku berusaha memproses kejadian barusan. Perasaanku kacau, yang jelas aku sangat marah. Ingin rasanya ku memukuli pria ini namun tanganku tak mampu bergerak karena terlalu kecewa.

"Lu suka kan ? Udahlah-"

"Diem gak ! Bajingan..."

"Pft, tapi gue seneng si ada orang lain yang kayanya ikut sakit hati sama lu"

"H-ha ? Maksudnya ?"

Aku mendengar suara langkah berlari menjauh. Tadinya aku tak tahu siapa yang berlari itu, namun kata-kata orang lain membuatku sadar. Yang barusan berlari itu, tak lain tak bukan adalah pacarku.

Langkah ini sudah siap untuk mengejarnya, namun sesuatu menjagaku di tempat. Pergelangan tanganku ditahan oleh bajingan ini. Genggaman kuatnya perlahan menyakitiku.

"LEPASIN !"

Ia hanya tersenyum, sungguh senyuman yang kubenci. Senyuman yang serasa mengejek kelemahanku dan kesalahanku. Aku benar-benar ingin mengejar pacarku tadi, aku harus menjelaskan apa yang terjadi. Aku...!

"AGH !"

Tanganku terlepas dari genggamannya, aku berlari secepat mungkin ke arah perginya separuh hatiku itu. Aku bahkan tak sempat melihat siapa yang membantuku kabur, aku bisa berterimakasih nanti.

Sekarang, aku hanya perlu dia. Aku harus bisa menjelaskan apa yang terjadi. Walau memang rasanya tak mungkin ku jelaskan, tapi aku tak mau kehilangan dirinya. Aku menyayanginya sepenuh hati.

Lariku percuma ketika aku sadari, ia tak mungkin kukejar. Aku melihat kearah manapun, mencari wajah yang tak pernah berhenti membuatku tersenyum hangat. Wajah dari orang yang membuatku merasa spesial.

"Chik kamu kenapa ?"

Wajahku beralih ke pemilik suara itu. Orang itu adalah temannya. Teman satu bangku dari orang yang kusayangi itu berdiri tegap.

"Nathan, kamu liat Nathan gak ?"

Nathan, nama yang selalu memberi ketenangan pada diriku. Sosok yang tadinya tak kuperdulikan ketika SMP, entah bagaimana kami bisa bersama ketika SMA.

"Tadi dia pulang si katanya kurang enak badan...kamu ?"

Perkataannya tak terdengar lagi, fokusku terasa pecah layaknya perasaanku saat ini. Dia pasti kecewa...sakit...

Andai aku bisa menyusulnya, sayang sekolah ini tak bisa memberiku izin untuk pulang. Aku terpaksa melangkahkan kakiku kembali ke kelas, walau aku tau tak akan ada gunanya aku ada di sana.

***

Aku masih mencoba menghubungi Nathan, ia tak kunjung menjawab. Tangan ini masih bergetar, takut apabila sesuatu terjadi padanya. Pikiran ini mulai liar dengan hal buruk yang mungkin terjadi.

"Masih belom dijawab Chik ?"

Tanya kawanku dengan logat betawinya sembari duduk di lantai rumah. Ia teman dekatku sejak kecil, namanya Dhea. Kebetulan rumah kami cukup berdekatan.

"Beloman Dey..... Aihh kenapa sih !"

Aku menghela nafas, frustrasi dengan diriku dan perasaanku yang berantakan ini. Semua ini karena kebodohanku. Ingin aku menyusulnya ke rumah untuk memberitahukan apa yang sebetulnya terjadi, tapi Dey berkata lain.

"Jangan disusul, dia pasti juga sama berantakannya kaya elu. Kasih waktu dulu deh buat kalian nafas."

Aku tak tahu harus percaya padanya atau tidak. Selama ini Dey selalu membuat keputusan yang tepat. Namun untuk kali ini aku tak yakin, terutama karena temanku inilah yang mengenalkanku pada bajingan itu.

"Gue jujur gak nyangka Ardi begitu...Dia udah beda sama yang gue kenal dulu..."

Dey dan Ardi adalah teman lama, walaupun selisih tiga tahun Ardi di mata Dey adalah sosok seorang kakak yang baik. Ia cukup terkejut mendengar apa yang bajingan itu lakukan padaku. Terutama karena ia tahu betul dampak yang disebabkannya.

"Maaf ya...gegara gue kenalin dia kalian jadi..ah udalah..."

Nadanya tak berbohong, ia menyesali langkah yang ia ambil. Aku pun sebetulnya tak menyalahkan Dey, aku tahu dia tak ada maksud sedikitpun untuk mengusik hubunganku dengan Nathan. Jujur saja, Dey tak pernah terlalu peduli dengan hubunganku.

"Ni makan dulu gih, belom makan kan dari tadi ? Nanti kalo sakit Nathan gak ada yang nyariin," ucap Dey menyodorkan sebungkus makanan favoritku.

Ada benarnya kata Dey, aku harus punya energi untuk mengejar Nathan. Aku hanya bisa berharap, ia tidak apa-apa.

***

Yonathan P.O.V.

Pelarian tenangku sementara diusik oleh cahaya matahari pagi yang menyerang diri ini tepat di mata. Jemari otomatis mengusap kedua mata yang terasa sedikit bengkak. Nampaknya air mataku keluar saat tidur tadi.

Kepalaku terasa berat. Rangka tubuh berbunyi bak sudah mendekati masa kadaluarsanya. Rambut berantakan yang selalu menjadi sahabatku di pagi hari juga hadir.

Tanganku reflek membuka handphone layaknya anak muda pada masa kini. Aku kembali termenung melihat lockscreen yang familiar itu. Senyum manis nan menggemaskan yang selalu kurindukan.

Notifikasi jumlah telepon sebanyak 99+ darinya hanya menambah rasa sakit di hati ini. Aku pergi ke kamar mandi, melihat jam aku sadar tak akan mungkin aku pergi ke sekolah lagi. Entah sudah berapa hari aku seperti ini. 

Cuci muka dan sikat gigi menjadi tindakan yang kulakukan. Aku tak ingin mandi rasanya. Aku terlalu malas untuk melakukan hal itu.

Bayangan pada cermin ini menatap balik ke arahku. Entah mengapa bayangan ini seperti mengejekku dan membuatku merasa kesal. Rasa benci saat aku melihat diriku sendiri terus timbul dan menumpuk, mengerogoti dada yang sesak ini.

*brak*

Aku mengayunkan kepalan tanganku ini ke kaca. Kini bayangan itu retak, mengikuti kondisi kaca yang sama retaknya. Ingin rasanya aku menghabisi orang di kaca itu,

*Pip* *Pip* *Pip*

Bunyi alarm microwave itu menarik perhatianku. Ready-to-eat meal menjadi jawaban atas perut keroncongan yang terus berbunyi ini.

Jujur aku tak selera makan, tapi Chika- orang itu selalu memintaku untuk makan. Aku memang orang yang terkadang lupa makan apabila sudah fokus mengerjakan sesuatu.

Sendok besi membawa makanan pagi itu ke mulutku, perlahan mengisi dan memberi energi pada tubuh yang lemas ini. Pikiranku masih berada di Chika, bagaimanapun juga aku tak dapat memahami kejadian kemarin. Chika adalah wanita yang baik-baik, ia tak mungkin melakukan hal itu tanpa alasan.

"Tapi apa alasannya ?"

"Yakin lu dia gak ngelakuin itu sengaja ?"

Suara yang tiba-tiba muncul itu membuatku tersedak. Terakhir kali aku ingat, aku sendiri di rumah ini. Pintu pun juga sudah kukunci dan tak pernah kubuka jika tak ada orang yang kukenal. Namun sekali lagi aku menoleh, kini aku mengerti siapa yang berbicara padaku.

"Nathan, nathan, cewek hari gini tuh gak suka sama Good Boy. Inget gak diri lu yang dulu ? Kasar, dominan, bebas, itu kan diri lu yang sebenernya ?

Sosok itu tak lain tak bukan adalah diriku sendiri, lebih tepatnya diri Yonathan yang dulu. Diriku yang pernah menjadi "Bad Boy", rambut cat pirang yang pernah menjadi ciri khas ditemani tatapan garang, dan senyum nakal menggoda yang kini agak membuatku merinding.

"Chika gak sebaik itu Nat, lu jadi buta gara-gara perasaan lu sendiri. Tau gak si lu ninggalin apa ? Lu ninggalin kesenangan dunia cuma buat cewek itu. Bego banget lu ya ? Hahaha"

Sosok itu mengejek keputusan yang pernah kubuat. Jujur aku merasa keputusan itu adalah keputusan terbaik yang pernah kubuat. Tapi kini ada benarnya, diriku dulu itu hidup terasa tanpa beban. Hari-hari terasa seru dan menyenangkan. Aku melakukan apa yang aku mau.

"Tapi gara-gara dia juga kamu jadi orang yang lebih baik kan ?"

Sosok lain kini berbicara padaku, kali ini di sisi kanan lagi-lagi ada diriku namun ia tampak rapi dengan kacamata dan kemeja putihnya. Ini sosok diriku setahun yang lalu, dirinya yang sudah menjadi "Good Boy" dan siswa yang berprestasi secara akademik.

"Gara-gara dia kan kamu jadi anak yang taat peraturan. Kamu juga jadi punya nilai bagus di sekolah. Bahkan kamu punya cita-cita gara-gara dia !"

Lagi-lagi ada benarnya yang dikatakan oleh sosok itu. Secara overall aku menjadi lebih baik semenjak aku lebih dekat dengan Chika. Akademik menjadi lebih baik dan aku juga menjadi seseorang yang dapat diandalkan.

"Ah bacot, buat apa lu jadi orang lebih baik kalo lu gak bahagia ? Percuma soalnya lu bakal mati gara-gara stress doang. Buat apa bikin orang lain bahagia kalo lu sendiri gak bisa bahagia ?"

"Tapi dia bisa jadi tanggungjawab, kamu gak tahu betapa pentingnya itu di masa depan untuk kerja. Lagipula, softskill dia juga terasah karena organisasi. Yonathan sudah menjadi pribadi yang lebih baik !"

"Softskill bullshit, hari gini orang butuh yang willing to work. Softskill bisa didapetin dimana aja kalo lu jeli. Please lah, ordal lebih OP."

"Sok tahu kamu, gak bisa gitu dong. Lagian-"

"AHHH BERISIK !!"

Dua sosok itu langsung menghilang seketika. Aku menyangga kepala sendiri dengan tangan kananku, semua terasa berat. Isi otakku terasa diterpa badai topan.

"Butuh angin seger kalo gini ceritanya,"

Tak butuh waktu yang lama bagiku untuk mengambil barang-barang yang selalu ku bawa. Powerbank, dompet, payung, dan sebagainya. Rumah sudah terkunci, aku tak ragu keluar dan melaju dengan Beat 125cc-nya. Entah pergi kemana, biarlah angin membawaku kemana aku pergi.

3rd P.O.V.

Yonathan memutuskan untuk mengikuti kemana insting membawa dirinya pergi. Motor beat hitam setia menemani langkah perjalanannya mencari kewarasan hidup.

Tempat demi tempat ia lewati, taman, mall, pemancingan, gedung perkantoran, dan banyak lagi. Waktu termakan habis mencari angan dan pikirannya yang keruh bak air kobokan. Hari pun perlahan berganti menjadi malam.

"Nasi goreng satu ya pak, sedeng aja,"

Yonathan duduk di kursi plastik itu termenung. Ia menghela nafas masih tak menemukan udara segar dan pikiran jernih yang ia inginkan.

Langit malam itu cukup gelap, tak ada bintang maupun bulan yang menghiasi gelapnya malam. Malam itu cenderung mendung bahkan, sayangnya Yonathan lupa membawa jas hujan miliknya. Ia hanya membawa payung.

"Pulang kerja mas ?" ucap tukang nasi goreng itu berusaha memulai pembicaraan.

"Enggak pak, masih sekolah saya."

"Oalah, malem amat pulangnya. Habis pacaran ya ? Cieee"

Yonathan hanya tertawa menutupi sakitnya mengingat Chika dan kejadian itu lagi. Itu membuatnya berpikir, kenapa saat itu ia lari ? Ia bisa saja datang dan menghajar pria asing itu.

Oh iya Yonathan lupa, Chika tidak menyukai pria yang kasar. Mungkin itu sebabnya ia tak berlari dan menghabisi sosok Ardi yang belum lama Chika kenal.

Chika bercerita bahwa ia dikenalkan dengan seseorang bernama Ardi. Kebetulan Ardi dan Chika memiliki ketertarikan yang sama dengan dunia sepak bola, sebuah topik yang Yonathan tak bisa ikuti karena ia tak pernah tertarik.

"Nasi gorengnya kurang enak mas ?"

"E-eh gimana pak ?"

"Itu dari tadi belum disentuh lagi nasi gorengnya, kalo kurang enak gapapa mas saya bikinin lagi."

"Oh enggak kok pak, maaf tadi lagi mikir. Makan ya pak."

Yonathan melahap nasi goreng itu, menunjukkan apresiasinya pada bapak tukang nasi goreng yang telah membuatkannya. Nasi goreng itu enak sebetulnya, hanya saja karena teringat Chika rasanya jadi sedikit hambar.

Apakah ia harus merelakan Chika ? Apakah ia harus membencinya ? Apakah ini salah Chika ? Ia merasa pertanyaan itu lebih sulit daripada soal Logaritma yang sering membuatnya penat.

Mata Yonathan terlihat sendu. Ia bingung harus berbuat apa. Ia mencintai Chika begitu dalam, tak rela rasanya ia melepas Chika.

"Pak saya titip motor dulu ya..."

Yonathan melihat ke arah utara, ada sebuah gedung kosong yang kelihatannya terbengkalai. Ia ingin pergi kesana, dan mencari ketenangan disana. Namun belum sempat ia berjalan, tangannya digenggam oleh tukang nasi goreng itu.

"Mas, jangan mikir aneh-aneh ya. Hidup emang berat, tapi tolong jangan mikir buat udahan sama hidup ini. Pasti ada jalan..."

Yonathan tersenyum hangat mendengar kata-kata itu. Lucu rasanya ada orang asing yang peduli dengan dirinya, keluarganya sendiri saja tidak peduli. Ia mengangguk dan melepaskan tangan yang menggenggamnya itu.

Langkahnya membawa Yonathan ke lantai tiga gedung yang belum jadi itu. Udara diatas sana terasa sedikit lebih dingin, namun ini suasana yang Yonathan perlukan.

Ketika dunia terasa hening, dirinya yang hanya ditemani oleh suara pohon yang tertiup angin. Udara disini adalah udara yang terasa segar, walaupun kata orang udara malam tidak baik, bagi Yonathan inilah udara terbaik baginya.

"Ish ish haloo kamu siapa ?"

Ketenangan yang baru terjadi sebentar itu kembali terusik. Yonathan melihat kebelakang, wajahnya menjadi serius. Di depannya kini ada sekelompok orang yang kelihatannya cukup berbahaya, dan mereka tak terlihat bahagia dengan Yonathan.

-----------------------------------------------------------

Words count : 2177 words

Don't forget to vote and leave some comments ! Appreciate it !

Продовжити читання

Вам також сподобається

109K 3.3K 31
"she does not remind me of anything, everything reminds me of her." lando norris x femoc! social media x real life 2023 racing season
74K 3.3K 19
Grosvenor Square, 1813 Dearest reader, the time has come to place our bets for the upcoming social season. Consider the household of the Baron Feathe...
394K 11.9K 80
"I'm not afraid to hit a girl," he argued, and you grinned. "I know you aren't," you said, "because you know I can fight back, and you wanna know how...
6.1M 98.9K 104
>「𝘸𝘦𝘭𝘤𝘰𝘮𝘦 𝘣𝘢𝘤𝘬 𝘵𝘰 𝘵𝘩𝘦 𝘛𝘢𝘪𝘴𝘩𝘰 𝘌𝘳𝘢 𝘺𝘰𝘶 𝘸𝘦𝘳𝘦 𝘮𝘪𝘴𝘴𝘦𝘥 」 𝐒𝐋𝐀𝐘𝐄𝐑 𝐕𝐄𝐑. Demon Slayer belongs to Koyoh...