The Fate of Us | Jaerosè

By jaeandje

256K 22.5K 3.9K

Bagaimana jadinya apabila seorang Ketua Dewan Rumah Sakit secara tiba-tiba 'melamar' salah satu dokter reside... More

PROLOGUE
01
02
03
04
05
06
07
08
09
10
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31

11

7.7K 732 92
By jaeandje

Ok, something funny happens. Di part 10 sebelumnya, Jehan pergi ke SG brg Jendra & Ezzra kan ya? Nah harusnya sama Marven juga cuma gue lupa ga keketik ehehehe

di bagian iniii

maaaf yaaaa??

23.55
5 menit sebelum lebaran 2022!!

SPECIAL EID FITRI!

MINAL ADIZIN WAL FAIDZIN
Mohon maaf lahir & batin, teman-teman🙏🏻🥰

Pada mudik ga? Gue sih engga wkwkw  Makanya gue sengaja publish di hari pertama hari raya biar bisa nemenin lo yang ngga mudik😉

But as usual, harap maklum jika typo dimana-mana wkwkw. Gue ga sempet ngecek ulang wehh

don't forget to vote and comments<3

btw, enjoy!

Ruangan yang diisi oleh berbagai furnitur khusus untuk area kawasan perkumpulan keluarga telah dipenuhi tangisan seseorang.

Sedari tadi Alaya hanya bisa menepuk-nepuk bahu orang tersebut. Mencoba menenangkannya tetapi dia tidak kunjung tenang juga.

Alaya, Yaslan, Kanara dan Tania masih tidak tau alasan orang itu menangis. Yang jelas semenjak datang saja dia sudah banjir air mata.

"K-kalo ngga ada kalian kayanya gue udah diculik deh," rengeknya dengan suara serak karena isakannya cukup membuat suaranya habis.

"Dari tadi gue ngebayangin, gimana caranya gue pulang kalo beneran diculik. Hape mati--"

"Ya ampun, Sel" Alaya sedikit tertawa melihat raut wajah Rasel sekarang. Sahabatnya itu memang lagak menangisnya seperti anak kecil yang tidak mendapatkan permen.

"Ngga usah mikir macem-macem deh, buktinya lo duduk aman di samping gue sekarang" katanya. Alaya tidak menyerah untuk meredakan tangisan perempuan itu.

Rasel menengok ke arah Alaya dengan wajah sembab dan derai air mata membasahi kedua pipinya. "T-tapi lo hampir ketembak karena gue tau?!"

"Hampir kan? Look at me, sis. I'm fine! Pelurunya meleset asal lo tau," Alaya mengusap pipi tembam Rasel yang sangat basah sambil tersenyum.

"Can you stop crying? Gue ngga mau Jehan salah paham liat muka sembab lo ini.."

Perlahan tangisan Rasel mereda kala mendengar nama Jehan. Ekspresi wajahnya berubah dengan cepat, yang semula merengek kini menjadi datar tetapi bibirnya mengerut ke bawah.

"Jehan ngga akan pulang malem ini.." lirih Rasel dengan nada sedih.

Selang beberapa detik tangisan Rasel kembali pecah entah karena apa. Menimbulkan kepanikan tiada tara karena takut telah melakukan sesuatu yang salah.

Tania terkekeh melihat sikap Rasel yang belum pernah ia lihat sebelumnya, menangis dan merengek bak bocah kecil. Biasanya Tania selalu melihat sisi tegas dan kompeten Rasel sebagai dokter, meski begitu Tania tidak terlalu terkejut.

Jehan pernah cerita kalau perempuan berstatus istrinya itu memang bertingkah seperti anak kecil.

Tidak hanya Tania dan Alaya yang merasa sedikit terhibur oleh tingkah Rasel saat ini. Kanara dan Yaslan yang sedari tadi menyaksikan juga merasa gemas, bahkan bukannya berusaha menenangkan mereka berdua malah tertawa lucu dalam diam.

Kalau Kanara terlahir sebagai laki-laki, sudah pasti dia akan terjatuh ke dalam kegemasan perempuan itu.

Bagi Yaslan, dia tidak sekali duakali dibuat khilaf atau lupa akan status istri dari bosnya. Terkadang perilaku Rasel yang tidak menunjukkan dia berusia 27 tahun, hampir membuatnya jatuh hati.

Tapi Yaslan masih mau hidup dan dapet bonus ya kawan.

Tania tersenyum sembari menghampiri Rasel yang kembali menangis dengan menutup mukanya. Ia memberi tanda kepada Alaya untuk menyerahkan Rasel kepadanya.

"Sel??" panggil Tania mencoba melepaskan tangan yang menutupi wajah.

"Hey, menantu kesayangan mamah kenapa nangis lagi?" Mendengar suara Tania, Rasel perlahan melepas tangannya lalu menggeleng dan menyeka air matanya.

"Gapapa, Mah"

Tania memilih untuk tidak menyangkal balasan sang menantu. Dia malah membantu mengelap pipi basahnya dengan tisu sambil tersenyum. Dan ia menyuruh Kanara untuk mengambil kotak P3K untuk mengobati luka kecil di sikut dan punggung tangan Rasel.

"Maaf--" lirih Rasel setelah berhasil meredakan tangisannya sendiri.

"Buat?"

"Harusnya aku dengerin apa kata Jehan, jangan apa-apa sendirian.."

Tania mengusap kedua bahu menantunya. "Sstt udah ngga usah nyalahin diri kamu sendiri. Tadi itu kamu syok kan? Gapapa wajar kok"

"Kamu ngga usah khawatir atau ngerasa bersalah sama Yaslan atau Alaya, mereka udah ahlinya dan bagi kita selama kamu ngga kenapa-kenapa itu udah cukup. Oke?"

Rasel mengalihkan tatapannya ke arah Yaslan dan Alaya yang sedang memandanginya dengan senyu sambil mengangguk mengiyakan perkataan Tania dan mengacungkan jempol mereka.

Rasa bersalah yang ada dibenaknya tidak hilang begitu saja meskipun sudah berapa kali Yaslan maupun Alaya mengatakan bahwa mereka baik- baik saja.

Aksinya beberapa jam yang lalu sungguh mengacaukan rencana Alaya dan Yaslan.

Alaya menyuruh Rasel untuk menubruk sengaja seseorang yang sedang membawa tumpukan kardus bekas, namun karena Rasel tidak memiliki bakat berpura-pura alhasil dia tidak melakukan suruhan tersebut.

Rasel malah jongkok ditengah-tengah jalan orang yang sedang berlalu lalang. Hal ini membuat Yaslan tidak mempunyai waktu yang cukup untuk menargetkan penempak jitu yang bersembunyi di atas sebuah gedung.

Karena aksi tak terduga tersebut Alaya sulit untuk menghindar diri dan tidak bisa membiarkan Rasel berjongkok lama-lama karena itu justru akan memudahkan para musuh menembaknya.

Dan benar saja satu peluru berhasil meluncur tetapi karena Alaya mempunyai insting yang begitu kuat, dia berhasil menyingkir sehingga peluru itu meleset dari targetnya.

Sebenarnya aksi Rasel yang begitu sangat amat diwajarkan. Alaya maupun Yaslan bisa memahami kalau perempuan itu masih terkalut dalam rasa takutnya.

Tetapi karena Rasel merupakan tipikal orang yang mudah merasa bersalah dan dirinya sadar kalau tadi bisa membahayakan Alaya, Yaslan dan dirinya sendiri. Maka dari itu ia menangis karena rasanya aksi dan keputusannya sore ini sangat salah dan berisiko.

"Jeksa, tadi aku ketemu sama dia, Mah. Ngga tau kenapa rasanya aku takut--" belum sempat selesai mengucapkan kalimatnya, Tania membawa tubuh ramping Rasel ke dalam dekapannya.

"Takut itu normal, sayang. Mamah kalo di posisi kamu juga bakal takut" Tania menghembuskan nafasnya sebelum lanjut mengucapkan sesuatu.

"Sorry we've put you in danger and scared you." ujar Tania. Kali ini dia yang merasa bersalah.

Rasel merupakan wanita yang sedikit polos dan tidak pantas menjadi bagian dari ini semua. Tetapi karena kedua orang tuanya itulah yang membuat Rasel harus mengalami ini.

Dan tugas Tania disini adalah melindungi Rasel sebisanya sesuai perjanjiannya dengan ibunda sang menantu, sekaligus teman seperjuangannya.

"Tapi, Sel, Mamah pengen kedepannya kamu harus bisa lawan rasa takut kamu karena dengan begitu kamu bisa ngelindungin diri kamu sendiri. Emang kita udah janji bakal ngejaga kamu apapun caranya tapi lindungin diri sendiri itu penting, sayang" jelas Tania sembari mengelus lembut punggungnya, menyalurkan ketulusan hatinya.

"Mamah bukan mau nakutin kamu ya, tapi ini baru permulaan. Karena Jeksa sama anak buahnya bisa lebih dari ini dan kamu harus siap untuk itu, oke?" Rasel mengangguk ragu dalam dekapan.

"Kalo gitu mamah obatin dulu luka kamu--" Tania segera melepaskan pelukannya ketika Kanara tlah kembali dengan kotak P3K di tangannya.

Rasel menggeleng dan hendak menghentikan pergerakan mertuanya namun Tania lebih dulu menghindar. "Aku obatin sendiri aja, Mah"

"Sama mamah aja, Sel. Mending kamu hubungin suami kamu, dia kan khawatiran banget orangnya apalagi kalo menyangkut kamu" usul Tania sambil terkikik.

"Eum.." Rasel menggigit bibir bawahnya dan agak bergumam, membuat Kanara, Alaya serta Yaslan di belakang kembali menatap ke arah Rasel.

"Jangan kasih tau Jehan tentang hari ini ya?" pinta Rasel dengan sorot puppy eyesnya. "Kalo dia tau nanti kena amukannya, serem tau.."

Mendengar permintaan lucu itu membuat Kanara, Alaya dan Yaslan sontak menahan tawa namun mereka bertiga tidak bisa untuk tidak tersenyum.

"Nanti gue marahin balik deh--" kekeh Kanara.

Tania juga merasa gemas dengan tingkah dan permintaan menantunya. Apa yang putranya katakan sangatlah benar, kelakuan perempuan itu tidak selaras dengan usianya yakni duapuluh lima tahun.

"Please?"

"Lo tenang aja, gue bukan mulut ember kok" kata Yaslan menyetujui permintaan nyonya besar tanp ragu.

Lagipula selain karena Rasel takut akan terkena amukannya, namun sepertinya Yaslan dan Alaya lah yang akan mendapat amukan sebenarnya dari Jehan selaku bos mereka.

Dari pada bonusnya dipotong lagi ya mending dia bekerja sama dengan nyonya besar kan?

Di sisi lain, Alaya dan Kanara tertawa sebentar lalu mengangguk, mengiyakan permintaannya. Dia masih bisa bertingkah seperti ini, artinya ia baik-baik saja dibandingkan dengan kondisi saat insiden ledakan beberapa hari yang lalu.

Seolah Rasel sudah mulai terbiasa.

"Tapi nanti Jehan bisa liat plester ini loh, Sel" ujar Tania setelah selesai mengobati luka kecil pada sikut dan punggung tangan Rasel.

Rasel memandangi tangannya yang telah terbalut plester dan melirih, "Oh iya juga.."

"Yahh gimana dong, Mah?" Rasel mengerutkan bibir bawahnya.

"Kalo Jehan tau dan ngamuk, langsung ngomong ke mamah aja. Biar mamah yang amukin balik," kata Tania sambil merangkulnya.

"Lagian istrinya lagi terluka kaya gini masa diamukin--" tambahnya dengan desisan sebal.

Rasel langsung mengulas senyum senangnya. Dari dulu dia ingin sekali mencoba mengadu ke mertuanya mengenai perlakuan dan sifat Jehan terhadapnya.

Dan sekarang keinginannya akan terkabulkan, tentunya Rasel tidak akan menyia-nyiakan kesempatan melihat respons Jehan ketika lelaki itu dimarahi Tania.

Kayaknya sih bakal gemesin, ya jarang-jarang kan ngeliat muka gemesnya Jehan?

"Bu, tapi ada yang aneh." celetuk Yaslan ketika dia mengingat sesuatu kejanggalan.

Tania berdeham, "Kita bahas itu nanti aja"

Sempat membuat Yaslan dan Alaya kebingungan karena tidak biasanya Tania menunda kebiasaan mereka ketika selesai menjalankan misi, yaitu berlapor.

Tetapi karena mereka berdua termasuk orang yang tanggap dan peka dengan situasi, Yaslan maupun Alaya akhirnya memilih untuk menutup mulutnya.

"Kamu istirahat gih, Sel. Besok kamu sif pagi atau siang?"

Dari kalimat itu saja kedua insan tadi dapat langsung menangkap kalau seharusnya tidak membahasnya di depan Rasel. Trauma yang disebabkan oleh insiden kemarin masih agak membekas, jadi baiknya tidak menambah rasa trauma tersebut lebih mendalam.

Rasel menatap Tania dan ketiga orang di belakang secara bergantian. Keempatnya sama-sama menyorot tatapan yang tidak dapat dideskripsikan.

Namun Rasel paham sorotan tersebut menunjuk bahwa mereka tidak ingin membebaninya.

"Kalo mau ngobrolin tentang hari ini, obrolin aja. Aku udah biasa kok, mamah kan bilang aku harus bisa lawan rasa takut aku sendiri" ucap Rasel sambil tersenyum simpul.

Tania menghela napasnya, lalu setelah itu dirinya membenarkan posisinya yang semula membelak Alaya, Yaslan serta Kanara kini duduk pada sofa di situ dan menghadap mereka bertiga.

"Mamah juga punya utang cerita sama kamu ya?"

Rasel hanya diam tidak menanggapi, matanya fokus pada layar ponsel yang entah sejak kapan perempuan itu mengeluarkannya.

Tidak ada jawaban dari lelaki yang ia tunggu dari tadi membuat pikirannya kalut, tak menghiraukan sekitarnya.

Ada ekspresi khawatir di wajahnya. Kanara, Alaya, Yaslan dan Tania mengerutkan dahi dan menatap Rasel dengan penuh pertanyaan. Pasalnya wanita itu didapati dari tadi membolak-balik, memeriksa hapenya.

"Kenapa, Sel?" tanya Kanara langsung.

Rasel sontak menyimpan kembali ponselnya dan menggeleng. "Ng-ngga kenapa-kenapa kok. Cuma agak heran aja kenapa Jehan belom jawab chat aku, mungkin belom sempet buka hape kali ya?"

Tania langsung tersenyum hangat saat mendengar perkataan menantu kesayangannya dengan intonasi khawatir namun perempuan itu masih berpikir positif.

"Ternyata sama-sama khawatiran ya--" ujar Tania yang terdengar seperti mengejek. Ejekannya ini sukses mengundang tawa bagi Kanara, Alaya dan Yaslan.

"Engga khawatir, Mah. Cuma heran aja," sanggah Rasel memalingkan wajahnya.

"Sama-sama gengsi juga.." gumam Tania sambil terkikik.

Selang beberapa detik, Tania mengelus lembut kepala belakang Rasel. Menyalurkan rasa tulus serta menyayanginya seperti anaknya sendiri.

"Istirahat gih. Today is very tiring, isn't it?" senyum  lebar nan perhatian terulas di muka Tania.

Rasel membalas senyuman tersebut, "Aku belum ngantuk kok--"

Melihat Rasel itu membuat Tania lantas teringat dengan sosok rekan seperjuangannya. Terutama sifat keras kepala dan kegigihannya, mirip persis sekali.

Tidak ingin memaksa lagi, akhirnya Tania pasrah dan membiarkan Rasel tetap pada posisinya. "Oh iya, Kana, udah pesen sesuatu buat makan malam?"

"Ngga usah! Aku masak aja--" Hendak beranjak, tetapi Tania sudah lebih dulu menahan pergelangan tangannya.

"Udah diem, Rasel. Kamu itu harus istirahat, kalo kenapa-kenapa nanti suamimu bisa marah" ucap Tania menarik tubuh Rasel untuk duduk kembali.

"Tapi kan.."

"Gue udah pesen makanan kok, Sel. Jadi lo ngga perlu masak," sahut Kanara yang memotong ucapan Rasel.

Meskipun ada rasa tidak enak, namun Rasel tetap mengiyakan saja. "Yaudah kalo gitu.."

Tania sempat tersenyum sebelum berpaling ke arah Yaslan. "Apa yang aneh, Lan?"

Yaslan yang semula duduk di anak tangga kini beranjak melangkah dan menyandarkan diri pada dinding di dekat Kanara dan Alaya dengan posisi tangannya melipat di depan dadanya.

"Jeksa berani muncul di depan Rasel karena dia pikir tim kita pergi--- How did he know we were going to Singapore?"

Mendengar penjelasan laki-laki itu, Kanara tidak perlu berpikir banyak. "How else? He must be spying on us.."

Mata-mata, retas, bahkan terror sudah menjadi hal yang lumrah bagi kedua pihak. Entah pihak Jehan maupun Jeksa. Keduanya sama-sama sudah terbiasa dengan ketiga indikator tersebut.

Jadi kalau ditanya bagaimana bisa Jeksa tau perginya Jehan, Marven, Ezzra dan Jendra ya sudah pasti jawabannya mereka menyadap atau bahkan memata-matai pergerakan mereka.

Alaya mengetuk-ngetuk meja menggunakan kuku jemarinya. "Bukan itu yang aneh--"

"If it's true he's spying on us, seharusnya dia tau kalo gue sama Yaslan ngga ikut pergi" lanjutnya.

"Mereka ngga ekspek sama sekali gue sama Aya bakal muncul di deket Rasel" timpal Yaslan yang mengeluhkan seluruh kejanggalan yang dirasa.

"Yang lebih aneh, tadi itu kesempatan emas buat dia. But he did nothing besides following and scared her."

Kanara dan Tania langsung berpikir keras ketika mendengar penjelasan Yaslan dan Alaya. Tentu itu semua aneh, tapi sebagai orang yang sudah menjadi bagian kegelapan ini selama belasan tahun, Tania maupun Kanara tidak bisa menjadikan keanehan ini sebagai acuan mereka untuk rencana kedepannya.

Terlalu berisiko, terlebih seorang wanita polos macam Rasel yang menjadi incarannya.

Setidaknya jangan sekarang. Lagipula mereka tidak bisa bertindak gegabah selama Jehan tidak ada disini.

"Untuk seorang anak buah terlatih Navarez, mereka cukup lamban tadi. Ngga kaya yang kita tau--" gumam Tania yang masih terdengar jelas oleh indera pendengaran yang lain.

"Tapi jangan karena hari ini kita jadi ngeremehin Jeksa. Kalian tau sendiri gimana kemampuan anggota Navarez yang begitu hebatnya dan.."

Lagi-lagi Tania menggantungkan ucapannya. Ia sesekali mencuri pandang ke arah Rasel yang sedang memainkan plester di tangannya.

"Jehan ngga boleh tau tentang ini. Marven, Ezzra sama Jendra juga ngga usah tau." ujar Tania yang terdengar sangat tegas.

Kanara mengangguk setuju, "Mereka berempat masih marah gara-gara kejadian di acara kemarin terutama Jendra."

"Kalaupun tau tentang ini, gue yakin banget Jehan ngga bakal tinggal diem." lanjutnya.

Taukah apa yang Rasel sedang lakukan saat ini?

Kalau tadi dia sibuk bermain dengan plester yang menempel pada punggung tangannya, kini dia memainkan lipatan baju serta satu helai benang yang mengguntai bebas.

Seperti orang yang kurang kerjaan, masalahnya Rasel tidak tau harus ngapain lagi sekarang.

Pembicaraan ibu mertua, kakak ipar, Yaslan dan temannya agak sulit untuk diikuti. Untuk paham sih lumayan, tapi Rasel hanya bisa diam karena dia bukan ahli seperti keempat orang itu.

Nanti kalo ngomong terus salah kan malu juga.

Alasan lain Rasel diam adalah pikirannya masih tertuju pada orang lain, ya siapa lagi kalau bukan suaminya?

Benaknya dipenuhi dengan berbagai macam pertanyaan seperti, "kenapa ngga dijawab?" atau "tumben bukan dia duluan yang ngehubungin.." atau "safe landing kan ya?" dan ini yang paling dominan,

"kangen"

Belum sampai 12 jam, tapi Rasel sudah merasa rindu kepada suaminya itu.

Meski begitu, Rasel mendengar pembicaraan mereka dengan baik dan dia bisa menangkap pembahasannya.

"Oh iya, orang sekitar ngga kenapa-kenapa kan?" tanya Tania memastikan. Pasalnya tadi Tania dan Kanara mendengar suara tembakan dari earpiece yang mereka pakai.

Alaya menggeleng sambil mengikat rambutnya, "Pelurunya meleset, so no one's hurt"

"Good. Kesuksesan misi emang penting, tapi inget prinsip kita. Jangan menimbulkan banyak korban" kata Tania memperingati dengan intonasi tegas.

"Untuk sementara waktu jangan pake pistol, terlal berbahaya. You have your own penknife, right?"

Yaslan, Alaya dan Kanara langsung mengangguk sebagai jawaban. Status Tania sekarang bukan hanya sebagai ketua dewan rumah sakit atau ibu besar Kanagara, tetapi juga sebagai pemimpin sementara untuk menggantikan Jehan ketika pria itu tidak ada.

Jangan salah, Tania juga mempunyai keahlian yang sama seperti mereka. Pokoknya yang termasuk ke dalam anggota tim itu terlatih.

"Use that if you feel threatened." kata Tania yang menjadi sebuah perintah bagi ketiga orang itu.

Pisau memang sama bahayanya dengan pistol, tetapi pistol terlalu bising yang tidak semua oran suka dengan suaranya dan dampaknya pun jauh lebih serius sehingga banyak orang yang merasa takut jika ada tertembak.

Terkadang tembakan juga bisa menimbulkan trauma.

Bukan berarti pisau tidak berbahaya. Hanya saja sebuah permainan yang menggunakan pisau bisa lebih rapih dan tidak menarik perhatian banyak orang.

Memang tidak menjamin, namun Tania yakin dengan pelatihan yang sudah mereka dapat dari mendiang suaminya dan skill yang mereka punya pasti bisa berhati-hati.

Yaslan, Alaya, Kanara, Marven, Ezzra, Jendra dan juga Jehan sangat ahli dalam menggunakan pistol maupun pisau. Maka dari itu Tania memutuskan memberi perintah untuk mengurangi penggunaan pistol.

"There are no practices or meetings for today. You can rest now," ucap Tania mengulas senyum ke arah Yaslan dan Alaya.

"Istirahat disini. Biar rumahnya ngga sepi," celetuk Rasel.

Tania belum melunturkan senyumnya. "Kamu dari tadi diem aja.. Kenapa sih?"

Rasel menarik senyum paksa lalu menggeleng. "Gapapa. Ada yang lagi aku pikirin aja--"

"Mikirin apa, hm? Jehan?" Tania menatap kedua mata Rasel dengan lekat. Selang beberapa detik tidak ada jawaban membuat kekehan keluar dari mulut Tania.

"Don't worry, Sel. He will be okay"

"Suami lo bisa jaga diri kok. Dia jauh lebih gigih dari yang lo kira" timpal Alaya yang diangguki Tania.

"Iyaa, tau--  Tapi aku lagi ngga mikirin Jehan" jawab Rasel sedikit terbata-bata.

Alaya lantas mencibir jawaban sahabatnya itu. Udah hampir lebih dari tiga bulan, tapi masih saja  sungkan untuk mengekspresikan perasaannya sendiri.

"Ngaku aja sih, gengsi amat lo ah!"

Rasel mendesis tidak suka ke arah Alaya. "Apa sih lo?! Gue beneran lagi ngga mikirin dia juga,"

Tidak tersinggung Alaya malah tertawa kala dia mendengar jawaban Rasel yang sedikit ketus itu.

"Aku standby di depan ya, Bu. Kalo ada sesuatu HT aku di frekuensi stasiun dua" sahut Yaslan setelah selesai memakai topi hitam andalannya.

Ketika sudah mendapat jawaban dari Tania walau hanya sebatas anggukan, lelaki itu berjalan keluar sambil mengeluarkan bungkus rokok dari saku jaketnya.

"Yaslan!"

Panggilan tersebut berhasil menghentikan jalan kakinya. Dari suara saja Yaslan bisa mengenali siapa pemanggilnya.

"Do you need something, Mrs?" tanya Yaslan.

"Kata Jehan, diantara kalian lo yang paling jago dalam semua aksinya--" Rasel mengambil napas sejenak sebelum melanjutkan perkataannya.

Hal ini membuat Tania, Alaya maupun Kanara mengerutkan keningnya. Tidak dapat menduga apa yang akan Rasel katakan.

Yaslan tidak mengerti arah pembicaraan Rasel. Namun ia menahan senyum bangganya ketika mendengar tuturan kata barusan. Apa? Jehan mengatakan bahwa Yaslan yang paling jago?

Wah, Yaslan merasa tersanjung jadinya. Ya meski tidak secara langsung, tapi Yaslan tau sekarang. Jehan memuji teman-temannya dari belakang.

"Jadi gue mau minta sesuatu boleh?" tanya Rasel terdengar ragu.

Yaslan mengangguk tanpa berpikir lama. Mana bisa ia menolak permintaan nyonya besar yang satu ini?

"Be my coach. Latih gue caranya nembak dan latih gue bela diri" pintanya yang sangat di luar dugaan.

°°°

Di sebuah ruangan ganti para staff medis, Jisya, Lola dan Rasel memakai jas dokternya bersamaan. Sebuah keajaiban lagi mereka bertiga bekerja di jam sif yang sama.

Tak hanya ketiga dokter ini saja. Dokter-dokter lain yang berbeda departemen juga memenuhi ruang ganti ini. Suara obrolan tidak jelas serta suara pintu loker ditutup menggenapi ruangan yang luas tersebut.

"Selamat siang, Bu Rasel" sapa orang-orang.

Rasel tersenyum. "Selamat siang"

"Kemarin sama pagi ini kita ngga liat Pak Jehan, Dok. Jadi ngga bisa nyapa deh.." celetuk salah satu dokter.

"Oh itu-- Lagi pergi dinas" jawab Rasel santai. Dia sudah biasa oleh rekan-rekan dokter nya yang suka sekali cari perhatian saat suami gantengnya itu datang ke rumah sakit.

Memang agak ngeselin, tapi ya itu resiko punya suami ganteng.

Jawaban Rasel barusan tidak ditanggapi, hal ini sukses mengundang emosi Lola dan Jisya yang daritadi hanya diam mendengar disamping Rasel.

"Tau lagi dinas langsung cabut dih--" decih Lola tidak suka. "Ngga bisa caper lagi yee"

"La.."

"Gue tuh kesel tau ngga, Sel?! Caper banget najis, masalahnya mereka caper ke suami orang!!" ucap Lola dengan suara tinggi.

Jisya mengangguk setuju. "Gue lebih kesel ke lo sih, Sel. Suaminya dicaperin masa diem doang?! Aneh lo ah,"

"Lo pikir gue terima?! Engga ya!" sentak Rasel.

Jangan salah loh, melihat banyak perempuan yang cari perhatian kepada Jehan tentunya Rasel tidak terima.

Kesel? Iya. Tapi Rasel ini tipikal orang yang tidak ingin memperpanjang suatu masalah. Ya meski suaminya sendiri dicaperin itu bukan masalah kecil, hanya saja Rasel tidak mau ribet.

"Ngamuk dong. Jangan diem aja," dengus Lola.

"Males" balas Rasel seraya menutup pintu loker miliknya lalu melangkah keluar dari ruang ganti.

"Cemburunya ngga asik amat sih lo" cetus Jisya disertai kekehannya. Seketika lupa dengan rasa kejanggalan yang Jisya rasakan ketika bertemu Rasel di hari ini.

Beberapa detik kemudian, Lola dan Jisya lantas mengikuti langkah Rasel. "Lo mau ke IGD dulu? Ini bukan arah ke departemen kardio.."

"Gue diminta kesana--" Rasel menunjukkan alat panggilan khusus ke arah Lola dan Jisya.

"Jehan masih belom ada kabar?" tanya Lola.

Rasel sontak memeriksa saku jas dan celananya, namun dahinya langsung mengerut.

"Eh hape gue masih di dalem tas." Rasel berdecak sambil menepuk keningnya saat dirasa kedua sisi saku jas dokter serta celananya tidak berat.

"Gue mau ambil dulu, takut dia nelfon. Lo berdua duluan aja"

Rasel sedikit berlari kecil kembali ke ruang ganti untuk mengambil ponselnya yang tertinggal di dalam tas.

Melihat kepergian sahabatnya itu, Jisya dan Lola langsung tersenyum. "Orang yang lagi kasmaran mah gitu, semangat banget dapet kabar"

-

Hembusan nafas keluar dari mulut Rasel kala matanya mendapat masih belum ada balasan dari Jehan sampe detik ini.

Kemarin malam Rasel masih mencoba berpikir positif, tetapi kalau gini situasinya tak mungkin Rasel tidak berpikir negatif.

Sudah hampir satu hari namun suaminya itu sama sekali belum memberinya kabar. Bahkan Marven, Jendra serta Ezzra pun tidak ada kabar.

Kalau ditanya apakah Rasel khawatir? Sangat. Hatinya sungguh tidak tenang, bahkan semalam saja Rasel tidak tidur nyenyak.

"Lo ngga biasanya kaya gini.." gumam Rasel kebingungan.

Ini beneran bukan Jehan banget. Biasanya yang pria itu yang menanya-nanyakan kabar, tetapi kali ini kebalikannya.

Jadi ini yang Jehan rasakan ketika menunggu kabar dari Rasel?

Rasel memejamkan matanya dan mencengkram kuat ponselnya. "Pas lo pulang nanti awas aja, jangan harap gue bakalan buka pintunya."

"Ish! Lo kemana sih, Je?!"

Rasel menggerutu kesal bercampur khawatir di tengah-tengah lorong sehingga banyak yang memerhatikannya.

Mau jutaan kali menghubungi, tetap tidak akan ada jawaban karena ponsel Jehan dimatikan.

"Gue beneran marah banget sama lo, Jehan!" geramnya.

Tak ingin membuat dirinya frustasi, Rasel memilih berjalan menuju IGD dengan tempo langkah yang cepat.

Karena ruang ganti yang ia tempati satu lantai dengan area IGD, alhasil Rasel tidak butuh waktu yang lama untuk sampai di area darurat itu.

Rasel merogoh jepit rambut yang ia bawa ketika ia mengambil ponselnya. Setelah itu dia meraih rambutnya yang masih tergerai bebas untuk ia gulung dan ditahan oleh penjepit rambut tersebut

Kaki panjangnya masih melangkah, kedua netra tajamnya mengedar untuk melihat situasi jalan yang dilalu lalangi oleh banyak orang. Namun ada yang aneh.

Mengapa orang-orang memandanginya? Sambil berbisik satu sama lain pula.

Alisnya menaut heran, tetapi ia tetap mengulas senyum terbaiknya meski ia bingung apa yang membuat orang-orang menatapinya seperti ini.

Rasel menundukkan kepalanya. Langkah kakinya dipercepat sampai ia sampai di meja administrasi gawat darurat. Anehnya, kedatangan Rasel ini membuat para staf medis menghentikan aktivitas mereka.

"Ini rekap pasien ranjang 12 ya?" tanya Rasel sembari membaca papan dengan kertas yang berisi riwayat pasien.

Tidak ada jawaban apapun dari para perawat yang ada disitu membuat Rasel mengangkat kepalanya. Dilihat ekspresi yang tidak dapat dideskripsikan terlukis jelas di wajah satu per satu mereka.

"D-Dok..."

"Kalian juga kenapa natap saya kayak gitu? Dari tadi loh orang-orang natap saya kayak saya abis ngelakuin kesalahan, ada apa?" tanya Rasel.

"Anu--"

Rasel dibuat semakin bingung oleh respons para perawat sekarang. "Kenapa sih?"

Staf medis yang berlalu lalang kesana kemari sukses menarik perhatian Rasel sampai dirinya mendapatkan sesosok pria yang begitu familiar di kedua matanya.

"D-dok, tunggu disini aja--" Tangan Rasel spontan menepis ketika salah satu perawat mencoba menahannya.

Rasel melangkah mendekat ke arah sosok itu. Tak hanya satu sosok, tetapi dua yang lainnya juga berada disitu.

Mengapa mereka berada di IGD?

Jantungnya mulai berdegup kencang dan kakinya terasa sangat berat serta tangannya mencengkram keras papan rekap pasien di genggamannya, kala ia melihat penampilan dari ketiga sosok tersebut jauh dari kata baik-baik saja.

Terlihat amarah yang meredam, frustasi dan juga gelisah di wajah mereka bertiga.

Mata maniknya tidak lepas dari ruang trauma 1, dimana para tenaga medis di dalam sana sibuk melakukan upaya penyelamatan terhadap seseorang.

Tunggu. Mengapa begitu banyak dokter dan perawat hanya untuk menyelamatkan satu orang tersebut?

Rasel tidak bisa melihat siapa orang itu karena ada beberapa staf yang menutupi pemandangan kaca ruangan.

Taukah apa yang membuat Rasel sangat takut sekarang? Penampilan tiga orang tadi sungguh mengerikan, mereka berlumuran darah.

Bahkan tersisa kurang dari lima langkah saja, Rasel masih berpikir positif.

Sampai di titik tepat di depan ruang trauma 1, ia melihat seseorang terbaring tidak sadarkan diri dengan darah dimana-mana. Tak lama matanya mendapati satu benda kecil namun bermakna melingkar di salah satu jemarinya karena tangan kirinya menjuntai bebas.

Detik itu juga papan rekap pasien yang di tangannya jatuh begitu saja dan menimbulkan suara yang berhasil membuat para dokter serta suster di dalam memalingkan kepala ke arahnya.

"Siapa yang manggil Rasel kesini? Jangan biarin dia masuk!" ucap Jisya meninggikan suaranya.

Suara jatuhnya papan tadi juga sukses membuat ketiga orang yang gelisah menghampiri Rasel dengan perasaan bersalah.

"Sel,"

Rasel menepis lalu setelahnya masuk ke dalam ruang trauma tetapi dengan sigap Lola menahan tubuhnya. "Kali ini lo ngga bisa---"

"Diem. Gue sendiri yang harus tanganin, ini tugas gue" Rasel mencoba melepas diri dari pertahanan Lola.

"Lepas, Lola!"

"Gue ngga butuh lo, Raselia! Ngga ada yang butuh lo disini, keluar." jawab Jisya agak membentak.

"Dia suami gue!" balas Rasel tak kalah membentak.

"Justru itu! Ngga boleh tangani anggota keluarga sendiri, lo lupa aturan itu?" Jisya sibuk memsang intubasi pada mulut Jehan yang terbaring.

"Masa bodoh sama aturan yang ada. Gue sendiri yang harus nanganin Jehan, Sya, please?" pinta Rasel dengan sorot mata yang sudah berkaca- kaca.

Jisya berdecak, "Lola, sini. Gantiin gue" ucapnya.

Lola melepas tahanannya lalu mengganti cepat posisi dan tugas Jisya. "Ambil USG!" teriaknya.

"Ini luka tembak, Sel. Lo punya trauma besar terhadap luka tembak kan?! I'm begging you, don't force yourself too much for this one." Jisya memegang kedua bahu Rasel yang perlahan mulai melemas.

Mendengar sesuatu yang paling ia benci telah terjadi kepada orang yang selalu di sampingnya tentu membuat Rasel diam membeku. Lututnya juga terasa sudah kehilangan tenaga untuk menopang tubuhnya sendiri.

Jehan tertembak?

Nafas Rasel mencekat. Jantungnya kembali berdegup tidak karuan, kedua tangannya juga bergetar hebat. "S-sya..." lirihnya.

Cairan bening yang susah payah ditahan akhirnya jatuh membasahi pipi tembam Rasel. Kalo Jehan liat ini, sudah pasti lelaki itu menyekanya dengan cepat.

"Gue tau perasaan lo karena orang yang terbaring di ranjang pasien sekarang itu suami lo, tapi lo ngga bisa apa-apa selain percayain semuanya ke gue.."

"Serahin ke gue sama yang lainnya and we'll do our best, okay?"

Rasel memandangi wajah Jehan yang terpejam di atas ranjang sana. Mengapa hatiny begitu sakit melihat pemandangan seperti ini?

"Kondisinya sekarang gimana, Sya? He will be okay, right?"

Jisya menghela nafasnya, "Kondisi Jehan belom stabil, suami lo kehilangan banyak darah. Tapi lo tenang aja, gue ngga akan ngebiarin lo kehilngan lagi kaya lo kehilangan orang tua lo, gue janji."

Tangisan Rasel pecah saat itu juga. Bukan ini kabar yang Rasel tunggu. Setelah hampir satu hari tidak ada kabar, suaminya itu malah muncul dengan keadaan seperti ini?

"Get her out of here and take care of her." pinta Jisya kepada lelaki yang ia kenal sebagai sekreta pribadi Jehan.

"Bu Tania sama Dokter Kana juga dilarang masuk ke sini" tambahnya ketika melihat kedatangan Tania bersama Kanara dengan ekspresi cemasnya.

Lelaki itu mengangguk lalu menarik Rasel mundur secara lembut. "Kita tunggu di luar,"

Rasel belum memutuskan pandangannya dari sang suami. Mukanya telah dibanjiri air mata, sungguh ia merasa resah sekarang.

"J-Jehan.." lirihnya ketakutan. Takut akan ditinggal untuk kedua kalinya.

Di luar ruang trauma 1, Rasel langsung memerosotkan dirinya ke bawah tetapi kesigapan Marven sukses menahannya.

"Sel--" Marven tidak tau harus mengatakan apa kepada perempuan itu. Rasanya tidak pantas berucap sesuatu setelah menghilang hampir satu hari dan muncul dengan kondisi buruk seperti ini.

Marven melempar tatapannya ke arah Ezzra dan Jendra yang sedang menenangkan Kanara serta Tania.

"Rasel, kita--"

Istri Jehan itu kembali menepis lembut rangkulan Marven lalu berjalan lunglai meninggalkan mereka berlima yang hanya bisa diam. Membiarkannya menghabisi waktunya sendiri.

Ezzra, Jendra serta Marven bisa memahami hati Rasel yang begitu hancur melihat salah satu orang terdekatnya akan mengalami hal mengenaskan macam itu.

Tentu ada perasaan bersalah. Namun mereka tidak bisa mengatakan apapun sebelum Jehan sendiri yang mengatakannya.

"Rasel!" panggil Tania hendak menyusul namun Ezzea menahannya.

"Biar aku aja, Bu" katanya lalu setelahnya berjalan menyusuli Rasel. Sepertinya Ezzra tau bagaiman cara menenangkannya tanpa menjelaskan apa yang telah terjadi.

"ARRGHHH BRENGSEK!!" Jendra menggeram marah. Kerasnya suara dia membuat semua orang di sekitar terkejut dan sontak beralih ke arahnya.

Kanara menarik kerah baju adik bungsunya yang satu itu, "Tenang, Jendra. Tenang!"

"Gue tau lo marah, Jen. Gue sebagai kakaknya juga marah! Tapi inget tempat, ini rumah sakit. Jangan ganggu pasien lain," tambahnya.

Marven memandangi kedua tangannya yang di penuhi darah. Rasanya ia ingin menonjok sesuatu. Hatinya sungguh tidak tenang dan benaknya diselimuti amarah. Namun sebenarnya rasa yang dominan adalah ia menyalahkan dirinya.

Jehan berakhir seperti ini karenanya. Marven bersumpah jika Jehan tidak terselamatkan, ia akan menghabisi Jeksa detik itu juga.

Baginya, Jehan bukan hanya sekedar atasan atau rekan tim. Namun juga sahabat serta saudara yang sangat ia sayang layaknya adik kakak. Jadi melihat kondisinya begini tentu membuat Marven merasa takut.

Tania menyandarkan diri di meja administrasi. Kepalanya menunduk, berdoa agar hasilnya nanti tidak buruk.

Memang begini resikonya maka dari itu Tania sudah bersiap dari jauh-jauh hari bahwa kejadian seperti hari ini akan terjadi dengan waktu yang tidak bisa ditentukan.

Salahnya, Tania lupa bahwa kehidupan Jehan sekarang mengemban seorang perempuan yang tidak tau menau dan tidak berpengalaman untuk menghadapi situasi macam ini.

Tania merasa bersalah pada Rasel.

°°°

Orang ini mengerjapkan kelopak matanya berulang kali. Sinar lampu yang menusuk tajam ke kedua matanya membuat dia memejamkan kembali untuk sejenak.

Beberapa detik kemudian dia membuka kelopak matanya dan ketika sudah terbuka sepenuhnya, dia meringis merasa nyeri di bagian pinggang dan perutnya.

"Je?" Meskipun sedikit pusing tetapi dia masih bisa mengenali orang-orang di dekatnya.

"Sshh, sakit banget kepala gue. Dosis obatnya berapa sih?!"

"Jehan, lo habis ketembak masih bisa-bisanya ya lo cengengesan kayak gini?! Sinting emang,"

Jehan terkekeh kecil dengan sisa tenaga yang ada. Ia sedikit mengangkat kepalanya, melihat lima orang berdiri menatapinya.

"Ngapa sih ngeliatnya gitu amat? Gue gapapa kali ketembak doang," ujarnya meremehkan.

Plak!

"Doang?! Iya ketembak doang sampe lo hampir mati tau ngga?!" ketus Kanara setelah memukul bahu Jehan.

"Aduh! Gue lagi sakit malah dipukul jahat amat lo jadi kakak" dengus Jehan kesal.

Tania menggelengkan kepalanya, sudah malas menanggapi pertikaian antara kakak dan adik yang satu itu.

"Gimana kondisi kamu sekarang? Kerasa sesuatu ngga?" tanya Tania memastikan.

Jehan meraba-raba bagian samping ranjangnya untuk mengatur kasur sehingga dirinya bisa bersandar. Tetapi jangkauannya terlalu pendek, sedangkan jarak tombol pengaturnya sedikit di tengah-tengah.

Marven langsung menekan tombol yang dicari lalu mengaturnya sampai mendapatkan posisi yang tepat. "Kata dokter, lo ngga boleh banyak gerak dulu, bos"

"Thanks, Ven." ucap Jehan memegangi lukanya di bagian perut yang masih terasa ngilu.

"Aku ngga selemah itu loh, Mah. Cuma dua peluru bukan apa-apa" Jehan tersenyum pede kepada mamahnya.

"Ngga ngerti lagi mamah sama pikiran kamu, Jehan. Udah lah, kamu bisa becanda kaya gini artinya kamu lebih dari baik" Tania memutuskan untuk kembali duduk pada sofa besar yang ada di ruangan.

"Lo bertiga ngga kenapa-kenapa kan?" tanya Jehan memastikan.

Jendra, Ezzra dna Marven mengangguk mantap. "Berkat lo"

"Bos, lain kali jangan ngelakuin itu demi gue. Harusnya gue yang tiduran disini sekalian istirahat juga,"

Jehan melirik Marven. "Jangan ngelantur kalo ngomong, lagian gue udah biasa kena tembak"

"Inget lo udah punya istri sekarang, Je. Dia selalu berharap lo ngga kenapa-kenapa dan lo barus bisa jaga harapan dia" balas Marven.

Pemuda itu masih belum menerima fakta bahwa yang terjadi kepada Jehan saat ini untuk melindunginya. Padahal Jehan tidak perlu melakukan itu karena jika nekat hasiknya akan buruk.

Dan lihat? Jehan nyaris tidak tertolong.

"Lo juga harus inget nyokap yang lagi sakit, Ven." timpal Jehan yang langsung membuat Marven terdiam.

"Ngomong-ngomong, Yaslan sama Alaya belom bisa kesini. Paling nanti malem," ucap Ezzra. Ia  lega apa yang sudah terjadi tidak berdampak buruk seperti yang ia kira.

Jehan mengangguk ngerti, "Lo pasti nyuruh Yaslan ngelakuin sesuatu kan? Jangan gegabah, persiapan mereka jauh lebih matang dari yang kita kira,"

"Lo tenang aja. Setelah apa yang terjadi ke lo jadi pelajaran buat gue, Je" balas Ezzra.

"Ah iya, tadi lo bilang 'kata dokter' kan? Dokter penanggung jawab gue siapa?" tanya Jehan pada Marven.

"Yang jelas bukan Rasel" jawab Marven tidak berintonasi.

Rasel. Jehan langsung melotot, "Ini rumah sakit Hadvent?!"

Ezzra, Marven, Jendra dan Kanara mengangguk bersaman sebagai jawabannya.

"Shit-- Dia ngga ngeliat gue kondisi awal gue kan?"

"Sayangnya waktu itu istri lo lagi jaga sif di IGD jadi udah pasti dia ngeliat kondisi lo berlumuran darah" jawab Marven.

Mendengar jawaban Marven, Jehan memejam diri di atas ranjang pasien. "Rasel dimana sekarang?"

Mereka berempat sama-sama menggidikkan bahu dan menggeleng. Terakhir mereka melihat Rasel di IGD tadi siang, bahkan ketika Jehan dioperasi pun perempuan itu tidak memunculkan batang hidungnya.

Waktu Ezzra ingin menemani Rasel, perempuan yang berstatus istri temannya itu ternyata kembli bekerja seolah tidak terjadi apa-apa. Aneh, tapi disaat yang bersamaan Ezzra terpukau dengan keprofesionalan dia sebagai dokter.

Karena tidak ingin mengganggu alhasil Ezzra membiarkan Rasel melakukan pekerjaannya, sehingga Ezzra tidak tau dimana Rasel berada sekarang.

"Gue udah ngasih tau dia lo siuman kok" ujar Kanara.

Jehan menggigit bibir bawahnya, memikirkan penjelasan masuk akal ketika istrinya bertanya nanti. Ada rasa bersalah juga karena kedatangan dia bagaikan mimpi buruk untuk seseorang yang memiliki trauma terhadap luka tembak.

"Rasel ngga kenapa-kenapa kan?"

Kanara merotasikan bola matanya. Kok bisa pria itu melontarkan sebuah pertanyaan konyol? Ya bayangkan saja bagaimana perasaan Rasel, saat dia menunggu kabar dengan pikiran positif dan sabarnya tau-tau datang dengan kondisi yang tak mengenakkan untuk dilihat.

Siapapun yang diposisi itu pasti tidak baik-baik saja, terutama Rasel adalah perempuan dan dia tipikal orang yang berhati lemah.

"Lo sama Rasel sama aja. Sama-sama bikin satu sama lain khawatir," ketus Kanara.

"Kemarin gue sama Mamah udah susah payah biar dia ngga overthinking karena lo ngga jawab chat-nya dia, tapi sialnya lo malah muncul tanpa pemberitahuan apapun dengan kondisi kaya gini. Menurut lo gimana perasaan dia?"

Jehan menghela nafasnya seraya menatap ke atas langit-langit ruangan. Ia akui kali ini memang kesalahannya, rasa bersalah di benaknya semaki besar sehingga Jehan ingin bertemu dengannya sekarang juga.

"Gue tau lo berempat lagi ngejalanin misi, tapi posisinya lo bohong sama dia, Je. Harusnya lo bisa bertanggung jawab atas kebohongan yang lo buat itu," Kanara menopang dirinya di ujung ranjang pasien sambil menatap adiknya.

Tok, tok, tok

Suara ketukan pintu tersebut membuat semua orang yang ada didalam ruangan mengalihkan pandangannya. Pintu ruang inap terbuka dan menampakkan perempuan berjubah putih serta stetoskop kebanggaannya.

"Rasel--" gumam Jehan sangat kecil.

Perempuan- Istrinya itu berjalan mendekat ke arah ranjang tanpa ekspresi atau sepatah kata apapun. Seolah asing, Rasel mengambil papan rekap di meja kecil samping ranjang.

"Sel.." panggil Jehan yang sama sekali tidak digubris oleh perempuan itu.

Rasel tetap diam dan memeriksa monitor serta selang infus yang terpasang. Jehan bisa melihat wajah yang sedikit sembab juga kantung mata yang agak membesar.

Sampai ada seorang perawat masuk sambil membawa sebuah nampan besi yang berisi berbagai macam obat serta alat suntikannya.

"Ini, Dok." ucap perawat itu seraya menyerahkan alat suntikan yang telah terisi obat yang diperlukan.

Rasel mengambil benda tersebut lalu ia suntikan ke selang infus yang terpasang di punggung tangan Jehan. "Nanti kamu cek kondisi dia setiap satu jam sekali sampe besok pagi."

Akhirnya Jehan bisa mendengar suaranya meski dia berucap bukan kepadanya. Kedua netra hitam tajam bak mata elang miliknya terkunci terhadap setiap pergerakan sang istri.

Jehan tidak suka didiami oleh Rasel seperti ini.

"Dan kamu yang harus mengganti perbannya, oke?"

Perawat itu mengernyit heran, "Saya? Kenapa tidak dok--"

"Masih banyak pasien yang harus saya periksa" cela Rasel sambil melepaskan sarung tangan lateks dari kedua tangannya.

Atmosfer yang ada di ruangan ini sungguh tidak biasa dan canggung. Bagi Kanara, Ezzra, Marven, Jendra maupun Tania, baru pertama kali mereka melihat Rasel bersikap tak acuh seperti saat ini.

Tingkahnya seolah orang asing dan hanya dokter biasa yang menangani pasiennya.

"Rasel, denger gue dulu.."

"Daftarin dia rontgen jangan lupa." Rasel berucap sengaja untuk memotong perkataan Jehan. "Oh iya, kasih tau Dokter Jisya, saya udah periksa pasien ruang VIP 3"

"B-baik, Dok" perawat itu merasa ada sesuatu yang tidak beres diantara pasangan ini, terasa sekali kecanggungannya sampai dia akhirnya memutuskan untuk bergegas pergi.

"Sel??" Jehan mencoba memanggil sekali lagi namun kali ini suaranya lebih lembut.

Masa bodoh dengan kondisinya sekarang membaik atau tidak, Jehan hanya ingin istrinya itu berbicara dengannya.

Jendra langsung memahami situasi ini, sehingga ia memberi pertanda ke Ezzra, Marven, Kanara dan ibunya untuk meninggalkan pasangan yang satu itu. Untungnya mereka juga paham.

"Eumm, maybe we can go to the cafeteria, shall we?" celetuk Tania yang langsung diangguki semuanya kecuali Rasel dan Jehan.

"Cafetaria? Assahh! Udah laper nih--" timpal Marven menepuk-nepuk perut datarnya. "Bos, ditinggal dulu bentar ya?"

"Jehan, Rasel, mamah sama yang lain ke kafetaria dulu gapapa?" tanya Tania.

Rasel yang sedang membaca papan rekap lagi lantas tersenyum ke arah Tania. "Iyaa, Mah" sementara Jehan tidak menjawab. Lelaki itu belum memutuskan tatapannya dari Rasel.

Bahkan setelah mereka pergi pun Jehan tetap setia menatapnya. "Lo marah?"

"Belom sampe dua jam operasi tapi kondisi lo udah lumayan stabil. You have a good recovery" ucap Rasel tanpa melihat ke arah Jehan.

"Nanti kalo obatnya dateng, diminum yang rajin" tambahnya.

"Sel--" Jehan akhirnya memberanikan diri untuk menarik tangan Rasel supaya mendekat. "Sini gue mau jelasin"

Rasel menghela nafas. "Ngga bisa sekarang, gue ada perlu"

"Bagian perut gue sakit nih" kata Jehan sengaja ingin membuat sang istri panik sehingga dia tidak pergi kemana-mana.

"Hah? Yang bener?" Rasel langsung memeriksa bagian perut datar yang dibaluti perban dengan membuka bajunya.

Jehan menarik kedua sudut bibirnya, ternyata trik kali ini berhasil. "Becanda, itu alesan gue doang biar lo ngga pergi"

"Jehan! Ngga lucu tau?!" cetus Rasel tidak suka.

"Siapa yang ngelucu sih? Lo ngga boleh pergi, gue masih kangen sama lo"

"Gue sama sekali ngga kangen sama lo." ucapnya penuh penekanan disetiap katanya.

Jehan terkekeh, "Bohong"

"Gue ngga bohong! Gue beneran ngga kangen sama lo, malah gue benci sama lo! Benci banget" sinis Rasel sembari membuang tatapannya ke sembarang arah.

"Kok benci? Gue lagi sakit loh.."

"Bodo amat."

Jehan tertawa kecil membuat Rasel semakin kesal. "Sama suami itu jangan galak-galak, mau nambah dosa lo?"

"Berisik. Lepas ngga? Gue mau tidur," Rasel berusaha keras untuk melepas cengkraman Jehan pada pergelangan tangannya.

"Tidur disini aja. Lo ngga mau nanya sesuatu gitu?" Jehan menahan dan menariknya hingga perempuan itu terduduk di tepi ranjang.

Suhu hangat dari tangan Jehan yang menjalar ke seluruh tubuhnya membuat Rasel seketika diam membeku. Bayang-bayangnya terkapar nyaris tak terselamatkan saat di IGD siang tadi, kembali muncul di pikirannya.

"Gue lebih suka lo galak daripada diem kaya gini, Sel."

"L-lo tau ngga sih setakut apa gue tadi siang? Gue sabar banget nunggu kabar dari lo, tapi lo malah dateng---Ihh jangan banyak gerak" Rasel tidak jadi melanjutkan ucapannya ketika Jehan mencoba untuk bangun.

Suaminya itu tidak menggubris dan tetap pada pilihannya untuk duduk. "Lo kejauhan sih, sini deketan makanya"

"Covid udah beres, kita udah sah, kenapa masih social distancing?"

Rasel merotasikan bola matanya. "Garing amat lawakan lo"

"Siapa yang ngelawak ya, Tuhan--" Jehan menggaruk samping kepalanya yang tidak gatal.

Untuk lima menit setelahnya tidak ada percakpan apapun antara pasangan suami istri ini. Yang satu asik memperhatikan istrinya, yang satu asik memainkan kedua kakinya yang menggantung.

Ranjang pasien disini cukup tinggi ternyata.

Hanya keheningan dan suara detikan jam yang menemani mereka. Keduanya sama-sama sedang terkalut dengan pikirannya masing-masin

Jehan menikmati kecantikan Rasel dari samping, terlebih ketika perempuan itu mengenakan jubah putih kebanggaannya membuat istrinya jauh lebih menawan.

Sementara Rasel dia masih memikirkan gimana kalau akhirnya dia ditinggal pergi lagi?

"Tadi katanya mau tidur, sini--" Jehan menepuk sisi sampingnya yang kosong. "Mikirin apa lagi sih, hm?"

"Cepetan sini. Temenin gue,"

Rasel menengok lalu menatap ruang kosong serta Jehan secara bergantian. "Sempit, ntar lo ngga nyaman"

"Kata siapa? Justru gue nyamannya kalo lo ada di samping gue, lagian kasurnya besar kok" jawab Jehan disertai senyuman lebarnya.

Senyuman Jehan semakin lebar ketika sang istri mengikuti perkataannya. Perempuan itu perlahan membaringkan tubuhnya di ruang kosong yang Jehan sediakan, menjadikan tangan lelaki itu sebagai bantalannya.

Jehan tidak diam. Dia membagikan selimutnya kepada Rasel, jaga-jaga jika perempuan itu akan kedinginan.

Karena tidak terlalu leluasa melihat wajah Rasel, Jehan sedikit memiringkan badannya dengan sangat berhati-hati agar tidak menyakiti dirinya sendiri.

"Gue bilang jangan banyak gerak, kenapa sih lo susah banget dikasih tau?!" decak Rasel sudah tidak bisa lagi untuk bersikap sabar.

"Iya-iya, maaf" ucap Jehan dengan suara kecil nan lembutnya.

"I miss you a lot," celetuk Jehan tiba-tiba.

Katakanlah Jehan bucin. Baru satu hari berpisah saja kerinduannya sudah di tingkat akhir.

"Sorry for worrying you and going home like this"

Tangan Jehan bergerak mengelus lembut kepala Rasel dan tangan satunya mendekap erat lekuk tubuh istrinya seolah menyalurkan rasa rindu.

"Semalem, ada sesuatu yang bikin gue ngga bisa buka hape. Dan--" Jehan memandangi plafon atas ruang inap sementara tangannya belum berhenti mengelus.

"Jahat"

Meski samar, tetapi Jehan masih isa mendengar kata yang Rasel gumamkan. Helaan nafas keluar dari mulutnya, ia bisa memahami mengapa Rasel bisa mengatakan itu.

"Lo jahat banget sumpah, Je"

Merasakan baju bagian bahunya basah, Jehan spontan menengok. "Lo nangis?" tanyanya memastikan.

"Ya habis lo tega banget bikin gue ketakutan setengah mati" pada akhirnya tangisan Rasel pecah.

Rasel terisak di dalam dekapan tersebut, "Lo tau ngga sih gue punya trauma berat sama luka tembak? Kalo ngga tau suami macam apa lo, hah?!"

Jehan akan menerima makian dan amukan Rasel untuk hari ini. Toh memang salahnya. Maka dari itu, Jehan memilih untuk diam sampai istrinya itu selesai berkeluh.

"Pergi sehari aja udah kaya gini, gimana seminggu? Atau setahun?"

"Eh tapi gue ngga akan kasih izin kalo lo pergi setahun." Perkataannya yang ini berhasil menarik kedua sudut bibir Jehan.

"Soal pergi ke Singapura, lo bohong ya? Misi apa yang lo jalanin sampe akibatnya lo kaya gini? Lo hampir mati, Jehan"

"Kalo itu rahasia, oke gue paham. Tapi apapun misi lo, tolong jaga diri. Don't get hurt, I don't want what happened today to happen again."

"Tadi gue heran banget sama orang-orang yang ngeliatin gue kaya gue habis ngelakuin satu hal yang salah, bahkan sampe IGD pun orang-orang masih natap gue dengan tatapan yang sama"

Jehan mengulum bibirnya sekaligus bersiap untuk mendengar cerita harian yang selalu Rasel ceritakan setiap harinya.

"Dan akhirnya gue tau apa yang ngebuat mereka ngeliatin gue sampe segitunya, ternyata penyebabnya itu lo, Je"

Isakan tangis Rasel membuat hati Jehan terasa diterjam oleh jutaan jarum. Jehan bisa merasaka ketakutan yang Rasel rasakan, terutama ketika perempuan itu meremas baju yang ia kenakan.

"Ngeliat lo di ruang trauma 1 tadi bikin gue takut tau? Jangan kaya gini lagi ya? Can you promise to me?"

Masih mengelus dan tetap mendekap erat, Jehan mengusahakan diri untuk sekedar melihat wajah Rasel. "Apa?"

"Gue ngga mau lagi ngeliat lo terbaring di ruang trauma kaya hari ini." katanya dengan suara khas habis menangis.

Jehan memilih untuk tidak menjawab apapun. Ia merasa tidak akan bisa menepati janji tersebut, karena misi selanjutnya akan jauh lebih berbhaya daripada kemarin malam.

Sehingga peluang pulang tanpa luka itu lumayan kecil.

"Khawatir ya?" Jehan mengusap pipi basah Rasel dan merapihkan rambutnya yang terikat.

Rasel mendelik serta menatap Jehan tidak suka. "Lo itu suami gue, mana mungkin gue ngga khawatir"

Jehan spontan terkekeh saat melihat kondisi muka istrinya saat ini. Pipi basah, hidung merah, mata sembab dan terdapat sedikit ingus keluar dari hidungnya.

"Udah 27 tahun tapi tingkahnya masih kaya bocah, siapa lagi kalo bukan Rasel?" sindir Jehan disertai tawa kecilnya.

"Ngga usah ngalihin pembicaraan!"

Lagi-lagi Jehan terkekeh sembari mengelap bagian yang basah dari kening sampe dagu Rasel. "Gue minta maaf ya? Dimaafin ngga?"

"Ngga tau. Coba bujuk gue?"

"Bujuk lo? Ciuman termasuk bujukan bukan?"

"JANGAN ANEH-ANEH, INI RUMAH SAKIT DAN LO LAGI SAKIT!"

Sentakan Rasel barusan bukan alasan bagi Jehan untuk tidak mengecup dahi sang istri. Kecupan tersebut dilakukan dengan penuh ketulusan dan kasih sayang.

"Gue bener-bener ngga bisa kehilangan siapapun lagi. Terutama lo, Je"

"Lo ngga akan kehilangan gue, Rasel. Lo bisa pegang omongan gue."

Rasel mengulas senyum manisnya meski masih sedikit ragu. "Gue ngga butuh omongan lo, tapi gue butuh tindakan lo"

"Yes, Mrs. Just wait and see.."

"Ini--" Rasel menunjuk ke arah perut datar Jehan. Dan ia sedikit mengelusnya. "Udah ngga terlalu sakit kan?"

Jehan menggeleng dengan senyumannya. "Ngga kok, ada lo disini soalnya."

"Idihh!!! Geli banget gue dengernya" geram Rasel tidak suka.

"Jadi, dimaafin ngga nih?" tanya Jehan memastikan.

"Liat nanti." jawab Rasel menjulurkan lidahnya.










"Gue sayang lo," kata mereka bersamaan.

to be continued~~~

WHOAH AKHIRNYA UDAH SALING SAYANG JUGAAK😭

next, mau liat scene apa? Jangan minta part unboxing! Ada, cuma masih agak jauh. Jadi harap sabar🌚

Happy eid mubarak untuk teman-teman yang merayakan!🥳🙆🏻

one more. Let me ask you something, guys.

KENAPA KEBANYAKAN DARI KALIAN BERPIKIR LOLA YANG JADI TUNANGAN JEKSA???

btw, jangan lupa follow tiktok gue khsus untuk jaeandje guys: @bbeeishere

Dan gue tu mau update AU di twutter, cuma gue lupa password anjir🙃

siapa yg kangen ini?

sorej momen, when?🙂



I'll be back soon. See u di part selanjutnya, ay!

Continue Reading

You'll Also Like

430K 34.5K 65
"ketika perjalanan berlayar mencari perhentian yang tepat telah menemukan dermaga tempatnya berlabuhđź’«"
394K 4.2K 85
•Berisi kumpulan cerita delapan belas coret dengan berbagai genre •woozi Harem •mostly soonhoon •open request High Rank 🏅: •1#hoshiseventeen_8/7/2...
57.4K 5.9K 19
Romance story🤍 Ada moment ada cerita GxG
120K 8.5K 54
cerita fiksi jangan dibawa kedunia nyata yaaa,jangan lupa vote