someone to take you home | HE...

By tanukiwrite

200K 29.4K 3.1K

Kisah di mana hidup Jake menjadi simpang siur setelah ia bertemu dengan seorang single parent bernama Heeseun... More

author's note
introduction: part one
introduction: part two
the good, the bad, and the okay i guess
how to be a good single dad 101, by heeseung
maybe you aren't as bad as i thought
the art of making a bad decision
day one, perhaps?
note to self: don't fall for him
so maybe I'm not okay
clown on a day out
love is bullsh*t
uh oh
unfamiliar comfort
just another normal day in jake's life
birthday boy
let's talk about love
the proposal
where we stand
unsaid feelings
the idea of us
from the kitchen counter
for lovers who hesitate
feelings are fatal
what I wish just one person would say to me
of growing up and everything else
a perfectly ruined thing
I'll weather your storms for the stillness in you
grumpy beginnings
wish you felt the way I do
if the vernal equinox taps on your window, will you let them in?

adore you

9.8K 1.1K 339
By tanukiwrite

Ada satu aspek yang membuat hatinya seolah seperti digenggam erat-erat. Karena melihat mereka bersama membuatnya sadar kalau ia tidak bisa menjauhkan Sunoo dari Jake — bahwa seingin apapun ia untuk bisa mendapatkan Jake, Sunoo pasti lebih membutuhkan sosok Jake di kesehariannya.

Bukannya Sunoo tidak bisa ditinggal di rumah sendiri, hanya saja akhir-akhir ini pekerjaan menuntutnya untuk lembur di kantor, membuat anaknya harus menghabiskan waktu yang lama sendirian. Sementara shift kerja milik Jake berakhir jauh lebih awal daripada Heeseung. Jadi masuk akal rasanya, jika Jake mengantar Sunoo pulang dan memasak makan malam di sana sekaligus menemani Sunoo hingga Heeseung tiba di rumah.

Pertama kali Jake mengusulkan hal ini adalah di hari yang sama ketika ia pulang ke rumah dan Jake yang berada di dapurnya, membuat dekorasi cupcake bertemakan Halloween — hari yang sama dimana ia bisa menatap mata Jake cukup dekat dan cukup lama, sebelum kemudian anaknya datang dan ia harus mengakhiri momennya.

Dan karena Jay juga sedang sibuk akhir-akhir ini, akhirnya Heeseung setuju pada tawaran Jake, dan Sunoo pun ikut senang.

Jadi sejak saat itu, ketika ia tiba di rumah, ia selalu melihat anaknya dan Jake sedang bersama. Terkadang mereka berada di dapur mencoba resep baru, atau terkadang mereka ada di ruang keluarga, menonton film kartun yang belum pernah Sunoo tonton.

Semenjak Jake ada di rumah mereka setiap petang di hari kerja, Heeseung bisa merasakan bagaimana kini rumahnya terasa lebih hidup daripada biasanya. Sejak ada Jake, kini ia dan Sunoo juga sudah berhenti makan makanan cepat saji dan lebih sering memakan masakan buatan Jake.

Situasi seperti ini sudah berjalan lebih dari dua minggu, dan Heeseung pikir, Jake pantas mendapatkan sesuatu yang lebih dari sekadar ucapan terima kasih — dan transfer uang ke rekening Jake, tentu saja.

Jadi, di suatu Kamis, ia bertanya pada Jake, apakah di akhir pekan ini ia sibuk atau tidak, karena ia ingin mengajak lelaki yang lebih muda untuk makan malam di restoran.

Hanya ia dan Jake — berdua saja.

Dan seperti yang ia bayangkan, Jake mengiyakan ajakannya.

Sementara itu, Heeseung akan menitipkan Sunoo pada Jay selama ia pergi kencan dengan Jake. Okay, well, sebenarnya ia sendiri tidak yakin apakah ia boleh menyebut ini sebagai kencan atau tidak. Namun ini adalah pertama kalinya bagi Heeseung untuk mengajak Jake bepergian tanpa mengajak Sunoo. Jadi tak ada salahnya 'kan, jika ia berharap sedikit?

Jadi, di sinilah Heeseung, mengecek pantulan dirinya sendiri di cermin sebelum ia berangkat menjemput Jake.

Ia mengenakan kemeja lengan panjang dengan tiga kancing paling atas ia biarkan terbuka. Di lehernya terdapat kalung dengan merk ternama, membiarkan liontinnya menjuntai bebas mengenai dadanya. Kemudian untuk bawahan, Heeseung memutuskan untuk memakai celana beige serta sepatu putih. Tak lupa, ia juga mengenakan mantel berbahan tebal karena temperatur semakin rendah.

"Udah cakep," kata Jay yang tiba-tiba muncul. Pria yang lebih muda darinya itu bersandar di bingkai pintu kamar Heeseung sambil melipat kedua lengannya di depan dada. Heeseung hanya meliriknya sekilas sebelum memutar bola matanya. Ia kembali merapikan kemejanya untuk yang kesekian kalinya dalam sepuluh menit terakhir. "Ini kalian kencan, 'kan?"

"Hmm, ga tau."

Jay mengangkat kedua alisnya ketika ia mendengar jawaban Heeseung. Sebelum-sebelumnya, Heeseung selalu terlihat seperti ia menolak habis-habisan pertanyaan dari Jay bila itu menyangkut hubungannya dengan Jake. Namun kali ini Heeseung terlihat lebih menerima, meskipun jawabannya masih sama-sama abstrak.

Paling tidak, ada kemajuan di diri Heeseung, dan itu yang Jay ingin.

"Alright, then. Good luck," ucap adik sepupunya selagi ia berbalik badan dan menjauh dari sana, memberi ruang bagi Heeseung untuk memaksimalkan penampilannya.

 ───────────────────────

Jam di layar ponselnya menunjukkan pukul tujuh lewat ketika ia tiba di depan pintu apartemen milik Jake. Ia menarik nafas, lalu menekan tombol bel di depannya.

"Iya, sebentar," sahut lelaki dari balik pintu.

Lucu kalau dipikir-pikir bagaimana Heeseung selalu skeptis soal yang namanya cinta, ketika kini ia membiarkan dirinya sendiri sibuk untuk jatuh hati pada si lelaki Australia. Ia seolah membukakan pintu, mempersilakan Jake masuk menyusupi isi pikirannya yang sudah penuh — sengaja mencarikan ruang kosong di kepalanya agar bisa Jake isi, dan hanya Jake saja.

Tapi kata orang hidup itu suka memberi kejutan. Seolah semesta paling paham caranya buat orang kelimpungan. Di awal tahun, ia secara acak dipertemukan dengan lelaki bernama Jake. Seseorang yang sama sekali tidak ia kira akan mengubah hidupnya sampai di titik ini. Titik di mana ia tak lagi meragukan perasaannya dan mau mengakuinya.

"Sorry, aku lama ya?" tanya Jake ketika ia sudah berdiri di hadapan Heeseung.

Tubuhnya yang lebih pendek daripada Heeseung dilapisi turtle neck putih dan mantel berwarna cokelat muda. Kerah turtle neck yang digunakan terlihat begitu tinggi hingga ujungnya mengenai bagian bawah dagu Jake. Ia juga mengenakan celana jeans berwarna putih dan sepatu dengan warna yang sama.

"Engga kok," ia tersenyum tipis. "Udah siap?"

Jake mengangguk.

Dengan begitu, keduanya pun berjalan berdampingan keluar dari gedung apartemen yang letaknya di pinggir kota dan jauh dari hiruk-pikuk.

Perjalanan menuju restoran yang sudah direservasi ia tempuh dengan waktu kurang lebih empat puluh menit — karena ini adalah akhir pekan dan letak restoran yang Heeseung tuju letaknya di jantung kota. Dan selama empat puluh menit itu juga keduanya sama-sama habiskan untuk mendengarkan lagu yang diputar di radio. Sesekali Jake menggumam di bagian lirik lagu yang ia ketahui, sementara Heeseung harus menggigit bagian dalam pipinya agar tidak tersenyum lebih lebar dari ini

Mungkin karena ini kali pertamanya setelah bertahun-tahun ia tidak pernah kencan, atau bisa juga karena malam ini Jake terlihat sangat menawan. Jadi ia ulangi lagi kalimat apa saja yang melintas di kepalanya yang ingin ia sampaikan pada Jake kelak ketika mereka duduk di meja makan. Karena Heeseung sedikit gugup, dan ia tidak ingin mempermalukan dirinya sendiri hanya karena perasaannya yang tak karuan.

Sesampainya di sana, mereka pun turun dari mobil dan berjalan memasuki restoran bergaya Mediterania itu. Bangunan itu didominasi oleh warna cokelat muda dan putih. Di sekeliling bangunan juga terdapat begitu banyak jendela berukuran besar, membuat cahaya keemasan yang terpancar dari lampu gantung di dalam restoran terlihat sampai keluar.

"Reservasi atas nama Lee Heeseung," katanya pada salah satu pegawai restoran yang berdiri di balik meja depan.

Perempuan itu mengecek buku tamu sebelum kemudian ia mengangguk dan berjalan menunjukkan meja tempat mereka makan.

Setelah keduanya duduk di kursi, pelayan tersebut berkata, "Ini menu yang kita sediakan untuk hari ini," ia memberikan buku yang bertuliskan berbagai macam judul makanan dan minuman pada keduanya. "Dan seperti yang bisa Bapak lihat, kita juga menyediakan menu spesial untuk hari ini."

Ia melihat sebentar buku menu yang ia pegang. Ada beberapa hidangan yang pernah ia cicipi di sini, tapi itu pun sudah lama sekali. Ia sudah tidak ingat dengan nama menunya.

Heeseung mengangkat kepalanya, melihat yang lebih muda yang duduk di seberang meja. Kedua alis Jake mengernyit, seolah lelaki itu sedang bingung dengan apa yang harus ia pilih dari banyaknya deretan menu-menu tersebut.

"Untuk makanannya, saya pilih rekomendasi dari chef di sini aja," kata Heeseung.

Jake mengangkat kepalanya dari buku menu lalu mengangguk. "Iya, sama."

"Baiklah. Kalau minumannya?"

Ia kembali memindai tulisan di buku menu. Atensinya tertuju pada bagian minuman-minuman non-alkohol karena ia harus menyetir nanti.

"Citrus fizz sounds good." Heeseung menutup buku menunya dan memberikannya pada sang pelayan.

"Hmm," Jake masih menimang-nimang pilihannya. "Kalo saya pesen rosé wine."

Ketika perempuan itu selesai mencatat pesanan mereka dan pergi dari situ, Heeseung mulai kembali memusatkan perhatiannya pada pria di depannya.

"Jadi," mulainya. "Gimana hari ini tadi kerjanya?"

"It was great. Ngga ada yang nangis atau berantem, untungnya," Jake menggumam sebentar. "Terus tadi kita belajar bab antonim sama sinonim — Oh! Tadi ada salah satu anak yang ngasih aku daun kering." Lelaki itu terkekeh, membuat matanya menyipit dan membentuk sepasang bulan sabit. "Katanya daunnya bagus, makanya dikasih ke aku."

Jake terus bercerita, dan tanpa sadar, kedua sudut bibirnya ikut naik ke atas selagi ia mendengarkan pemuda asal Australia itu. Sesekali mata Jake mengarah ke atas, seakan-akan ia mencari kata yang tepat untuk melengkapi kalimatnya. Terkadang juga di tengah-tengah kalimatnya ia selingi tawa ringan.

"Kalo Mas gimana tadi di kantor?"

Pelayan datang membawakan minuman yang mereka pesan, menyela pembicaraan mereka. Ia mengucapkan terima kasih sebelum ia bisa menjawab pertanyaan Jake.

"Yaa biasa lah, conference call, baca manuskrip, meeting sama author, rapat — ngerencanain buat dateng ke book fair April depan."

Jake menaikkan alisnya, "Lumayan jauh juga ya direncanainnya, padahal ini aja masih awal November."

"Iya, soalnya mulai dari April sampe Juli gitu bakal ada banyak pameran buku. Makanya kalo lagi sibuk banget, kadang saya suka lupa kalo misal ternyata minggu depannya udah harus berangkat ke luar negeri. Untungnya Riki selalu ngingetin, sih."

"I see," Jake mengangguk pelan. "Tapi Mas udah tau bakalan ke book fair mana aja buat tahun depan?"

"Yang udah keliatan jelas sih ntar bakal ke London, itu bulan April. Terus Mei saya harus ke New York sama Abu Dhabi. Bulan Juni masih belum jelas, apa saya yang harus ke Taipei atau ada rekan saya yang bisa ke sana — soalnya tanggalnya tabrakan sama pameran yang ada di Seoul. Terus Juli-nya saya ke Hong Kong sama Tokyo."

"Wow..."

Heeseung menggeleng pelan. "Ga tau deh taun depan bakalan sesibuk apa. Soalnya di tahun-tahun sebelumnya — atau paling ngga, tahun ini, saya ngga sesering ini ditugasin buat dateng ke book fair." Heeseung menghela nafasnya berat. "Semoga Sunoo ngga ngerasa kesepian nanti karena harus bolak-balik saya tinggal."

Matanya mengarah ke taplak meja beserta peralatan makan yang masih bersih di hadapannya. Perasaannya campur aduk. Tentu dengan seringnya ia ditugaskan ke luar negeri, semakin bertambah pula uang yang mengalir ke banknya. Namun itu semua yang akan ia dapatkan nanti juga harus ia bayar dengan berkurangnya waktu yang ia miliki untuk bersama anaknya dan waktu istirahatnya.

"Aku kagum deh sama Mas Heeseung," perkataan Jake membuatnya dengan cepat menaikkan netranya dan menatap yang lebih muda. "Kok keliatan kaget, sih?" Jake tersenyum. Lelaki itu kemudian melanjutkan, "Aku beneran kagum. Menurutku Mas Heeseung hebat banget bisa ngebesarin Sunoo sendirian. Dan aku tau pasca-cerai tuh selalu sulit, tapi juga yang Mas Heeseung lewati mulai dari sebelum sampe sesudah cerai tuh banyak banget, dan Mas tetep bisa kuat ngadepin semuanya sendirian demi Sunoo."

Heeseung terdiam, seolah semua artikulasi yang ia ketahui menguap begitu saja dari otaknya.

"Aku tau Mas naruh Sunoo sebagai prioritas Mas di atas apapun, dan siapa pun yang tau Mas Heeseung juga pasti bakal berpendapat hal yang sama kayak aku — kalo Mas Heeseung tuh ayah yang hebat." Jake menarik nafas. "Sunoo sering cerita tentang Mas Heeseung, loh, di kelas."

Oh. Jadi bukan hanya Jake saja yang selalu Sunoo ceritakan, namun Heeseung juga.

"He did?"

Yang duduk di hadapannya mengangguk, "Yeah. Kita waktu itu lagi ngebahas superhero di kelas, dan ketika anak-anak lain bilang superhero favorit mereka Superman, atau Iron Man, Sunoo bilang superhero yang paling deket dan paling dia suka tuh Mas Heeseung. Dia cerita banyaaak banget abis gitu tentang Mas — keliatan bangga banget bisa punya Mas sebagai ayahnya dia. Ya sama, kayak Mas Heeseung yang bangga punya anak semanis dan sepinter Sunoo. So... yeah, that's why I admire you. You're literally amazing."

 ───────────────────────

Sudah sejam berlalu semenjak mereka selesai makan, dan Heeseung tidak benar-benar bisa mendistraksi dirinya sendiri dari perkataan Jake tadi. Baru kali ini ada seseorang yang mengatakan padanya kalau mereka kagum — dari segi dirinya sebagai sosok ayah dan juga sebagai dirinya sendiri.

Tiap kata yang Jake ucapkan, tiap kali ia menyebut namanya, Heeseung ingin merekam semua itu di balik kepalanya dan memutarnya ulang sampai mampus. Namun ia bukanlah mesin yang dapat menyimpan semuanya dengan tepat dan sempurna. Ingatannya hanya mampu mengenang memori tertentu dalam kurun waktu tertentu juga.

Mungkin jika seseorang bertanya padanya tiga bulan lagi setelah hari ini, ia masih bisa ingat dengan jelas ucapan Jake tadi. Tetapi bagaimana jika lima dekade kemudian? Heeseung tidak berani berjanji jika ia masih dapat mengingatnya di saat itu.

Karena Heeseung yakin semua ada batasnya. Seperti bagaimana angka empat tahun yang membatasi usia pernikahannya dengan mantan istrinya. Jabatan pekerjaan yang membatasi dirinya dari Sunoo. Resah di dada yang membatasi keberaniannya untuk mengutarakan sesuatu. Begitu pula malam ini yang mejadi batas antara kemarin dan esok hari.

Saat ini ia sedang duduk di belakang roda kemudi, mengantarkan Jake kembali pulang ke apartemen kecilnya. Di sampingnya, Jake terduduk dengan matanya yang mengarah ke luar jendela, mengamati tiap gedung pencakar langit yang terlihat kabur karena pedal yang Heeseung injak sedikit terlalu dalam.

Pikirannya melayang, kembali memikirkan momen-momen dimana ia sangat ingin mengatakan pada Jake kalau ia tidak perlu menutup mulutnya dengan tangan ketika ia tertawa lebar, karena Heeseung menyukainya. Atau juga di waktu-waktu tertentu ketika mereka jalan berdampingan dan Heeseung selalu ingin meraih tangan Jake dan menggenggamnya.

Di malam-malam seperti ini, Heeseung seperti diingatkan lagi bahwa ia tak perlu bersumpah pada langit kalau ia sanggup memberikan dunia dan seisinya pada Jake. Tak perlu juga ia naik ke atas mimbar dan berteriak dengan lantang kalau ia rela disakiti bertubi-tubi jika dengan begitu caranya ia mampu memiliki Jake.

Tidak.

Heeseung hanya ingin mencintai Jake dengan sederhana.

Sesederhana senyuman yang ia lihat di sampingnya ketika ia terbangun di pagi hari. Sesimpel cara tangannya yang melingkari pinggang ketika kekasihnya sedang memasak di dapur. Segampang pujian yang keluar dari mulutnya tiap kali ia memiliki kesempatan untuk mengatakannya.

Heeseung hanya ingin mencintai Jake dengan sederhana, namun selamanya.

"Udah sampe."

Titik di GPS mobil Heeseung menunjukkan kalau mereka sudah tiba di depan apartemen milik Jake. Hanya ada suara samar dari mesin heater di dashboard serta deru angin malam di luar sana yang membuat daun-daun di pepohonan bergerak berisik. Heeseung menghela nafas.

"Makasih ya, Mas, buat malem ini."

Tangan Jake yang hendak membuka pintu tertahan oleh ucapan Heeseung. "Saya anterin sampe atas, ya?"

Ia menoleh, melihat yang lebih tua. "You really don't have to, but okay, sure."

Keduanya pun kemudian berjalan bersisian memasuki gedung lalu menaiki lift.

Ia belum ingin malam ini berakhir dulu makanya ia menawarkan dirinya untuk mengantarkan Jake sampai di depan pintu. Dan jika dipikir-pikir, caranya untuk mengulur waktu agar bisa lebih lama bersama Jake sangatlah konyol di usianya yang sudah berkepala tiga. Tetapi sepertinya memang benar yang orang bilang, jatuh cinta membuat akal rasionalnya menjadi tidak relevan lagi.

Meski di fase ini ia tidak lagi yakin apakah ia dapat menyebutnya sebagai jatuh atau tidak. Kalau pun memang Heeseung jatuh cinta pada Jake, maka ia melakukan ini dengan mata terbuka lebar — memegang penuh kendali dan tahu akan apa saja yang menjadi konsekuensi dari perbuatannya.

He's not falling, but rather walking right into it.

"So... we're here." Jake mengayunkan kakinya menjadi selangkah lebih dekat dengan pintu. Ia menekan tombol password yang ada di sana sebelum kemudian pintunya terbuka dan ia mendorongnya lebar-lebar. "Mau masuk dulu kah? Minum teh atau kopi gitu?"

Heeseung menggeleng. Dengan berat hati, ia menjawab, "I should probably going home."

"Oh." Ia memberi jeda. "Okay."

Namun tak ada satu pun dari mereka yang beranjak dari situ. Netra Jake sibuk bergulir kesana-kemari, seolah mencari sesuatu yang bisa ia jadikan topik pembicaraan terakhir mereka di malam ini. Sedangkan Heeseung tetap mengamati tingkah yang lebih muda.

"Jake," panggilnya, setelah beberapa detik habis dimakan kesunyian.

Lelaki yang lebih kecil akhirnya mengangkat pandangnya dan membalas tatapan Heeseung. "Ya?"

"Saya tau mungkin pertanyaan saya ini bakal kedengeran aneh. Tapi saya boleh, ngga, cium kening kamu?"

Heeseung bertanya begitu sebelum ia bisa berpikir ulang, dan reaksi yang ia dapatkan dari Jake begitu membuatnya ingin mendekapnya. Karena bukan hanya ujung telinganya saja, namun pipinya Jake juga memerah. Matanya terbelalak, dan mulutnya sedikit terbuka. Meskipun begitu, Heeseung tak jengah menunggu jawaban dari Jake.

Yang lebih muda bisa saja menolaknya, dan ia akan menerimanya dengan lapang dada. Namun Heeseung tahu Jake sudah tertarik padanya sedari awal, dan Heeseung juga tahu kalau sejauh ini ia tak pernah menunjukkan sisi dirinya yang mengindikasikan kalau ia membalas perasaan yang Jake miliki. Jadi wajar jika Jake berpikir perasaannya tak terbalaskan, dan itu merupakan kesalahannya karena sudah membuat Jake berpikir seperti itu. Tetapi kali in ia sudah tidak lagi ragu dengan perasaannya yang kompleks. Dan ia harap Jake pun mau menerima Heeseung.

Tak ada kata yang keluar dari mulutnya, namun pada akhirnya Jake mengangguk. Heeseung bisa melihat lelaki yang lebih muda mencengkeram ujung mantelnya di kedua sisi tubuhnya dan matanya melihat ke arah manapun, yang jelas bukan Heeseung.

Ia mengambil satu langkah mendekat. Tangannya ia selipkan di belakang kepala yang lebih muda, menyadari kalau ternyata surai gelap milik Jake terasa sangat lembut di jemarinya. Sekilas ia tersenyum saat melihat Jake memejamkan matanya erat-erat.

Heeseung tak begitu ingat apa yang sedang ia pikirkan kala ia menempelkan bibirnya di permukaan keningnya yang hangat. Yang ia ingat hanyalah wangi parfum yang Jake kenakan, suara detak jantungnya yang tak karuan, serta tangannya yang perlahan turun, mulai dari belakang kepala menuju tengkuk, kemudian pundak, lalu ia biarkan terkulai jatuh di sisi tubuhnya.

Ia menyudahi kecupannya. Dan di saat bersamaan, Jake membuka kelopak matanya, bertukar pandang dengan pria yang lebih tinggi. Masih dengan jarak sedekat itu, Heeseung kemudian tersenyum lebar pada yang lebih muda, membuat rona di pipi Jake semakin gelap.

Tangannya terulur, menepuk puncak kepala Jake dan mengusap rambutnya. "Saya balik dulu ya. Good night, Jake."

"...Iya. Good night, Mas Heeseung."

Continue Reading

You'll Also Like

753K 3.3K 12
Hts dengan om-om? bukan hanya sekedar chatan pada malam hari, namun mereka sampai tinggal bersama tanpa ada hubungan yang jelas. 🔛🔝 my storys by m...
3.8K 330 11
↳˳⸙;; ❝ Aishiteru ᵕ̈ ೫˚∗: Punya senpai ga berakhlak tapi bikin jatuh hati!? Gila, emang ada orang kayak gitu?? Baca aja sendiri 😋👌 (Janga...
4.3K 334 7
Kumpulan oneshoot! Tentang keseharian Satya dan Junian, 2 vampir yang sama-sama bucin dan hobi bermesraan. WARNING, contains : - bxb, fantasi, SFW, r...
11.6K 1K 11
nekma [ne-kamah] (n) kebencian, dendam, amarah warning: mpreg horor bxb violation, blood, torturing, harsh words