The Fate of Us | Jaerosè

By jaeandje

270K 22.9K 3.9K

Bagaimana jadinya apabila seorang Ketua Dewan Rumah Sakit secara tiba-tiba 'melamar' salah satu dokter reside... More

PROLOGUE
01
02
03
04
05
06
07
08
09
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31

10

9.1K 730 99
By jaeandje

Hai! Long time no see.

I'm so sorry, guys. Gue ga nepatin janji gue huhuu

Part 10 ini beneran ilang jadi gue harus ngetik ulang. Dan u know ngetik itu perlu waktu sedangkan gue juga ada kesibukan apalagi tugas kuliah lagi banyak-banyaknya🙂

Belajar dari yang kemarin, gue mutusin untuk tidak janji-janji lagi karena gue takut bikin kalian kecewa. So once again, i'm so sorryy, friends!

Dan kalau ada typo harap maklum ya, gue belum sempet ngecek lagi ehehe

Enjoy!

Jeksa menatapi tanda pengenal atau bisa disebut juga kartu pegawai yang menampakkan dua orang berbeda disertai nama dan profesinya.

Entah mengapa melihat benda tersebut atensinya langsung mereset ulang kenangan masa lalu yang dimana ayahnya memberikan semacam pelatihan dan juga amanah penting untuk misinya ini.

"Ketika kamu dewasa nanti jangan mudah tertipu atau terpengaruh. Anak dari pasangan Abiyaksa masih hidup di luar sana, so your job is to find her and kill her. Remember, Jeksa. They try to destroy me"

Jarinya mengetuk-ngetuk meja. Tangan satunya mengusap dagu runcingnya, dan otaknya berpikir keras.

Aksinya yang menyerang acara perayaan KNG's Group sangat berjalan lancar. Hasilnya juga sesuai dugaan, yang lebih memuaskan adalah belum ada yang mengetahui siapa penyebab dibalik insiden itu.

Beda cerita bagi Jehan dengan timnya. Jeksa bisa menebak kalau mereka pasti langsung menyadari kalau tragedi pengeboman kecil itu merupakan ulahnya.

Kalau ditanya apakah ia sengaja nekat melakukan hal seperti itu atau tidak, jawabannya adalah iya ia sengaja.

Sudah lama dirinya menunggu permainan Jehan dan timnya. Bisa dibilang tragedi saat itu ditujukan untuk memprovokasi mereka.

Tetapi anehnya tidak ada respons apapun dari orang yang ia tuju.

"There is something strange, Jehan doesn't usually stay quiet like this" ujar Jeksa bermonolog, belum sadar akan kehadiran tunangannya yang sedang bersandar di lawang pintu.

"Trust me, he is not quiet but he is careful because of his wife." celetuknya disertai decihan remeh.

"Setelah apa yang kita lakuin di acara dia kemarin, lo pikir dia bakal diem aja? Ngga, Sa. Lo tau Jehan kaya apa.." lanjutnya sambil melangkah mendekat ke arah Jeksa, tunangannya.

Mata bulatnya melihat dua kartu tanda pengenal yang terlumur darah di atas meja Jeksa. Tanpa perlu dilihat dari dekat, dirinya tau siapa pemilik kedua kartu tersebut.

"Mereka agen intelijen kan?"

Jeksa tersenyum miring dan memberi anggukan tipis.

"Ngga heran mereka ngebunuh ayah lo tanpa segan."

"They killed your family too, babe" ujar Jeksa seraya berdiri dan menghampiri wanita yang berstatus tunangannya itu. Wanita itu sedang memandangi indahnya malam dengan segelas champagne di tangannya.

Jeksa berdiri disamping tunangannya sambil menyeruput anggur merah di gelasnya. Dia sedikit menoleh untuk melihat wajah wanitanya.

"Muka lo penuh dendam" sahut Jeksa terkekeh kecil.

"Karena gue emang dendam." sentaknya dengan suara berat tidak berintonasi. Menunjukkan kalau dia memang sudah benci kepada para pembunuh keluarganya yakni salah satu Kanagara dan salah satu Abiyaksa.

"Just relax, babe. No matter how big the risk, I will do everything I can to fulfill my father's want and take revenge for you." ucapnya, melingkarkan satu tangannya di pinggang sang tunangan.

"And I don't care if I have to go to jail, because I have to kill her even all of them." bisiknya yang membuat wanita cantik di sampingnya tersenyum senang, in a bad way.

"Lo kejam, gue bukan pemaaf. Lo dendam, gue juga dendam, what a perfect match.." kekeh wanitanya mendekatkan gelasnya, mengajak Jeksa untuk bersulang.

Senyum bangga muncul di wajah Jeksa. Tak perlu berpikir lama, dia menerima ajakan bersulang itu sebelum dia memanggut bibir merah tunangannya dan wanita itu menerima pangutan tersebut.

Cukup lama mereka saling bercumbu tepat di kaca jendela sehingga orang-orang luar bisa melihat kegiatan mereka berdua, namun keduanya tidak peduli. Mereka ingin menyalurkan rasa cinta satu sama lain dan rasa bahagia telah dipertemukan serta kebanggaan atas saling memiliki.

Mereka, Jeksa dan tunangannya, bertemu secara tidak sengaja di sebuah tempat penjualan senjata api. Pada saat itu Jeksa melihat raut amarah yang terlukis jelas di wajahnya, dan jiwa yang terlatihnya itu tiba-tiba memberi saran yang sangat berguna.

Setelah beberapa hari saling mengenal, akhirnya mereka mengetahui bahwa mereka mempunyai dendam terhadap orang yang sama. Dari situlah keduanya memutuskan untuk bekerja sama, dan Jeksa pun melatihnya cara menembak, bela diri hingga pengetahuan memanipulasi, menyamar sampai membunuh.

Mereka berdua adalah manusia yang sudah dibutakan oleh amarah dan dendam. Sesuai perkataan wanita itu tadi, Jeksa kejam dan dia bukanlah pemaaf, mereka sama-sama pendendam membuat mereka menjadi pasangan sempurna namun sangat berbahaya.

"Ah, tentang Billy. How was he?" tanya sang wanita yang menyudahi percumbuan mereka lebih dulu.

Jeksa menggidikkan bahunya. Tidak tau harus menjawab apa, "He's dead, I think--"

"I don't really care, he is just a pion to me."

Wanita cantik berbadan ramping itu menggeleng kepalanya, memang lelaki yang satu ini sangat tidak berperasaan. Billy merupakan salah satu anak buah terbaik bagi Jeksa. Ia kira jika sesuatu terjadi kepada Billy, Jeksa tidak akan diam saja.

Namun dugaannya salah. Ternyata Jeksa tidak terlalu peduli dengan anak-anak buahnya.

"Lo beneran jahat, tapi gue suka" Pasangan ini tertawa kecil sejenak.

Beberapa detik kemudian, Jeksa membelai lembut rambut tunangannya. "Kanara gave me a warning,"

"Lo harus extra hati-hati kedepannya" kata Jeksa tegas namun terdengar khawatir.

Senyuman menyungging jelas di wajah wanita itu. Dia menepuk-nepuk dada bidangnya pelan agar Jeksa tidak terlalu khawatir. "Don't worry, babe"

"Lo udah ngelatih gue jadi ngga akan ada yang bisa nyentuh gue." ucapnya penuh percaya diri.

"Apa rencana lo sekarang?"

Jeksa mengambil dua kartu tanda pengenal tadi dan beberapa lembar foto yang diberikan salah satu anak buahnya barusan.

"Gue mau nerror Rasel pake tanda pengenal orang tuanya sendiri. Dia harus tau pekerjaan asli kedua orang tuanya--"

Wanita itu malah menggeleng. "Terlalu klise"

"Seiring berjalannya waktu Rasel pasti tau identitas orang tuanya. Tania juga ngga akan bisa diem terus"

Jeksa menghembuskan napas lalu melipat kedua tangan di depan dadanya. "Then, what's your idea?"

"Rasel kelemahan Jehan kan? Diliat dari keprotektifan Jehan sih iya--" Wanita dengan setelan formal berwarna hitam dan putih yang berstatus tunangan Jeksa itu mengambil foto yang menampakkan Rasel bersama kedua teman dokternya.

"Before getting to the point, playing a little with Rasel would be so much fun. Let's make Jehan suffer,"

°°°

Lola, Jisya dan Rasel bersamaan menyimpan nampan yang berisi menu makan siang mereka hari ini. Setelah beberapa hari akhirnya ketiga dokter ini dipertemukan dengan jam sif yang sama.

Dua hari yang lalu, ketika Rasel pertama kali masuk semenjak insiden pengeboman di acara perayaan perusahaan suaminya, banyak sekali yang menghujaminya dengan berbagai macam pertanyaan.

Saking banyaknya Rasel sampe cape sendiri ngejawab.

"Tentang tragedi itu masih belum ada kejelasan sampe sekarang ya?" celetuk Jisya kurang jelas karena mulutnya sedang mengunyah.

"Kok bisa sih? Udah dua hari padahal,"

Rasel dan Lola tidak menjawab. Mereka berdua memilih untuk tetap melahap makan siangnya karena jam istirahat yang mereka punya tidak lama.

"Gue ngomong sama lo berdua ya, bukan sama tembok" sinis Jisya kala dirinya tidak mendengar jawaban apapun dari kedua temannya.

Lola melihat Jisya dengan tatapan datar, "Lo pikir cari pelaku aksi terorisme kaya waktu itu gampang emang?"

"Gue yakin detektif ganteng itu lagi kerja keras buat cari pelakunya. Ya kan, Sel?" Lola tersenyum aneh ke arah Rasel.

"Detektif ganteng? Siapa?" tanya Jisya bingung.

Lola berdecak, "Itu temen sma nya si Jehan, siapa sih namanya--"

"Ezzra" timpal Rasel namun pandangannya fokus pada berkas pasien di samping nampannya.

Alasan mengapa Rasel tidak mau membahas insiden waktu itu adalah dirinya tidak ingin jika kedua sahabatnya ini terjun juga ke dunia gelap yang dia hadapi sekarang.

Kalau saja Lola dan Jisya tau bahwa sebenarnya Rasel, Jehan, Ezzra dan yang lainnya sudah tau siapa pelaku dibalik kejadian tersebut, mungkin tidak akan mudah dipercaya. Mengingat belum ada bukti konkrit.

Ya pokoknya Rasel akan berpura-pura lupa seperti kebiasaannya dulu.

"Nah iya Ezzra! Gue kira detektif ganteng cuma ada di drama korea doang, ternyata lokal juga punya" ujar Lola mengingat kembali pertemuan dengan Ezzra di resepsi pernikahan Rasel dan Jehan.

Jisya mendesis. "Lo nyari cowok ganteng mulu nyantol kagak,"

"Ngaca!" tukas Lola tak terima.

"Tapi gue ngga sefanatik lo ya, La!" Jisya agak membanting sendok, dibuat kesal dengan ucapan Lola.

"Berisik" ketus Rasel yang membuat Jisya dan Lola menghentikan perseteruan mereka.

Setelah itu tidak ada lagi obrolan untuk beberapa menit. Ketiganya sibuk menghabiskan makanan sebelum jam istirahat selesai.

"Pasien yang kena serangan jantung tadi kondisi sekarang gimana, Sel?" tanya Lola. Ia berpikir lebih baik membicarakan pekerjaan dari pada hening seperti barusan.

"Sejauh ini stabil, tapi dia belum siuman. Gue perlu meriksa beberapa tes lagi," jawab Rasel.

"She will be okay, right?"

Rasel mengangkat kepalanya, melihat ekspresi ciri khas dari seorang dokter yang khawatir akan kondi pasien di muka Lola. Tidak jarang dokter-dokter yang hatinya tersentuh secara emosional dengan kondisi pasien.

"Yeah, she will. Dokter penanggung jawabnya kan Dokter Kana langsung" Rasel tersenyum ke arah Lola.

Jisya meneguk ludahnya susah payah saat kedua matanya menangkap sesosok laki-laki berjalan ke arah meja mereka didampingi oleh empat pengawal ditambah sekretaris pribadinya.

"Ya Tuhan, suami orang kok ganteng banget?" lirih Jisya terkagum oleh visual laki-laki tersebut.

"JISYA!" teriak Lola tepat di telinga membuatnya tersentak kaget.

"Ngelamunin apa sih?! Dari tadi gue nanya juga," lanjutnya disertai dengusan sebal ciri khasnya.

Belum sempat menjawab, sosok yang sedari tadi Jisya lihat kini telah berdiri di dekat meja makan mereka.

"Oh gue tau sekarang kenapa lo ngelamun.." bisik Lola berhati-hati agar Rasel tidak mendengarnya.

Rasel merasa ada bayangan yang menghalangi pencahayaan, ia menolehkan kepalanya dan agak mengangkat untuk melihat jelas wajah dari sosok yang menghalanginya.

"Lo ngapain disini?!" pekik Rasel. Dia meminta penjelasan kepada sekretaris pribadi sosok itu yang berdiri tak jauh di belakang.

Namun sekretarisnya itu malah menggidikkan bahunya lalu menjawab, "Kangen sama lo kali" tanpa bersuara.

Mendapat jawaban yang kurang memuaskan seperti itu membuat Rasel menghela napasnya.

"Lo ngapain kesini, Jehan?"

"Gue ada urusan sama mamah tadi, ya kenapa ngga sekalian ngecek kondisi lo," jawabnya yang tidak masuk akal bagi Rasel.

Meriksa kondisinya harus datang menghampiri seperti ini? Membuat mereka menjadi pusat perhatian?

"Lebay lo ah. Ini rumah sakit, Jehan. Gue aman disini, lagian ngga sembarang orang bisa masuk" ucap Rasel.

"Ah iya-- Kabar lo berdua gimana?" tanya Jehan pada Lola dan Jisya.

"Baik kok." jawab mereka bersamaan.

"Lebih dari baik malah," timpal Lola menyengir.

Jehan mengangguk paham lalu kembali menatap Rasel. "Gue mau sekalian nyapa temen lo juga kali, geer amat"

"Pergi sono, males gue" sinis Rasel seraya mengambil rekap pasiennya serta nampan makannya juga lalu beranjak dari situ.

"Eh mau kemana?" Jehan menahan tangan Rasel, mencegahnya pergi.

"Kemanapun asal gue ngga liat muka lo!"

Jehan terkekeh, "Jangan galak-galak kaya gini ah, diliat sama orang-orang loh"

Kedatangan Jehan dengan penampilan seperti itu tentunya akan mencuri perhatian orang, mulai dari karyawan sampai pengunjung pokoknya semua memusatkan atensinya kepada suaminya itu.

Lola dan Jisya hanya bisa terkikik bersama sambil menyaksikan padangan absurd yang satu ini. Tak ada satupun dari mereka berdua keinginan untuk nimbrung karena bagi mereka melihat panorama aneh namun gemas seperti ini membuat mereka terhibur.

"Si Rasel ngapa sensi amat sih?!" desis Lola dengan bisikkan di telinga Jisya.

"Cemburu kayanya" jawab Jisya dengan bisikkan juga.

"Cemburu? Bisa jad-- ANJAY UDAH FALL IN LOVE NIH?" pekik Lola menutup mulutnya yang sedikit menganga.

Jisya berdecak kala mendengar teriakan Lola. "Lo tuh ya berisik banget!"

Lola terkekeh, "Maaf deh. Tapi serius mereka udah falling in love?"

"Noh liat--" Jisya menunjuk ke arah Jehan yang sedang merapihkan rambut istri lelaki tersebut dengan dagu runcingnya.

"Cowok kalo udah sayang banget sama ceweknya itu bakal memperlakukan si cewek layaknya ratu." kata Jisya.

"Nyewa pengawal sama sopir pribadi, hampir tiap hari dateng kesini, dan itu cuma demi Rasel. Anyone who saw Jehan's attitude towards Rasel would think that they loved each other." tambahnya.

Lola mengangguk setuju, "Iya sih.."

Jisya dan Lola mengambil sebuah alat pemanggil khusus berukuran kecil dari saku jas dokternya yang bersuara nyaring sehingga menarik perhatian banyak orang.

"Feeling bakalan lembur lagi.." gumam Lola, dia menghembuskan napasnya.

Panggilan tadi berarti bahwa mereka berdua dibutuhkan di ruang instalansi gawat darurat. Sehingga Jisya dan Lola mau tidak mau harus menyelesaikan nakan siang mereka detik ini juga.

Kedua perempuan dokter itu beranjak dari duduk nyamannya sambil membawa nampan yang masih berisi makanan.

"Sel, gue sama Lola balik ke IGD duluan ya?" ucap Jisya sebelum pergi. Rasel langsung mengangguk sebagai responsnya.

Setelahnya kedua dokter bidang unit darurat itu sedikit bergegas karena jarak IGD dari kafetaria lumayan jauh.

"Kalo ada apa-apa, hubungin gue aja" teriak Rasel yang tidak digubris oleh Jisya maupun Lola. Kedua sahabatnya itu benar-benar bekerja sangat keras, sampai terkadang lupa merawat diri sendiri.

"Mereka kenapa?" tanya Jehan penasaran.

"Kayanya ada pasien darurat di IGD--" Rasel memilih untuk mengikat rambutnya, berjaga-jaga apabila ia diperlukan.

"Gue serius, lo ada perlu apa kesini?"

Jehan menggaruk rahangnya yang tidak gatal, mencari alasan lain untuk menjawab pertanyaan yang satu itu. Soalnya selain meeting bersama ibunya, ya Jehan cuma mau sekedar memeriksa kondisi Rasel.

Pokoknya akhir-akhir ini Jehan sering kali merasa resah jika berjauhan dengan istrinya.

"Kangen sama gue yaa??" goda Rasel. Tangannya mencolek dagu Jehan sambil tersenyum aneh.

"Ya siapa sih yang ngga kangen sama gue? Raselia Emmera gitu loh--"

Bukannya risih atau menepis seperti biasa, kedua sudut bibir Jehan malah tertarik dan terkekeh atas tingkah perempuan di hadapannya yang sangat lucu.

"Iya, gue kangen"

Marven yang kebetulan berdiri di belakang sontak berlagak ingin muntah ketika mendengar kalimat yang tidak pernah ia duga bisa keluar dari mulut Jehan.

"Cringe abis," gerutu Marven kesal. Padahal aslinya di dalam lubuk hatinya mengatakan bahwa dia iri.

Rasel juga malah memukul bahu Jehan kala lelaki itu melontarkan kalimat yang tidak biasa ia dengar. "Ngga usah ngomong gituan, gue geli tau ngga?!"

"Ngomong salah, ngga ngomong salah. Maunya gimana?" Jehan mendekatkan wajahnya ke depan Rasel. Memandangi kecantikan paripurna yang terpancar di muka istrinya dari jarak kurang lebih lima senti.

Rasel mengerjapkan kelopak matanya. Tertegun oleh jarak yang Jehan ciptakan sedekat ini, ingat lah mereka masih di tempat umum dan masih banyak yang memperhatikan mereka.

"M-mau ngapain?"

Jehan mengangkat salah satu alisnya dan sedikit tersenyum miring. Muka Rasel menunjukkan kalau dia gugup, membuat gemasnya bertambah berkali lipat dari sebelumnya.

Fix. Jehan tahta tertinggi dalam membuat jantung dia berdegup kencang.

Rasel membuang pandangannya ke sembarang arah, pokoknya jangan muka Jehan. Dia berdeham untuk mengatur perasaan degdegkannya.

Ditatap seperti ini merupakan kelemahannya dan Jehan tau tentang itu. Entahlah dipandangi Jehan sungguh bisa membuatnya merasa gila seketika.

"Merah banget pipinya," goda Jehan balik. Pria itu sengaja mengikuti dengan mencolek dagu runcing wanitanya karena ingin membalas godaan Rasel tadi.

Mendengar itu Rasel sontak memegangi pipinya yang memang terasa hangat. "BALES DENDAM YA LO?!" sentaknya.

Jehan tertawa puas melihat ekspresi muka sang istri saat ini. Tangannya yang terpasang cincin dan jam mahal bergerak mengapit kedua sisi pipi lalu sedikit memainkan karena rasanya terlalu gemas jika didiamkan.

"Gimana rasanya digoda hm?"

"Curang! Lo pake kelemahan gue" ujar Rasel tak terima.

"Yang penting kita seri, satu sama--" Jehan maju ke samping telinga istrinya, "Tapi godaan gue selanjutnya bakal lebih dari ini, so be ready, baby" bisiknya dengan nada sensual.

°°°

Jendra, Yaslan dan Alaya masuk ke dalam suatu ruangan yang suasananya sangat mencekam, disana terdapat satu sosok yang penampilannya begitu memprihatinkan.

Jehan benar-benar mengaplikasikan definisi tiada ampun kepadanya.

Sosok yang belum dibebaskan selama satu bulan lebih itu menunduk lesu. Dikeram di ruangan keruh nan lembab serta minim pencahayaan, tentunya akan membuat siapapun merasa tidak nyaman.

Yaslan menarik kursi kosong di pojokan ruangan ke hadapan sosok tersebut. Dia mengeluarkan sebuah foto, "Perempuan ini--"

"Tunangan Jeksa kan?"

Sosok lelaki itu perlahan mengangkat kepalanya ketika merasa pertanyaan barusan cukup menarik perhatiannya. Dengan susah payah kedua netra hitam tajamnya melihat baik-baik foto yang Yaslan tunjukkan.

Matanya memicing seolah dirinya merasa asing dengan perempuan yang ada di foto tersebut.

"Gue ngga tau" jawabnya lesu namun masih cukup terdengar tegas.

"Billy, billy. Lo pikir dengan bohong lo bisa bebas?"

Lelaki yang bernama Billy itu kembali menatap Yaslan, namun kali ini dengan tatapan seolah dia tidak berbohong dengan ucapannya.

"Ngapain juga gue bohong?"

Yaslan tersenyum miring. Dia menyandarkan diri ke punggung kursi dan melipat kedua tangannya di depan dada.

"Keahlian nembaknya hampir sama jagonya kaya gue--- Sialan. Gue malah ngerasa tersaingi," desis Yaslan tidak terima ada orang yang berkemampuan sama dengannya.

"Meskipun gesturnya beda tapi teknik nembaknya jelas banget kalo dia dilatih secara khusus. Teknik yang cuma lo dan Jeksa yang bisa pake teknik itu, masih mau tutup mulut?"

"Dan lo kerja dibawah Jeksa udah hampir belasan tahun, apa mungkin lo ngga tau apa-apa tentang perempuan ini? Gue ngga yakin.." tambahnya.

Billy menyeringai sejenak. Membuat Yaslan, Alaya maupun Jendra langsung berpiki perkataan Yaslan berhasil memancingnya.

"Gue ngga peduli, yang jelas gue bener-bener ngga tau siapa perempuan itu. Jeksa ngga pernah bahas siapapun kecuali majikan lo sama istrinya," jawab Billy agak susah payah.

Jendra sontak menarik kerah baju Billy dengan raut emosi, "Kayanya abang gue menarik banget bagi lo semua sampe harus dibahas terus?"

Billy terkekeh meskipun ia merasa nyeri di bagian sudut bibirnya. Kemudian dia mengangkat kepala untuk menatap Jendra yang masih mencengkram erat kerah bajunya.

"Lebih dari menarik. Terutama perempuan yang berstatus istrinya, Rasel."

Kali ini Alaya yang terpancing. Dia mengepalkan kedua tangannya, menahan diri untuk tidak meluapkan emosinya.

"Bajingan.." gumam Jendra, tak lama ia langsung melayangkan satu bogeman pada wajah dengan titik yang sama pada luka lembamnya.

BUGH!

Seolah mati rasa, Billy tidak lagi mengeluarkan ringisan kesakitan seperti sebelumnya. Dia malah meludahkan saliva yang telah bercampur dengan darah di mulutnya.

"Ngga usah bawa-bawa kakak ipar gue! Kalo lo macem-macem sama dia, gue jamin lo ngga akan bisa ngeliat matahari lagi" ancam Jendra setelah melepaskan cengkramannya.

Yaslan agak memajukan tubuhnya dan menopang di atas kedua pahanya. "Gue tanya satu hal aja,"

"Apa yang lo tau tentang rencana Jeksa?"

Saat itu juga Billy tertawa kecil. Tapi nadanya terdengar meremehkan.

Jendra, Yaslan dan juga Alaya mengunci tatapan mereka kepada Billy yang sedang tertawa kecil. Menunggu lelaki itu mengatakan apa maksud dari aksi tawanya itu.

Tentunya mereka bertiga tau betul makna tawaan tersebut. Mereka tidak sebodoh itu.

"Lo nanya rencana Jeksa ke gue? Really?"

Billy mengulas senyum tipis sehingga ia menahan rasa nyeri di sekujur tubuhnya. "Udah lebih dari satu bulan gue disini, gimana caranya gue tau rencana Jeksa? Lo bertiga ngga sepinter yang gue kira.."

"Sialan" umpat Yaslan. "Sebelum pernikahan Jehan sama Rasel, majikan lo punya rencana apa?"

Pertanyaan rinci Yaslan ini berhasil membuat Billy terbungkam.

"Kalo gue kasih tau, gue bakal dapet apa? Dunia ini prinsipnya give and takes. Gue beberin rencananya Jeksa, lo bertiga kasih gue imbalan. Fair kan?" kata Billy.

Jendra berdecih, "Gue kasih saran buat lo--"

"Terlalu loyal itu ngga baik. Bos lo bukan tipe orang yang suka balas budi, jadi semua jasa yang udah lo kasih bagi dia bukan apa-apa. Lo itu cuma pionnya, Tuan Billy"

Billy mengeraskan rahangnya dan kedua tangan yang terikat dibelakang juga mengepal kuat. Tak terima oleh perkataan Jendra barusan yang bisa dibilang sebagai penghinaan. Matanya memberi sorot tidak bersahabat ke arah Jendra.

"Kalo dipikir-pikir iya juga. Setelah satu bulan lo ngilang, tapi belom ada tanda rekan-rekan lo atau bos lo peduli sama lo--" kata Yaslan menambah kemarahan yang Billy tahan.

Alaya menghembuskan napasnya. Dia mendekat ke arah Billy untuk menunjukkan sebuah rekaman kepada lelaki itu.

"Gue berhasil retas CCTV tempat Jeksa. Waktu Jendra ngirim sebuah peringatan yang mengatasnamakan lo, dan lo bisa liat sendiri reaksi majikan lo di rekaman ini." ujar Alaya.

Billy itu mendapat belas kasihan dari Alaya, Jendra, Yaslan, Kanara, Ezzra bahkan Jehan. Sosok hebat dan memiliki kemampuan luar biasa sepertinya hanya dijadikan pion oleh pemimpinnya sendiri.

Maka dari itu Jehan memerintahkan mereka bertiga untuk meyakinkan terus bahwa Jeksa sudah tidak lagi membutuhkan Billy. Jehan juga ingin memberikan Billy kesempatan untuk hidup layaknya orang-orang pada umumnya.

Selain menghujami berbagai pertanyaan, hal lain yang membuat Jehan terus menahan Billy adalah Jehan ingin Billy sadar dan berhenti mengikuti perintah Jeksa untuk membunuh orang yang tidak bersalah.

Billy menonton seolah tak minat rekaman yang Alaya berikan. Dia melihat secara seksama dan sekaligus memastikan ucapan Alaya tadi.

Beberapa menit belum ada yang menyinggungnya sampai kedua indra pendengarannya menangkap sebuah kalimat yang sangat membuatnya sakit hati.

'What happen to Billy is not our business now. Remember what our priorities are'

Rahang Billy semakin mengeras dan tangannya kembali mengepal. Tidak percaya oleh apa yang baru saja ia dengar. "Jeksa, brengsek..."

Jendra menggaruk pelipisnya yang tidak gatal kemudian dia menyandarkan tubuhnya pada dinding ruangan. "Orang sehebat lo ngga pantes dibuang gitu aja,"

"Gue tau lo itu sebenernya bisa ngebedain mana bener mana salah. Dan gue juga tau lo terpaksa ambil jalan ini demi uang buat biaya pengobatan nyokap sama adik lo, ya kan?"

Penjelasan Jendra berhasil meredakan Billy yang semula masih murka. Kedua mata Billy menatap ke arah Jendra dan Yaslan bergantian tatapannya seolah bertanya bagaimana Jendra mengetahui tentang kehidupan aslinya.

Alaya tidak diam. Secara mengejutkan wanita itu melepaskan ikatan yang dibuat sangat kuat hingga membekas di kedua pergelangan tangan Billy.

Billy merasa bingung sekarang.

Yaslan tersenyum simpul ke arah lelaki didepannya membuat dia mengerutkan dahinya. "Lo tenang aja karna Jeksa mikirnya lo udah mati, nyokap sama adik lo baik-baik aja di rumah sakit."

"Dan lo ngga perlu mikirin lagi biaya pengobatan mereka berdua, Jehan udah nanggung semuanya sampe nyokap dan adek lo sembuh." lanjutnya.

Setelah mendengar tutur kata tersebut, Billy hanya bisa diam tidak tau harus mengatakan apa. Tetapi yang mengganjal hatinya adalah, apa maksud dari perilakunya ini?

Pasti ada sesuatu.

"Gue ngga minta lo semua untuk ngurusin keluarga gue!" bentak Billy sambil membantingkan kursi ketika tangannya bebas dari ikatan tali.

Jendra, Yaslan dan Alaya tidak begitu terkejut. Justru mereka bertiga sudah menduga respons macam ini.

"Lo semua-- Manfaatin keluarga gue? BANGSAT!" umpat Billy tidak terima.

Amarah terlukis jelas di wajah Billy sekarang, ditambah napasnya yang menggebu-gebu.

"Manfaatin? That's a bad word to describe the kindness we have given," ujar Jendra dengan nada sedikit kecewa.

"Gue ngga minta kebaikan lo." balas Billy penuh penekanan di setiap katanya.

"I know--" Jendra mengangguk kecil. Berpejam sejenak sebelum melanjutkan perkataannya.

"Tapi apa yang kita lakuin ngga ada maksud tersembunyi. Murni karna keinginan kakak gue sama kakak ipar gue, Rasel." lanjutnya.

Jendra mengambil napas panjang lalu dihembus secara halus, "Kalo gue sih ogah banget ngebantu lo yang udah jelas-jelas ngehajar gue,"

"Jen--" peringat Yaslan.

"Bawaannya gue emosi, Lan. Lo aja yang ngomong sana" ujar Jendra menyerah karena tidak bisa menahan emosinya.

Alaya menggelengkan kepalanya dan merotasikan bola matanya. Rekannya yang satu itu benar-benar tidak bisa berlama-lama dalam mode serius.

"Jehan masih punya hati nurani, beda sama atasan lo yang ngga punya perasaan sama sekali kaya psikopat." ucap Yaslan melanjutkan penjelasan Jendra.

"Asal lo tau majikan gue bilang dia ngga butuh balas budi, dia cuma pengen satu hal dari lo, bro"

Billy meregangkan kepalannya. Menunggu Yaslan meneruskan kalimatnya.

"Keluar dari dunia gelap ini. Gimana perasaan nyokap sama adik lo pas tau duit yang lo dapet buat biaya pengobatan mereka hasil dari ngebunuh orang?"

Kali ini Billy benar-benar dibuat terbungkam. Lidah nya terasa kelu sehingga mengeluarkan suara pun tidak bisa.

Yaslan maju beberapa langkah dan berdiri tepat di hadapan Billy. Dia menepuk bahu Billy, "Diliat dari perjuangan lo cari uang demi nyokap sama adik lo, gue yakin banget kalo lo itu sebenernya orang yang baik"

"Gue tau lo pasti ngerasa semua pelatihan yang lo dapet bakalan sia-sia, tapi lo bisa pake kemampuan lo itu buat lindungin keluarga lo. Inget, Jeksa ngga bakal diem aja."

"Jehan ngasih lo kesempatan, Bill. Alaya ngelepas ikatan biar lo bisa nentuin sendiri keputusan bijak untuk jalan lo kedepannya,"

"Gue harap lo ngga sia-siain kesempatan yang Jehan kasih."

Itu adalah kalimat terakhir yang Yaslan lontarkan sebelum melangkah pergi bersamaan dengan Jendra dan Alaya di belakangnya.

Sementara Billy, dia merasa semua yang dikatakan Yaslan sangatlah benar dan masuk akal. Namun di satu sisi, dia ragu. Jeksa adalah sosok hebat yang sangat ia hormati.

Tidak sampai ia mengetahui kebrengsekannya.

Billy mencengkram rambutnya. Frustasi dengan apa yang ia lalui beberapa menit terakhir. Entah apa yang harus ia lakukan sekarang.

Berterima kasih?

Membalas budi?

Untuk meluapkan rasa frustasinya, Billy berteriak dan menggeram sehingga suaranya menggema.

"Oke. Gue bakal keluar dari dunia gelap ini sesuai kemauan lo, tapi setelah gue balas dendam ke Jeksa." ucap Billy.

"Dan gue bener-bener ngga tau rencana dia apa selain ngebunuh Rasel. Tapi gue yakin lo semua bisa cari tau sendiri karena lo semua adalah tim yang hebat, gue akui itu."

Billy berkacak pinggang. Ia menatap ke arah Alaya, Jendra dan Yaslan yang tengah menatapinya dari dekat pintu.

"Lo bilang orang sehebat gue ngga pantes dibuang gitu aja, kalo gitu-- Yakin ngga butuh bantuan gue?"

°°°

Lola, Jisya dan Rasel berjalan keluar dari rumah sakit saling bergandengan. Ekspresi ceria nampak di satu persatu wajah mereka, perasaan senang menyelimuti benak mereka.

Sudah lama tidak pulang bekerja di waktu yang bersamaan. Entah bagaimana bisa jam sif mereka hari ini telah selesai berbarengan.

Pokoknya hari ini adalah momen bersejarah dan rasanya tidak etis apabila mereka bertiga tidak memanfaatkan malam ini dengan baik.

"Minum-minum ngga nih? Mumpung besok sif siang, jadi aman" sahut Jisya yang membuat Lola dan Rasel sama-sama berbinar.

"Gue tau satu tempat. Karna gue yang paling sibuk disini, gue yang traktir!" ucap Lola spontan direspon sorak oleh Rasel dan Jisya.

"Lo dijemput ayang, Sel?" tanya Jisya memastikan.

Rasel langsung teringat suaminya yang belum ia beri kabar semenjak siang tadi. Ia merogoh ponsel di dalam tas selempangnya dan segera mengabari sang suami sebelum lelaki itu misuh sana sini.

"Parah lo. Udah punya suami masih aja lupa," sindir Lola.

"Dari tadi siang gue ngga megang hape, La" jawab Rasel tanpa mengalihkan penglihatannya dari layar ponsel.

Jisya tertawa kecil, "Lain kali kalo bisa jangan lupa terus, lo itu punya suami yang panikkan"

"See?" ujar Jisya. Tidak sampai lima detik, semua ucapannya dibuktikan benar.

Rasel spontan menyengir lebar. Kedua sahabatnya itu melihat layar yang menampakkan panggilan masuk dari seseorang yang mereka bicarakan.

"Siapin hati dulu, Sel. Feeling gue ayang lo bakal ngamuk" bisik Lola menepuk-nepuk punggung belakang Rasel.

Kini mereka berdiri di pinggir jalan, mendukung sekaligus menguatkan Rasel yang harus memberi kabar lebih dahulu kepada suaminya sebelum mereka bertiga melanjutkan rencana untuk malam ini.

Rasel menarik nafas dalam lalu dihembuskan, mempersiap diri jika akhirnya terkena amukan. Selang beberapa detik, dengan keberanian penuh Rasel menerima panggilan sang suami.

"H-halo? Oke, sebelum lo ngamuk gue mau jelasin dulu. Sorry gue ngga ngasih lo kabar dari siang tadi soalnya gue beneran ngga megang hape dan gue sempet ketiduran jadi lupa. Maaf ya? Please jangan marah, gue beneran---"

'Pelan-pelan ngomongnya' cela Jehan di sebrang sana.

Rasel langsung menutup mulutnya. Pikirannya juga seketika blank saat mendengar suara halus yang jarang sekali ia dengar dari mulut Jehan.

Tentunya menimbulkan beberapa pertanyaan bagi Jisya maupun Lola saat mereka melihat perubahan ekspresi pada muka sahabatnya. Masalahnya, raut wajah Rasel saat ini tidak menggambarkan orang yang sedang dimarahi.

Sebentar, tumben banget Jehan ngga marah? Satu hal yang spontan terlintas di pikiran Rasel.

"Lo-- Lo ngga marah?" tanya Rasel heran.

'Gue udah biasa sama sikap istri gue yang selalu ilang kabar' jawabnya sambil menekankan kata istri sehingga membuat Rasel mengulas senyum dan tawanya.

"Yaudah, maaf" Rasel tau perkataan Jehan bisa disebut sebagai lelucon. Dan lelucon itu berhasil membuatnya sedikit rileks.

"Dimarahin?" tanya Jisya dan Lola dengan bisikan. Rasel menggeleng pelan sebagai jawabannya, hal tersebut membuat keduanya terheran.

'Permintaan maaf diterima. Udah selesai kerja?'

"Udah, tapi--"

'Hm, gue ngga bisa jemput lo dan kemungkinan malam ini gue ngga pulang soalnya gue harus ke Singapura sore ini juga bareng Jendra sama Ezzra'

Rasel mengulum bibirnya dan berpikir sejenak. Suaminya tidak pulang? Itu artinya Rasel harus melewati malam sendirian?

'Sel? You still there?'

"H-hah? Oh iya gue masih disini. Flight jam berapa, Je?"

'Jam empat lewat duapuluh lima. Gue lagi di jalan ke bandara, maaf ngga pamitan secara langsung terlalu mepet waktunya'

Wanita bersurai panjang ini menghela napasnya. Entahlah, kepergian Jehan menimbulkan sedikit rasa kekhawatiran di benak Rasel. Apalagi situasi saat ini masih belum terbilang aman.

Rasel hanya takut.

'Maaf gue ngasih taunya mendadak, nanti mamah sama Mbak Kana yang bakalan nemenin lo untuk malam ini ya?'

Lagi-lagi Rasel menghembuskan napasnya, ia pun mengangguk kecil. "Oke.." jawabnya lesu. Seolah dia tidak rela Jehan pergi jauh walaupun ia tau pria itu perginya tidak akan lama.

Hembusan napas tadi terdengar jelas oleh Jehan. Lelaki itu tau kalau Rasel pasti merasa ketakutan, namun harus bagaimana lagi? Urusannya di negri sana sangat penting sehingga Jehan tidak bisa meninggalkannya.

Terlebih urusan tersebut masih mengenai insiden beberapa waktu lalu.

'Jangan kangen. Gue cuma pergi dua hari doang kok,'

"Idih pede banget lo" sentak Rasel mendengus sebal.

Jehan tertawa. 'Oh iya, gue udah nyuruh Yaslan atau Alaya buat jemput lo. Jadi jangan apa-apa sendiri oke?'

"Iyaa. Tapi gue ngga akan pulang sekarang, mau hangout dulu bareng Jisya sama Lola. Boleh kan?" Rasel melirik ke arah kedua sahabatnya yang terus memperhatikannya.

Lola maupun Jisya masih setia menunggu Rasel selesai bertelepon dengan suaminya. Setelah apa yang terjadi kepada perempuan itu serta suaminya, mereka berdua bisa memaklumi keprotektifan Jehan selama ini.

'Boleh, tapi hati-hati ya, Sel.'

"Lo juga, safe flight ya" ucap Rasel sambil tersenyum. "Kalo udah sampe kabarin gue"

'Siap laksanakan, Nyonya Kanagara! Have fun hangoutnya,'

Rasel tidak melunturkan senyumnya. "Oke, lo lagi nyetir kan ini?"

'Iyaa--'

"Ck! Nelfon sambil nyetir itu bahaya tau ngga?! Gue matiin ya? Be careful, Jehan" kata Rasel penuh perhatian, dari nadanya saja terdengar jelas kalau perempuan itu khawatir namun dia tetap memahami.

Suaminya terkekeh di sebrang sana. 'Thanks a lot and see you in two days'

"See you.." Rasel mematikan telefon lebih dulu. Dia kembali menghela nafas.

"Safe flight? Mau kemana suami lo?" tanya Lola penasaran.

"Ke Singapura katanya" jawab Rasel dengan suara kecil.

"Hari ini juga? Mendadak banget--" Lola terkejut. Perasaan baru tadi siang dia melihat Jehan di rumah sakit.

Kerjaan pengusaha terkenal emang gitu ya? Pergi dinas tiba-tiba?

"Berapa lama?"

"Dua hari"

Jisya merangkul Rasel kala dia melihat ekspresi lesu di muka Rasel. "Ciee galau ditinggalin ayang"

"Chill, Sel. Jehan pergi kan buat dinas kerjaan kali lo ngga usah khawatir gitu kaya suami lo pergi ke medan perang aja" kekeh Jisya.

"Emang dinas kerjaan bisa ke luar negri juga?" gumam Rasel agak terheran sebenarnya.

"Gue sama Jisya perlu nginep di rumah lo ngga?" ucap Lola namun pandangannya tidak teralih dari layar ponselnya yang sedang membalas pesan ibunya.

"Apa sih Mamih?! Aku baru beres kerja ngga usah macem-macem!" katanya dalam mode mengirim pesan suara dengan suara cemprengnya.

"Lo sendiri kenapa, La?" tanya Jisya.

Lola mendengus sebal, "Biasa nyokap gue. Dia nyuruh gue blind date mulu" Rasel dan Jisya langsung tertawa lepas.

"Buruan cari cowok makanya" sahut Jisya layaknya mengejek.

"Bacot, Sya. Back to the topic-- Gimana perlu?"

Rasel tersenyum lalu menggeleng. "Ngga usah. Mertua sama kakak ipar gue bakal dateng ke rumah,"

"Yaudah kalo lo butuh apa-apa, langsung telfon gue atau ngga Jisya ya?"

"Lo berdua kan emang orang pertama yang bakal gue hubungin buat gue bebanin" balas Rasel yang langsung mendapat jitakan dari kedua sahabatnya.

"Yeuu sialan lo!"

"Kampreet!"

Rasel tertawa puas sebelum kembali berjalan bersama Lola dan Jisya menuju tempat yang biasa mereka datangi semenjak kuliah.

Namun bukan Rasel namanya kalau dia tidak tertarik oleh jajanan di sepanjang jalanan yang mereka lewati.

Seketika Lola menyesal sudah mengusuli ide jalan kaki menuju tempat tujuan.

"Lo berdua harus cobain crepes yang ini. Sumpah enak banget!!" Rasel menghampiri toko Crepes yang terlihat menggiurkan hanya dari gambar saja.

Jisya dan Lola hanya pasrah saja mengikuti kemauan sahabatnya yang satu itu. Kebiasaan Rasel sejak zaman kuliah tidak berubah, wanita itu suka sekali berjelajah makanan.

Dulu, waktu semester 4 atau 5, Lola maupun Jisya pernah menemani Rasel mencari jajanan di suatu daerah. Mereka berdua mengira satu atau dua jam akan cukup, namun nyatanya tidak.

Mereka pergi dari jam empat sore dan baru selesai sekitar jam delapan malam. Sialnya, Rasel mengaj mereka ke tempat street food dimana berbagai macam jajanan berkumpul disitu.

Rasel sebagai penyuka makanan tentu tidak akan puas hanya dengan satu atau dua makanan saja.

Tetapi sebagai orang yang mengetahui betapa sedihnya kehidupan Rasel dulu, Jisya dan Lola tidak begitu masalah. Asal perempuan itu lupa akan kesedihannya tentang tidak mempunyai orang tua atau keluarga, mereka berdua sangat rela melakukan apapun.

Sekedar melihat Rasel tersenyum saja sudah cukup menenangkan untuk keduanya.

"Looks hella good" ujar Lola saat Rasel memberi satu porsi crepes kepadanya.

"Lo juga harus coba, Sya. Nih--" Rasel juga memberi satu kepada Jisya dengan perisa yang berbeda.

"Whoa.. This is really good"

"Ya kan?!" Rasel tersenyum senang melihat raut wajah kedua sahabatnya yang sepertinya suka dengan crepes itu.

Tangan Rasel yang satu memegang crepes, sementara satunya lagi merogoh tas hitamnya susah payah hanya untuk mengambil dompet. Dan karena dia kurang sigap alhasil dompet miliknya terjatuh.

Rasel berdecak seraya mengambil dompetnya itu. Namun gerakannya terhenti ketika ada seseorang yang mengambil dompet miliknya lebih dulu.

"Ah, terima kas--" ucapannya melemah saat ia melihat siapa orang tersebut.

"Hai! Long time no see, Miss Kanagara" sapanya sambil tersenyum lebar.

Detik itu juga crepes yang di tangan Rasel jatuh akibat tangannya mulai bergetar dan jantungnya berdegup kencang. Kakinya pun mundur sedikit demi sedikit.

"Sel? Lo kenapa?" tanya Lola khawatir. Jisya mensejajarkan diri dengan Rasel yang terlihat ketakutan.

"Sel? Rasel??"

Rasel masih menatap orang tersebut dengan raut takut dan ingin pergi dari posisi ini sekarang juga. Tangannya yang bergetar mencengkram samping celananya.

Jisya mengikuti arah tatap Rasel dan memeriksa apa yang membuat Rasel seolah habis melihat setan. Matanya memicing kala ia mendapat satu sosok yang terlihat familiar berdiri di hadapan mereka.

"Lo-- Ah! Si pasien luka tembak! Duh siapa sih.." Jisya mengetuk-ngetuk jarinya di dahi. Mengingat siapa nama orang tersebut.

"Jeksa!"

"Dokter Jisya kan? Glad to see you again.." katanya masih tersenyum, tidak ingin menimbulkan rasa curiga terhadap Jisya maupun Lola.

"Sya! Siapa?" Lola bertanya dengan bisikkan agar Jeksa tidak mendengar. Diantara mereka bertiga hanya Lola yang tidak mengenal siapa Jeksa.

"Salah satu pasien doang" jawab Jisya dengan bisikkan juga. Sedangkan Lola mengangguk paham.

Tidak mau berlama-lama di dekat Jeksa, Rasel segera merampas dompet di tangan lelaki jahat itu. "G-gue pulang duluan"

"Eh Sel, kita kan belom--" Perkataan Lola belum sempat selesai namun Rasel sudah lebih dulu berlalu dari pandangan Jisya, Lola dan juga Jeksa.

"Rasel kenapa?" tanya Lola kebingungan.

Jisya menggidikkan bahu dan menggeleng. Dia juga heran mengapa Rasel tiba-tiba bertingkah seperti itu. Tetapi yang Jisya tau ada sangkut pautnya dengan kehadiran Jeksa disini.

Rasel mulai ketakutan semenjak dia melihat Jeksa muncul di hadapannya. Jisya itu peka. Dia melihat dengan jelas tangan Rasel yang gemetar layaknya orang ketakutan.

Saat bertatapan dengan Jeksa, Jisya memberikan senyum kecil yang terpaksa agar lelaki itu tidak tau kalau dirinya mulai curiga.

Ada sesuatu yang tidak beres antara Jeksa dengan Rasel.

°°°

"Sialan!" umpat Rasel ketika ponselnya mati total. Ia tidak sadar kalau baterainya tersisa sedikit.

Rasel mengedarkan penglihatannya ke sekitar untuk sekedar memastikan tempat. Aneh dan asing, dia tidak tau dimana dia sekarang.

Jeksa benar-benar membuatnya kalut, sehingga Rasel tidak sadar jalanan mana yang ia lewati sampai di tempat yang cukup menyeramkan ini.

Sungguh, Rasel kebingungan dan ketakutan. Tempat yang mayoritas dipenuhi oleh pepohonan tua membuat suasana semakin menakutkan.

Bukan perumahan, hanya sebuah jalanan yang cukup gelap dan sepi. Gimana caranya Rasel bisa tiba-tiba ke tempat yang seperti ini?

Rasel menengok ke kanan dan kiri untuk mencari keramaian. Ingin mutar balik tetapi Rasel tidak terlalu ingat jalur jalannya.

"Jehan..." lirihnya ketakutan.

Kedua tangannya mencengkram erat tali dan juga tas yang melingkar di tubuhnya. Degup jantungnya kembali berirama tidak karuan dan dirinya sudah keringat dingin.

Bagaimana cara dia menghubungi Yaslan dan Alaya?

Rasel rasanya ingin menangis saja. Dia sungguh tidak tau ini dimana, tidak tau harus bagaimana, tidak tau harus melakukan apa.

Hembusan angin malam yang menusuk setiap titik kulit putih nan mulusnya sukses membuatnya merinding hebat.

Detik itu juga Rasel menyesali sikapnya yang tiba-tiba pergi meninggalkan kedua temannya.

Wanita yang masih berdiri ditengah tempat sepi dan gelap ini memejamkan matanya sejenak. Saat mencoba berpikir rasional, hatinya merasakan ada seseorang memperhatikannya.

Hatinya juga mengatakan ada yang mengikutinya dari belakang. Tadinya mau percaya kalau itu hanyalah sugesti, tetapi dia ingat katanya feeling perempuan itu selalu benar.

Kedua matanya melirik kesana kemari sebelum ia memilih untuk melanjutkan langkahnya yang entah kemana tujuannya.

Prioritasnya sekarang adalah menemukan keramaian.

"Tenang, Sel. Ngga ada yang ngikutin lo, itu cuma sugesti lo doang--" cerocosnya bermonolog untuk menenangkan diri

Perlahan-lahan langkah kaki perempuan itu mulai semakin cepat kala matanya menangkap sebuah cahaya dan orang berlalu lalang. Ditambah ketika perasaan pekanya mendapati sebuah bayangan dari seseorang yang mengikutinya dari belakang.

Entah sejak kapan air matanya jatuh. Rasel benar-benar takut dan ia ingin bertemu Jehan sekarang juga.

Meskipun ia berhasil kembali ke keramaian, rasa takut di benaknya tidak mereda sedikit pun karena perasaannya mengatakan orang yang membuatny takut setengah mati masih mengikutinya.

Siapa orang itu?

Ingin sekali rasanya Rasel meminta bantuan pada orang-orang disekitarnya, namun ia merasa sungkan. Ini bukan arah menuju rumahnya, alhasil dia berjalan tanpa tujuan.

Ada dua harapan. Taksi dan Bus umum. Namun ia tidak melihat halte didekatnya.

"Jehan, gue takut..." lirih Rasel sambil menunduk dan terisak. Sesekali dia mengusap pipinya yang sudah banjir air mata.

"Terus nunduk dan denger gue, Sel."

Baru saja Rasel ingin menegok namun pemilik suara yang terdengar familiar kembali menginterupsinya. "Jangan nengok, tetep jalan biasa. Anak buah Jeksa masih mantau lo dari jauh"

"Lo Alaya kan?" tanya Rasel masih dengan suara bergetar.

"Tenang, gue disamping lo sekarang." ucap Alaya yang sangat melegakan hati Rasel. "Dengerin gue ya.."

Alaya berjalan tepat disamping Rasel, melindungi sahabatnya itu dari bidikan penembak jitu di atas gedung kosong yang letak ya di sebrang mereka.

"Salah satu penembak jitu andalan Jeksa lagi ngebidik lo. Gue harus ngulur waktu dan gue butuh bantuan lo, oke?" Rasel mengangguk samar.

"Lo tubruk orang yang lagi bawa kardus bekas itu, bisa?"

"S-serius lo?!"

"Serius. Gue butuh pengalihan biar gue bisa bawa lo ke tempat persembunyian" Alaya memakai topi hitam sehingga sulit untuk mengkonfirmasi bagi orang-orang Jeksa.

Rasel sedang mengumpulkan keberanian dan tekad untuk membantu rencana Alaya. Temannya itu perlahan mengeluarkan pistol di pinggangnya sebagai alat pelindung jika para bawahan Jeksa menyerang mereka duluan.

"Gue tau lo takut, tapi kali ini gue mau lo lawan rasa takut itu." ucap Alaya masih menatap lurus ke depan.

"O-oke.."

Alaya mengenggam sebentar tangan Rasel, seolah meyakinkan semuanya akan baik-baik saja. "On my count, one.."

"Two.."

"Three.."



Dor!









to be continued~~~

Just want to say, rahasia dicerita ini cuma tersisa dua.

1. Insiden masa lalu yang melibatkan Ayah Jehan, kedua orang tua Rasel dan keluarga Navarez.

2. Siapa tunangan Jeksa?

Ada yg mau nebak? Silakan.

Dan ini masi lumayan panjang loh gengs. Masih ada bagian salah satu anggota tim terluka, bagian Tania ngejelasin hubungan Kanagara dan Abiyaksa, bagian bucin, bagian unboxing👀, bagian sesuatu terjadi kepada Rasel dan masih banyak lagi.

Yah spoiler tuh🤪

Gue ga bisa janji lagi kapan updatenya, tapi gue bakal berusaha secepat mungkin. Akhir semester banyak tugas gengs:)

Oke, see u next time, loves!🖤















SAYAANGGG BGT SAMA MEREKA🥺

Continue Reading

You'll Also Like

86.8K 8.2K 33
Supaporn Faye Malisorn adalah CEO dan pendiri dari Malisorn Corporation yang memiliki Istri bernama Yoko Apasra Lertprasert seorang Aktris ternama di...
206K 4.8K 19
Warn: boypussy frontal words 18+ "Mau kuajari caranya masturbasi?"
131K 13.6K 24
Lima tahun lalu, Wonwoo memutuskan sebuah keputusan paling penting sepanjang hidupnya. Dia ingin punya anak tanpa menikah. Lima tahun kemudian, Wonw...
155K 11.7K 86
AREA DILUAR ASTEROID🔞🔞🔞 Didunia ini semua orang memiliki jalan berbeda-beda tergantung pelakunya, seperti jalan hidup yang di pilih pemuda 23 tahu...