Sloth Bear | Asahi

By eurus404

186K 32.8K 6.1K

⚠️ Trigger Warning! Depictions of mental illnesses (PTSD, GAD, SAD, etc), self-harm, suicide, and abuse ⚠️ Sl... More

Sloth Bear
0.0 | Cast
1.0 | Wound
1.5 | Wound
2.0 | Chores
3.0 | Succour
4.0 | Servant
5.0 | Bother
6.0 | Neglected
7.0 | Bruised
7.5 | Bruised
8.0 | Winter Blues
8.5 | Winter Blues
9.0 | Blame
9.25 | Blame
9.5 | Blame
9.75 | Blame
10.0 | Guilt
11.0 | Abused
12.0 | Threat
13.0 | Contact
14.0 | Hurt
15.0 | Useless
16.0 | Memories
17.0 | Grief
18.0 | Anxious
19.0 | Trash
20.0 | Misery
21.0 | Sick
22.0 | The Truth
22.25 | The Truth
22.5 | The Truth
22.75 | The Truth
23.0 | Trust Issue
24.0 | Abandoned
25.0 | Farewell
26.0 | Secret
27.0 | Promises
28.0 | Obey
29.0 | The Breed
(╥﹏╥)
30.0 | Liar
To My Beloved Readers
32.0 | Plea
33.0 | Worthless
34.0 | Sorrow
35.0 | Regret
36.0 | Encounter
37.0 | Un-understandable
38.0 | Sorry
38.5 | Sorry
39.0 | Mess
40.0 | Restless
41.0 | Brother
42.0 | Mother
New Story (Bukan Update)
43.0 | The Past
44.0 | Seperate
45.0 | Sins
46.0 | Anger
47.0 | Friend
48.0 | Burden

31.0 | Forgive

2.8K 463 181
By eurus404

Peluh terus mengucur deras dari dahi anak yang tengah terlelap di atas meja usangnya. Tangannya yang terlipat di atas sana gemetar sedang napasnya memberat, memori traumatis miliknya tengah menguasai mimpi buruknya lagi kali ini.

Dalam mimpinya, netra hitam anak lelaki bernama Haruto itu kembali bertatapan dengannya dari jauh, ia kembali melihat bagaimana anak itu berdiri di tepian gedung dengan tubuh yang terguncang.

"Maaf ...," ucap anak lelaki itu, sekali lagi.

Asahi kini kian sulit bernapas, seseorang yang persis menyerupai dirinya tiba-tiba muncul di sana dan berdiri tepat di depan Haruto.

"Maaf ...." Haruto kembali mengucapkan kata itu, namun tatapan yang ditunjukkannya, itu bukan tatapan penuh kesedihan yang terakhir kali Asahi ingat. Netra hitam yang menatap sosok di depannya itu lebih mengisyaratkan rasa takut.

"Maaf ..., Asahi." Haruto memohon pada orang itu. Tidak, itu bukan Asahi, itu bukan dirinya.

Asahi menyaksikan keduanya tanpa dapat melakukan apapun, mulutnya seakan terkunci sesuatu dan tubuhnya kaku di tempat, hingga sekian detik berikutnya, sosok itu dengan cekat mendorong jatuh tubuh Haruto dari sana.

"Pembunuh!"

"Kau membunuhnya!"

"Kau pembunuh!"

"Kau membunuhnya, Asahi!"

"Tidak, bukan," lirih Asahi, kepalanya berusaha menggeleng sedang air matanya kini mengalir deras seiring dengan napasnya yang kian tercekat.

"Jangan kembali pada ibumu lagi."

"Ibumu membunuh Haruto."

"Tidak ...," isak Asahi.

"Hyung."

"Hyung!"

"Asahi Hyung!"

Asahi terbangun. Anak yang masih kesulitan bernapas itu membuka lebar matanya dan lekas menegakkan tubuh dengan paksa.

Itu mimpi, itu hanya mimpi.

Asahi mulai menatap sekelilingnya dengan panik, berusaha meyakinkan diri bahwa ia baru saja bermimpi dan berada di kamarnya.

"Hyung?"

Asahi tersentak dan segera menoleh ke sampingnya.

Itu Junghwan, anak kecil yang baru saja memanggilnya itu kini mulai menggenggam lembut jemari Asahi yang gemetar.

"Gwaenchana, Hyung ...," ucapnya.

Asahi yang masih berusaha menenangkan diri mulai membalas tatapan khawatir milik anak di depannya, Junghwan mulai mengusap-ngusap punggung tangan Asahi sedang tangan yang satunya memeluk sebuah buku gambar.

"Hyung kenapa?"

"Kenapa kau di sini?" Asahi balik bertanya dan mulai melepaskan tangannya dari Junghwan.

Junghwan yang mendengar pertanyaan ketus Asahi menatap sang kakak dengan takut. "A-aku ada tugas menggambar, a-apa Hyung bisa mengajariku?"

"Tidak, keluarlah."

"Tapi-"

"Keluar!" bentak Asahi.

Junghwan yang mendengar itu tersentak dan mulai mundur dengan takut. Ia belum pernah mendengar Asahi membentak seperti itu.

Asahi yang melihat raut ketakutan milik Junghwan tersadar dengan tindakannya barusan dan mulai menarik napas berat.

"Maafkan aku." Asahi berusaha melembutkan suaranya. "Pergilah ke Yedam Hyung dulu, kau bisa minta diajari olehnya."

Junghwan lekas menggeleng dan menatap Asahi dengan sedih. "Appa bilang aku tak boleh bertemu Yedam Hyung lagi."

Asahi kembali menarik napasnya, sadar bahwa ia melupakan masalah itu.

Sungguh, kepalanya sudah penuh dengan masalahnya sendiri, memorinya tak lagi mampu menyimpan ingatan perihal masalah orang lain.

"Ya sudah, pergilah ke Jihoon Hyung kalau begitu," ucap Asahi yang lekas dibalas dengan gelengan cepat sang adik.

"Gambar Jihoon Hyung jelek, tidak mau! Aku juga sedang kesal karena Jihoon Hyung terus marah-marah saat menemaniku di rumah sakit. Aku ingin diajari Asahi Hyung saja."

"Aku bilang aku tidak bisa, kumohon keluarlah sekarang, lagipula ini sudah malam, kau harus tidur."

"Tapi-"

Asahi yang merasakan kepalanya akan segera pecah sebentar lagi mulai tak tahan dan lekas bangun dari duduknya. Ia mulai menarik tangan Junghwan dengan paksa untuk keluar dari sana.

Asahi baru saja hendak mengantarkan Junghwan ke Sandara, namun belum sempat ia sampai ke kamar orang tuanya itu, suara lemparan benda keras mulai terdengar dari dalam sana disusul dengan teriakan dari dua orang yang saling bersaut, Asahi kini juga dapat mendengar tangisan frustasi milik Sandara dari tempatnya.

"Eomma? Hyung, Eomma ...."

Asahi menatap Junghwan yang tangannya masih ia genggam, anak itu baru saja ingin menghampiri kamar sang ibu sebelum Asahi menahannya dan menariknya kembali ke dalam kamar dengan segera.

"Hyung, Eommaa..., Eomma menangis, aku ingin melihat Eomma," ucap Junghwan sambil masih menggenggam tangan gemetar milik Asahi.

"Tidak, jangan, kau tetap di sini." Asahi segera menutup rapat pintu kamarnya, berusaha meminimalisir suara-suara teriakan dan lemparan-lemparan benda keras yang masih dapat terdengar dari kamarnya itu.

"Kau mau kuajari menggambar, kan?" Asahi menatap sang adik dengan mata yang berkaca. "Aku akan mengajarimu, ayo," ucap Asahi dan lekas merebut buku gambar milik Junghwan dari pelukan anak itu.

Junghwan bingung menatap Asahi, namun memilih menurut dan lekas mengikuti sang kakak yang kini sudah duduk di depan meja belajarnya. Asahi segera memangku Junghwan dan mulai mengeluarkan peralatan menggambar dari dalam laci.

"SEMUA ITU SALAHMU!"

"KAU YANG TIDAK BISA MENDIDIK ANAKMU DENGAN BECUS! KAU IBUNYA!"

"ANAKKU HANCUR SEPERTI ITU KARENA TERTEKAN OLEHMU! AKU MENYESAL MENIKAH DENGANMU, SEUNGHYUN!"

"SANDARA!"

Junghwan bisa mendengar semua itu, ia juga yakin Asahi dapat mendengarnya.

"Hyung, tidak apa-apa ...," ucap Junghwan lembut dan mulai meraih tangan gemetar milik Asahi yang tengah menggenggam pensil.

Asahi yang mendengar itu mulai menarik napasnya. "Kau mau tidur denganku dulu, Junghwan-ah?"

Junghwan mengangguk. "Mau."

"Ayo, tidur sekarang," ucap Asahi. Ia lekas menurunkan Junghwan dari pangkuannya dan membawa anak itu ke tempat tidur.

Asahi mulai menyelimuti Junghwan dan membaringkan tubuh di sampingnya.

"Tidurlah," ucap Asahi.

Junghwan bisa mendengar napas berat milik sang kakak, kakaknya itu terlihat kembali sesak dan gemetar tubuhnya juga belum hilang.

Asahi kini mulai berusaha menutupi telinga Junghwan dengan tangan miliknya.

"Tidur, jangan dengarkan apapun," bisik Asahi.

"Hyung juga ...."

Junghwan berusaha melepaskan tangan Asahi dari telinganya dan membawa tangan itu ke arah telinga milik sang kakak, membuat kakaknya itu kini dapat menutup telinganya sendiri.

Asahi hanya dapat kembali menghela napas, ia membiarkan Junghwan yang kini mulai membenamkan wajah ke dalam dada miliknya dan membiarkan anak itu memeluk tubuhnya hingga terlelap.

***

Yedam menatap jam di kamarnya. Itu pukul setengah delapan pagi, keluarganya mungkin sudah berada di meja makan menunggu Asahi selesai memasak sarapan.

Meski ini hari minggu, biasanya sang ibu akan tetap membangunkannya untuk sarapan bersama. Ibunya sangat tahu kalau Yedam selalu sulit bangun pagi sejak dulu, entah karena ia habis belajar sampai larut malam atau penyakit insomnianya yang memang sering kambuh.

Biasanya, jika sang ibu sudah menyerah untuk membangunkannya, maka Jihoon yang akan menggantikan untuk membangunkan Yedam dengan ocehan panjang tak berujung.

Sungguh, Yedam merindukan semua itu. Sekarang hal-hal itu tak pernah lagi ia rasakan semenjak beberapa waktu ini.

Keluarganya seakan terus mengurungnya di dalam kamar dan enggan untuk sekedar melihatnya, hanya Asahi yang rutin datang ke kamar untuk mengantar makanan dan mengambil baju-baju kotor Yedam.

Iya, mereka juga mengasingkannya seperti itu. Selain memaksanya untuk selalu makan sendiri di dalam kamar, Yedam juga tahu bahwa keluarganya meminta Asahi untuk mencuci baju-baju miliknya secara terpisah dengan yang lain, mereka takut penyakitnya akan menular melalui hal seperti itu.

Tok-Tok

Yedam memandang pintu kamarnya yang baru saja diketuk seseorang dari luar. Itu mungkin Asahi yang kembali mengantarkan sarapan.

Yedam kini membuka pintu, namun bukan sosok Asahi yang muncul di hadapannya melainkan Junghwan, anak itu tersenyum lebar menatapnya.

"Hyung? Apa Hyung masih sakit? Asahi Hyung bilang Hyung sakit."

Yedam lekas mensejajarkan tubuhnya dengan tubuh sang adik. "Aku baik-baik saja, kenapa kau di sini? Kau tidak boleh bertemu denganku dulu."

"Aku merindukan Hyung."

Yedam yang mendengar lirih dari adiknya itu lekas menunduk. Sungguh, ia ingin menangis mengingat dirinya belakangan selalu dijauhkan dari adik bungsunya yang satu itu.

Junghwan baru saja hendak memeluk Yedam sebelum Jihoon tiba-tiba datang dan menariknya mundur.

Yedam yang terkejut dengan kedatangan Jihoon hanya dapat menyaksikan adiknya kini dimarahi dan dibawa pergi dengan paksa dari sana. Kakaknya itu bahkan tak menatapnya dan pergi begitu saja.

Menyadari bahwa Jihoon yang selama ini selalu berpihak pada semua adiknya kini juga ikut memperlakukannya seperti orang asing membuat Yedam berkali-kali lebih merasa sakit.

Sungguh, ia tak lagi tahan dengan semua pengasingan itu. Yedam kini memutuskan untuk bertemu keluarganya dan turun ke ruang makan.

***

Yedam dapat mencium aroma masakan dari tempatnya berdiri. Ia juga dapat melihat sosok anak laki-laki bertubuh kurus dengan piyama kebesaran tengah meletakkan beberapa mangkuk di atas meja makan, siapa lagi kalau bukan Asahi.

Yedam baru saja hendak melanjutkan langkahnya untuk menghampiri anak itu sebelum sang ayah tiba-tiba datang dan masuk ke sana. Tepat saat sang ayah masuk, ayahnya langsung mendorong kepala Asahi dengan kasar.

Asahi hanya menunduk takut dan lekas meletakkan sisa mangkuk dari tangannya.

Jujur, itu bukan pemandangan yang asing untuk Yedam lihat. Ia menebak, Asahi terlambat bangun lagi pagi ini dan terlambat menyiapkan sarapan, anak itu juga mungkin tidak akan mendapatkan jatah sarapannya lagi sebagai hukuman. Meski itu biasa terjadi, Yedam masih tak pernah terbiasa melihat Asahi diperlakuan seperti itu.

Sang ayah kini mulai mencengkram kasar rambut Asahi dan membiarkan tubuh anak itu terseret ke belakang. Yedam yang tak lagi tahan melihatnya segera berlari menghampiri mereka dan menarik tangan sang ayah dari Asahi.

"Berhenti menyakitinya, Appa!" bentak Yedam.

Seunghyun yang terkejut dengan kehadiran putranya itu mulai melepaskan Asahi dan menghempaskan tangan Yedam yang masih memegang tangannya.

"Kenapa kau ke sini?!" tanya Seunghyun.

"Berhenti menyakiti Asahi, kumohon, Appa."

"Kutanya, kenapa kau ke sini?!"

Yedam yang mendengar pertanyaan ketus ayahnya itu kini menarik napas berat. Ia mulai memandang Jeongwoo yang telah duduk di meja makan itu, Jihoon baru saja datang diikuti sang ibu dan Junghwan yang juga masuk ke sana, mereka sama-sama terkejut menatap Yedam

"Sekali lagi kutanya, kenapa kau ke sini?" tanya sang ayah sekali lagi.

"Aku mau sarapan."

"Kembali ke kamar! Asahi akan mengantarkan makanan ke kamarmu!"

Yedam segera menggeleng. "Apa aku benar-benar tak diizinkan untuk makan bersama keluargaku lagi selamanya?"

"Tidak sampai penyakitmu sembuh, kau ingin menularkan penyakitmu di sini?"

"Penyakitku tak akan menular dengan cara seperti itu, Appa!"

"Lalu dengan cara apa? Seks bebas? Menyuntikkan narkoba? Seperti itu caramu mendapatkan penyakit itu?!"

Yedam kini mencengkram tangannya sendiri dan mulai menunduk. "Aku hanya ingin satu meja dengan keluargaku lagi."

"Tidak usah macam-macam, bersyukurlah karena kau tidak masuk penjara dan aku tidak mengusirmu dari sini. Kau sudah dikeluarkan dari sekolah, menurutlah sekarang dan jangan membuatku malu lagi!"

Yedam yang mendengar ucapan menyakitkan itu kembali mendongak, ia mulai menatap Jeongwoo yang hanya menunduk di sana dan Jihoon yang membuang wajahnya.

Yedam kini mulai beralih menatap sang ibu yang masih berdiri dengan diam.

"Eomma ...," lirih Yedam, berharap sang ibu akan sedikit membelanya.

Namun Sandara bahkan tak membalas tatapan sang putra dan mulai duduk di bangkunya.

"Asahi, antar makanan ke kamarnya," ucap Sandara.

Asahi mengangguk pada sang ibu dan menatap Yedam yang kini mulai kembali menunduk, anak itu beranjak pergi dari sana.

***

"Yedam Hyung, aku mengantar makanan, tolong buka pintunya."

Sekali lagi Asahi mengetuk pintu di depannya. Sudah sekitar dua menit ia berdiri di sana namun pintu kamar itu tak juga kunjung dibuka sang pemilik.

Asahi kini mulai mendengus kesal, ia lelah dan dadanya masih terasa berat karena sesaknya kambuh sejak semalam, namun sang ibu memaksanya untuk memastikan Yedam makan dan minum obat. Asahi harus tetap mencari cara agar saudaranya yang satu itu mau membukakan pintu bagaimana pun juga.

"Hyung, kalau kau tidak mau keluar juga, Yujin jadi pacarku, ya?" ucap Asahi.

Asahi tahu Yedam tidak akan mengabaikannya kalau sudah menyangkut perempuan.

Benar saja, knop pintu yang sedari tadi diam itu kini mulai bergerak, disusul dengan sosok Yedam yang muncul dari sana tak lama kemudian.

"Apa katamu barusan?!" tanya Yedam, matanya menatap tajam anak di depannya.

"Yujin jadi pacarku."

"Kau tidak akan bisa!"

"Aku baik, tampan, dan pintar, tentu saja aku bisa. Sudahlah, ayo masuk," ucap Asahi.

Anak itu lekas mendorong pintu kamar Yedam dengan sikunya dan melenggang masuk ke dalam. Yedam yang menyaksikan itu hanya memelototi Asahi dan mulai protes.

"Heh! Ini kamarku!"

"Tahu, siapa juga yang bilang ini kamarku," ucap Asahi sambil meletakkan nampan berisi makanan yang ia bawa ke atas meja belajar Yedam.

"Makanlah, aku akan menemanimu makan di sini," ucap Asahi.

Yedam hanya menatap anak pucat yang berdiri di samping meja belajarnya itu. "Apa aku minta ditemani olehmu?"

"Kau tadi bilang ingin makan bersama keluargamu lagi."

"Lalu?"

"Aku juga keluargamu, kan? Aku sudah di sini, atau kau hanya menganggapku sebagai pembantu juga?"

Yedam yang mendengar itu mulai tertegun. "Tidak, bukan begitu."

"Kalau begitu makanlah."

"Aku belum mau makan dulu, nanti saja."

"Aku akan menunggu di sini sampai kau makan kalau begitu."

"Asahi ...."

"Kau tidak memakan makanan yang sudah kuantar semalam, aku tidak akan membiarkanmu membuang-buang masakanku lagi."

Yedam menarik napas panjang mendengar itu. "Aku janji akan memakannya kali ini, tapi kumohon keluarlah, aku ingin sendiri dulu, aku sedang lelah."

"Sama, aku juga lelah, aku ingin mati, apa kau mau mati juga?"

"Asahi!"

"Mati saja, yuk."

"Kalau mau mati ya mati saja, jangan mengajakku juga!"

"Biar aku punya teman di neraka."

"Kau saja sendiri!"

"Oke."

Asahi segera beranjak dari sana setelah mengatakan itu. Yedam yang menyadari Asahi mulai berjalan ke arah balkon kamarnya seketika panik dan mulai berlari menghampiri anak itu.

Ia sudah membayangkan Asahi akan loncat dari sana, namun ia justru menemukan anak itu hanya bersandar di railing balkonnya dengan tenang. Yedam menghela napas lega melihat itu.

"Kenapa? Kau panik?" tanya Asahi sambil menoleh ke arah Yedam yang kini tengah berjalan mendekatinya.

Yedam yang melihat tatapan datar Asahi itu hanya menggeleng kesal. "Tidak lucu, Asahi."

"Katamu barusan, kalau aku mau mati tinggal mati saja."

"Aku tidak serius, jangan bicara yang tidak-tidak seperti itu lagi."

"Iya," jawab Asahi singkat, tatapannya kini kembali menatap pemandangan di depannya.

"Jangan pernah melakukan hal yang macam-macam, kumohon, berjanjilah padaku."

Asahi kembali menoleh ke arah Yedam yang telah berada di sampingnya. "Kau tahu, Hyung? Aku tak bisa berjanji apapun kepada siapapun lagi, aku bahkan telah hampir mengingkari janjiku juga pada Jaehyuk."

Yedam menautkan alisnya mendengar itu. "Janji apa?"

"Janji untuk tetap bertahan, aku sudah hampir mati bunuh diri."

Yedam yang mendengar ucapan enteng itu menatap Asahi tak percaya.

Asahi yang sadar dengan tatapan Yedam kini menghela napas berat. "Tenang saja, aku akan berusaha untuk tidak mencoba mati lagi. Jaehyuk juga berjanji akan mengajakku melihat matahari terbenam di Jeju kapan-kapan, aku ingin menagih janjinya yang itu dulu," ucap Asahi.

"Jeju?"

"Hm." Asahi mengangguk.

"Kalian mau bulan madu atau bagaimana?"

Asahi berdecak kesal dan menatap tajam Yedam. "Memangnya Jeju hanya untuk orang bulan madu?"

"Ya, tidak, sih, tapi kenapa harus Jeju juga?"

"Jaehyuk bilang pemandangan matahari terbenam di sana bagus, aku hanya ingin melihat itu."

Yedam kini terkekeh kecil. "Kau suka melihat matahari terbenam?"

Asahi mengangguk.

"Padahal namamu Asahi."

Asahi mengerutkan dahinya menatap Yedam. "Kenapa memangnya?"

"Namamu itu, artinya matahari terbit, kan? Ibumu memberi nama yang indah, seharusnya kau suka matahari terbit saja, seperti namamu."

Ada jeda sekian detik sebelum Asahi kembali menjawab. "Mungkin ibuku membenci matahari terbit, makanya dia memberiku nama itu."

Yedam yang mendengar jawaban itu kini ingin memukul kepalanya sendiri, ia baru sadar bahwa dirinya telah salah bicara.

"Hyung ...."

"Hm?"

"Bolehkah aku sering-sering datang ke sini saat sore? Pemandangan di sini bagus, dulu aku juga sering melihat matahari terbenam dari balkon seperti ini bersama Jaehyuk," ucap Asahi.

"Jangan sering-sering, matamu bisa rusak nanti. Lagipula apa kau tidak takut tertular penyakitku?"

"Aku tidak membolos pelajaran IPA seperti Appa, aku tahu penyakitmu tidak akan menular semudah itu."

"Begitu, ya?" ucap Yedam sambil tersenyum pahit.

Asahi kini menatap raut wajah Yedam yang mulai berubah sedih. "Aku tidak tahu pasti darimana kau mendapatkan itu, walaupun sulit untuk mempercayai alasan lain, tapi aku percaya padamu."

"Kenapa kau percaya padaku?"

"Aku ingin percaya saja padamu, aku tahu rasanya tidak dipercaya siapapun." Asahi kini mulai menunduk. "Sejak dulu aku selalu disalahkan atas sesuatu yang bukan kehendakku, aku juga dituduh melakukan sesuatu yang tak pernah kulakukan dan tak pernah bisa membela diri. Aku bahkan telah sampai pada titik di mana aku mulai mempercayai tuduhan-tuduhan itu dan mulai meragukan ingatanku sendiri, aku juga mulai meyakini ucapan Appa yang menyamakanku dengan ibu kandungku."

"Tidak, kau jauh lebih baik dari kedua orang tua kandungmu. Jangan dengarkan Appa, aku percaya padamu, aku percaya kau memang tidak melakukan kejahatan apapun, kau tidak pantas menerima perlakuan buruk dari orang-orang seperti yang selama ini selalu kau terima," ucap Yedam, tangannya mulai mengusap bahu ringkih anak di sampingnya.

Yedam menyadari bahwa saudaranya itu telah jauh lebih rapuh dari sebelumnya. Ia tak pernah bisa membayangkan untuk dapat bertahan menjalani hidup seperti Asahi. Ia sendiri telah menjadi saksi sesulit apa hidup anak itu.

Kini, Yedam semakin merasa bersalah atas apa yang telah ia lakukan pada Asahi selama ini. Ia merasa menjadi pengecut karena terlalu takut pada ancaman ayahnya.

"Maaf," ucap Yedam. "Maaf karena selama ini aku tak pernah benar-benar bisa menolongmu."

"Kau telah banyak menolongku selama ini, kau juga menolongku dari Appa saat di ruang makan tadi, aku menghargai itu."

"Tetap saja, aku lebih sering diam dan tak melakukan apapun saat Appa menyakitimu di depan mataku sendiri."

"Aku masih belum mati, tidak apa-apa."

"Kau bisa mati dengan mudah kalau aku terus membiarkanmu seperti itu. Aku benar-benar minta maaf, maafkan aku."

"Iya, berhentilah minta maaf."

"Kau memaafkanku?"

Asahi menghela napasnya. "Iya, kumaafkan, aku mengerti kau juga mungkin tak punya banyak pilihan. Sejak dulu aku selalu berusaha memahamimu seperti halnya aku memahami Sandara Eomma dan Jihoon Hyung, aku tahu kalian tak memiliki banyak pilihan, aku juga selalu berusaha mengerti dengan posisiku di keluarga ini. Tidak apa-apa."

Asahi menatap Yedam yang matanya kini berair. "Kau memaafkanku?"

Asahi mengangguk.

"Sahi."

"Hm?"

"Apa kau juga mau memaafkan Jeongwoo?"

Asahi yang mendengar itu kini hanya tersenyum miris.

Jujur saja, bahkan butuh waktu bertahun-tahun untuk dirinya memahami perbuatan Sandara, Sandara hampir tak pernah menyakitinya tapi wanita itu juga tak pernah berbuat banyak untuk menolong dirinya dari sang ayah sejak kecil.

Asahi hanya tahu bahwa ibu tirinya egois, sama seperti Jihoon dan Yedam, mereka selalu berpura-pura menutup mata dari penderitaan dirinya demi tetap hidup bersama sang ayah.

Asahi berusaha memahami itu selama bertahun-tahun dan berusaha memaafkan mereka pada akhirnya. Tapi Jeongwoo? Anak itu terlalu banyak ikut andil dalam penderitaannya, Asahi tak tahu apakah ia juga bisa memaafkan Jeongwoo begitu saja.

"Maafkan aku, aku tahu itu pasti sulit untukmu. Tapi percayalah, Jeongwoo juga sama-sama korban sepertimu, kalau bukan karena Appa, dia tidak akan melampiaskan rasa sakitnya kepadamu seperti itu."

"Jadi kau mewajarkan perbuatannya?"

Yedam segera menggeleng. "Bukan begitu, aku tahu Jeongwoo salah, tapi-"

Asahi terkekeh miris. "Entah kau atau Jihoon Hyung, kalian berdua sama saja, kalian selalu berusaha membela Jeongwoo. Sungguh, dia sangat beruntung memiliki saudara seperti kalian berdua, kau dan Jihoon Hyung selalu menjaganya bagaimana pun juga, aku iri dengannya."

Kini Yedam benar-benar semakin merasa bersalah mendengar itu.

"Maaf," ucap Yedam. "Aku hanya ingin kalian berdua bisa bermaafan dan saling menjaga, aku hanya takut tak bisa hidup lebih lama dan tak bisa menjaganya lagi."

"Dia masih memiliki Jihoon Hyung kalau kau mati, tenang saja."

"Kau pikir aku bisa mengandalkannya?"

"Jihoon Hyung orang yang kuat, tentu saja kau bisa mengandalkannya."

"Dia tak sekuat yang kau pikir."

"Aku pernah pingsan karena dipukul olehnya saat kecil, aku yakin Jihoon Hyung masih sekuat itu."

Yedam menghela napasnya. "Pertama, aku minta maaf soal itu. Kedua, bukan kuat seperti itu yang kumaksud. Fisiknya mungkin kuat, tapi mentalnya tak sekuat itu. Dia selalu bertindak mengikuti emosinya dan mudah hilang arah. Aku juga mencemaskannya, aku mencemaskan kalian semua. Aku takut tak bisa menjaga kalian lagi kalau aku sudah tidak ada."

"Kau terus bicara seperti itu seolah akan mati besok."

Yedam terkekeh miris. "Aku memang tak akan hidup lama dengan penyakit ini, kau tahu itu."

"Kau hidup di abad ke-21, banyak teknologi medis yang telah berkembang, jangan pesimis begitu."

Asahi kini menatap Yedam yang kembali mendunduk. "Dengar, aku akan memaafkan saudaramu itu kalau dia meminta maaf padaku lebih dulu, dan meski nanti aku memaafkannya, aku tetap tidak mau menjaga Jeongwoo atau siapapun, kau harus menjaganya sendiri dan kau harus tetap hidup untuk itu."

Yedam mulai mengangkat wajahnya dan membalas tatapan Asahi.

"Bertahanlah," ucap Asahi.

Yedam membalas itu dengan anggukkan kecil. "Kau juga, ayo sama-sama bertahan."

Asahi tak membalas ucapannya dan justru mulai memeluk tubuh Yedam. Yedam tersenyum melihat itu.

Ia tak pernah tahu kalau suatu saat dirinya bisa bicara sebanyak ini dengan Asahi, mendengar setiap penuturan Asahi hari ini membuatnya ingin membayar segala hal yang pernah dilakukannya kepada anak itu. Yedam ingin berhenti menjadi pengecut karena ayahnya dan ingin menolong Asahi lebih, setidaknya sebelum ia benar-benar mati nanti.

Yedam kini membalas pelukan Asahi dan mengusap punggung anak itu. "Jadilah saudara kandungku di kehidupan selanjutnya," ucap Yedam.

Yedam yang menyadari napas anak itu tiba-tiba memberat perlahan mulai melepaskan pelukannya. Ia mulai menatap lekat Asahi dan presensi anak itu mulai membuatnya cemas, kelopak mata bagian bawahnya putih dan wajahnya semakin pucat.

"Kau sakit?"

Asahi mengangguk. "Dadaku sesak dari semalam."

"Minum obatmu."

"Aku belum sarapan."

"Yasudah, sarapan dulu kalau begitu."

"Appa menghukumku, aku tak boleh sarapan dulu."

"Dia sudah berangkat kerja, kau tidak akan ketahuan, asam lambungmu akan semakin parah kalau seperti ini."

"Tidak apa-apa, aku juga malas minum obat, obat-obat penenangku bahkan masih utuh dari bulan lalu, aku mau tidur lagi saja setelah ini."

Yedam menghela napasnya. "Di mana kau menyimpan obat-obatmu?"

"Di laci kamar, kenapa?"

"Biar aku mudah mencarinya, aku takut kau kolaps sewaktu-waktu."

Asahi mengangguk paham. "Ya sudah, aku mau mencuci piring dulu. Makanlah makananmu, jangan membuangnya lagi, aku susah payah memasak itu."

Yedam mengangguk. "Terima kasih."

"Belikan aku tteokbokki nanti malam sebagai tanda terima kasih, aku ingin makan itu sejak kemarin."

Yedam terkekeh kecil, ia baru pertama kali melihat sisi seperti itu dari Asahi. "Kau suka makan itu?"

Asahi mengangguk. "Dulu Hyunsuk Hyung sering membelikanku, sekarang dia sudah tak ada di sini, tidak ada yang membelikanku lagi."

Yedam menghela napasnya mendengar itu, ia sadar kalau Asahi sedang merindukan sang kakak. "Ya sudah, nanti kubelikan, sekalian nanti malam aku ingin bertemu seseorang."

"Siapa?"

"Temanku."

Asahi mengangguk paham. "Baiklah, aku pergi dulu. Panggil aku saja kalau kau butuh sesuatu," ucapnya dan segera pergi meninggalkan kamar Yedam.

***

Jeongwoo menyandarkan kepala ke sandaran kursi ruang makannya. Ia sudah selesai makan sejak lima belas menit yang lalu, namun tubuhnya masih enggan beranjak dari sana.

Tadi orang tuanya kembali bertengkar, mereka juga mulai berani bertengkar di hadapan Junghwan, tak peduli meski adik bungsunya itu sudah ketakutan melihat perilaku mereka. Untung saja Jihoon segera membawa Junghwan pergi dari sana, ayah dan ibunya juga langsung pergi begitu saja tak lama kemudian tanpa menyelesaikan makanan mereka. Ia berakhir menghabiskan sarapan sendirian di ruangan itu.

Lamunan Jeongwoo kini terusik saat presensi Asahi tiba-tiba muncul dan masuk ke dalam sana. Anak itu hanya menatapnya sebentar dan mulai mengambil piring-piring kotor dari atas meja.

"Asahi tidak melakukannya."

"Ibunya meminta Haruto untuk mati."

Melihat Asahi membuat ingatan Jeongwoo kembali ke hari saat ia bicara dengan Doyoung kemarin.

PRANG!!

"Asahi?"

"ASAHI!!"

--------------🍃

Maaf baru update :"))))))))

Ini juga aku maksain update padahal blm direvisi, jadi mohon maaf kalo narasi di part kali ini kurang ngefeel dan kebanyakan dialog wkwkwkwkk.

Masih belum tau kapan bisa update lagi, jadi mohon maaf kalo aku ngilang lagi abis ini :"))

Makasih buat yang udah nunggu, jaga kesehatan~~

Continue Reading

You'll Also Like

119K 21.4K 69
Kisah tentang 8 remaja yang ingin melangkah keluar dari belenggu hidup mereka masing-masing. tapi apakah mereka mengetahui masalah apa yang akan mere...
279K 35.3K 36
❝Tujuan Raksa hidup itu cuma satu, dapetin maaf ayah. Setelah semuanya selesai, Raksa bakal pulang, ketemu sama bunda.❞ ©marchsky 29 April, 2021.
397K 32.3K 58
Kisah si Bad Boy ketua geng ALASKA dan si cantik Jeon. Happy Reading.
26.4K 3K 29
Tentang Rain- Selayaknya jas hujan yang melindungi pemakainya dari terpaan hujan yang begitu derasnya, begitupun seharusnya peran keluarga yang menja...