1%

Von PuspitaPirsouw

80.7K 14.4K 33.4K

Barangkali dari jauh jalanan panjang itu terlihat mulus. Ketika dilewati ternyata berbeda dari perkiraan. Kam... Mehr

●WELCOME●
*
**
1.1
1.2
1.3
2.1
2.2
2.3
3.1
3.2
3.3
4.1
4.2
4.3
5.1
5.3
6.1
6.2
6.3
7.1
7.2
7.3
8.1
8.2
8.3
9.1
9.2
9.3
10.1
10.2
10.3
11.1
11.2
11.3
12.1
12.2
12.3
13.1
13.2
13.3
14.1
14.2
14.3
15.1
15.2
15.3
16.1
16.2
16.3
17.1

5.2

1.4K 311 1.6K
Von PuspitaPirsouw

Untuk pembaca lama, cerita ini direvisi. Baiknya dibaca ulang dari awal.
Mohon maaf untuk ketidaknyamanan. Terima kasih.

Sedang sibuk apa sekarang?

Jangan lupa untuk bersenang-senang, meskipun sebentar. Dirimu membutuhkan sedikit pemanis.

Selamat membaca!
:)


_________________________________________


"Kamu salah sebut! Aku mamanya Noah, dia tantenya!" Santy menunjuk diri, kemudian jemari diarahkan ke Judith untuk memperjelas wanita itu yang pantas dipanggil tante.

Gea meragukan kewarasan lawan bicara. "Yang mengandung dan melahirkan siapa?"

"Memangnya penting?" Suara Santy lantang seperti menantang.

"Kamu pikir Noah biji-bijian? Dilempar ke tanah, nanti tumbuh sendiri?"

"Jangan-jangan kamu nggak dilahirin, tapi di download lewat situs ilegal." Gea mengakhiri perdebatan dengan kesal.

_________________________________________

5.2















Di antara semua lupa
yang amat buatku kecewa
kamu sering lupa
bisa mengandalkanku
kapan saja.


















               "AYO! kita pulang Noah!" Ketika terucap kata "pulang" dari bibirnya, hati Judith menghangat.

Noah terpaksa melepas tangan Santy. Ciuman beruntun singgah di pipinya, sebelum dibiarkan mendekati salah satu motor yang terparkir.

Uluran tangan dari Judith dipahami sebagai bantuan agar mudah menaiki motor yang tinggi. Namun, dia sengaja tidak menggapai tangan itu.

Senyuman tipis bertahan sebentar di bibir Judith. Meski begitu, di dalam tubuh ada bagian yang terasa nyeri: hati. "Ya, kamu pasti bisa sendiri." Noah sedikit kesulitan tetapi akhirnya berhasil mencapai jok. Dia berharap sesuatu yang tidak mungkin, seperti anak itu mengandalkannya untuk apa saja, bahkan hal sepele.

"Kamu bawa anak orang, jadi nggak boleh ngebut!" Entah ke berapa kali, Santy menempatkan Judith sebagai orang asing.

"Dia akan menjaga anaknya dengan baik, tanpa harus dibilang." Tidak hanya Judith, Gea pun sedang menahan diri agar tidak memaki Santy.

"Kalau—"

"APALAGI?!"

Judith tersentak karena bentakan keras. Padahal dalam mengontrol emosi, Gea jauh lebih baik darinya. Sementara Santy bungkam, tidak berniat melanjutkan kalimat yang terputus.

Sejak tadi kesabaran mereka diuji terus. Sekarang saat koper hendak diambil, sengaja dijauhkan. Gea tidak lagi segan-segan. Dia menarik tubuh Santy dengan kasar, lalu merampas koper dari tangan wanita itu. "Jangan bersikap seperti bocah tua!"

Koper diletakkan pada ruang kosong di bagian depan motor Gea. Dia pergi tanpa pamit, sudah terlalu sebal dan pengang mendengar segala ocehan yang tidak begitu penting. Diikuti Judith dan Noah.

"Hati-hati! Jangan telat makan! Jangan...."

Sisa kalimat tidak lagi terdengar, karena Judith sengaja menaikkan gas untuk menutupi suara Santy.

Tujuh hari ke depan merupakan kesempatan, untuk saling mengenal, mempelajari, kemudian memahami—
kelebihan, kekurangan, serta keunikan masing-masing.

Hal pertama yang diketahui Noah—selain fakta wanita itu adalah ibu kandungnya—Judith bisa mengendarai motor gede dan dia terlihat keren.

Motor Gea merapat. Kaca penghalang wajah dibuka. "Noah, mau coba sesuatu yang seru nggak?" Sengaja berbicara dengan keras karena jalanan di sore hari begitu bising.

"Apa, Tante?"

Gea tidak menjawab, malah menatap Judith yang menarik alis tanda mengerti.

Judith membawa tangan Noah untuk dilingkarkan ke perutnya. "Jangan dilepas! Peluk yang kuat!"

Mereka siap melakukannya. Sekarang juga.

Sesudah Gea mengangkat jempol, kedua motor itu melaju dengan kecepatan tinggi. Wanita-wanita sinting. Noah sangat kaget sampai mengeratkan pelukan, takut terlempar. Dia tidak yakin apakah motor yang ditumpangi masih melindasi aspal ataukah mungkin sudah terbang. Saat diajak melakukan hal seru, tidak terpikirkan sama sekali mereka akan balapan.

Tidak mungkin Judith lupa, di belakangnya ada anak kecil. Namun, sulit menolak sesuatu yang seru seperti ini.

Mereka berusaha saling mendahului, sementara Noah terus membaca doa dalam hati.

Hal kedua yang diketahuinya tentang Judith. Wanita itu tergolong dalam kelompok orang-orang nekat.

Saat memasuki lorong, kecepatan motor diturunkan, sangat pelan. Noah mengendurkan pelukan dan berkesempatan untuk menata detak jantung yang tidak keruan.

"Takut?" tanya Judith.

"Nggak." Sebenarnya takut, tetapi Noah tidak mau dianggap sebagai pengecut.

"Seru 'kan Noah?" Gea tertawa renyah.

Bagian mana yang seru? Detik ini pun, Noah masih merasakan deru napas memburu. Alasan mengapa lingkaran tangannya di perut Judith belum juga lepas, karena kakinya lemas.

"Yang tadi nggak usah kamu laporin ke mamamu yang satu itu." Terdengar agak sinis. Gea mendapat kesan yang buruk tentang Santy di awal perjumpaan.

"Aku nggak ada niatan untuk kasih tahu mama." Karena Noah bukan tipikal anak yang apa-apa dilapor ke orang tua.

"Bagus! Simpan aja sebagai pengalaman baru." Tidak ada penyesalan sedikit pun, saat Gea melihat wajah pucat Noah. Anak itu harus mencoba sesuatu yang menantang, agar hidup tidak monoton.

"Dia baik banget, ya. Terlalu baik untuk jadi anaknya Judith."

"Anjing!" Kebiasaan yang sulit dihilangkan. Sejenak Judith lupa, sedang bersama siapa.

"Tante?" Hanya satu kata tetapi bernada teguran.

"Maaf, maaf." Judith kelabakan.

"Kamu, sih! Sukanya mancing-mancing." Lalu menyalahkan Gea yang malah tertawa kesenangan. Delajudith Dedari—wanita liar—kini menemukan seseorang yang bisa mengendalikannya.

Hal ketiga yang diketahui Noah tentang Judith, wanita itu suka mengumpat.

"Kita udah sampai," ujar Judith. Mereka berhenti di depan sebuah rumah.

Turun dari motor, Noah menatap sekeliling. Tempat asing yang akan ditinggalinya selama seminggu. Yang pertama menarik perhatian adalah pohon jambu dengan ayunan tergantung. Tatapannya bertahan lama di situ.

Judith dan Gea berbicara lewat kode-kode yang hanya dipahami mereka. Gea mempermainkan alisnya naik turun, terlihat sedikit sombong. Judith mengangguk-angguk dan tersenyum mengakui, bahwa Gea memberinya ide bagus untuk menggantung ayunan di pohon.

Gerbang ditarik ke samping. Judith memberi jalan kepada yang lainnya kemudian ditutup kembali. Noah masih melihat-lihat, Gea berjalan di samping anak itu sambil membawa koper. Sementara Judith mengikuti dari belakang.

Rumah Judith tidak besar. Tembok bagian luar dicat hitam, pembeda dari rumah-rumah lainnya di kompleks. Begitu pun halaman, tidaklah luas. Mawar, satu-satunya bunga yang tumbuh di halaman karena disukai pemiliknya.

"Selamat datang di rumah, Noah!" kata Judith setelah pintu terbuka.

Lagi, dia melakukan sesuatu karena terbawa suasana. Meraih tangan Noah, yang langsung ditepis. "Maaf."

Kesedihan di mata Judith tidak luput dari Gea yang sejak tadi mengawasi. Namun, sesaat kemudian terganti dengan senyum palsu.

"Ayo, masuk!" Dibiarkannya Noah lebih dahulu. Pandangan Judith tidak beralih dari punggung anak itu.

Akhirnya kamu pulang, Nak. Ke rumah. Rumah kita. Sulit untuk menjelaskan perasaan yang kini berkecamuk. Jika bukan karena usahanya untuk mengontrol diri, sekarang pasti dia sedang menangis terisak-isak.

Dia membawa Noah menuju sebuah ruangan yang diduga kamar. Sebelumnya ruangan itu tidak terpakai.

"Noah, ini kamarmu."

Ketika Noah melangkahkan kaki masuk ke kamar baru, Judith tampak gugup. Dia sendiri yang mendekorasi, merombak sana sini berulang kali. Lukisan pantai tampak mencolok pada dinding berlatar biru. Seprai, selimut, sarung bantal dan guling, serasi bergambar Superman. Lemari pakaian, cermin besar, kursi dan meja belajar, semua tersedia.

Wajah anak itu datar, tidak tampak eskpresi senang yang diharapkan Judith. "Kalau ada yang Noah nggak suka, bilang aja. Nanti tante ganti."

Gelisah makin membengkak karena Noah yang tak kunjung bicara. "Nggak suka Superman? Mau diganti dengan apa?"

"Meja belajar kurang bagus?"

Noah membiarkan Judith menebak-nebak sendiri, sambil dia berjalan menuju tempat tidur dua badan dan duduk di tepinya.

"Oh, kamu nggak suka lukisannya?" tangan Judith terangkat menunjuk lukisan pantai. Dia membayar orang untuk itu.

Gea bersandar di pintu, memperhatikan ibu dan anak.

"Kalau Noah diam aja, tante bingung."

"Yang namanya kamar, yang penting ada tempat tidur, lemari baju, meja belajar. Udah cukup, kok." Akhirnya Noah bersuara setelah cukup lama tenggelam dalam diam.

Jawaban lugas Noah membangkitkan sebaris senyum di bibir Gea. "Anak ini masih kecil, tapi pemikirannya dewasa. Gue bilang apa. Dia nggak cocok jadi anak lo, Dith!"

"An...." Suara Judith tertahan di lidah. Hampir saja diucapkan kata yang tidak pantas. Sadar Noah sedang mengawasi, dia tersenyum kikuk. Lihat, betapa mudah anak itu mengendalikannya.

"An apa, Tante?"

Sedikit lagi Gea menyemburkan tawa, untung ditahan dengan baik. Temannya itu pasti sedang memutar otak.

"An... An...." Sial! Di situasi begini, kerja otaknya malah melambat. Judith berpikir keras.

"Mungkin maksudnya anji—"

"Bukan! Bukan!" Judith berhasil menyela ucapan Gea.

"Maksudnya, aneh. Iya, itu! Aneh!" Mencari satu kata saja, betapa sulitnya.

Gea terbahak. Judith yang seperti ini sangat menghibur.

Hanya beberapa detik, Judith mendapati senyum samar di bibir putranya. Melihat senyum itu, dia ingin melakukan lebih banyak. Apa pun untuk Noah.

_______________________________________

Jaga kesehatan.
Jangan telat makan.
Jangan selingkuh.
Jangan kebanyakan halu.
Hehe.

Sampai jumpa lagi!!

Sayang, sayaangg, sayyanggg 🖤🖤🖤

_________________________________________

Untuk berinteraksi denganku di instagram, silakan follow:

@puspita_pirsouw
@milanesta1133

________________________________________

1%

28 April 2022





PUSPITA PIRSOUW

Weiterlesen

Das wird dir gefallen

5.7M 296K 61
Dia, gadis culun yang dibully oleh salah satu teman seangkatannya sampai hamil karena sebuah taruhan. Keluarganya yang tahu pun langsung mengusirnya...
2.6M 143K 63
"Walaupun وَاَخْبَرُوا بِاسْنَيْنِ اَوْبِاَكْثَرَ عَنْ وَاحِدِ Ulama' nahwu mempperbolehkan mubtada' satu mempunyai dua khobar bahkan lebih, Tapi aku...
2.7M 280K 65
Gimana jadinya lulusan santri transmigrasi ke tubuh antagonis yang terobsesi pada protagonis wanita?
1.6M 132K 61
"Jangan lupa Yunifer, saat ini di dalam perutmu sedang ada anakku, kau tak bisa lari ke mana-mana," ujar Alaric dengan ekspresi datarnya. * * * Pang...