Stolen Sweetheart

By xadaragoe

225K 17.6K 5.3K

"Let's pretend nothing happened tonight. Deal?" Jangan sekali-sekali kau berani untuk terjun ke sebuah lingk... More

๐๐‘๐Ž๐‹๐Ž๐†
๐€๐ญ๐ฅ๐š๐ฌ ๐”๐ง๐ข๐ฏ๐ž๐ซ๐ฌ๐ข๐ญ๐ฒ ๐’๐ญ๐ฎ๐๐ž๐ง๐ญ
๐Ÿ. ๐“๐ก๐ž ๐†๐จ๐ฌ๐ฌ๐ข๐ฉ
๐Ÿ. ๐“๐š๐ข๐œ๐ก๐š๐ง ๐’๐ž๐ง๐š๐ฒ๐š๐ง
๐Ÿ‘. ๐’๐จ๐ฃ๐ฎ & ๐๐ฒ๐ฑ ๐๐š๐ซ
๐Ÿ’. ๐‡๐ž ๐Š๐ง๐จ๐ฐ๐ฌ
๐Ÿ“. ๐“๐ž๐š
๐Ÿ”. ๐€ ๐๐ฎ๐ง๐ข๐ฌ๐ก๐ฆ๐ž๐ง๐ญ
๐Ÿ•. ๐ƒ๐ข๐ซ๐ž๐œ๐ญ ๐Œ๐ž๐ฌ๐ฌ๐š๐ ๐ž๐ฌ
๐Ÿ–. ๐Œ๐ž๐ฌ๐ฌ๐ž๐ ๐”๐ฉ
๐Ÿ—. ๐–๐ž ๐€๐ฅ๐ฅ ๐๐ซ๐จ๐ค๐ž
๐Ÿ๐ŸŽ. ๐”๐ง๐ข๐ญ ๐Ÿ•๐ŸŽ๐Ÿ
๐Ÿ๐Ÿ. ๐‘๐ž๐ฏ๐ž๐š๐ฅ
๐Ÿ๐Ÿ. ๐‚๐จ๐ง๐Ÿ๐ฎ๐ฌ๐ข๐ง๐ 
๐Ÿ๐Ÿ‘. ๐“๐ก๐ž ๐‡๐ข๐๐๐ž๐ง ๐“๐ฐ๐ข๐ง๐ฌ
๐Ÿ๐Ÿ’. ๐‡๐จ๐ฌ๐ฉ๐ข๐ญ๐š๐ฅ
๐Ÿ๐Ÿ“. ๐๐ž๐ฐ ๐ƒ๐š๐ฒ ๐๐ž๐ฐ ๐Œ๐ž๐ง๐Ÿ๐ž๐ฌ๐ฌ
๐Ÿ๐Ÿ”. ๐‚๐ฎ๐ญ๐ž ๐‘๐ข๐ฏ๐š๐ฅ
๐Ÿ๐Ÿ•. ๐‡๐š๐ ๐š ๐’๐š๐ง๐๐ž๐ซ๐ฌ
๐Ÿ๐Ÿ–. ๐ƒ๐ฎ๐›๐ข๐จ๐ฎ๐ฌ ๐‚๐จ๐ง๐ฌ๐ž๐ง๐ญ
๐Ÿ๐Ÿ—. ๐๐ž๐š๐ฎ๐ญ๐ข๐Ÿ๐ฎ๐ฅ
๐Ÿ๐ŸŽ. ๐‡๐ž ๐ข๐ฌ ๐๐š๐œ๐ค
๐Ÿ๐Ÿ. ๐‹๐ž๐ ๐š๐ฅ ๐›๐ฎ๐ญ ๐ˆ๐ฅ๐ฅ๐ž๐ ๐š๐ฅ
๐Ÿ๐Ÿ. ๐‹๐จ๐ฏ๐ž ๐ข๐ฌ ๐Œ๐ฎ๐ญ๐ฎ๐š๐ฅ
๐Ÿ๐Ÿ‘. ๐–๐ก๐š๐ญ ๐“๐ก๐ž ๐‡๐ž๐ฅ๐ฅ ๐ข๐ฌ ๐’๐ก๐ž ๐ƒ๐จ๐ข๐ง๐ ?
๐Ÿ๐Ÿ’. ๐†๐จ๐ฅ๐Ÿ ๐๐š๐ซ๐ค๐ฏ๐ข๐ž๐ฐ?
๐Ÿ๐Ÿ”. ๐‚๐ฎ๐ฉ๐ข๐ ๐’๐œ๐ซ๐ž๐ฐ๐ž๐ ๐€๐ฅ๐ฅ
๐Ÿ๐Ÿ•. ๐‹๐š๐ฎ๐ ๐ก๐ญ๐ž๐ซ ๐š๐ง๐ ๐ƒ๐ข๐ฌ๐š๐ฌ๐ญ๐ž๐ซ
๐Ÿ๐Ÿ–. ๐–๐š๐ซ ๐จ๐Ÿ ๐–๐จ๐ซ๐๐ฌ
๐Ÿ๐Ÿ—. ๐…๐š๐ฅ๐ฅ๐ข๐ง๐  ๐€๐ ๐š๐ข๐ง
๐Ÿ‘๐ŸŽ. ๐Ž๐ก, ๐…๐ฅ๐จ?
๐Ÿ‘๐Ÿ. ๐’๐ข๐ฅ๐ž๐ง๐ญ ๐“๐ซ๐ž๐š๐ญ๐ฆ๐ž๐ง๐ญ
๐Ÿ‘๐Ÿ. ๐“๐ฐ๐ž๐ฅ๐ฏ๐ž ๐€๐Œ
๐Ÿ‘๐Ÿ‘. ๐‡๐จ๐ญ๐ž๐ฅ ๐‘๐จ๐จ๐ฆ
๐Ÿ‘๐Ÿ’. ๐‡๐ž ๐‚๐ซ๐ข๐ž๐
๐Ÿ‘๐Ÿ“. ๐“๐ก๐ž ๐๐š๐ซ๐ญ๐ž๐ง๐๐ž๐ซ
๐Ÿ‘๐Ÿ”. ๐˜๐จ๐ฎ๐ซ ๐Œ๐š๐ฃ๐ž๐ฌ๐ญ๐ฒ
๐Ÿ‘๐Ÿ•. ๐‡๐š๐ ๐š & ๐‰๐จ๐ž, ๐€๐ ๐š๐ข๐ง?
๐Ÿ‘๐Ÿ–. ๐‹๐ž๐ญ ๐‡๐ž๐ซ ๐†๐จ
๐Ÿ‘๐Ÿ—. ๐๐จ ๐Œ๐จ๐ซ๐ž ๐‰๐จ๐ž
๐Ÿ’๐ŸŽ. ๐‹๐ข๐ค๐ž ๐…๐š๐ญ๐ก๐ž๐ซ ๐‹๐ข๐ค๐ž ๐’๐จ๐ง
๐Ÿ’๐Ÿ. ๐ˆ๐ญ'๐ฌ ๐‡๐š๐ณ๐ž๐ฅ๐ง๐ฎ๐ญ๐ญ๐ข๐ž๐ฌ?!
๐Ÿ’๐Ÿ. ๐–๐ž ๐ฐ๐ž๐ซ๐ž ๐…๐–๐
๐Ÿ’๐Ÿ‘. ๐“๐ž๐š๐ซ๐ฌ ๐จ๐Ÿ ๐๐ฅ๐š๐๐ž
๐Ÿ’๐Ÿ’. ๐“๐ข๐ฅ๐ฅ ๐–๐ž ๐Œ๐ž๐ž๐ญ ๐€๐ ๐š๐ข๐ง
๐Ÿ’๐Ÿ“. ๐€ ๐‚๐จ๐ฎ๐ฉ๐ฅ๐ž ๐’๐ž๐ญ?
๐Ÿ’๐Ÿ”. ๐๐ž๐š๐ฎ๐ญ๐ข๐Ÿ๐ฎ๐ฅ ๐’๐ฎ๐ง๐ฌ๐ž๐ญ
๐Ÿ’๐Ÿ•. ๐๐ฒ๐ฑ ๐ฐ๐š๐ฌ '๐“๐‡๐„' ๐ฉ๐ฅ๐š๐œ๐ž
๐Ÿ’๐Ÿ–. ๐‹๐ž๐ญ ๐“๐ก๐ž๐ฆ ๐…๐ข๐ง๐ ๐ญ๐ก๐ž ๐„๐ง๐
๐Ÿ’๐Ÿ—. ๐–๐ข๐ง-๐ฐ๐ข๐ง ๐’๐จ๐ฅ๐ฎ๐ญ๐ข๐จ๐ง?
๐Ÿ“๐ŸŽ. ๐๐จ ๐Œ๐จ๐ซ๐ž ๐’๐ฎ๐ง๐ฌ๐ž๐ญ, ๐ˆ ๐‹๐จ๐ฏ๐ž ๐˜๐จ๐ฎ ๐ญ๐จ ๐ญ๐ก๐ž ๐Œ๐จ๐จ๐ง ๐š๐ง๐ ๐๐š๐œ๐ค
๐„๐๐ˆ๐‹๐Ž๐†

๐Ÿ๐Ÿ“. ๐€ ๐‚๐ซ๐š๐œ๐ค ๐ข๐ง ๐ญ๐ก๐ž ๐†๐ฅ๐š๐ฌ๐ฌ

3.1K 246 45
By xadaragoe

Dini hari itu Haga kembali ke rumah dengan segala beban pikiran yang begitu memberatkan. Sekilas Haga sempat berpikir saat di perjalanan, apakah ia dan Hanna memang tak akan pernah direstui oleh semesta? Bertahun ia memendam perasaan, tetapi begitu memiliki keberanian untuk mengungkapkan, badai langsung menerpa ia yang baru saja berbahagia akan sebuah kehangatan.

Dengan lunglai Haga melangkah masuk melewati pintu mahoni tua yang baru saja ia buka. Detik itu juga, dilihatnya Anthoni yang masih berada di ruang tamu dengan posisi berbaring miring di atas sofa. Malah, sekarang bertambah sebuah botol alkohol yang sebelumnya tak berada di sana.

Sekelebat, bayangan Hazel kembali muncul. Lantas, buru-buru Haga mengerjap dan menggelengkan kepala guna mengusir segala pikirannya tentang kakak kembar Hanna.

Ia melangkah mendekati Anthoni, aroma khas alkohol yang pahit pun menguar dari dalam diri sang ayah. Haga muak muak melihatnya. Lantas, ia mengalihkan pandangan, dan tanpa sengaja kedua netranya menangkap foto keluarga yang tergantung di dinding putih gading. Anthoni, Eva, Haga, dan Heira. Foto terakhir yang diambil sebelum sang ibu meninggalkan dunia.

Jika bisa memilih, Haga lebih baik kehilangan Anthoni untuk pergi lebih dulu menghadap Tuhan, dibanding ia harus kehilangan Eva. Haga membatin, mengapa Tuhan mengambil orang-orang baik lebih cepat? Sementara sampah seperti sang ayah dibiarkan berserak di muka bumi yang indah.

Haga mengambil posisi duduk di seberang Anthoni. Ia lelah. Ia ingin sejenak duduk, dan meneguk sisa alkohol yang ada di atas meja.

Namun, kala ia memandang sang ayah, dadanya semakin terasa sesak. Lantas, tak ada lagi alasan bagi Haga untuk tak meneguk sisa alkohol di sana.

Pahitnya alkohol, membuat isi kepala Haga memutar memori masa lalunya yang kelam. Hari-hari di mana Eva berjuang melawan stroke yang diderita selama dua tahun. Mungkin, jika Haga tak mengetahui penyebabnya, ia tak akan begitu benci kepada Anthoni. Namun sayangnya, Haga mengetahui semua dan kenyataan itu membuat dirinya gelap hati kepada sang ayah.

Haga mengembuskan napas berat, dan mengacak rambutnya dengan begitu kesal.

"Argh!! Setelah bikin Mama enggak ada, sekarang mau apa lagi, Pa?!" monolog Haga.

Meski ia tahu sang ayah tak akan menjawab, Haga tetap melanjutkan bicaranya. Lagipula, ia hanya ingin setidaknya meluapkan apa yang ia rasakan.

"Mama ninggalin Haga karena Papa! Lo tuh pernah mikir enggak sih, Pa?!

Lo seegois itu main cewek sana sini, pulang mabuk, kayak orang tolol, dan yang ngurusin? Mama! Mama marah? Jelas. Tapi, apa Papa pernah peduli?! Sampai akhirnya Mama cuma bisa mendam sendiri, kena hipertensi, dan akhirnya meninggal setelah stroke! Gila! Lo gila, Pa!

Haga masih ingat gimana Heira nangis kehilangan Mama! Dan semua itu? Karena lo!

Gila. Lo gila, Pa! Lo udah bawa penderitaan buat Mama, dan sekarang buat gue juga?! Ngapain, Pa? Ngapain sekarang Papa berhubungan sama Hazel?!!

Anthoni Sanders! Astaga Tuhan ...." Haga kehabisan kata-kata, tak tahu lagi harus bersikap bagaimana kepada sang ayah. Rasa hormat pun sudah tak ada.

Di sisi lain, seorang anak gadis keluarga Sanders yang beberapa menit lalu mendengar deru mobil melewati gerbang rumahnya, langsung berlari keluar dari kamar untuk menemui sosok yang sudah ia tunggu-tunggu.

"Kak!" panggilnya.

Lantas, Haga menoleh ke arah sumber suara yang berasal dari tangga. Heira di sana, gadis itu berhenti di pertengahan tangga, dan memanggil namanya. Anak bungsu Sanders itu tak melangkah lagi, seolah ia menunggu agar Haga yang menghampiri.

Haga pun mengulas sebuah senyuman palsu. "Belum tidur, Ra?"

Heira menggeleng. "Gue nunggu lo."

"Gue juga mau ngobrol sama lo," balas Haga.

Heira mengangguk pelan, ia tahu pasti sang kakak ingin membahas tentang ayahnya yang bersama Hazel tengah malam. Dari sorot dwinetra Haga yang terlihat begitu lelah, Heira bisa mengerti bagaimana perasaan sang kakak saat ini.

"Terus ... Papa gimana?" tanya Heira.

Haga mengerenyit, tak mengerti ke mana arah pertanyaan adiknya. Maka, Heira pun memberikan penjelasan lebih dalam. "Maksud gue, Papa kita tinggal aja di situ? Enggak dibawa ke kamarnya, Kak?"

Haga mendenguskan tawa remeh dan tersenyum pahit mendengarnya. Pikirnya, Haga sudi?

Tanpa menjawab, Haga langsung bangkit dari sofa, meninggalkan sang ayah dan beralih melangkah menuju tangga.

Dalam jarak dekat, Heira bisa melihat ekspresi kakaknya yang begitu datar, seolah ia sudah tidak memiliki gairah untuk sebuah kehidupan. "You okay?" tanya Heira. Namun, tak digubris oleh ia yang terlihat lemas dan berlalu begitu saja melewati adiknya.

Maka, Heira mengulang pertanyaan dengan nada yang kali ini sedikit lebih keras. "Kak! Gue nanya! You okay?"

Langkah Haga pun terhenti, tangannya mengepal begitu kuat lantaran tak tahan mendengar pertanyaan sang adik. Lalu, tepat di anak tangga terakhir, Haga membalikkan tubuhnya dan menghadap Heira yang sedang melangkah mengikuti dirinya. Sontak, Heira pun ikut berhenti.

Detik berikutnya ... tanpa Heira duga, tanpa Heira pernah bayangkan sebelumnya, Haga menyahut dengan nada tinggi dan penuh akan amarah. "GUE CAPEK!! LO BISA BERHENTI, HEIRA SANDERS?!!"

Gadis itu tersentak. Ia terkejut bukan main. Untuk pertama kalinya, Heira mendengar Haga membentak ia yang paling dijaga perasaannya oleh Haga selama bertahun-tahun lamanya.

"S-sorry, gue enggak maks-"

Belum selesai, Haga sudah berbalik lagi dan langsung meninggalkan Heira begitu saja. Ia lantas memasuki kamarnya demi mencari sebuah ketenangan, karena orang-orang malam ini sudah cukup menguji kesabaran.

Panik karena sang kakak akan marah berkepanjangan, Heira pun mengejar Haga hingga ia hampir ikut masuk ke dalam kamar, jika saja pria itu tidak dengan tiba-tiba menutup pintu kamarnya dengan kencang.

Bruk!

Untuk kedua kali, Heira berhenti. Dadanya berdebar kencang melihat Haga yang seperti ini. Seumur hidupnya, ia melihat sosok sang kakak adalah tipikal pria santai yang tak mau ambil pusing segala hal. Termasuk skripsi.

Namun, malam ini ia terlihat begitu berbeda. Seolah iblis merasuki jiwanya dan mengganggu ketenangan batin seorang Haga.

"K-Kak?" Gadis itu masih berusaha memanggilnya. Namun, seperti yang ia duga, tak ada jawaban apa-apa.

"Kak ... maafin gue. Gue enggak bermaksud memperkeruh suasana."

Sepuluh detik, tetap tak ada jawaban dari Haga. Lantas, Heira kembali berusaha.

"Kak, k-kita enggak jadi ngobrol? Gue dari tadi nunggu lo pulang, gue enggak bisa tidur, gue kepikiran Hanna dan ... Hazel."

Haga yang masih berdiri di balik pintu kamarnya sembari mengatur deru napas emosi, jelas mendengar semua yang Heira katakan. Namun, untuk saat ini tak ada rasanya tak ada yang bisa Haga lakukan, selain bersandar di pintu dan memejamkan mata untuk meredam amarah.

"Kak?"

Kala suara itu terdengar lagi, Haga membuka matanya. Dengan kondisi hati yang sedang tak baik, Haga pun akhirnya berbalik dan membuka pintu kamar. Kini ia berhadapan dengan sang adik yang menatapnya dengan nanar.

"Kak, m-maaf?"

Mendengar Heira yang sudah berkali-kali meminta maaf, membuat Haga mendengus kesal. "Tidur. Kita omongin ini besok pagi."

Heira menggigit bibir bawahnya, ia tahu dirinya lah yang membuat suasana hati Haga menjadi lebih buruk. Lantas, Heira akhirnya hanya bisa mengangguk, dan menuruti apa yang Haga katakan.

"Kalau butuh temen cerita, ketuk aja kamar gue ya, Kak."

"Tidur."

Seulas senyum tipis dan anggukan pelan pun menjadi penutup perbincangan. Haga membalas senyum Heira dengan ragu, lalu berbalik kembali ke kamarnya, dan mengunci pintu.

Istirahat adalah hal yang paling tepat untuk ia lakukan sekarang. Ia perlu mengumpulkan energi sebelum menghadapi hari esok yang entah akan bagaimana kacaunya. Karena seratus persen Haga yakin, kejutan dari Anthoni tak akan berakhir sampai di sini. Namun sayangnya, Haga terlalu buta. Ia tak tahu sudah sejauh apa Hazel dan Anthoni, serta bagaimana ia harus mengambil langkah.

Di tengah lamunannya dalam mengisap sigaret seraya memandang bintang dari balkon kamar, Haga sedikit menyesali keberaniannya mendekati gadis yang ia puja selama ini. Rasa sesak dalam dadanya membuat ia tertawa miris. Ia mengasihani dirinya sendiri.


🟤

Malam berganti pagi, bulan pun berganti matahari. Cahaya yang menembus gorden putih, menyilaukan ia yang sedang terlelap setelah malam panjangnya, dan berhasil membuat sang ia perlahan membuka mata.

Haga bangun, menyadari hari sudah berganti, maka ia harus bangkit kembali. Ia perlu menyelesaikan apa yang belum terselesaikan semalam. Setidaknya, ia sudah cukup beristirahat meski hanya sekitar empat jam saja. Energinya sudah sedikit kembali.

Ia menyibak selimut, menyambar handuk untuk pergi mandi, dan keluar dari kamar pribadinya. Tepat saat Haga membuka pintu, Heira pun keluar dari kamarnya dengan keadaan yang sudah rapi dan cantik. Namun, keheningan terjadi untuk beberapa detik, kala keduanya saling memandang satu sama lain.

"Mau ngampus?" tanya Haga, yang akhirnya berusaha mencairkan suasana. Karena, Heira begitu tegang saat melihatnya keluar dari kamar di waktu yang sama.

"I-iya, Kak."

"Lo kenapa?" tanya Haga saat melihat Heira yang menundukkan kepala.

"Takut."

Sontak, Haga mendenguskan tawa. Heira memang tak pernah berubah, mau sedewasa apa pun ia, Heira tetaplah adik kecil Haga.

"Dasar aneh. Emangnya gue apaan lo takutin?"

Heira diam saja, bingung juga mau menjawab apa. Lantaran, ia masih merasa sedikit takut setelah memperburuk suasana hati Haga semalam.

Haga mengerti, jelas sekali Heira merasa bersalah padanya. Namun, ia tak ingin adiknya merasa seperti itu. Toh, kalau dipikir-pikir, dirinya juga yang salah karena membentak Heira. Seharusnya, ia tak perlu seperti itu 'kan?

"Udah sana, berangkat. Jimmy anter lo enggak? Atau mau gue yang anter? Tunggu gue mandi bentar. Lo kelas jam berapa?"

"Eh, enggak usah dianter, Kak. Iya, gue sama Jimmy, kok. Kayaknya dia udah di bawah sih."

"Di depan?"

Heira mengangguk.

"Ya udah, sana berangkat. Hati-hati."

"Iya. Gue berangkat, Kak. Oh ya, nanti kalau udah mau ngobrol -"

"Nanti gue yang hubungin lo duluan, Ra. Udah sana, nanti telat. Oh ya, kalau Papa masih ada di bawah, abaikan aja. Enggak usah diambil hati, ya." Haga memotongnya dengan cepat.

Biar bagaimana pun, sekacau apa pun Haga dibuat oleh sang ayah, Heira tak boleh ikut merasakannya. Pula, Heira tak boleh menerima bentakan lagi dari Haga. Setidaknya, hanya Heira yang tersisa untuk ia berikan kasih sayang sebagai keluarga.

Lantas, Heira akhirnya tersenyum, mengangguk, kemudian gadis itu berlalu dari hadapan sang kakak.

Tanpa Heira sadari, Haga membuntuti dan mengawasi dari lantai atas, memastikan bahwa Heira benar-benar akan mengabaikan Anthoni kalau pria tua itu masih berada di bawah.

Dan gadis itu benar-benar mengikuti ucapan sang kakak. Ia melewati ruang tamu begitu saja, tak mengacuhkan Anthoni yang masih terlelap sepagi ini.

Kala manik mata Haga memandang lagi seorang Anthoni di bawah sana, rasa murkanya kian mencuat dan membuatnya muak. Namun, ia masih waras untuk menghadapi semua ini dengan kepala dingin dan perlahan mencari tahu tentang segalanya. Hal-hal yang tak Haga ketahui tentang Hazel dan Anthoni.

Ia merasa perlu ikut campur dalam hubungan mereka, karena secara tak langsung akan berimbas pada hubungannya sendiri dengan Hanna. Haga tak mau siapa pun mengacaukannya.


🟤

Dengan segelas kopi hitam dingin di tangan, Haga turun dari mobilnya dengan santai. Pagi hari ini ia mulai dengan mencari tahu tentang kecurigaannya pada unit apartemen Anthoni di Golf Parkview.

Bermodalkan kartu akses yang ia curi dari kamar Anthoni, Haga pun memantapkan langkah memasuki gedung apartemen yang juga menjadi tempat tinggal Hazel.

Haga menyedot es kopinya, berusaha menahan gugup sebelum naik lift menuju unit milik sang ayah. Entah bagaimana jadinya jika ia benar-benar mendapati Hazel di sana.

Ia menelan salivanya begitu sampai di lantai tujuh. Dengan gugup, Haga keluar dari lift dan kakinya secara otomatis melangkah maju ke unit paling ujung.

Namun, begitu tinggal melewati beberapa unit lagi, Haga mendadak melambatkan langkahnya. Ia meragu, sebenarnya Haga masih tak tahu ia benar-benar harus melakukan ini atau tidak.

Haga kembali melirik kartu aksesnya di tangan, sudah sejauh ini ia pergi dari selatan, tak boleh berakhir sia-sia hanya karena sebuah ketakutan. Lantas, Haga kembali melangkah, hingga ia berhadapan dengan pintu unit 721. Unit milik Anthoni Sanders.

Keraguan pun kembali menguar dalam diri Haga begitu pintu sudah berada di depan mata. Ia sedikit gemetar ketika harus membuka pintu dengan kartu aksesnya. Bagaimana kalau Hazel ada di dalam?

Perang batin pun terjadi. Haga memejamkan mata, berusaha untuk menguatkan diri apa pun yang akan terjadi. Ada atau tak ada Hazel di dalam, ia tetap harus membuka pintu ini.

Lantas, begitu kunci telah terbuka, Haga menekan knop pintu dan mulai melangkah ke dalam unit 721.

Hening. Sudah lima langkah yang Haga ambil, masih tak ada tanda-tanda kehidupan dari dalam unit apartemen Anthoni. Semua furnitur pun tertata begitu rapi, masih seperti saat terakhir kali Haga pergi ke sini. Sekitar ... dua tahun lalu, kalau Haga tak salah ingat.

Karena memang, Haga jarang mengunjungi unit apartemen ayahnya yang satu ini. Pula, ia tidak diberikan akses oleh Anthoni. Jadi, tak ada alasan bagi Haga untuk rutin mengunjungi apartemen milik ayahnya sendiri. Lagipula, Haga tak begitu peduli. Kedatangannya kali ini murni untuk mengetahui apakah Hazel tinggal di sini atau tidak. Karena ia butuh ketenangan hati.

Haga terus melangkah, memasuki area dapur, melewati pintu kamar yang akan ia periksa belakangan. Area itu terlalu private untuk ia buka lebih awal.

Namun, Haga tak menemukan siapa-siapa. Setiap ruang pun terlalu bersih, hingga Haga lupa apakah ada detail furnitur yang berubah sejak terakhir kali ia ke sini atau tidak.

Sampai pada detik di mana Haga mendengar suara air yang mengucur, ia lantas menoleh ke arah kamar mandi.

Perlahan, ia mendekat. Ia sedikit takut, meski ia tahu tak mungkin ada hantu sepagi ini. Namun, begitu suara kucuran air itu berhenti, langkah Haga ikut terhenti secara otomatis.

Lima detik, knop pintu itu berputar dengan sendirinya. Hingga, seorang gadis dengan balutan handuk dari batas dada sampai paha keluar dari kamar mandinya.

"H-Haga?!"

"H-Hazel ...."

Ia dan gadis di hadapannya sama-sama terkesiap. Dwinetra keduanya tak lepas satu sama lain, dan saling menatap untuk beberapa detik. Sama-sama tak menyangka dengan apa yang dilihat oleh mata mereka masing-masing.

"Lo ... KOK LO BISA MASUK?!"

Haga tak menjawab, ia masih memproses apa yang ia lihat sekarang. Seorang Hazel, pengguna akun alter di Twitter, kembaran Hanna yang ia tolong di Citibar, ternyata tinggal di apartemen ayahnya sendiri yang tak Haga tahu sudah berapa lama gadis itu menempati unit ini.

Pandangan Hazel bergerak turun, melihat kartu akses dalam genggaman Haga, dan detik itu juga ia sudah tahu jawaban atas pertanyaannya.

Hazel menyeringai, lalu tertawa merememahkan kebodohannya sendiri. Jelas saja Haga memiliki akses seperti dirinya, Hazel sempat lupa bahwa pria itu adalah anak dari Anthoni.

"Well, duduk dulu. Gue rasa ada yang mau lo omongin sama gue. Tapi, gue baru selesai mandi dan harus pakai baju. So yeah, lo duduk aja di sana, tunggu gue selesai."

Hazel tersenyum tipis kepada Haga. Tak ada sorot ketakutan sama sekali dari gadis itu saat melihat anak dari pemilik unit apartemen ini berdiri di hadapannya.

Gadis itu berlalu, melewati Haga begitu saja, dan memasuki kamar yang tadi Haga lewati. Sementara Haga, kakinya terasa lemas, kala kecurigaannya benar terjadi.

Kembaran gadis yang ia puja tinggal di apartemen milik ayahnya, atas dasar yang tak Haga ketahui. Sudah seberapa lama Hazel dan Anthoni menjalin hubungan selama ini?

.

.

.



Haiiiii!

Aku mau ngomong apa ya? Hahahaha bingung. Pokoknya, jangan lupa tekan vote kalau berkenan ya! Terima kasih banyak-banyak!!!

Luv u all,

𝐗𝐚𝐝𝐚𝐫𝐚 𝐆𝐨𝐞, 𝟐𝟎𝟐𝟐

Continue Reading

You'll Also Like

134K 12.9K 97
Kata siapa tante-tante senang hanya tertarik dengan pria macho berbadan kekar yang doyan pamer otot di balik kaos ketat? [Sebagian part hanya bisa d...
136K 1.7K 7
Dalam kisah ini, temukan si putra pemilik hotel ternama -Daniel Arkan Djayadi yang memiliki sejuta pesona dan senang bermain wanita. Sang pencinta ke...
2.5M 182K 34
"Saya nggak suka disentuh, tapi kalau kamu orangnya, silahkan sentuh saya sepuasnya, Naraca." Roman. *** Roman dikenal sebagai sosok misterius, unto...
1.8M 252K 66
[TSDP #7] Gista Syaril merasa hidupnya sudah berada di titik yang diimpikan: menjadi wanita mandiri, sibuk, mapan, hebat, sesuai dengan checklist ya...