The Fate of Us | Jaerosè

By jaeandje

257K 22.5K 3.9K

Bagaimana jadinya apabila seorang Ketua Dewan Rumah Sakit secara tiba-tiba 'melamar' salah satu dokter reside... More

PROLOGUE
01
02
03
04
05
06
07
08
09
10
11
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31

12

8.3K 686 149
By jaeandje

Emang ada ya yg nungguin cerita ini??

im sorry bestie

minggu kemarin gue sempet drop and gue harus rawat inap dan baru pulang jumat kemarin🙏🏻

serius, maaf banget

gantinya this part is veryyyy longg so hopefully this one won't make u guys dissapointed.

Enjoy!

Ok, wait. Before we get into the story, let me ask you guys ONE THING.

I always curious about this, tbh xixixi

Apa yang membuat kalian berpikir kalo Lola itu tunangan Jeksa?

Go ahead<3




"Aa.."

"Ngga. Lo janjinya tiga suap doang, tapi malah nambah terus"

"Ih makan banyak itu biar sembuhnya cepeeett"

"Gue udah sembuh, Sel"

"Siapa bilang? Gue sebagai dokter belom bisa bilang lo udah sembuh,"

"Tapi dokter penanggung jawab gue bilang kondisi gue udah sangat membaik dan besok siang gue udah bisa pulang."

"Mau pulang hari ini, besok atau kapan kek, terserah. Lo harus tetep habisin sarapannya"

"Ngga mau ah. Rasanya hambar, beda jauh sama masakan lo, Sel"

Rasel memicingkan matanya sambil tersenyum aneh ke arah lelaki berseragam pasien di atas ranjang. "Ngode pengen makan masakan gue ya? Ciee.."

"Ngode? Gue bukan tipe orang yang ngode sana sini, mending ngomong langsung lah"

"Yaudah coba ngomong sini--" Rasel sengaja menyelipkan rambutnya ke belakang telinga, supaya mendengar omongan Jehan jauh lebih jelas.

Jehan memandangi wajah Rasel dari samping, menikmati kecantikan paripurna perempuan di hadapannya. Meski dilihat dari samping, tetapi Rasel tetap terlihat cantik.

Untuk beberapa detik awal, Jehan diam sejenak karena ingin memanjakan dirinya dengan satu pemandangan yang akan selalu ia lihat itu.

"Gue kangen masakan lo, Sel" ucap Jehan jujur.

Rasel spontan menarik senyumnya, menyimpan nampan makanan lalu menatap Jehan. "Nanti ya kalo udah di rumah gue masakin semua yang lo mau,"

"Bener? Gue bakal tagih omongan lo ya" Jehan mengapit kedua pipi tembam Rasel sehingga perempuan itu merintih kesakitan.

"Iy-- Aw! Sakit! Lepas ah lepaass"

Jehan terkekeh seraya melepaskan apitan tangan dari pipi istrinya itu. Setelahnya dia membuka sedikit bajunya lalu terpampang perut datarnya yang masih dibaluti perban.

"Kenapa? Sakit?" tanya Rasel langsung cemas ketika melihat gerakan Jehan.

Jehan menggeleng, "Engga kok. Justru gue heran kenapa sembuhnya cepet banget--"

Tanpa berpikir panjang Rasel memukul dada bidang Jehan dan memberikan umpatan kesal kepadanya. "Brengsek lo, Jehan!"

"Masih bisa cengengesan ya lo?! Gue kira ada apa-apa sama lo, ternyata.. TAU AH NYEBELIN"

"Maaf, maaf" ucap Jehan dengan perasaan bersalahnya.

Namun sejujurnya kali ini Jehan tidak berniat untuk menjahili atau mengerjai Rasel. Ia membuka baju tadi hanya sekedar memeriksa apakah ada yang salah atau tidak.

Ternyata lukanya pulih dengan cepat dan ia ingin membanggakan diri, apa salah?

Cuma karena Jehan tidak mau memperpanjang masalah, alhasil ia lebih baik mengalah dan minta maaf.

"Jehan emang orang sinting sih, Sel. Lagi sakit aja masih bisa becanda," celetuk seseorang di belakang mereka.

"Iya nih, Kak. Nyebelin banget--" timpal Rasel disertai dengusan kesalnya.

"Gue kan udah minta maaf?"

"Kamu tuh ya jangan suka bikin orang lain panik," Tania menoyor pelan samping kepala Jehan dan membuat lelaki itu kembali terkekeh.

"Selamat pagi, pemirsa. Seputar Info kembali hadir di sela-sela aktivitas Anda, mengenai kejadian tertembaknya Direktur KNG's Group yang terjadi dua minggu lalu sampai saat ini masih belum diketahui pelakunya--"

Jehan menatapi layar hitam televisi yang tiba-tiba dimatikan dengan wajahnya yang super datar. "Lo belom urus para media, Ven?"

"Udah, Je. Bahkan adek lo turun tangan langsung buat ngomong sama mereka, tapi lo tau sendiri mereka emang kepo sama kehidupan lo" jawab Marven di dekat sofa sedang membantu Rasel membereskan semua barang yang berserakan.

"Ngomong lagi, pokoknya apapun caranya jangan ada satu media pun yang bahas-bahas lagi kejadian kemarin." titah Jehan tanpa melihat ke arah siapapun.

"Don't give Jeksa and his fiancé a stage to expand their territory" tambah lelaki itu dengan suara beratnya.

Marven mengangguk dengan cepat. Ia paham maksud dibalik perintah tersebut, kejadian waktu itu sangat menjelaskan bahwa Jeksa sudah memperluas daerah pertahanan dan kekuasaan mereka.

Diluar dugaan Jehan serta anggota tim, Jeksa bergerak dengan cepat. Sehingga sulit untuk menangkap strategi dan rencana mereka.

Kali ini Jehan mengakui kinerjanya sebagai ketua tim sangat ceroboh dan lalai.

"Bahas Jeksa, ada yang harus gue omongin jadi nanti lo panggil semuanya buat kumpul di markas--"

"Termasuk Billy, Ven"

"Wow, bisa-bisanya malah mentingin hal yang bikin dia nyaris mati padahal baru aja sembuh" sindir Rasel yang masih sibuk membereskan semua perlengkapan.

"Sok jago banget emang penantang maut yang satu ini" sindirnya lagi dengan nada tidak suka.

Tania spontan menyikut putranya, "Udah mamah bilang jangan bahas masalah itu di depan istri kamu," bisiknya.

Jehan meringis disertai cengiran lebarnya, salah satu upayanya untuk membujuk Rasel jika dia melakukan sesuatu yang tidak seharusnya.

Kanara tersenyum puas melihat ekspresi sang adik saat ini. "Mampus.." gumamnya yang dapat didengar jelas oleh Marven di sampingnya.

Marven menahan diri untuk tidak tertawa. Ia menggaruk rahangnya yang tidak gatal sambil menundukkan sedikit kepalanya dan bergumam, "Suami takut istri ternyata.."

Dia menghampiri bosnya sekaligus sahabatnya untuk membisikki sesuatu. Entah apa itu, tetapi berhasil membuat Jehan dengan keberaniannya mendatangi Rasel yang terlihat kesal.

"Sel??" panggilnya setelah berdiri di dekat Rasel.

"Apa?"

Jehan mengulum bibirnya dan mengusap tengkuknya kala mendengar sedikit keketusan dari jawaban istrinya itu.

"Jangan ngambek dong, gue cuma ngelakuin tugas gue sebagai ketua tim,"

"Gue tau masalah itu penting buat lo--" Rasel menghela napasnya lalu menatap Jehan. "Tapi lo baru sembuh, Jehan"

"Bisa ngga ditunda dulu urusan lo yang satu itu sampe lo bener-bener pulih? Lo nyaris mati, Je"

Jehan menarik kedua sudut bibirnya. Ia memega kedua bahu Rasel dan melihat mata perempuan itu dalam-dalam.

"Takut, ya?"

Rasel hanya diam, mengerjapkan kelopak mata ketika beradu tatap dengan suaminya. Ia tidak menjawab pertanyaan tersebut bahkan sampai lelaki itu membawa masuk ke dalam dekapan.

"Selama ini gue ngga pernah ngerasain yang namanya dikhawatirin sama perempuan selain mamah dan kakak gue, jadi gini rasanya..."

"Dia lupa apa ya sekarang udah punya istri?" gumam Kanara heran yang sedang duduk santai pada sofa, tak sengaja mendengar perkataan Jehan.

"Percaya sama gue, Sel, next time gue bakal ekstra jaga diri kok"

"Gue percaya, Jehan. Cuma--" Rasel membalas pelukan itu dan mengangkat kepalanya untuk melihat Jehan dengan menempelkan dagunya pada dada bidang sang suami.

Jehan juga melihat muka Rasel sedikit menunduk dengan salah satu alisnya terangkat, "Cuma apa hm?"

"Gue ngga yakin lo masih kuat setelah kena dua tembak,"

Tania, Kanara dan Marven yang sedari tadi hanya diam mendengarkan sekaligus menyaksikan dua insan tersebut langsung tertawa kecil saat merek mendengar ucapan Rasel.

"Lo ngeremehin gue nih?" tanya Jehan terdengar sedikit tidak terima. "For your information, Mrs--"

"Your husband is not as weak as you think. Especially on the bed"

Rasel spontan mencubit pinggang, ia bisa melihat suaminya itu tersenyum miring. "Ngomongnya ngaco banget ya lo!"

"Ada mamah, kakak sama sekretaris lo, Jehan" bisik Rasel yang membuat Jehan terkekeh.

Ketiga orang yang disebut memilih untuk pura-pura tidak mendengar.

Jehan bersikap bodo amat, toh mereka bertiga pasti memahami pembicaraan seperti itu ialah hal yang lumrah bagi pasangan suami istri.

Ia masih menyimpan kedua tangannya pada pinggang Rasel, "Dua tembakan ngga bakal bikin gue kehilangan tenaga, gue ngga selemah itu"

"Dari kecil gue dilatih untuk mempersiap diri kena tembak karna itu salah satu resiko gue masuk ke dunia kaya gini."

"Tadi itu gue becanda-- Iya deh iya si paling dilatih" Rasel melepaskan diri dari dekapan sang suami lalu mengambil jas dokter miliknya di atas meja.

"Kak, bukannya rapat departemen kardio setengah jam lagi?" tanya Rasel memastikan.

Kanara melihat jam tangannya lalu membulatkan kedua matanya, "God-- Rasel, you made my day" ia langsung bergegas pergi tanpa berpamitan.

"Dasar.." Tania menggelengkan kepalanya, tidak heran lagi dengan sifat pelupa putri sulungnya itu.

Rasel terkekeh kecil melihat tingkah kakak iparnya kemudian ia kembali menghampiri Jehan. "Mau jalan-jalan? Siapa tau lo bosen,"

"Hampir tiga minggu gue dirawat dan lo baru nanya hari ini? Jahat banget lo jadi istri,"

"Kemarin gue sibuk. Masih mending gue nanya sekarang daripada ngga sama sekali.." Rasel menggidikkan bahu dan sedikit mendelik.

"Mau apa engga?" tanya Rasel sekali lagi.

Jehan tersenyum seraya membalikkan tubuh Rasel dan mendorongnya. "Ayo, gue bosen"

"Pake kursi roda ngga?"

"Buat apa? Gue bisa jalan sendiri,"

"Yaudah ngga usah dorong-dorong, bisa kan?!"

Jehan mengubah posisinya menjadi berjalan di samping Rasel sambil mengaitkan tangan satu sama lain.

"Mah, aku sama Jehan jalan-jalan dulu ya!" teriak Rasel, suaranya itu agak mengejutkan penjaga yang dikerahkan Jendra untuk mengawasi dari luar ruangan.

Tidak sempat mendengar jawaban ibu mertua, Rasel menyikut pelan pinggang Jehan. "Malah pergi-pergi aja, ngomong dulu kek"

Jehan tak menghiraukan, ia melemparkan tatapannya pada penjaga yang bertugas. "Kamu tetap disini saja, saya sama istri saya cuma mau jalan-jalan bentar"

Rasel mengangguk setuju sambil tersenyum ke arah penjaga tersebut. Sekalian meyakinkan juga bahwa Jehan akan baik-baik saja, selama lelaki itu di bawah pengawasannya.

Dia, si penjaga, mengulas senyum ramahnya kala mendengar perkataan bosnya. Dia mengangguk paham, "Baik, Pak, Bu. Berhati-hatilah"

Setelah itu, Jehan dan Rasel berjalan berdamping untuk mengitari, mengelilingi, menjelajahi rumah sakit besar ini. Sebagai orang yang tidak begitu paham dengan medis tentunya akan bermanfaat bagi Jehan sekaligus mengenal dunia pekerjaan
sang istri bukan?

Jangan kira penjaga utusan Jendra menyetujui dengan mudahnya. Ia melaporkan terlebih dahulu pada atasannya, lalu memberi perintah kepada anak-anak buahnya untuk melindungi pasangan tersebut dari jauh dan diam-diam.

°°°

Rasel mengayun-ayunkan tangannya yang terkait erat dengan tangan Jehan layaknya anak kecil. Hal ini membuat perhatian orang-orang di sekitar berpusat ke mereka, mayoritas dengan senyuman kecil tetapi terlihat serasa turut senang.

Wanita berjas dokter yang biasanya lagaknya selalu berwibawa, gigih serta keren kini hilang karena sifat kekanakkannya yang tidak banyak orang yang tau.

Dia berlagak seperti itu hanya di dekat suaminya saja.

Jehan dan Rasel, mereka sudah mengelilingi area rumah sakit sekitar limabelas menit. Waktunya tak terasa karena Rasel terus mengoceh banyak sampai Jehan sulit untuk menangkap apa saja yang dibahas.

"Sebenernya ruang istirahat buat para staf itu ada banyak. Setiap lantai pasti ada, tapi karena tugas gue ngga jauh dari IGD, ruang operasi, atau lab jadinya ruang istirahat utama buat gue disini---" Rasel menunjuk ke arah salah satu ruangan yang terlihat besar dari luar.

"Jisya sama Lola juga disitu?" tanya Jehan.

Rasel mengangguk, "Iya tapi mereka ngga setiap hari disini soalnya ruangan yang ini kan lumayan jauh dari IGD,"

Jehan memanggut paham tanpa mengatakan apapun lagi. Ia hanya mengikuti langkah serta mendengarkan setiap tutur kata istrinya itu.

Orang-orang yang menatapi hanya direspon dengan senyuman tipis oleh keduanya, tidak tau lagi harus merespon dengan apa. Walaupun sepertinya banyak yang penasaran sekaligus khawatir dengan kondisi Jehan semenjak lelaki itu tertembak.

Semoga saja dari senyuman tersebut semua orang bisa menangkap kalau pemulihan Jehan berjalan dengan baik.

"Anterin ke cafe depan--" pinta Rasel sembari menyengir dengan tatapan memohon.

"Udah boleh jalan jauh-jauh nih?" tanya Jehan memastikan.

Rasel mengangguk cepat. "Boleh!"

Jehan menahan senyumnya seraya mengacak- acakan puncak kepala perempuan itu. "Dasar.."

"Yaudah, ayo"

"Yeaaayy!!"

Rasel kembali berjalan dengan rasa senangnya, tentu kedua tangan mereka tidak terlepas. Raut wajahnya terpampang cerah sekali kala si suami menuruti permintaannya.

"Oh iya, lo pernah bilang kalo diantara lo, Jendra, Marven, Yaslan, Ezzra, Mbak Kana sama Alaya yang paling jago bela diri atau nembak itu Yaslan kan?"

"Gue juga jago, kenapa?"

"Ih Jehaann--" Rasel memukul pelan lengan kiri suaminya itu. "Gue serius, waktu itu lo pernah bilang kann??"

Jehan merotasikan bola matanya lalu menghela napas. "Iya, Yaslan paling jago. Tapi bukan berarti yang lain engga"

"Yaslan, dia tangguh dan ngga kenal kata takut. Sebenernya sebelas duabelas sama Jendra, kalo udah marah ngga ada ampun di kamus mereka"

"Lo juga gitu?" pertanyaan Rasel yang langsung diangguk singkat oleh Jehan. "Serem--"

"Kalo gitu gue boleh latihan sama dia?"

Jehan langsung menghentikan langkahnya kala ia mendengar sebuah pertanyaan aneh keluar dari mulut istrinya. "Latihan? Maksud lo?"

"Ya latihan nembak sama bela diri" balas Rasel santai.

"Ngga. Ngga ada" tolak Jehan dengan cepat. Tanpa perlu berpikir lama lelaki itu tidak setuju akan permintaannya.

Rasel mengernyit heran, "Yah kok engga sih?"

"Lo pikir gue bakal ngeiyain? Ngga ada pokoknya" Jehan menggeleng tegas tetap pada jawabannya lalu kembali melanjutkan jalannya.

"Cuma latihan loh, Je. Mamah bilang gue harus bisa lawan rasa takut gue, nah caranya gue mau latihan biar gue ngga jadi beban lo sama yang lain juga, ya kan?"

Kaki panjang Jehan yang melangkah terhenti lagi tetapi kali ini disertai helaan nafasnya. "Kalo gue bilang engga ya engga, paham?"

Rasel berdecak kesal, ia menahan tangan Jehan yang hendak berjalan. "Emangnya kenapa sih?! Itu kan cara gue ngelindungin diri gue sendiri, Je"

"Harusnya lo dukung gue dong?? Justru kalo misalkan gue jago nembak sama bela diri, lo yang untung--"

"Rasel," cela Jehan dengan suara beratnya. Ini berhasil membuat Rasel sedikit merinding.

"Sebagai ketua tim, gue setuju dengan senang hati karena gue yakin lo bisa dan ngebantu kita semua. Tapi sebagai suami lo gue ngga setuju karena gue tau betapa bahayanya kehidupan lo nanti meski lo bisa bela diri" kata Jehan serius.

Jehan melepaskan tautan tangan mereka untuk menangkup wajah Rasel dan menatapinya, "Gue ngga meragukan kemampuan lo, justru gue yakin lo pasti bisa belajar lebih dari kata baik"

"Tapi maaf, gue ngga bisa ngizinin untuk itu. Gue takut lo yang kenapa-kenapa, Sel"

Dengan kedua pipinya yang diapit, Rasel mengerutkan bibir bawahnya. "Gue cuma ngga mau ngandelin lo sama yang lain terus, kalo ntar kejadian waktu itu keulang kan ngeri--"

"Kejadian waktu itu?"

Rasel memukul mulutnya sendiri dan membuang muka ke sembarang arah. Tidak berani menatap Jehan untuk menjawab pertanyaannya.

"Kejadian apa maksud lo?"

"Ng-ngga kok, bukan apa-apa! Yuk, gue lagi pengen kopi.." Rasel tersenyum paksa lalu ia menggandeng suaminya namun lelaki itu malah menahan.

"Jawab dulu pertanyaan gue. Kejadian apa dan kapan?"

Suara Jehan sangat berubah drastis. Mulanya lembut kini mengintimidasi pendengarnya.

Mendengar perubahan suara tersebut membuat Rasel menundukkan kepalanya sambil bermain dengan kuku jari jemarinya.

"Jawab."

"T-tapi jangan marah, janji?"

Jehan menatap Rasel dengan tatapan yang super datar seperti saat mereka pertama kali bertemu. "Tergantung jawaban lo nanti"

"Iihhhh--" Rasel menggoyangkan lengan kekar Jehan sambil merengek manja.

"Jangan marah yaa????"

"Kejadian apa?" masih tetap dengan pertanyaan yang sama, seolah Jehan tidak akan luluh dengan rengekannya lagi.

Kali ini Jehan harus serius. Ia rasa ada sesuatu yang Rasel sembunyikan dan sepertinya cukup serius.

"Yaudah gue jawab di luar. Jangan disini, diliat banyak orang,"

"Disini aja," tolak Jehan langsung. "Kejadian apa, Rasel?"

Rasel melirik sekitar sejenak, namun ia menyerah saat melihat banyak orang memperhatikannya. "Waktu lo ke Singapura-- waktu lo ngejalanin misi lo, gue ngga sengaja ketemu Jeksa"

"Karena gue panik jadinya gue pergi tanpa tujuan sendirian" nada bicara Rasel sedikit melemah di akhir kalimat.

"Ya Tuhan.." gumam Jehan seraya berpejam mata dan menahan diri supaya tidak terbawa emosi.

Rasel memegang lengan kiri suaminya, "Jangan marah"

"Engga" balas Jehan terdengar tenang. "Tapi lo ngga kenapa-kenapa kan?"

"Jujur, waktu itu tempatnya sepi banget dan gue takut ada yang ngikutin. Gue ngga bisa ngabarin siapa-siapa karna hape gue mati. But I'm totally fine, thanks to Alaya and Yaslan" ucap Rasel sambil tersenyum manis seolah pada saat itu bukan apa-apa.

Kedua netra hitam nan tajam milik Jehan tidak sengaja menangkap punggung tangan Rasel yng terdapat plester disney disana.

"Ini kenapa?" tanya Jehan tidak suka bercampur khawatir melihat plester tersebut. "Gue bilang jangan sampe ada lecet padahal--"

"Apaan sih? Cuma luka kecil doang lebay amat lo ah"

Jehan menghembuskan napasnya lalu membawa tubuh ramping Rasel ke dalam pelukannya. Tetapi perempuan itu memberontak, "Ngapain? Lepas! Malu diliatin orang, Je!"

Bukan Jehan namanya kalau langsung menurut. Dia justru tidak memedulikan rontakan istrinya dengan tetap memeluknya dengan penuh kasih sayang.

"Kayanya meluk gue jadi hobi baru lo ya? Demen amat--"

"Gue ngga mau ninggalin lo sendirian lagi," cela Jehan dalam dekapan tersebut.

"Gue juga ngga bakal ngizinin lo pergi lagi" timpal Rasel langsung.

"Kalo itu ngga bisa--"

"Dengerin kata istrinya. Jangan ngebantah, kalo gue ngga ngizinin ya lo ngga bisa pergi." sentak Rasel yang membuat Jehan tertawa kecil.

"Iya nyonya iya" jawabnya pasrah saja.

Mereka masih tetap pada posisi yang sama kok, berpelukan di tengah keramaian sehingga tidak sedikit yang memperhatikan mereka berdua.

"Jadi pengen punya suami gue, Sya" celetuk Lola yang sedari tadi menyaksikan kedua insan dari pintu masuk IGD.

Jisya yang di sampingnya sedang menyandar pada tembok mengangguk kecil. "Sama gue juga"

"Sisain satu modelan Jehan, Tuhan..."

"Kalo gue maunya Jehan langsung. Udah ganteng, keren, berduit, penyayang lagi, lengkap dah" ujar Jisya tanpa sadar.

Lola menoyor pelan dahi Jisya, "Mau nikung sahabat sendiri lo? Parah!"

°°°

Kalau harus di deskripsikan suasana tempat yang satu ini hanya cukup dengan satu kalimat, mewah sehingga tidak akan ada yang menyadari tempat ini merupakan kediaman Tuan Navarez sekaligus markas dari satuan kelompok khusus mereka.

Tampilan depan saja di desain dengan cantik dan elegan, sama sekali tidak ada satupun elemen yang menunjukkan sisi gelap Navarez terhadap dunia.

Mansion yang sudah menjadi ciri khas seorang anggota konglomerat. Namun siapa yang akan menyangka bahwa bangunan besar itu adalah sebuah tempat penyelundupan senjata, narkoba dan penyekapan wanita dibawah umur?

Sebuah seringai timbul di setiap wajah keempat pria yang tengah menatapi bangunan tersebut.

"The security is very tight-- Apa yang lo sembunyiin di dalam sana, Tuan Navarez?" gumam salah satu dari keempat.

"Rencana gila gue ini terlalu berisiko, bang. Lo tetep mau ngejalanin?"

Dia menoleh dan menatap adiknya dengan sorot tegas serta penuh keyakinan. "Berisiko atau ngga gue ngga peduli, yang jelas gue ngga bisa jadi pengecut disaat perempuan di dalam sana nunggu bantuan. Dan bantuan itu kita, Jen"

"Gue akui lo agak nekat, tapi gue suka kenekatan lo." lanjutnya. Adiknya, Jendra, tersenyum miring.

"Tim gue yang lagi di perjalanan bakal telat, jadi gue rasa kita harus duluan masuk setelah Jeksa pergi" ujar lainnya yang menjadi ketua lapangan untuk misi kali ini.

Dia yang berprofesi ahlinya dalam bidang ini menunjukkan benda elektronik ke hadapan tiga lelaki yang lain. "Peta yang kepolisian temuin itu palsu"

"But Alaya managed to find the real one, that's why I choose to use Jendra's plan--- Ven, lo sama Jehan masuk lewat depan dan gue sama Jendra lewat belakang," ucapnya.

"Semua hape udah mati kan?"

"Udah, Zra."

"Jehan, lo harus matiin hape lo sekarang juga"

Tidak digubris oleh lelaki yang tengah melihat ke layar ponselnya. Entah apa yang di pandanginya yang jelas Ezzra, Jendra juga Marven menangkap sorot yang tidak bisa dijelaskan.

"Je.."

Marven berjalan mendekat dan ikut melihat layar ponsel milik Jehan karena rasa penasaran yang timbul di benaknya. Sampai detik Marven melihat dan rasa ingin tahunya pun sirna.

"She's worried about you that much, huh?"

Sebagai sekretaris sekaligus temannya, Marven tau arti dari sorot mata Jehan barusan. "Yaslan and Alaya will protect her so well"

"Gue tau, tapi gue bohong sama dia" balas Jehan dengan suara sedikit lemah.

Marven mengulas senyumnya, ia menepuk bahu pria itu dan merangkulnya. "Rasel pasti paham alasan lo bohong sama dia"

"Tugas lo sekarang fokus jalanin misi terus pulang dalam keadaan baik-baik aja, oke?"

Jehan memandangi layar ponsel yang tertampag salah satu jepretan Rasel favoritnya. Helaan nafas keluar dari mulutnya begitu Marven menyikutnya.

Ternyata dari tadi Jehan memandangi foto yang tak sengaja ia ambil entah kapan.

"Gitu amat liatnya kayak ngga akan pernah ketemu bini kesayangan lagi"

Jendra dan Ezzra spontan tersenyum tipis ketika melihat ekspresi Jehan saat ini. Jelas sekali pria itu sedikit gelisah, dan tentunya ini efek dari tekanan terhadap misi yang cukup berbahaya ini.

Peluang akan terluka lebih besar dibanding pulang dengan kondisi baik-baik saja, mengapa begitu? Lawan mereka adalah pengedar serta orang terlatih, tidak akan mudah.

Siapapun akan merasa takut apabila berakhir tidak dengan kabar baik, mereka berempat takut. Khususnya Jehan yang notabenenya ia memiliki seseorang yang menunggunya pulang tanpa tau apa yang sedang Jehan lakukan.

"Tenang, Je. Ngga akan ada yang mati malam ini" celetuk Ezzra agak cengengesan.

"Kalopun ada pasti bukan lo," ujar Marven belum melepaskan rangkulannya.

"Gue ngga akan biarin lo mati malam ini, lo belom ngasih gue bonus buat bulan ini soalnya"

"Becandaan lo sama sekali ngga lucu, Ven" sinis Jehan tidak suka, lelaki itu sudah mematikan ponselnya dengan berat hati.

Jendra berdecak sembari menggeleng-geleng, "Mulai misi aja belom, ngapain bahas mati sih?! Lo bertiga mau ketemu Tuhan secepet itu?"

"Jeksa udah pergi" katanya sambil menunjukan benda elektronik yang berbentuk persegi panjang.

"Tunangannya gimana?" tanya Ezzra memastikan, pasalnya wanita yang berstatus tunangan Jeksa itu sangat ahli dalam menembak. Mereka harus ekstra hati-hati.

"I didn't see her presence" jawab Jendra merasa sedikit terheran. Dari setiap sudut kamera CCTV yang berhasil Alaya retas, Jendra tidak melihat sosok wanita.

"Kayanya ngga ada"

"Okay, ready?" Ezzra menatap Jehan, Marven dan Jendra bergantian. Ketiga lelaki itu mengangguk seraya menyiapkan senjata mereka.

"Let's go!"

Ezzra memimpin jalan dengan perlengkapan khusus serta pistol di genggamannya, diikuti Marven, Jehan dan Jendra paling akhir karena lelaki itu ditugaskan untuk melindungi bagian belakang.

Mereka berempat keluar dari mini van yang bersembunyi tak jauh dari rumah besar nan mewah milik keluarga Navarez.

Bala bantuan dari pihak kepolisian akan tiba sekitar duapuluh menit, tetapi Jehan berkata mereka tidak bisa lagi menunda dan membuat para perempuan tak berdosa terjebak terlalu lama di dalam sana.

Alhasil Ezzra menyetujui rencana Jendra yakni menyusup area bangunan diam-diam sekalian mengamati setiap inci rumah lalu mencari dan menyelamatkan korban sebelum semuanya terlambat.

Kalau ditanya mengapa kepolisian terlibat, itu karena informasi tentang penyelundupan dan penculikan polisi jauh lebih dulu tau. Ternyata mereka sudah menyelidiki Navarez dari waktu yang sangat lama.

Berhubung mengenai Jeksa, Ezzra membicarakan dengan anggota tim khusus di luar lembaga dan mencoba meminta bantuan rekan-rekannya karna mereka lebih berpengalaman menghadapi sosok Jeksa.

"Hati-hati. Jangan ceroboh apalagi gegabah" ucap Jehan memperingati yang lain.

Area rumah termasuk ke dalan area perumahan sehingga jalanan cukup sepi. Keempatnya mulai menyebrang dengan hati-hati, mata mereka melirik kanan dan kiri.

Sampai di tengah jalan mereka berempat dihujani tembakan namun meleset sehingga mereka bisa menghindar dan bersembunyi dengan cepat.

Entah sumber tembakan dari mana, tetapi yang mereka langsung terpikirkan sesuatu.

Jeksa dan anak buahnya sudah mengetahui misi penggebrekan ini.

Sialan, rencana awal mereka gagal.

"Lo semua liat ini?" Jendra menunjuk ke layar komputer dengan wajah tanpa ekspresi.

"Bukan masalah rencana gue terlalu nekat atau gampang ketebak, mereka tau waktu itu kita kerja sama bareng pihak kepolisian. Pertanyaan gue cuma satu--"

Jendra menatap tiga sosok yang sedang sedikit menundukkan kepalanya "Siapa pembongkarnya?

"Lo nuduh kita?!" sentak Alaya tidak terima saat menangkap pertanyaan Jendra seakan lelaki itu memojokkannya.

Yaslan juga memberikan tatapan tidak terima ke arah Jendra. Rahangnya mulai mengeras pertanda ia terbawa emosi oleh pertanyaan si bungsu Kanagara.

"Cuma kita bertujuh yang tau rencana gue itu," ujar Jendra tanpa intonasi.

"Ya tapi bukan berarti lo bisa nuduh kita berdua, Jen" balas Yaslan menahan diri.

"Sorry. Gue ngga maksud nuduh tapi terkadang ada musuh dibalik selimut, gue curiga bukan ke lo berdua doang tapi Ezzra, Marven bahkan Mbak Kana aja gue curiga"

Ezzra hanya diam tidak bergeming, dia juga tidak tersinggung oleh penjelasan Jendra yang baginya sangat masuk akal.

Bukan korban film atau drama, tapi kenyataannya memang teman paling dekat itu berpeluang besar untuk menjadi musuh.

Jendra hanya bersikap waspada, Ezzra paham. Justru ia juga intropeksi diri apakah ia telah melewatkan sesuatu atau melakukan kesalahan.

Kalau diibaratkan malam itu sebagai kompetisi, bisa dikatakan bahwa mereka kalah telak.

"Jangankan kalian, gue sendiri malah mikirnya mereka tau karena kesalahan gue. Jadi kecurigaan gue ini tergantung dua pilihan,"

Jendra kembali menatap layar komputer, "Salah satu dari kita ngelakuin kesalahan tanpa sadar atau ada pengkhianat diantara kita"

Alaya tersenyum miring dan berdecih, "Lo gila, Jen, kalo lo mikir gue pengkhianatnya"

"Gue bisa hidup sampe detik ini berkat abang lo dan keluarga lo berjasa besar untuk keselamatan gue waktu itu. Jadi atas dasar apa gue berkhianat, hah?!"

Yaslan juga berakhir paham dengan kecurigaan Jendra, ia memilih duduk di atas meja sambil melipat kedua tangannya di depan dada.

"Bokap lo itu pelatih gue, Jen. Bahkan gue anggap dia sebagai ayah kandung gue sendiri, setiap kali gue ngeliat lo atau Jehan gue selalu inget sosok bokap lo. Kenapa?"

"Karena gue udah janji bakal ngelakuin apapun di bawah perintah lo sebagai tebusan atas semua yang udah bokap lo kasih ke gue."

"Berkhianat ngga ada untungnya sama sekali buat gue, jadi lo ngga usah meragukan kesetiaan gue" ucap Yaslan tegas dan penuh percaya diri.

Ezzra mengangguk setuju, "Bener. Gue, Yaslan, Aya, sama Marven berutang besar ke keluarga lo khususnya Jehan. Jadi agak ngga mungkin salah satu dari kita jadi pengkhianatnya---"

"Ya walapun ngga menutup kemungkinan emang ada diantara kita"

Jendra memicingkan matanya ketika ia merasa ada sesuatu yang mengganjal. Dia mendekatkan diri pada komputer untuk memastikan apa yang janggal tersebut.

"Jen, kalo lo butuh--"

"Sst! Tunggu," Jendra mengacungkan telunjuknya pertanda sebagai suruhannya untuk diam.

"What's wrong?"

"Dia--" Telunjuk satunya lagi mengarah satu titik pada layar komputer yang masih menayangkan sebuah video rekaman.

"Looks familiar isn't it?"

Mata Ezzra, Alaya dan Yaslan ikut terpicing, rasa penasarannya kian muncul ketika mendengar tutu kata Jendra barusan.

Sekalian membenarkan apakah mereka merasa familiar atau hanya perasaan Jendra saja?

"Perempuan?" gumam Alaya agak terkejut.

"Tunangan Jeksa?"

"Bukan" tukas Alaya langsung. "Perawakannya beda jauh"

"Gue setuju sama Jendra, rasanya gue pernah liat tapi gue lupa dimana" tambahnya seraya berpikir keras untuk mengingat kembali.

Ezzra tersenyum miring sembari mengepalkan kedua tangannya. "Kalo bukan diantara kita itu artinya diantara rekan kerja Jehan atau diantara-"

"Pertemanan Rasel."

"Ada satu nama di otak gue sekarang, tapi belom tentu bener" ucap Ezzra yang menarik perhatian Jendra, Alaya serta Yaslan.

"Siapa?"

°°°

Dengan perasaan senang, Rasel memasuki satu toko gelato. Ia melangkah tak sabaran menuju bar dengan jejeran es krim yang variannya sangat beragam.

"Jangan lari nanti jatoh, Sel"

"Biarin. Gue lagi seneng banget sekarang, Je. Lo ngga tau aja dari kapan gue bm es krim" balas Rasel sedikit teriak.

"Jehan, cepetan sini!"

Yang dipanggil hanya tersenyum kecil sambil menggelengkan kepalanya. "Dasar bocah.."

Jehan melangkah mendekat, sesekali memegang bagian perutnya yang masih terasa sakit. Efek dari jahitan memang nyeri, tersenggol sedikit saja sakitnya masih terasa.

Dari pagi hingga sore ini Jehan seperti dimanjakam oleh sang istri. Mulai sarapan disuapin, semua permintaannya diturutin, pokoknya masih banyak lagi sampai malas untuk disebut satu-satu.

Bahkan di kepulangan Jehan hari ini, Rasel masih tetap memanjakan dengan melarang lelaki itu untuk tidak banyak bergerak.

Tapi sebagai apresiasi untuk semua perlakuan Rasel, Jehan memutuskan untuk memenuhi apa pun kemauan perempuan itu. Salah satunya ya gelato ini.

"Loh Jehan?"

Baru ingin menyusul, panggilan tadi membuat Jehan tertahan dan menengok ke sumber suara. Wajahnya sontak berekspresi sumringah, "Nat?!"

"You've been hurt recently don't you? I saw the news and sorry I didn't get to see you that time.."

"Chill, it's not a big deal" jawab Jehan.

"So how have you been, huh?" tanya orang itu.

"Good, but not so good actually I have to take care of the big baby now" jawab Jehan sembari melirik ke arah Rasel yang sedang sibuk memilih varian es krim. "Just kidding--"

"Big baby?" Orang itu mengikuti arah lirikan Jehan sebelum akhirnya ia tertawa kecil.

"Istri lo maksudnya? Parah lo, Je"

Jehan terkekeh sambil memasukkan tangannya ke saku celana dan menatapi istrinya disana, "Gue serius, Nat. Di mata gue dia bocah banget tapi lucu"

"Oh my goodness, you love her?!" pekik orang itu tidak percaya. "Sejak kapan lo bisa cinta sama seseorang?"

"Gue juga manusia normal ya, Nat" desis Jehan membuat orang itu memanggut lalu mencibir.

"Her name is Rasel, right? Lo ngga akan ngenalin resmi ke gue nih?"

Jehan menoleh dan mengangkat salah satu alis tebalnya, "Emangnya lo siapa?"

"Dih lo ngga anggap gue sebagai teman lo? Sial--"

"Jehan, gue nungguin disana loh. Eh? Gue ganggu ya?"

"Hei, engga kok. Sini dulu sebentar, Sel" Jehan tersenyum seraya mengulurkan tangannya ke arah Rasel yang terlihat kebingungan.

Mungkin bingung dengan kehadiran wanita di samping Jehan.

Rasel menerima uluran tangan Jehan tetapi tidak tau harus berekspresi bagaimana meski wanita itu tersenyum kepadanya. Ia malah mendekat ke telinga Jehan lalu berbisik, "Siapa?"

"Mantan lo ya??" goda Rasel dengan kikikannya. Sengaja terkikik untuk menutupi perasaan aneh dibenaknya.

Jehan berpikir momen ini patut dimanfaatkan bukan? Ia tersenyum miring. "Kalo iya kenapa?"

"Ng-ngga kenapa-kenapa. Justru bagus kalo lo masih mau nyapa mantan lo, itu namanya mempererat tali permantanan" ucap Rasel tak masuk akal.

"Cantik banget mantannya, kenalin dong" lagi-lagi Rasel berbisik untuk menggoda suaminya sendiri.

Satu hal yang Rasel notis ketika ia melihat perempuan bersetelan rapih dan berkelas di hadapannya ini.

Cantik dan elegan.

Kekehan langsung keluar dari mulut Jehan, ia mengacak-acakkan puncak kepala istrinya dan bergumam, "Gemes banget istri gue,"

"Emangnya lo ngga akan cemburu kalo gue kenalin?"

"Idih ngapain juga gue cemburu?!" sentak Rasel.

"Yakin?"

"One hundred percent, sure! Lagian zaman sekarang kok masih cemburu-cemburu segala?"

Jehan menoyor pelan pipi tembam milik Rasel, "Halah kalo gue tiba-tiba balikan ntar nangiiss, kan lo cengeng"

"Engga! Kata siapa gue cengeng?!" tukas Rasel tidak terima dengan perkataan suaminya.

"Kata gue barusan"

"Dih? Ngga usah nyebar hoax!"

"Bukan hoax, tapi itu faktanya" kata Jehan.

Wanita tak dikenal yang hanya menyaksikan itu berdeham untuk menginterupsi pasangan di hadapannya.

"Gue bukan mantannya kok" ucapnya, tidak ingin menimbulkan kesalahpahaman meski tadi hanya lelucon.

Rasel langsung memberikan tatapan sinis kepada Jehan sementara lelaki itu menahan diri untuk tidak tersenyum.

"Dia temen gue, lebih tepatnya temen kuliah gue sekaligus rekan kerja juga, Natalie."

"Nat, ini istri gue"

Perempuan bernama Natalie yang baru saja di perkenalkan itu mengulurkan tangannya, tanda ajakan berjabat tangan. "Hai, gue Natalie"

Sambil tersenyum hangat, Rasel membalas jabatan tangannya. "Rasel"

"I know, i've seen about you a lot on the internet" kekeh Natalie.

Entah harus bagaimana Rasel merespon satu kalimat yang itu. Ia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal dan sesekali mencuri pandang pada Jehan berharap suaminya itu membantunya terlepas dari kecanggungam ini.

Karena kepekaannya cukup sensitif, Jehan menoleh dan menyelipkan rambut tergerainya ke belakang telinga. "Udah pesen belom?"

Rasel menggeleng. "Gue bingung mau pilih rasa apa,"

"Yaudah tinggal beli semua rasa apa susahnya?"

Natalie menggelengkam kepalanya, "Masih sama aja ya lo kaya dulu zaman kuliah, sombong amat mentang-mentang kaya"

"Bukan sombong, punya duit banyak itu kan buat dihabisin" jawab Jehan santai.

"Terserah lo aja deh, nyerah gue kalo ngomong sama lo" ujar Natalie sedikit menggeram.

"Lo bingung mau pilih rasa apa kan? Gue punya rekomendasi buat lo kebetulan gelato ini langganan gue," Natalie menarik tangan Rasel seperti orang yang sudah akrab.

Jehan mengikuti kedua perempuan itu dari belakang sambil melipat kedua tangannya didepan dadanya. Kedua netra tajam bak mata elang miliknya tidak lepas dari setiap gerakan Rasel.

Mulutnya tertarik menjadi senyuman yang sangat tipis ketika melihat ekspresi senang terlukis jelas di wajah istrinya.

Natalie Reanna Josephine, salah satu teman kuliah Jehan sekaligus rekan kerja KNG's Group. Sebagai partner di dunia karir, perusahaan Natalie mempunyai peran yang besar bagi kelanjutan bisnis keluarga Kanagara.

Meski begitu Jehan tidak terlalu sering bertemu dengan Natalie karena wanita itu bekerja di negri Paman Sam.

Beberapa saat kemudian, Jehan mendekat ke dua wanita yang sedang keasikkan memilih es krim.

"Sebenernya gue dateng ke pernikahan lo sama Jehan dan waktu itu niatnya gue mau nyapa tapi ada masalah di kantor jadinya gue harus pergi deh, sorry ya??" kata Natalie tiba-tiba bercerita.

Rasel tersenyum lebar, "Gapapa kok. Lagian gue juga lagi pusing waktu itu, soalnya temen sama rekan kerja Jehan banyak banget" bisiknya.

Natalie tertawa, merasa terhibur dengan perkataa dia. "Ya gitulah seorang pengusaha, banyak temen iya tapi banyak rival juga"

"Nah gue rekomendasiin tiga rasa ini, Sel" ujar Natalie seraya menunjuk ke tiga rasa dari sekian banyaknya varian.

"Mau yang ini, ini sama yang ini ya, Mbak" ucap Rasel dengan suara senangnya.

"Tiga rasa sekaligus?" Rasel menoleh lalu mengangguk cepat sebagai jawaban dari pertanyaan Jehan.

"Natalie rekomendasi tiga itu, keliatannya enak!!" saking senangnya Rasel memukul-mukul pelan bahu Jehan layaknya anak kecil.

"Lo mau yang mana, Je?" tanya Rasel langsung membuat Jehan mengernyit.

"Emang boleh?"

"OH IYA NGGA BOLEH DULU" pekik Rasel yang seketika ingat kalau Jehan baru saja pulih dan belum boleh makan yang aneh-aneh. "Ih kok lo nurut?"

"Nurut salah, bantah salah. Maunya gimana?"

Rasel terkekeh. Tingkahnya barusan tidak hanya menggemaskan di mata Jehan, namun di mata Natalie dan pegawai yang melayani juga.

"Saya samain aja kaya dia" ucap Natalie kepada pegawai tersebut.

"Looks so yummyy" ujar Rasel kelewat senang ketika menerima es krim pesanannya.

Natalie melirik dan mengulas senyumnya, ternyata Rasel tidak begitu sesuai ekspektasinya. Waktu itu ia menganggap Rasel berkarisma dan berwibawa, tapi nyatanya tingkah perempuan itu masih seperti anak kecil.

Bukan anak kecil yang menjengkelkan, justru dia sangat menggemaskan. Tidak heran jika Jehan jatuh cinta kepadanya.

"Adiknya lucu banget, Pak" ucap pegawai setelah menyerahkan pesanan Natalie kepada Jehan yng tertangkap tidak pernah mengalihkan pandangan dari istrinya.

Selang berapa detik Jehan buyar dan seperti biasa dia ingin memanfaatkan situasi untuk menjahili istrinya sendiri.

"Iya, adik saya emang masih bocah jadi maklumin aja" kekeh Jehan yang membuat Rasel tidak jadi menyuap es krimnya.

Rasel sontak menoleh ke arah Jehan, diharapnya lelaki itu meralat ucapannya. Namun kerutan muncul di dahinya saat ia melihat Jehan yang tersenyum dan tidak berniat menarik ucapannya.

Adik?

Apakah cincin yang melingkar di jari manisnya tidak jelas?

Pegawai itu tertawa pelan, "Istri sama adik juga satu selera ya, Pak"

"Iya nih, sama-sama pencinta es krim" jawab Jehan masih disertasi kekehannya.

Rasel mengubah eskpresinya dengan cepat, dia menatap Jehan dan Natalie bergantian. Entah ya kok rasanya panas disini?

Jehan tau kalau Rasel sudah memberikan tatapa tidak suka, ia berhasil memancing kecemburuan istrinya. Walau begitu Jehan memilih untuk tidak menghiraukannya.

Agak jahat sih, tapi entah mengapa Jehan suka melihat Rasel yang sedang kesal.

"Adik huh?" gumam Rasel sedikit berdecih.

Natalie menepuk pelan lengan Rasel, "Bukan gue ya," katanya tanpa bersuara. Rasel hanya tersenyum paksa ke arahnya.

Bisa-bisa Rasel menjadi tidak suka dengan Natalie gara-gara ini.

Sekali lagi Rasel menoleh dan menatap Jehan dengan tatapan menuntut. Namun sepertinya lelaki itu tidak menangkap arti tersirat dari sorot matanya.

"Kenapa? Kok ngeliatinnya gitu banget--"

Wah Rasel jadi kehilangan nafsu makan es krimnya. Ia menghembuskan napas, "Gue ke mobil duluan. Lo bayar dulu!"

Setelah perginya Rasel dengan suasana hati yang buruk, Natalie mendelik kesal kepada Jejan. "Lo jahat banget sumpah, Je!" ujar Natalie tak sangka dengan sikap Jehan.

"Dia cemburu tau"

Jehan memanggut paham, "I know. She's cute isn't it?"

Natalie setuju tapi bukan berarti ia mendukung ide gila dan konyol Jehan barusan. "Yeah, but she's your wife, dude!"

"Jangan keseringan jail gitu, kesian. Gue ngga mau terlibat sama kehidupan rumah tangga lo ya, awas aja!"

"Lo tenang aja," Jehan mengeluarkan domoetnya untuk mengambil salah satu kartu dari beberapa yang ada.

Namun sebelum Jehan membayar, Natalie lebih dulu menahannya. "Gue aja yang bayar"

"Apaan dah? Gue dateng kesini buat memenuhi kemauan Rasel jadi--"

"Gue aja yang bayar, Jehan. Anggap ini sebagai salam perkenalan gue sama Rasel sekaligus hadiah pernikahan karna gue belom sempet ngasih lo berdua hadiah" ucap Natalie sekalian menjelaskan.

"Mending lo urusin istri lo yang lagi cemburu sana"

Tak perlu berlama-lama Jehan mengiyakannya lalu mengurungkan kembali niatnya. "Ah ya, Mba, ralat. Dia cuma temen kuliah saya--"

"Yang tadi baru istri saya" ucap Jehan dengan senyuman manis dan bangganya.

Pegawai barusan langsung menutup mulutnya, ia jadi merasa bersalah terhadap perempuan yang pergi dengan mood hancur. "M-maaf, Pak. Saya tidak maksud--"

"Ngga masalah kok" balas Jehan tetap santai.

"Kalo gitu gue cabut duluan ya, Nat"

Natalie mengangguk, "Thank you for this--" Ia mengangkat cup es krim miliknya.

Jehan tersenyum kecil, "Kaya ke siapa aja lo ah"

"Besok gue ke perusahaan lo, ada yang harus gue urus kalo bisa lo ada disana. Lumayan penting" ucap Natalie sebelum Jehan beranjak dari sana.

Jehan tidak menjawab dengan kalimat melainkan sebatas jari yang dibentuk bulat seperti angka nol seraya berbalik badan menjauh dari Natalie.

Melihat kepergian Jehan, Natalie tersenyum hangat. Entahlah ada rasa senang di dalam lubuk hatinya dan juga ia merasa Rasel beruntung bisa meluluhkan hati seorang sekeras batu seperti Jehan.

Tapi Natalie masih merasa kesal dengan tingkah Jehan yang menjahili istrinya sendiri.

"Dasar pasutri.."

°°°

BONUS

Rasel menutup pintu mobil dengan sekuat tenaga sehingga membuat Jehan hampir terpenjat kaget

Percayalah di seperjalanan tadi, Rasel sama sekali tidak mengeluarkan suaranya. Bahkan sudah Jehan ajak ngobrol pun dia tetap tidak menggubrisnya.

Jehan tidak menyangka ketika Rasel cemburu akan berakhir seperti ini.

Bercanda Jehan kali ini tidak benar. Padahal ia sudah berniat untuk meminta maaf dan sepertiny akan terjadi perang dingin diantara mereka.

"Sel, tunggu dulu. Gue mau ngomong--"

Rasel tidak merespons, dia malah mengambil ponselnya yang berdering pertanda ada sebuah panggilan masuk.

"Halo, Sya?"

'Lo dimana?'

"Gue baru sampe rumah, kenapa?"

Jehan tidak langsung masuk ke dalam, ia malah menyandarkan tubuhnya di badan mobil sambil melipat kedua tangannya di depan dada.

'Lagi bareng siapa lo? Gue--'

"Gue lagi bareng kakak gue nih" jawab Rasel yang sengaja menekankan kata 'kakak'. Hal ini sukses membuat Jehan terkekeh.

'Kakak? Sejak kapan lo punya kakak?'

Rasel melihat jam tangannya, "Sejak duapuluh menit yang lalu"

'Hah? Apaan sih?! Ngaco banget lo,'

"Gue serius, sejak duapuluh menit yang lalu gue punya kakak, Sya"

Jehan menahan diri agar tawanya tidak lepas saat itu juga. Ia tau kalau Rasel memang sengaja berkata begitu untuk menyindirnya.

Tangan kekarnya bergerak untuk menopang dagu dan mengusapnya sembari mendengarkan topik perbincangan Rasel dengan seseorang disebrang sana.

'Ngga jelas lo. Pokoknya gue nelfon lo itu cuma mau bilang gue sama Lola mau ke rumah lo ntar malem bisa ngga?'

"Ngapain?"

'Mau ngerampok! Ya bertamu biasa lah'

"Terserah, gue lagi ngga mood" jawab Rasel dengan nada malas menanggapi.

'Ngapa dah? Oh iya, gue perlu minta izin ke suami lo ngga nih?'

Rasel mencuri pandang ke arah Jehan yang masih menyandar menunggunya, sebuah ide langsung muncul di otaknya. "Suami?"

"Emangnya gue punya suami?"

Kalimat yang satu ini berhasil membuat Jehan berpaling menjadi menatap Rasel dengan sorot yang tidak bisa dijelaskan.

Jehan menghela nafasnya seraya melangkah ke posisi Rasel berdiri. Ketika sudah berdiri di sisi sang istri, Jehan sedikit memiringkan kepalanya kemudian tersenyum aneh.

'Lah? Lo kenapa sih, Sel?! Habis makan apaan lo? Atau lo lagi mabuk?'

Rasel membuang muka langsung. Ia tidak mau beradu tatap dengan suaminya, bisa-bisa mood dia semakin hancur.

"Nope. Gue seratus persen sadar" sentaknya.

"Kalo mau kesini bawa makanan yang banyak ya, Sya. Gue butuh makanan buat naikkin mood gue" ujarnya.

'Lo lagi berantem sama suami lo ya?'

"Gue bilang gue ngga punya suami, Jisya. Kalo Jehan yang lo maksud, asal lo tau dia berubah status jadi kakak gue sekarang!"

Detik itu juga Rasel mematikan hubungan telfon secara sepihak dan pergi meninggalkan Jehan yang sedang tertawa kecil.

"Sel.." panggil Jehan dengan suara tinggi.

Tidak digubris. Alhasil Jehan lari menyusulnya dengan perasaan bersalah namun puas melihat tingkah cemburu istrinya yang di luar dugaan.

"Tunggu dulu, gue mau jelasin"

"Rasel, jangan diem gini ah!"

Yang dipanggil sama sekali tidak merespons, dia terus berjalan masuk dan sepertinya menuju ke kamar tanpa mau memberi kesempatan Jehan untuk menyesali perbuatannya.

Para bawahan yang bertugas menjaga rumah dibuat bingung oleh pasangan ini. Bahkan ada beberapa yang melempar ekspresi penuh tanda tanya kepada Jehan.

Menyerah bukanlah sifatnya, Jehan sedikit berlari untuk mensejajarkan langkahnya dengan langkah Rasel.

"Sel, tunggu dulu dong. Gue ngga maksud--"

Jehan berdecak pelan ketika Rasel sama sekali tidak teralih. Maka dari itu pilihan terakhir yang Jehan punya ia lakukan sekarang juga yaitu dia menarik pinggang ramping Rasel sehingga istrinya itu terkejut.

"Apaan sih lo?! Lepas!"

Awalnya hanya menarik, kini Jehan mengangkat tubuhnya dan menduduki nakas panjang di ruang tengah. Setelah itu ia mengunci tubuhnya dengan menyimpan kedua tangan di samping kanan dan kiri Rasel.

Dengan posisi begini Jehan bisa leluasa menatap setiap inci wajah istrinya yang cemberut.

"Gila lo ya? Main ngangkat-ngangkat aja!"

"Itu karena lo ngga ngejawab panggilan gue, Raselia"

"Ya lo bikin gue kesel tau ngga?!"

"Gue tau, makanya gue mau minta maaf tapi lo ngediemin gue terus dari tadi."

Rasel memilih tidak menjawab dan mendengus kemudian membuang muka ke sembarang arah.

Tangan kiri Jehan bergerak mengapit pipi temba Rasel. "Ngga usah cemberut gini ah tadi itu gue cuma becanda doang, Sel"

"Sama sekali ngga lucu," gumam Rasel sangat kecil.

"Waktu itu siapa yang bilang ngga akan cemburu, hm?" tanya Jehan bermaksud mengingatkannya dengan perkataan Rasel di toko gelato tadi.

"Gue ngga cemburu!" sentak Rasel.

Jehan mengangkat salah satu alisnya lalu sambil tersenyum menggodai sang istri, "But your face right now shows that you are very jealous, Mrs"

"No, I'm not!"

"Yes, you are"

"No!" Rasel memberi tatapan ngotot kepada Jehan karena sifatnya yang keras kepala.

"Ngapain gue cemburu? Gue kan adik lo?" sindirnya.

"Rasel--"

"Yaudah, pokoknya tadi itu gue beneran becanda dan sesuai apa yang gue bilang, Natalie itu temen gue ngga lebih" ucap Jehan dengan suara lembut.

"Tapi becanda lo ngga lucu!"

Jehan tersenyum, "Iya. Makanya gue minta maaf, dimaafin ngga?"

"Awas! Gue mau mandi" Rasel berusaha melepas diri dari kuncian Jehan.

"Gue ngga bakal lepas sebelum lo maafin gue" tolak lelaki itu.

"Dih bocah banget lo," ketus Rasel. Sepertinya ia masih kesal.

"Yang di depan gue lebih bocah" ujar Jehan tanpa sadar malah membuat kekesalan Rasel bertambah.

"Tuhkan! Bukannya ngebujuk malah ngatain, males ah awas!"

"Bukan ngatain, sayang. Lo emang kaya bocah tapi lucu" kata Jehan tidak bercanda kali ini.

"Ck! Ngga mempan, awas ngga?!"

Jehan menggeleng sambil tersenyum.

"Jehan, jangan bikin gue makin kes--"

Cup

Rasel spontan melotot ketika Jehan mengecup bibirnya tanpa aba-aba. "Ish! Maksudnya apa?!"

"Dimaafin ngga?" Jehan belum melepaskan tatap matanya dari muka Rasel.

"Lo kebiasaan nyos--"

Cup

Lelaki itu kembali mengecupnya dan kali ini Rasel memukul bahu Jehan. "Diem ngga? Nanti anak buah lo ngeliat tau??"

"Gue ngga peduli. Ini pilihan terakhir gue biar lo maafin gue," balas Jehan yang terlihat memang tidak memedulikan sekitarnya.

"Ya tapi ngga git--"

Cup

"Jehan!" pekik Rasel. Sebenarnya Rasel sedang salah tingkah, Jehan tau persis kalau sikap dia yang seperti ini adalah kelemahan Rasel.

"Semenjak lo sakit, lo jadi makin gila ya?!"

"Terserah. Tapi ini permintaan maaf gue, dimaafin ngga?"

Rasel tidak menjawab, ia hanya bisa melamun sekarang karena apa yang Jehan lakukan membuat pikirannya kosong seketika.

"Hey? Kok malah bengong?"

Jehan tersenyum miring. Sesuai dugaan pilihan yang satu ini akan berhasil melemahkan sang istri.

"Ya lo pikir aja kenapa gue bengong" cetus Rasel memberikan tatapan sinis.

"Jadi?"

Rasel mengernyit tidak paham, "Jadi apa?"

"Permintaan maaf gue diterima ngga?"

Mata hazel milik Rasel mengedar ke kanan, kiri dan belakang Jehan. Memastikan tidak ada yang menyaksikan mereka berdua.

Namun harapannya pupus ketika ia mendapati ada tiga anak buah Jehan yang kepergok spontan membuang muka saat Rasel melihat ke arah mereka.

Harus ditaruh dimana mukanya ketika berhadapan dengan mereka nanti? Rasel menghembuskan nafas panjangnya.

Karena terlalu lama memberi jawaban, tidak izin Jehan kembali mengecup beberapa area wajah Rasel tanpa henti. Membuat Rasel merasa jauh lebih kesal dari sebelumnya.

"Jehan, lo k-kenapa sih?! Berhenti ngga?!"

Sekuat tenaga Rasel berusaha mendorong tubuh Jehan yang masih mengunci pergerakannya, tapi karena Rasel perempuan yang notabenenya ialah sedikit lebih lemah dibanding Jehan hingga sulit untuk menjauhkan diri.

"Ya T-Tuhan, JEHAANN ATHARIZZ!!!"

Terpaksa Rasel langsung membekap mulut sang suami dengan kedua tangannya. Ia menyorot ke Jehan dengan sorot murka, sungguh sikap Jehan barusan sangat menjengkelkan.

Setelah puas mengecup setiap inci wajah Rasel, Jehan memilih untuk menyudahi. Tangannya bergerak melepas bekapan Rasel secara lembut, ia tersenyum puas kepadanya.

"Jangan marah, gue cuma mau lo maafin gue" katanya.

"Yaudah iya permintaan maaf lo gue terima" balas Rasel memutuskan untuk mengalah, padahal ia masih sedikit kesal.

"Awas!"

Setelah itu Rasel turun dari nakas dan berlari kecil menuju kamarnya di lantai dua. Ia sudah tidak tahan lagi, jantungnya berdegup sangat kencang dan pasti wajahnya juga sudah merona.

Jehan terkekeh gemas melihat istrinya yang jelas sekali perempuan itu gugup dan salah tingkah. Ini adalah hal yang paling Jehan sukai selain perilaku bak anak kecil atau tingkah menggemaskannya.

"Beberapa barang saya masih di dalam mobil, tolong ambil dan simpan di depan kamar saya" ucap Jehan tanpa memalingkan wajah dari layar ponsel yang bergetar tadi.

Jangan salah, Jehan tau kok kalau beberapa anak buahnya menyaksikan momen clingy dirinya dan Rasel barusan. Tapi Jehan tidak terlalu ambil pusing, toh mereka juga akan paham kalau sikap Jehan tadi merupakan hal yang lumrah.

Getaran pada ponselnya ternyata merupakan tanda pesan masuk. Jehan membuka kotak pesan dan memencet pesan dari nomor tak dikenal.

Kerutan dahi timbul begitu Jehan membaca isi pesan tersebut. Namun tak lama kedua tangan kekarnya bergerak mengetik sesuatu disana.

to be continued~~~

Hai? Maaf baru update hehe...

Thank you banget buat support kalian untuk cerita ini, selama gue di opname itu gue ngga buka wattpad sama sekali dan pas gue sembuh jumat kemarin, sabtu siangnya gue coba ngecek dan gue bacain komentar kalian semua.

Gatau kenapa gue suka banget bacanya!!🤩

Sekali lagi makasih banyak ya? Terutama buat kalian yang masih mau nungguin updatenya.

Oh iya, ada yang mau kenalan sama Natalie?

Natalie Reanna Josephine

Jangan negatif thinking sama dia guys!!! wkwkw

Dia adalah peran terakhir buat cerita ini.

See you di part selanjutnya, loves!🖤

Continue Reading

You'll Also Like

59.8K 4.3K 28
Love and Enemy hah? cinta dan musuh? Dua insan yang dipertemukan oleh alur SEMESTA.
1.8M 18.4K 40
Sebelum membaca, alangkah baiknya kalian untuk follow akun wp gw ya. WARNING 🔞!!! Yg penasaran baca aja Ini Oneshoot atau Twoshoot ya INI HASIL PEMI...
49.2K 423 5
well, y'know? gue fetish sama pipis dan gue lesbian, eh gue sekarang sepertinya bi, kontol dan memek ternyata NYUMS NYUMS Apa ya rasanya Mommy? juju...
63.5K 12.6K 14
[FOLLOW SEBELUM MEMBACA] 21+ ‼️ Apa jadinya jika si berandal Jasper Ryker yang dijuluki sebagai raja jalanan, tiap malam selalu ugal-ugalan dan babak...