GUE CANTIK, LO MAU APA?! (End)

By svanhild28

62K 12.7K 3.5K

"Mantanku memang dekat, lima langkah dari rumah." Jangan nyanyi, please! Tahu tidak, rasanya bertetangga deng... More

Prolog : Mantan yang tak dianggap
Part 1: Mantan jahanam
Part 2: Mabok kecubung
part 3: Trio babu Nindi
Part 4: Pacaran sama lo itu khilaf
Part 5: Konten settingan Dimas
Part 6: Lo masih ngarep gue kan?
Part 7: Cara modus sultan
Part 8 : Santi hilang, Nindi menggila
Part 9 : Pacar baru Mahes
Part 10 : Kadang hidup juga perlu pahit
Part 11 : Perebutan hak asuh Santi
Part 12: Ketika dihadapkan dengan dua orang yang sama-sama mencintaimu
Part 13 : Penilaian tentang Nindi dari dua sudut pandang
Part 14: Pengen nikah muda
Part 15: Masih tentang menikah muda
Part 16: Amankan Nindi dari bujuk rayu Mahes
Part 17: Mahes si moody-an dan labil
Part 18: Jangan pernah sepelekan pelecehan dalam bentuk apa pun
Part 19: Dimas dan rencana liciknya
Part 20: Dimas si tukang kompor
Part 21: Nindi dan kegalauannya
Part 22: I will always be the one who pull you up, when everybody push you down
part 23 : Viral
Part 24: Yang tidak Nindi tahu
Part 25: Pacar ganteng, bikin Insecure
Part 26: Bimbang
Part 27: Bingung mau kasih judul apa
Part 28: First dating
part 29: Pacarku ternyata hatersku
Part 30: Physical abuse and sexual harassment
Part 31: Setelah kejadian itu
Part 32: Dibalik rahasia Abel
Part 33: Gosip menggosip
Part 34: Curhatan anak broken home
Part 35: Seseorang yang dikalahkan oleh lelah
Part 36: Terciduk season 2
part 37: Masalah yang datang bersamaan
part 38: Menghilangnya si manusia freak
Part 39: Munculnya bocah Prik
Part 40: Gimana? udah mual belum?
Part 41: Setelah cuitan itu
Part 42: Gagal memahami perasaan sendiri
Part 43: Yang tulus bukan cuman Radit
Part 44: Titik terang tentang Abel
Part 45: Hari ini tanggal kita
part 46: Minions Pepes
Part 48: Menuju ending
Part 49: Udah sah, kenapa nggak?
The End (Part 1)
The End (Part 2)
sequel?

Part 47: Mimpi buruk yang terlalu nyata

699 167 54
By svanhild28

Part 47: Mimpi buruk yang terlalu nyata

Walau pada awalnya ia terpaksa berpacaran dengan Dimas, namun ternyata berpisah merupakan pilihan yang berat. Ia mengerti sekarang, dirinya bukan tipe perempuan yang suka mengakhiri hubungan, meski tahu hubungan yang dijalani hanya buang-buang waktu. Agaknya sampai kapan pun mereka tak akan bersatu, kalau pun di masa depan Dimas rela meninggalkan agamanya, ia tak akan setega itu membiarkannya. Lagi pula itu tak 'kan mudah dilewati bagitu saja, apalagi Dimas ternyata orang yang religius, walau dari luar terlihat sesat. Lantas dengan cara apa lagi? Atau ia yang log out? Tidak semudah itu Wati! Sesat-sesat begini, dirinya takut neraka.

Ia melangkahkan kakinya di koridor dengan perasaan berkecamuk takut, isi kepalanya sangat bising dengan kalimat-kalimat yang akan ia ucapkan sebagai salam perpisahan, ya jika kalimat itu berhasil ia ucapkan. Bisa jadi malah ia mengalami otak loading saat berhadapan langsung dengan Dimas.

Bagaimana hatinya tak berat, ini kali pertama dirinya memutuskan hubungan, sebab siapa pun tahu, seorang Nindi hanya pernah pacaran dua kali, ia tak berpengalaman perihal jadian, lalu putus. Diam-diam palung hatinya menyimpan sedikit ketidakrelaan akan hubungannya yang harus kandas, karena setelahnya ia akan kembali kehilangan. Putus dengan Dimas memang tidak sehampa ketika putus dengan Mahes, ini perihal rasa nyaman yang perlahan ia dapatkan, ia mulai tak peduli dengan kenyataan bahwa di luar sana banyak perempuan yang lebih menyayangi Dimas, atau bahkan sedang mencari-cari sosok itu karena dianggapnya menghilang.

Kalau dipikir-pikir menjadi pacar Dimas merupakan privilege, disaat para penggemarnya merasa kehilangan, justru ia menjadi salah satu orang yang tak mengenal jarak dengan Dimas, ia salah satu perempuan asing yang bisa setiap hari mencium aroma parfumnya meski dari jarak jauh, ia yang selalu digandeng ke mana-mana tanpa peduli cemoohan dari teman-temanya, dan ia merasa dicintai meski kadang suka naik tensi.

Sebetulnya ia jarang datang ke area kelas-kelas IPA, mungkin ada sekitar 4 atau 5 kali selama hampir 3 tahun menimba ilmu di sini. Itu pun jika ia memang mengharuskan untuk datang, semata hanya untuk Mahes, dan sekarang untuk Dimas. Kebal dengan tatapan menyelidik dan tak suka, ia berlenggang begitu saja melewati mereka, berdiri di samping pintu kelas yang ia tahu merupakan kelas Mahes dan Dimas. Tak ada niatan untuk masuk atau mengintip, ia merasa tak pantas melakukan itu di kelas orang lain, ia memilih menunggu Dimas keluar daripada dicap tidak sopan, ya walau sebenarnya mereka lebih tak sopan padanya karena tatapan merendahkan mereka.

Satu per satu penghuninya keluar, atensi mereka yang berlalu lalang seluruhnya tertuju padanya, Nindi ogah membalas dengan tatapan sama. Justru Nindi membalasnya dengan kedipan mata, kadang menaik-turunkan sebelah alisnya. Itu bentuk betapa ia sangat muak dengan para pecundang yang hanya berani melempar tatapan dan lirikan sinis.

Satu menit kemudian, pemuda menyebalkan bin tidak waras itu keluar, alih-alih pacarnya yang cool. Ya siapa lagi kalau bukan ....

"Kok, lo yang keluar sih Hes!" seru Nindi dengan mimik wajah tak bersahabat. Selalu emosi bawaannya ketika matanya mendeteksi senyum menyebalkan si tonggeret kebun.

Pemuda itu meneliti wajah kesal Nindi, kemudian menarik pergelangan tangannya menuju kursi panjang samping koridor, dan keduanya duduk di sana.

"Mau ketamu gue? Mau apa? Mau cerita apa? Sini ngomong."

Jadi Mahes pikir ia datang ke sini hanya untuk curhat begitu? Ini lebih penting ketimbang kebimbangan di benaknya.

"Dih, sotoy. Gue ke sini mau nyamperin cowok gue lah!" balasnya, judes.

"Oh, mau mutusin Dimas ya?"

Ingin rasanya menabok mulut bedebah itu dengan cangkul, bisa-bisanya berbicara sangat nyaring di depan umum?

"Berisik!" gertak Nindi, kelewat murka.

"Gue tunggu kabarnya, habis itu kita tunangan, jiakkk!"

Reflek tangan Nindi melayang tak sampai tiga detik menghantam mulut ngawur Mahes. Benar, Nindi menaboknya. Suara tabokannya sih, renyah dan satisfying, pasti tak begitu sakit bukan? Bukan.

Sementara Mahes sedikit meringis, berusaha stay cool walau bibirnya berkedut dan panas. Tabokan itu tak lantas membuatnya kehilangan aura ketampanannya.

"Ngaco ye, bibir lo!" marah Nindi.

"Serius Nin." Mahes meraih tangan Nindi, jari telunjuknya menyentuh jari manis gadis itu. "emang lo nggak mau pakai cincin? Bagus deh, kayaknya. Nggak kosongan begini."

Nindi menarik tangannya dan menyembunyikan di belakang punggungnya."Ngomong doang lo! Dateng gih ke papa!"

"Emang lo mau?

"Taik omongan lo Hes!"

"Jangan marah-marah mulu dong." Tersungging senyum manis di bibirnya sambil mengerlingkan mata."Ya udah, good luck ya." Mahes mengusap puncak kepalanya sebelum laki-laki itu berlenggang pergi meninggalkannya.

Nindi diam termangu setelah kepergian Mahes. Orangnya memang sudah raib termakan jarak, tetapi perkataannya tertinggal di ruang kepalanya yang memang telah sempit, menyiksa otaknya untuk terus memikirkannya sampai pening, sampai pelipisnya berkedut.

Mahes memang laki-laki yang tidak bisa dipercaya, dan banyak berbual, namun entah mengapa ucapannya tentang hubungan yang ingin meraih keseriusan membuatnya terlihat seperti laki-laki sejati yang enggan dikhianati. Pembicaraan seperti ini bukan hanya sekali terjadi, sesekali laki-laki itu main nyeplos tentang hal-hal menyangkut pernikahan, dengan lawakan khasnya, namun Nindi menyadari lawakan itu merupakan kode yang menuntut peka darinya.

Nindi pikir, Mahes masih terlalu muda untuk dipercaya. Dirinya juga masih belia untuk mengenal hubungan yang telah terikat sepenuhnya.

"Sayang, ngapain?" Ia terjengkit saat seseorang duduk di sampingnya, membuat pikiran melanglang buana kembali pada asalnya.

"Ha? Kenapa?" Nindi balik bertanya, karena ia tak menangkap jelas perkataan Dimas.

"Lo ngapain di sini?"

"Nemuin lo lah! Soalnya lo nggak nyamperin gue ke kelas!" sergah Nindi.

"Ini juga mau nyamperin, Sayang."

"Tapi lo lama."

"Biasanya langsung ngacir ke kantin, ada apa nih? Tumben nyamperin gue duluan?" Terdapat tanda tanya di wajahnya, netra lelaki itu menyipit menatapnya. Barangkali ekspresi resahnya terbaca dengan jelas, sorot mata layu begitu amat membuktikan bahwa sang empunya sedang tidak baik-baik saja.

"Mau ngomong,"bisiknya nyaris seperti angin yang berlalu.

"Iya, ngomong apa Di? Cepet."

Alis Nindi menyudut, sejenak ia terdiam karena otaknya justru beralih menerka-nerka siapa itu "Di". Apa itu panggilan untuknya? Tapi mengapa kedengarannya asing dan tidak cocok?

"Di siapa?"

"Nama lo 'kan Nindi?"

"Nggak cocok kunyuk!" protes Nindi tak terima, kemudian melipat tangan di dada dan mengembungkan pipinya, ceritanya marah."Apaan banget main ganti-ganti nama panggilan gue! Pokoknya gue ogah dipanggil 'Di'! Seumur-umur nggak ada yang manggil gue begitu!"

"Iya, Sayang. Maaf," ucapnya, lembut.

Sebab itu wajah Nindi justru tampak berseri-seri, senyum tipisnya terpampang begitu nyata, seakan lupa dengan kecamuk di dadanya.

"Btw, mau ngomong apa?"

Kembali pada topik awal, kembali pula resah menggerogoti hatinya. Wajah cerianya raib seketika berganti mata yang kembali layu, dan segaris bibir tipis tanpa senyum. Perubahan ekspresi Nindi jelas begitu kentara, hingga membuat Dimas berinisiatif menggenggam tangannya.

"Mau ngomong apa Sayang?"

"Tapi yang mau gue omongin private Dimas."

"Emang mau ngomong apa sih? Tinggal ngomong aja."

Akan sangat menyebalkan jika pembicaraan mereka ada yang menguping, lalu karena satu mulut itu bisa tersebar ke seluruh sekolah. Sudah cukup ia menarik atensi banyak orang karena menjadi pacar Dimas, untuk kali ini, ia tak ingin siapa pun tahu kecuali orang yang memang dekat dengannya. Maka Nindi mengajak Dimas ke salah satu tempat yang lumayan lengang. Di depan salah satu perpustakaan yang berada cukup ujung bagian sekolah, perpustakaan yang tak banyak siswa datangi sebab buku-buku di dalamnya tak sebanyak buku di perpustakaan utama.

Barangkali ada satu atau dua siswi yang berlalu lalang keluar dan masuk perpustakaan itu, namun hal itu tak jadi masalah, koridor itu cukup lengang untuk membicarakan sesuatu yang private.

Keduanya duduk di kursi panjang tepi koridor, terjebak dalam kesunyian yang Nindi buat, sebab Nindi masih sibuk berperang dengan bising di kepalanya sendiri. Sedangkan Dimas tak berhenti membaca mimik wajah pacarnya itu.

"Gue nggak bikin kesalahan apa pun 'kan? Atau gue bikin lo marah? Gue nyakitin lo Nindi? Gue minta maaf, jangan diem begini. Gue nggak tahu harus ngapain."

Nindi menyembunyikan wajahnya dengan menunduk dan memejamkan mata. Ia terlalu takut menatap wajah murung nan khawatir Dimas, terlebih lagi ia takut menyakiti hati yang sebagian telah menjadi miliknya. Sekali lagi, ia tak berdaya menyakiti orang yang mau memberikan segenap cinta padanya.

"Kita sampai sini aja Dimas."

Saat kalimat itu terucap dari bibir kelunya, mendadak pasokan oksigen menipis, dan dalam sekali hembusan, dadanya terasa ditusuk dengan sepuluh belati tajam, sangat sakit. Ia tak percaya bisa mengucapkannya, hal yang tak pernah ia lakukan sebelumnya.

"Gue nggak denger lo ngomong apa." Balas Dimas dingin, sebuah sandiwara untuk menutupi remuk redam hatinya.

"Kita harus putus," lirih Nindi.

"Nggak denger."

"Dimas, gue serius!" Nada bicara Nindi meninggi, namun ia belum mau menatap wajah lelaki itu. Entah bagaimana raut wajahnya sekarang.

"Siapa yang nyuruh putus?" nada bicaranya sukses mengintimidasi Nindi. Ia bisa membayangkan wajah tegang, dan rahang menggertak laki-laki itu.

"Nggak ada."

Ia merasakan sentuhan jari lembut di pipinya, yang lantas membuatnya mendongak menatap laki-laki yang menjadi lawan bicaranya. Matanya berhasil beradu dengan mata yang memaksa untuk tetap tegas, ia melihat pantulan dirinya sendiri di mata berkaca-kaca itu.

"Mahes ya? Atau sahabat yang paling lo sayang itu?"

"Nggak ada yang nyuruh, emang mau gue."

"Kenapa?"

"Lo masih nanya kenapa Dimas? Gue sebenernya nggak mau putus, tapi gue pikir buat apa dilanjutin kalau akhirnya udah bisa ketebak. Mending pisah dari sekarang aja."

"Nindi, masa depan kita masih jauh. Kita bisa cari solusi nanti. Buat sekarang jangan tinggalin gue."

"Solusi apa?"

Laki-laki itu bergeming, tak bisa menjawab.

"Pindah agama? Gue yang ikut lo? Nggak akan!"

"Ya, intinya buat sekarang jangan pikirin itu dulu. Ayo, berjuang bareng-bareng."

"Apa yang mau diperjuangin? Apa yang bakal lo lakuin buat gue? dan gue harus ngelakuin apa buat lo?"

Sekali lagi, Dimas membeku. Wajahnya datar, namun mata sejernih madu itu tak bisa menutupi gemuruh di hatinya.

"Gue yang ngalah."

Pupil mata Nindi membesar, terkejut sekaligus tak terima dengan apa yang Dimas ucapkan barusan. Ia marah pada dirinya sendiri, marah karena bisa membuat seseorang berani mengatakan kalimat itu.

"Nggak, nggak boleh! Lo gila? Lo masih terlalu muda buat ngomongin hal semacam itu Dimas!"

"Lo nanya solusi, gue jawab."

"Sadar nggak sih? Kita masih bocah labil! Kita sama-sama nggak bisa pegang ucapan masing-masing. Lo ngomong gitu sekarang, tapi kita nggak tahu apa yang berubah dari ucapan lo nanti di masa depan."

"Gue serius!"

"Gue tetep nggak bisa mau lo sekeraskepala apa pun! Kalau lo sampai ngelakuin itu entah sekarang atau nanti, itu artinya gue orang yang salah buat lo."

Tangan laki-laki itu menyelimuti kehangatan pada tangan Nindi yang seakan membeku, dingin yang seolah diserap membuatnya tenang.

"Jangan tinggalin gue," bisiknya, hampir tak terdengar, namun bisa terlihat lewat gerakan bibirnya.

Ia tak percaya seseorang seperti Dimas rela memohon pada gadis biasa seperti dirinya. Entah, laki-laki itu menilai dirinya dari sisi mana? Bahkan jika dibandingkan dengan mantannya yang tak kalah terkenal, Nindi tak bisa mengalahkan apa pun.

"Gue nggak ninggalin lo, gue tetep di sini, gue nggak pergi ke mana-mana, Dimas."

"Lo tahu? gue kesepian. Kalau bukan lo, siapa lagi yang mau gue ajak ngobrol sampai tengah malem? Siapa lagi yang mau gue ajak keluar siang-siang buta cuman buat cari makan? Siapa lagi yang bakal ngomel-ngomel?"

Entah apa yang terjadi pada hidup seorang konten kreator yang terlihat ceria di depan kamera. Yang ia tahu, Dimas kerap mengatakan bahwa dirinya kesepian, butuh teman bicara, butuh seseorang yang berisik agar suasana tidak begitu sunyi. Yang bisa ia terka, orang seperti Dimas barangkali memiliki orangtua yang tak terlalu memperhatikan anaknya. Ia tidak tahu, hanya sebatas menebak, karena Dimas sendiri tidak pernah menceritakan masalah yang dialaminya.

Kalau lelaki itu telah berkata demikian, ia pun berat mengambil keputusan.

"Kita bakal tetep ngalakuin kebiasaan itu, lo jangan khawatir."

Nindi terus mencoba meyakinkan Dimas bahwa tidak akan ada yang berubah, kecuali status hubungan mereka. Mereka akan tetap melakukan kebiasaan-kebiasaan itu, hanya saja tidak akan seintens sebelumya.

"Gimana kalau gue nggak rela lo sama yang lain?"

"Kalau mau lo gitu, sama aja kita masih pacaran cuman berkedok putus!"

***

Pukul sembilan malam, entah apa yang terjadi pada rumah sebelah yang kedengarannya begitu bising. Ia pikir, kakak Mahes sedang pulang ke rumah, jadi mereka akan bertingkah layaknya tikus dan kucing, hingga kegaduhan perdebatan itu bocor sampai rumah di sekitar mereka. Tetapi kalau didengarkan lamat-lamat, yang terdengar justru raung tangis seorang perempuan.

Nindi spontan bangkit dari kasurnya, lalu berlari tunggang langgang keluar dari rumahnya yang sunyi, sebab ayah dan ibunya telah tidur lebih awal sejak selepas Isya.

Melewati gerbang rumahnya, ia bisa melihat sebuah mobil terparkir di depan gerbang rumah Mahes. Yang ia tahu mobil itu milik kakak Mahes, tetapi tumben sekali kakak Mahes membawa mobil?

Persetan dengan pikiran tidak pentingnya, ia melangkah cepat memasuki area halaman rumah Mahes yang kebetulan gerbangnya tidak terkunci. Katakanlah Nindi lancang, namun kekhawatirannya tak bisa diredam begitu saja, ia harus memastikan apa yang terjadi di dalam sana.

Di langkahnya yang ke tujuh, sosok laki-laki jangkung keluar dari rumah itu dengan tergesa-gesa, disusul pria memeluk wanita yang sedang menangis histeris. Mereka Bang Adi, Tante Saran, dan Om Raden. Mereka melewatinya begitu saja seakan kehadirannya dianggap semu. Melihat orang-orang itu tampak tidak baik-baik saja, lantas semakin menambah tanda tanya di benaknya. Beruntung sosok wanita yang menggendong bocah perempuan itu menjadi yang terakhir keluar dari rumah, mereka kakak ipar dan keponakan Mahes. Kesempatan itu ia pergunakan setepat mungkin untuk bertanya.

"Kak, kenapa?"

Wajah wanita muda nan anggun itu tampak muram, dari garis wajahnya Nindi dapat menilai bahwa memang sedang ada sesuatu yang tidak baik. Anehnya, ia tidak melihat Mahes keluar dari rumah itu.

"Mahes kecelakaan, dengar-dengar meninggal."

Dalam beberapa detik, ia tak bisa mencerna kalimat wanita, lebih tepatnya ia berpura-pura tak mengerti, menampik kenyataan bahwa ia mengetahui maksudnya. Ia meyakini ini bukan kenyataan, melainkan imajinasi yang ia buat sendiri, atau ini pasti hanya bunga tidur.

"Siapa yang meninggal Kak?"

Nindi tak mendapat jawaban dari wanita itu, sebab yang ditanya keburu melanjutkan langkahnya yang juga tergesa-gesa, mengikuti orang yang terlebih dulu masuk ke mobil.

Sejanak ia dibuat tak sadar dengan pikiran buntunya, ia berdiri seperti patung tak bernyawa. Beberapa kali menepuk-nepuk dada yang sakitnya terasa nyata, padahal ini hanya mimpi.

Ia dibuat sadar oleh angin dingin yang menembus kaus hitamnya. Mendongak meneliti langit mendung tanpa bintang sejak malam tiba. Ia terjengkit karena rintik ringan menyentuh kulit sangat nyata, dingin benar-benar dingin layaknya air. Padahal ia tengah bermimpi.

"Aneh, kalau emang mimpi kenapa gue inget kalau gue belum tidur? Nggak mungkin Mahes mati, ya kali."

Sementara jantungnya bak tertusuk ribuan anak panah, atmosfer sekitar terasa menipis membuat ia kesulitan menghirup oksigen. Untuk kesekian kalinya, ia berusaha menganggap sakit ini hanya bunga tidur, namun mengapa rasa sakitnya sampai mencekik leher?

Setetes air mata tanpa sadar memberi jejak di pipinya, bersamaan dengan itu, rintik ringan berganti jutaan tetes air jatuh membasahinya tanpa ampun. Kemudian kakinya berlari pulang secepat yang ia bisa.

Ini terlalu nyata untuk disebut mimpi, namun ia pula tak akan percaya jika Mahes telah tiada. Ini mimpi terburuk yang menimpanya.

Sampai pada akhirnya, ia mengikuti titah hatinya untuk gegas menyusul Mahes, persetan dengan ribuan tetes dingin menghujam, dan gemuruh yang seolah menakutinya untuk tetap tinggal di rumah.

Merogoh kunci garasi dan motor di salah satu lemari kaca di ruang tengah, ia siap menerobos hujan dengan motor matic birunya berbekalkan kaus tipis dan celana training tanpa pengaman kepala.

"Ih, nggak mungkin! Gila tuh, orang bisa mati gitu aja, orang tadi siang masih gue omelin!" Ia marah pada Mahes, leluconnya kali ini tidak lucu.

Ia tanpa ragu memacu motornya sangat cepat, menyalip mobil-mobil besar tanpa takut. Jutaan tetes air hujan bak jarum yang menghantam wajahnya, sakit. Namun tak seberapa jika dibandingkan dengan nyeri dadanya. Raung tangisnya diredam gemuruh, hingga dirinya sendiri pun tak mendengarnya.

"Hati gue sakit, kayaknya gue bakal ikutan mati kalau gini rasanya."

Ingatannya kembali memutar beberapa menit yang lalu. Mobil yang terparkir, kakak Mahes yang tergesa-gesa, ayah Mahes yang sangat sabar menenangkan istrinya yang histeris, dan ucapan kakak ipar Mahes yang terus berputar di otaknya.

"Mahes kecelakaan, dengar-dengar meninggal."

"Semoga ini cuman prank, gue nggak bisa ditinggal begini."

Berulang kali ia mengusap wajahnya agar penglihatannya tak memburam, hal menyebalkan lainnya adalah matanya yang perih bukan main karena banyaknya air yang masuk. Ia bahkan nyaris tak bisa melihat, hingga pandangannya benar-benar tak bisa menangkap ada mobil pick up di depan sana. Beruntung ia bisa mengontrol rem, sampai ia berhenti tipis hampir menghantam bagian belakang mobil itu.

Napasnya memburu tak karuan, tangan dan kakinya bergetar tanpa ampun, tadi itu hampir saja. Dirinya hampir mati, dan ia tak ingin mati sebelum melihat dengan mata kepalanya sendiri tubuh Mahes yang terbujur kaku.

Beberapa detik melamun karena rasa syok yang mengungkungnya, memejamkan mata mencoba menetralkan degup jantung membabi buta. Namun rupanya ia gagal menenangkan dirinya sendiri karena pikirannya yang masih kelewat kalut. Ia kembali menangis sesenggukan, sadar dirinya tak punya tujuan. Ia tidak tahu di mana Mahes.

"Kenapa sih, lo ngerepotin banget Hes! Dan kenapa gue sampai rela begini?! Kalau lo beneran mati, gue gimana?!" pekiknya sekeras yang ia bisa. Kini suaranya bisa menembus derai hujan dan gemuruhnya.

"Tuhan, tolong jangan ambil Mahes dulu! Biarin dia tobat sebelum mati! Dosa dia banyak, Tuhan!" pekiknya lagi. Sadar yang dilakukannya tak berguna, Tuhan tak akan mudah mengabulkan doanya dalam sekali kedip, meski Tuhan bisa sekali pun.

Naluri menuturkan bahwa ia harus secepatnya gegas menuju satu-satunya rumah sakit di daerah itu. Satu-satunya rumah sakit pusat orang-orang di daerah tempat tinggalnya berobat.

Sepuluh menit berlalu, ia sampai pada rumah sakit besar itu. Kali pertama ia datang sendirian, apalagi dalam keadaan tak karuan. Ia takut menginjak lantai rumah sakit karena mitos-mitos menyeramkan yang simpang siur. Ajaibnya, kini otak kecilnya tak lagi membuat asumsi-asumsi menyeramkan, sebab di dalamnya hanya ada Mahes dan Mahes.

IGD jadi tempat pertama yang ia tuju, karena ada beberapa orang yang menanti cemas di depan ruangan itu. Ia menemukan Tante Sarah yang masih histeris di dalam pelukan suaminya. Kakak ipar Mahes yang terduduk sendu, serta keponakannya yang seakan mengerti keadaan yang sedang terjadi.

"Nindi?" Tante Sarah berdiri saat melihat gadis basah kuyup dengan tangis sesenggukan itu mendekat.

"K-kamu n-nerobos hujan?" tanya wanita itu, dengan suara bergetar.

"Mana Mahes, Tan?"

Alih-alih menjawab pertanyaan simpel Nindi, wanita itu justru kian tak bisa menahan tangisnya. Karenanya Nindi tahu, bahwa memang telah terjadi apa-apa dengan Mahes.

Pikirannya terlalu kalut, gemuruh di dadanya memaksa untuk memastikan sendiri keadaan Mahes di dalam sana. Lantas ia nekad menerobos pintu ruangan itu tanpa peduli pekikan orang-orang. Ia menyibak salah satu kelambu pembatas, dan ... dunianya seakan berhenti berputar saat menyaksikan sosok terbujur kaku dan tertutup kain putih itu.

Dadanya kian sesak, seolah ia akan ikut mati detik itu juga. Kakinya lunglai, tak sanggup menyanggah badan.

"Nggak mungkin, tadi siang masih gue omelin." Nindi menggeleng tak percaya dengan apa yang ia lihat.

Memaksa berdiri, ia melangkah perlahan menuju seonggok tubuh tak bernyawa itu.

"Ini bukan Mahes 'kan?" Netra sendunya meneliti dari ujung kepala hingga ujung kaki. Ia tak percaya dengan apa yang ia lihat dengan mata kepalanya sendiri.

"Nggak gini konsepnya Hes! Astaga. Gue nggak minta lo ninggalin gue."

Nindi memeluk tubuh kaku itu sangat erat, bersandar di dada bidangnya berharap ia mendengar detaknya. Namun nihil, ia tak menemukan tanda kehidupan di dalam sana.

"Bangun! Lo emang nyebelin, tapi gue nggak mau lo mati Hes! Lo harus maafin gue! Maafin kesalahan gue yang pernah bikin lo sakit hati, maafin gue yang selalu marahin lo, please."

Nindi mengguncang-guncangkan tubuh itu, mengharap keajaiban bak sinetron, di mana yang mati bisa tiba-tiba hidup lagi. Mengharap mukjizat dari Tuhan, namun sayangnya semasa hidup Mahes terlalu sesat. Mustahil bagi Tuhan memberi keajaiban.

"Bukannya lo mau nikah sama gue? Terus kenapa sekarang ninggalin gue?"

Ruangan itu di dominasi oleh isakan tangis Nindi yang tiada henti, tangis yang jika didengarkan, orang lain bisa menilai sehancur apa gadis itu.

"Maaf Mbak, Mbak siapa ya?" Suara sesosok perempuan membuatnya mendongak dan meluruskan badannya. Ia menemukan seorang gadis seumuran dengannya dan sesosok wanita berumur awal 40 tahunan, juga berdiri di samping mayat Mahes. Ia tak mengenal kedua perempuan, mereka juga bukan saudara Mahes, atau jangan-jangan ia salah ruangan?

Nindi celingukan memastikan kalau ia tak salah ruangan. Se-brutal apa pun tangisnya barusan, ia jelas membaca papan bertuliskan "IGD" yang terpampang di pintu itu. Tak mungkin ia salah ruangan.

"Harusnya gue yang nanya, lo siapa?!" Nindi berkata tegas.

"Mbak siapanya kakek saya? Dan ada hubungan apa?"

Tunggu, kakek siapa? Yang tertidur tanpa nyawa itu Mahes, bukan?

"Kakek apaan? Dia temen gue?! Nggak ada hati lo ya, nyebut kakek sembarangan!"

"Oke, Mbak. Jadi ini kakek saya yang korban kecelakaan, Mbak ada hubungan apa sama Kakek saya ya? Kenapa tadi bilang mau nikah sama Kakek saya?"

Baiklah, kali ini Nindi linglung. Dunia seakan berputar cepat mengelilinginya, membuat kepalanya migrain total.

"Oh, jangan-jangan kamu selingkuhan bapak saya ya?!" Wanita yang berdiri di sebelah gadis muda itu menudingnya sembarangan. Menggeram marah, dan selangkah maju hendak mencakar wajahnya. Nindi yang lincah cepat menghindar, dan main ngibrit setelah berulah.

Tuhan, ini mimpi apa lagi?! Jika benar ini mimpi, maka ini mimpi paling konyol yang pernah ia alami! Bagaimana bisa endingnya ia memeluk mayat kakek-kakek dan mengajaknya menikah?

***





Dah, nggak muat gays, lanjut part berikutnya. Btw semoga Mahes tenang di alam sana

Continue Reading

You'll Also Like

34.9K 6K 51
[ L e n g k a p ] Trilogi Strong Woman [2] [Readinglist @WattpadRomanceID kategori Kisah Klasik di Sekolah bulan Agustus 2022] ••• Pras tahu, tet...
MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

1.9M 91.5K 40
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...
892K 138K 93
ROMAN - FIKSI REMAJA | Hidup Bulan mungkin saja akan bahagia jika dia terlahir sebagai orang berada, cantik, wajahnya tidak berjerawat, dan badannya...
18.7K 3.1K 37
[COMPLETED] For you : Neody Astrea Seleen From me : Mr. Sticky Notes "Awal yang berarti Kemukakan rasa di hati Untukmu, sang gadis di kereta api" •••...