Blasio Note

By swp_writingproject

5K 1.5K 166

Bagaimana jadinya bila seorang penulis tidak mampu menulis lagi? Kamala adalah seorang editor sekaligus penul... More

1 Cahaya di Atas Cahaya
2 Orang Pencemas Mati Hanyut
3 Novel Stensilan
4 Mantan Pacar
Mari Kenalan
5 Jarak Cinta
6 Sang Penghafal
7 You are Not Alone
9 Segitiga Hati
10 Calon Imam Rumah Tangga
11 Lahirnya Alter Ego
12 Blasio Note
13 Ablasio Retina
14 Insyaallah Kita Bertemu Lagi
15 Kenyataan yang Menyakitkan
16 Hak untuk Hijrah
17 Kontrakan, I Love You!
18 Menikahi Cinta atau Iman?
19 Kegelisahan Dua Hati
20 Salah Paham
21 Gelap Mata dan Hati
22 Light after Darkness
23 Esok 'kan Lebih Baik
24 Mitsaqan Ghalidza
25 Volunteer Jiwa
26 Menulis Rencana Masa Depan
Epilog

8 Cinta adalah ....

157 55 6
By swp_writingproject

"Allah selalu mendekat. Kita saja yang sering kali menjauh."

~~oOo~~

Apa itu cinta?

Pertanyaan itu menyeruak di benak Kamala saat dia merebahkan diri di tempat tidur. Pandangan wanita itu tertuju ke langit-langit kamar yang kusam.

Indekosnya mengenaskan. Suram dan murung. Sesuai dengan suasana hati Kamala saat ini. Namun, lampu putih yang menyala terang di tengah plafon seolah menjadi setitik cahaya bagi jiwa Kamala yang kering.

"Kenapa Dion gampang banget ngelamar orang?" Wanita itu melontarkan tanya pada diri sendiri. "Kayak nggak difilter gitu kalau mau cari istri. Asal nemu di jalan aja terus ambil. Hah, memangnya aku kucing?"

Embusan keras napas Kamala terdengar. Wanita itu berguling-guling di atas tempat tidur. Sudah hampir subuh, tetapi kantuk tak juga kunjung menyapa.

Sekonyong-konyong ingatan Kamala melayang pada sosok Sarah. Sontak wanita itu duduk tegak dengan mata nanar.

"Apa-apaan ini? Kenapa aku malah jadi ingat adik Dion?"

Kamala beringsut turun dari tempat tidur. Dia berjalan ke arah lemari kayu estetik hasil penjelajahan di salah satu e-commerce besar. Wanita itu mematut diri di cermin yang tertempel pada pintu lemari.

"Yang dipakai Sarah itu namanya kerudung, kan?" Kamala bertanya pada pantulan dirinya di cermin.

Profesinya sebagai editor menuntut Kamala banyak membaca untuk mengasup informasi. Wanita itu mampu memahami perbedaan antara jilbab, kerudung, dan khimar dengan baik. Hanya saja dia tidak pernah menggunakan atribut keagamaan ala kaum muslimah itu.

"Dion tadi sembarangan jawab pertanyaanku. Astaga. Kalau beneran jadi istri dia, bisa berabe aku." 

Kamala menyentuh kepalanya. Helaian halus rambut sehitam langit malam itu berkilau tertimpa sinar lampu. Wanita itu menghela napas panjang.

"Adiknya saja setertutup itu. Aku nggak bakalan bisa jadi wanita sesuai standar Dion."

Kamala teringat lagi percakapannya dengan Dion sepulang kerja tadi. Pria itu secara gamblang menyatakan persetujuannya untuk melamar Kamala. Jawaban yang tentu saja disambut tawa kecil oleh wanita itu.

Bagaimana tidak jika mereka saja baru bertemu dalam hitungan jam. Kamala tidak mengenal Dion. Yang terpenting lagi, Dion tidak mengenal Kamala.

Jika pria itu sampai tahu latar belakang Kamala, niscaya Dion akan segera mundur cepat dan menyesali keputusannya melamar Kamala. 

"Sudahlah. Itu cuma candaan aja. Mana mungkinlah Dion beneran ngelamar aku."

Kamala membesarkan hatinya sendiri. Dia membuka lemari. Tidak ada item fesyen bernama kerudung di sana. Namun, Kamala punya beberapa syal yang sering digunakan saat musim hujan tiba.

Diraihnya selembar syal rajut halus warna ungu gelap. Kamala memosisikan helaian kain itu di atas kepala. Namun, beberapa kali dicoba hasilnya selalu berakhir mengecewakan.

"Ya, ampun. Susah banget sih, pakai kerudung." Wanita itu mengeluh. "X-Tube. Aku harus cari tutorialnya."

Jadilah, awal pagi itu dihabiskan Kamala dengan mencoba berbagai gaya berkerudung. Dia memutuskan puas dengan gaya terakhir bertepatan dengan suara azan subuh berkumandang.

"Salat …."

Kamala mengerjapkan mata. Hatinya bagai tertohok benda keras. Rasa mual menyerang sistem pencernaannya.

Secepat kilat Kamala berlari ke kamar mandi. Dia memuntahkan seluruh isi perutnya. Keringat dingin membanjiri tangan. Wanita itu tidak sadar terisak keras dan menggelosor di lantai kamar mandi.

Tangis Kamala pecah. Tangannya menekan penyiram toilet untuk menyamarkan sedu sedan agar tak terdengar tetangga indekos. Batin wanita itu sangat terpuruk.

"Tuhan …." Kamala memanggil lirih dengan kerongkongan tercekat.

Betapa sudah sangat lama dia meninggalkan semua ritual ibadah itu. Bahkan menyebut nama Sang Pencipta saja Kamala nyaris tidak pernah lakukan.

Suara azan sama sekali tak menggerakkan hatinya untuk beribadah. Puasa hanya dianggapnya sebagai satu metode diet yang dilakukan bersama-sama. Lebaran bahkan jadi penyiksaan bagi wanita itu karena harus berhadapan dengan banyak orang.

Dan kini Kamala terpuruk.

Sesuatu yang asing menggedor-gedor hatinya. Azan kali ini terdengar sangat berbeda dengan biasanya. Batin Kamala terbetot tangan tak kasatmata. Sakit. Sangat sakit.

Dan Kamala harus merasakan semua itu sampai tiba waktu berangkat kerja. Dia menutupi matanya yang bengkak efek dari tangis dengan kacamata hitam. Berdalih sedang sakit mata, Kamala tetap memakai kacamata itu di ruang rapat editor.

"Wah, ini hasilnya memuaskan sekali."

Tepuk tangan membahana di ruangan kecil tersebut. Banyak orang memuji kemampuan Kamala memoles karya hancur menjadi sebuah naskah yang cantik.

"Ada bonus tambahan untukmu, Kama."

Wanita itu mendongak. Kesibukannya membereskan barang-barang di atas meja terjeda sejenak.

"Bonus apa, Pak?"

"Penulis aslinya puas dengan hasil karyamu. Dia mentransfer hadiah untukmu sekarang. Cek rekeningmu."

Kamala patuh. Dia membuka aplikasi m-banking. Dua detik berikutnya mata Kamala terbelalak lebar.

"Pak, ini …." Wanita itu mencicit syok. "Jumlahnya besar sekali."

"Hitung-hitung ucapan terima kasih." Bos besar menepuk bahu Kamala.

Itu hanya sebuah sentuhan biasa. Namun, efeknya luar biasa pada wanita itu. Kamala berjengit. Gerakan halus yang tidak disadari bosnya, tetapi tertangkap jelas oleh mata Ridwan sang penata letak naskah.

"Proyek selanjutnya aku kasih ke kamu saja. Nah, kalian semua. Jadikan Kamala contoh. Dia berdedikasi dan bisa memberikan hasil besar pada penerbitan."

Keheningan memekakkan terjadi di ruangan itu. Sayangnya bos Kamala sangat bebal. Dia tidak menyadari perubahan atmosfer ruangan. Pria itu berjalan keluar setelah menutup rapat siang itu.

"Dasar penjilat," desis satu rekan Kamala dengan nada tidak bersahabat.

Kamala menundukkan kepala dalam-dalam. Dia menghindari bertatap muka dengan rekan-rekannya yang masih berada di ruangan.

"Eh, Kama. Elo baru dapat duit gede, kan? Traktir kami-lah," sahut suara lain dari arah kanan.

Kamala mendongakkan pandangan. Suaranya sangat lirih saat berucap.

"Ma–maafkan aku. Uang ini mau aku kirim ke keluargaku."

"Yaelah, masak semuanya? Elo belum pernah traktir kami, loh."

Kamala menggelengkan kepala. Dia tahu definisi traktiran dari teman-temannya ini. Selera mereka mahal. Bisa-bisa bonus yang diterima Kamala berkurang sangat banyak hanya untuk mengakomodasi keinginan teman-temannya.

"Maaf, nggak bisa. Keluargaku butuh banget kiriman bulan ini." Kamala menolak.

"Huuu …, pelit banget jadi orang. Nyebelin, dah. Cabut, yok. Nggak asyik Kamala, nih."

Wanita itu hanya mampu menatap kepergian teman-teman sekantornya dengan hati masygul. Telinganya harus menahan panas mendengar berbagai ejekan dan cibiran.

Hanya Ridwan yang masih tertinggal di ruangan itu. Dia menggeser kursi berodanya mendekati Kamala.

"Baguslah elo nggak iyakan ajakan mereka. Bisa-bisa diporotin terus sama mereka."

Kamala menunduk. Ridwan kembali mengoceh.

"By the way, elo bisa tolak permintaan teman-teman. Harusnya elo juga bisa bilang jangan kalau nggak nyaman sama sentuhan bos."

Kamala menoleh sangat cepat. Ridwan terkekeh.

"Gue tahu, Kam. Sepupu gue ada juga yang kayak elo. Mending elo dari awal bilang "nggak" sama orang yang elo nggak nyaman. Sekadar jaga jarak aja masih belum cukup."

"Tapi …."

"Mereka nggak tahu apa yang ada di pikiran elo. Jadinya, yah, mereka anggap biasa aja sentuh-sentuh elo macam gitu."

Tangan Kamala gemetar. Baru kali ini dia merasa dipahami di tempat kerja. Sejak awal masuk, Kamala belum pernah mendapat perlakuan yang tulus seperti ini.

"Udah, ah. Nggak usah mewek. Gue care sama elo, kok. Saking kita beda divisi aja. Kalau sama, udah gue tawur tuh, orang-orang yang nge-bully elo."

Kamala menatap Ridwan tidak mengerti.

"Astaga, elo itu lugu apa kuper? Gosip soal elo tuh, udah menyebar di seluruh gedung. Kamala si pendiam, Kamala si pemurung, Kamala si aura hitam. Entahlah ada berapa banyak julukan buat elo."

Kali ini wanita itu terperangah lebar. "Kamu serius? Banyak yang kasih julukan ke aku?"

"Iya. Rata-rata julukan jelek, sih. Sorry to say, elo emang nggak kelihatan suka membaur sama semua orang."

Kamala terdiam. Dia membenarkan seluruh tuduhan Ridwan padanya.

"Yah, sebenarnya itu urusan elo. Tapi saran gue, kalau masih mau kerja di sini tanpa di-bully sana-sini, mending elo mulai belajar sosialisasi, deh."

Saran itu menyengat hati Kamala. Sosialisasi adalah momok besar baginya. Lidah wanita itu ingin mengurai kata untuk menjelaskan kesulitannya menjalin pertemanan. Namun, pada akhirnya Kamala hanya mampu terdiam.

"Ngomong-ngomong semalam gue liat elo jalan bareng cowok. Gue pas cari mi rebus. Kelaparan gue." Ridwan menjelaskan tanpa diminta.

"Itu siapa, Kam? Tunangan elo?"

~~oOo~~

Bumi Reog, 20 April 2022
Sorry for typo.

To be continued --------->

Continue Reading

You'll Also Like

7.8K 2K 21
📌 FOLLOW SEBELUM MEMBACA #1 Kerinduan ~ 4 April 2023 Sequel cerita "Hijrah, Kok Gitu?" PASTIKAN SUDAH MEMBACA HKG (di akun @dakwahwtitersG_ofc) TERL...
169K 2.4K 5
Kala rasa itu telah tenggelam oleh luka yang dalam. Apakah kamu yang akan datang dan bertahan. Terus mengetuk pintu hati dan memelukku dengan cinta...
171K 3.9K 36
Kisah tentang Adara Azkadina yang akhirnya menikah dengan lelaki tak dicintainya. Menjalani pernikahan tanpa sentuhan fisik dan hati. Bayang-bayang c...
1.1K 80 21
📖 Non-Fiksi Kehidupan membentukmu untuk takut pada banyak dalam hidup ini. Karena takut, kamu menghindari beberapa hal. Karena takut, kamu tak per...