The Fate of Us | Jaerosè

By jaeandje

257K 22.5K 3.9K

Bagaimana jadinya apabila seorang Ketua Dewan Rumah Sakit secara tiba-tiba 'melamar' salah satu dokter reside... More

PROLOGUE
01
02
03
04
05
07
08
09
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31

06

8.5K 887 97
By jaeandje

Gue mau menekankan kalau cerita ini bukan cerita tentang mafia ya🙏🏻

warning!
Part ini ada adegan yang mungkin akan membuat kalian kurang nyaman.

Dan karena beberapa dari kalian ngedm gue buat bikin part uwu nya dulu, jadi untuk beberapa part kedepan gua ga akan bahas konfliknya dulu ya😉

Maaf baru bisa update, empat hari yang lalu gue lupa password akun ini dan baru bisa gue reset kemarin malam ehehe😁

enjoy ya!😊

jangan lupa vote & komennya<3

"Kunci mobil"

Rasel menyodorkan tangan kanannya ke hadapan Jehan. Meskipun lelaki itu sudah menjelaskan ditambah suaminya itu berkata sesuatu yang menyinggung kematian orang tuanya membuat mood Rasel hancur seketika.

Dan apa? Orang tuanya dibunuh? Lelucon macam apa itu?

Hal ini membuat Rasel memutuskan untuk pergi karena merasa tidak sanggup menerima sepatah dua patah kalimat yang baru ia dengar beberapa saat yang lalu.

Rasel bertekad pada dirinya akan melupakan apa yang Jehan katakan hari ini. Kalau ini kebenaran dari kemisteriusan sang suami, lebih baik Rasel tidak mendengarkannya.

Pokoknya Rasel mau pergi dari tempat seperti ini, menjernihkan pikirannya, tidak mau melihat muka Jehan dulu.

Wajar kan kalau Rasel bersikap seperti itu?

"Buat apa?" tanya Jehan bingung.

"Pulang. Gue ngga mau ada di tempat ini," jawab Rasel tidak berintonasi.

Jehan menghela nafasnya, "Sel.."

"Lo salah, Jehan. Orang tua gue meninggal karna kecelakaan, bukan dibunuh!" sanggah Rasel sedikit menggeram.

"Kunci mobilnya siniin. Lo bisa pulang pake mobil sekretaris lo kan?"

Reaksi Rasel gini sangat sesuai dugaannya. Apa yang mamahnya katakan tidak sepenuhnya benar, perempuan itu malah mengelak mentah-mentah.

Jehan sudah menduga kalau Rasel tidak akan langsung mengakui fakta yang ia ungkap tadi.

"Rasel, gue pengen lo jujur. Please?"

Rasel melipat tangannya dan memberikan tatapan datar yang tidak pernah ia tunjukkan kepada siapapun.

"I said it's not true, Jehan"

"Gue udah cerita tentang kematian orang tua gue kan? Sekarang lo bilang orang tua gue dibunuh? What kind of bullshit is that?"

Lagi-lagi Jehan menghela napasnya. Tangannya mengusap kasar wajahnya dan menatap Rasel dengan tatapan sayu seolah merasa putus asa.

Sepertinya Jehan harus lebih bersabar lagi agar istrinya mau membuka mulut dan menceritakan kejadian sebenarnya dari kematian orang tuanya.

"Lo ngga percaya sama gue?"

"GUE BILANG ORANG TUA GUE MATI KARNA KECELAKAAN, JEHAN." bentak Rasel dengan napas yang menggebu.

Bentakan yang berhasil mengejutkan lainnya karena masih berada di sekitar lowongan, dan tentunya juga membuat Jehan sendiri terkejut. Bukan terkejut karena mendengar bentakan, tapi terkejut karena baru kali ini ia mendengar Rasel membentaknya.

Jehan memandangi wajah istrinya yang merah padam dipenuhi emosi, otaknya bergelut keras memikirkan alasan apa yang membuat Rasel tetap menutup mulutnya.

"Gue pulang pake taksi aja." Masih dengan napas yang tidak beraturan, Rasel berlalu dari hadapan suaminya sendiri. Tidak mau mendengar apapun lagi.

"Gue punya alesannya sekarang" celetuk Jehan berhasil membuat Rasel menghentikan langkah kakinya yang hendak pergi.

Rasel membalikkan tubuhnya, "Maksud lo?"

Jehan juga membalikkan tubuhnya sehingga kini mereka saling berhadapan seperti semula. Jari tangan kirinya mengetuk-ngetuk meja sebelum berkata,

"Sebelum kita nikah gue bilang kan kalo gue harus cari alesan buat pertahanin pernikahan ini. Gue udah nemu alesan itu sekarang, Sel"

Rasel langsung dibuat terdiam mematung. Satu hal yang tidak pernah ia duga akan secepat ini, belum genap tiga bulan menikah tetapi Jehan berhasil menemukan alasan itu? Bahkan Rasel tidak menduga alasan tersebut ditemukan, malah ia berpikir pernikahan ini tidak akan bertahan lama.

Ah tapi sepertinya itu tidak benar.

"Kalo ini cuma akal-akalan lo doang, gue ngga tertarik" ujar Rasel hendak membalikkan badan namun dengan cepat Jehan menyekal salah satu tangan, mencegahnya agar tidak pergi.

"What should I say to earn your trust?" tanya Jehan dengan sendu.

Sebelumnya Jehan melihat mereka yang sedang menyaksikan dari lawang pintu lalu memberikan kode dengan sebuah gelengan yang sangat amat tipis kepada mereka untuk tidak masuk dulu dan membantu meyakinkan istrinya.

Kayanya bentakan Rasel tadi berhasil membuat mereka berenam kembali untuk memeriksa keadaan.

"Lo mau ngelak berapa kali, hm? Percuma, gue udah tau semuanya, Rasel" kata Jehan dengan intonasi yang lembut.

"Tau apa lo? Harus--"

"Disini posisinya lo yang bohong sama gue-- Ah engga,"

"Yang bener lo bohong sama diri lo sendiri" cela Jehan memotong omongan Rasel yang langsung dibuat mematung, lagi.

Ada dua kemungkinan yang terlintas di kepala Jehan sebenarnya.

Pertama, Rasel memang tidak ingat kejadian 12 tahun silam yang mengambil nyawa kedua orang tuanya dengan cara yang sangat mengenaskan untuk seorang remaja.

Kedua, Rasel berpura-pura lupa peristiwa tersebut dan sengaja bersikeras tentang kematian orang tuanya karena kecelakaan agar tidak membahas kejadian mengenaskan tersebut.

"Gue tau itu memori buruk buat lo karna itu memori buruk bagi gue juga. Tapi bohong sama diri sendiri ngga akan bikin memori buruk itu ilang dari pikiran lo," jelasnya secara lembut.

Kelembutan Jehan membuat keenam yang dari tadi masih setia menyaksikan kedua insan itu saling bertukar tatap dengan ekspresi terkejut. Terkejut karena ternyata seorang Jehan bisa bersikap lembut juga, sudah lebih dari 3 tahun mengenalnya tetapi belum pernah sekali pun melihat sisi lembut Jehan seperti tadi.

Bahkan bagi Kanara dan Jendra sebagai saudara kandung saja mereka berdua baru mengetahui ternyata saudaranya memiliki sisi hangat juga.

Alaya memeriksa ponselnya saat dirasa sebuah getaran yang tidak berhenti dua menit terakhir. Melihat sebuah pertanda akan sesuatu, ia segera masuk ke ruangan dan duduk di depan kumpulan komputer.

Kanara dan Ezzra mengikuti langkah perempuan yang ahlinya meretas itu karena mereka berdua yang paling peka diantara yang lainnya merasa ada sesuatu yang Alaya temukan.

"Akses CCTV gue di rumah Jehan tiba-tiba putus" ujar Alaya yang menjawab pertanyaan Ezzra dan Kanara tanpa perlu bertanya lebih dulu.

"Someone is taking over mine, shit" umpat Alaya kesal. Tangannya sibuk berkutat pada keyboard untuk mencoba mengembalikan semua seperti semula.

"Lo ada rekaman terakhirnya ngga? Gue takutnya ini ulah mereka sengaja biar lo ngga bisa mantau rumah si Jehan" ujar Ezzra mengungkapkan isi dari insting kuatnya.

"No need that, gue bisa ngambil alih balik detik ini juga. See?" Alaya tersenyum bangga pada dirinya sendiri berhasil mengembalikan aksesnya yang sempat teretas tadi.

Kanara melipat tangannya di depan dada lalu mengangguk tipis, mengakui kemampuan Alaya yang benar-benar luar biasa hebat.

"Ngga salah si Jehan rekrut lo, Ya" kekeh Ezzra menepuk bahu Alaya.

Dialog antara mereka bertiga berlangsung dengan nada yang super kecil, tidak ingin merusak suasana yang masih kurang nyaman.

Kembali pada pasangan yang masih beradu tatap dengan raut kurang bersahabat.

Rasel menghembuskan napasnya, mengulum bibir ranumnya dan berusaha keras agar cairan bening yang sudah terkumpul tidak menetes sambil menunduk agar Jehan tidak melihat ini.

"Kenapa lo masuk ke dunia gelap kaya gini, Je?"

"Udah gue bilang tadi, Rasel. Gue--"

"That's a lie, I know that. Alesan asli lo terjun ke dunia berbahaya ini apa, Jehan? Balas dendam karna ayah lo dibunuh?"

Kali ini sepertinya alasan asli yang sudah Jehan tutupi berhasil terbongkar.

Jehan mematung, belum tau harus menjawab apa.

"Am I right?" tanya Rasel memastikan.

"Balas dendam?" celetuk Kanara menyeringai masam dengan lipatan tangannya di depan dada.

"Gue rasa lo pasti bisa ngebedain mana dendam mana mencari keadilan. Lo bayangin aja, orang terkasih lo dibunuh ketika dia menjalankan misi beratnya tapi pembunuh itu ngga diadili. Apa kita bakal diem aja? Engga, Sel"

Mendengar penjelasan kakak ipar, perasaan dan pikiran Rasel menjadi tidak karuan. Dia merasa bisa memahami apa yang Kanara maksud dari penjelasannya barusan.

Dulu Rasel sempat berpikir seperti itu. Namun tidak lagi karena ia rasa itu semua percuma.

"Orang tua lo juga korbannya. Lo ngga marah?"

Rasel tersenyum kecut, "Marah? Kalo ada kata lain yang mendeskripsikan lebih dari marah bakal gue sebut sekarang juga."

Seketika memori terburuk melintas di pikirannya setelah Rasel melatih diri untuk melupakan memori tersebut selama belasan tahun.

"Dulu gue marah kok, dendam malah. Tapi gue ngga punya siapa-siapa, I have nothing back then. So I chose to try and it took me a dozen years to erase those bad memories, dan sekarang--"

"Buat apa marah?" gumam Rasel dengan nada sendu.

"Toh ngga akan bikin orang tua gue hidup lagi kan?"

Secara ngga langsung Rasel mengakui kematian orang tuanya memang benar dibunuh.

Alaya menggigit bibir bawahnya entah kenapa hatinya merasa tidak enak mendengar suara yang biasa ia dengar lembut nan merdu kini berubah menjadi bergetar dan sendu.

"Sel--"

"Jehan, lo tau ngga kenapa respon gue kaya gini meskipun semua penjelasan lo masuk akal?" Rasel kembali menatap suaminya yang entah kapan sudah kembali duduk di pinggiran meja.

"Gue--" Rasel menunjuk dirinya sendiri dengan dada yang mulai sesak.

"Kehilangan kedua orang tua gue sekaligus dengan cara yang sangat tragis" katanya.

Air mata menetes selepas melontarkan kalimat itu. Rasel sudah tidak bisa menahan diri lagi agar tidak menangis, memori buruk itu yang terlintas memang selalu membuat dadanya terasa sesak.

"Artinya dunia macam ini terlalu berbahaya karna yang jadi taruhannya, nyawa kalian."

"So i'm asking you one question. What will you guys do?"

Kanara, Ezzra, Marven, Yaslan, Jendra dan Alaya hanya saling bertukar tatap. Entah bagian mana yang tepat untuk menjadi jawaban pertanyaan itu.

Lebih tepatnya mereka tidak berani menjawab selagi pemimpin tim mereka ada disini, sosok yang jauh lebih mengetahui rencana selanjutnya.

"We have plan and we have priority." jawab Jehan singkat, padat dan jelas.

Rasel menunjukkan senyum tipisnya, "What is your priority, then?"

"Protect you, Raselia Abiyaksa."

"Ngelindungin gue?!" pekik Rasel tidak menduga konteks kalimat seperti itu akan menjadi jawaban pertanyaannya. "Buat apa?"

"Jeksa. Lo target dia, Rasel" sahut Ezzra tidak berintonasi.

"Kejadian tadi dimana lo sama Jehan diikutin mobil jeep, salah satu tanda mereka mulai nekat"

Rasel memegang kepalanya yang terasa ingin pecah, sangat bingung dengan situasi aneh ini.

"Bentar.."

"Target dia? Maksudnya? Emang dia siapa gue?"

Jendra, Yaslan, dan Marven tidak ingin ikut campur di topik perbincangan yang ini, mereka bertiga menyibukkan diri dengan melihat-lihat kumpulan senjata milik Yaslan dan mendiang ayah tiga bersaudara Kanagara.

"Dia rival gue"

"Gue udah bilang, Sel. He's just manipulate you" ujar Jehan sedikit geram. Kesal karena istrinya ini susah sekali diberitahu.

"Sakit kepala gue..." Rasel mencengkram rambut panjangnya yang terurai. Merasa frustasi dengan apa yang sedang ia hadapi sekarang.

Ezzra, Jehan, Kanara dan Alaya belum memutus tatapan mereka pada dokter wanita yang menjadi kunci utama semua ini.

Disatu sisi mereka merasa tidak tega melihatnya karena mereka bisa merasakan apa yang Rasel rasakan dengan mengingat memori terburuknya.

Tapi disatu sisi mereka berpikir bahwa Rasel harus tau tentang hidupnya yang mulai menjadi incaran seseorang.

"Gue ngga butuh perlindungan kalian" ucap Rasel memainkan jari-jari kecilnya sambil menunduk.

"It's too dangerous." tambahnya terdengar cukup perhatian bercampur takut.

Entah mengapa ujung sudut bibir Jehan sedikit terangkat. Ia berdiri dan maju selangkah kecil agar berhadapan dengan sang istri, "Sel--"

Tangannya mengangkat dagu runcing Rasel dengan lembut sampai keduanya bertatapan. "Hidup lo udah jadi tanggung jawab gue,"

"Tapi bukan berarti lo harus ngelindungin gue dengan pertaruhin nyawa, Jehan" elak Rasel menatap lekat pria di hadapannya.

Rasel ngga tau apakah pasiennya yang bernama Jeksa itu ada sangkut pautnya atau tidak, yang jelas Rasel tau satu hal. Berurusan dengan para pembunuh kedua orang tuanya dulu bukanlah ide yang bagus, terlalu berisiko dan sangat kejam.

Rasel bisa mengatakan ini karena dia sudah pernah melihat kekejaman mereka secara langsung.

Dan Rasel ngga mau kakak-adik iparnya, salah satu sahabatnya, kenalannya bahkan suaminya menjadi korban bagian kekejaman tersebut.

"Gue ngga mau ya" Rasel menggeleng sambil tsrsenyum tipis.

"Gue ngga bisa kehilangan siapa-siapa lagi" lanjutnya yang sangat menusuk hati mereka bertujuh.

Jehan mengelus pipi tembam istrinya, menyeka air matanya yang menetes sedikit. "Lo ngga akan kehilangan siapapun, Sel"

"Ayah gue udah ngorbanin nyawanya buat nyelamatin lo. Kalo gue mundur kematian ayah gue dan orang tua lo bakal sia-sia, jadi please ya jangan suruh gue berhenti."

"T-tapi--"

"Keselamatan lo jadi prioritas gue sekarang"

"Prioritas kita semua" celetuk Jendra dan Alaya bersamaan meralat perkataan Jehan ditengah suasana melow ini.

"And we will do everything we can to ensure your safety," sahut Kanara sambil tersenyum.

Rasel hanya bisa tersenyum kikuk, tidak tau lagi harus merespon apa. Masih banyak pertanyaan yang terkumpul di pikirannya, namun dia memilih untuk membungkam mulutnya karena sekarang saja sudah membuat kepalanya terasa ingin pecah.

Yang hanya bisa ia lakukan adalah menerima dan mendukung mereka meski di dalam lubuknya hatinya ia ketakutan.

°°°

Lola, Jisya dan Rasel bersamaan berjalan menuju ruangan dewan direksi dengan perasaan gugup. Wajar, dipanggil anggota dewan tiba-tiba padahal mereka bertiga tidak tahu kesalahan apa yang sudah mereka lakukan.

"Lo ngelakuin sesuatu, Sya?" tanya Lola dari tadi memikirkan penyebab mereka dipanggil.

Jisya langsung menggeleng sambil memandangi ubin lantai yang mereka lalui, "Sekeras apapun gue coba inget-inget, gue ngga inget loh!"

"Lo gimana, Sel?"

"Sif gue baru mulai sejam yang lalu, sebelum itu gue diem di ruang jaga. Jadi gue ngga inget apa kesalahan gue.." jawab Rasel sesekali menggigit kuku panjangnya.

Masalahnya mereka dipanggil itu langsung sama anggota dewan, jabatan kedua tertinggi di rumah sakit ini yang biasanya menjadi juri penilaian para dokter maupun perawat.

Lola mengacak-acakkan rambut pendeknya, dia sudah berpikir ratusan kali namun tetap otaknya tidak teringat sesuatu yang menjanggal. "Gue juga ngga inget apa-apa!"

Setelah melalui tiga lantai dari IGD menggunakan lift yang tersedia kini mereka bertiga telah berada tepat di depan pintu ruangan auditorium utama.

Jisya, Lola dan Rasel sama-sama merapihkan baju kemudian saling bertukar pandang sebelum membuka pintu ruang auditorium dimana para anggota dewan sudah duduk bersejajaran rapih di dalam sana.

"Pede aja. Selama kita ngga pernah ngelakuin kesalahan, ngga perlu takut" ujar Rasel mencoba menghilangkan rasa gugupnya.

Tangan Jisya mendorong pintu setelah menghela napas, ketiganya berjalan masuk dengan langkah kecil namun cepat.

Rasel membelalakan matanya saat melihat ibu mertuanya yang menjadi salah satu dari tujuh anggota disana, ia lupa kalau mertuanya adalah ketua dewan rumah sakit.

Tetapi yang membuat ia melotot terkejut ialah kehadiran suaminya duduk di salah satu kursi sejajaran dengan anggota dewan lainnya, tepat disamping ibunya.

Tunggu. Jehan bukan termasuk anggota dewan jadi ada keperluan apa ya kira-kira?

"Kenapa ada suami lo?" bisik Lola kecil sekali agar tidak terdengar oleh para dewan.

Rasel langsung menggeleng dan menjawab, "Gue juga ngga tau" tanpa bersuara.

Ketiga dokter wanita ini duduk di kursi yang telah disediakan yang jaraknya tidak jauh dari meja anggota dewan. Bisa dilihat Tania, Jehan dan yang lainnya memandangi setiap pergerakan, membuat ketiganya semakin gugup.

"Selamat siang Dokter Jisya, Dokter Lola dan juga Dokter Raselia. Mohon maaf mengganggu waktu kerjanya," ujar Tania sebagai kalimat pembuka sebelum membahas topik utamanya.

"Kami mendapat laporan bahwa ada pencurian obat anestesi umum lebih tepatnya, Isofluran, dini hari tadi. Tim penyelidik Hadvent dan perusahaan KNG's Pharmacy harus melakukan investigasi karena jumlah obat yang dicuri tidak sedikit."

"Kami akan mengajukan dua pertanyaan saja mengenai kasus ini, apakah kalian keberatan?"

Lola, Jisya dan Rasel baru mendengar peristiwa yang dijelaskan Tania barusan. Tentunya mereka bertiga terkejut dengan kabar tersebut. Namun tidak lama ketiganya menggeleng tegas,

"Tidak, Bu" jawab mereka serempak.

Tania tersenyum ramah seraya mengangguk dan tangannya mulai membuka lembaran kertas. Ia berdeham sebelum melontarkan pertanyaan yang menyangkut kasus pencurian itu.

"Kalau begitu mari kita mulai dengan pertanyaan pertama, apa yang kalian lakukan pada jam tiga dini hari tadi?"

"Saya sendiri sibuk melakukan penelitan terhadap salah satu pasien saya, penelitian itu sama sekali tidak menggunakan obat anestesi karena usaha penelitian saya hanya untuk memastikan sebuah diagnosa kepada pasien tersebut." jawab Jisya tanpa ragu.

Lola menarik napas lalu dihembuskan perlahan, "Kebetulan kemarin adalah jadwal jaga malam saya, jadi mulai dari pukul delapan malam saya sepenuhnya berada di IGD. Dan kemarin malam adanya kecelakaan beruntun membuat saya dan tenaga medis yang lainnya harus tetap berada di IGD dengan waktu yang cukup lama"

Tentunya para anggota dewan dengan penyelidik tidak diam saja mendengar penjelasan Lola dan Jisya. Mereka menulis poin-poin terpenting dari penjelasan tersebut untuk mengambil benang merahnya.

Tania menunjukkan senyum manisnya ketika menatap orang terakhir yang belum menjelaskan kegiatan delapan jam terakhir, yakni menantunya.

Untuk saat ini Tania tidak bisa berperan sebagai ibu mertuanya, sebagai ketua dewan dia harus bersikap profesional. Jadi meskipun jika nantinya sang menantu yang menjadi tersangka, Tania akan bersikap adil sebagaimana mestinya.

Begitu pula dengan Jehan yang sedari tadi tidak mengalihkan tatapannya dari sang istri di tengah sana.

Disaat yang seperti ini, mau tidak mau Jehan harus bersikap netral. Tidak memihak siapapun.

"Seingat saya, jam jaga saya selesai pukul satu pagi hari. Karena tidak memungkinkan untuk pulang di jam segitu, saya memilih untuk istirahat di ruang jaga. Dan saya kembali beraktivitas pada pukul sembilan pagi tadi" jelas Rasel terlalu singkat menurut Tania, Jehan dan yang lainnya sebagai tim investigasi.

Dengan keberanian penuh Rasel kembali membuka mulut, "Untuk membuktikan apakah alibi saya benar atau tidak, mungkin bisa dicek CCTV yang ada di ruang jaga"

Kalimat yang diucapkan penuh ketegasan itu berhasil membuat Tania dan Jehan menahan diri untuk tidak tersenyum.

"Baik, pertanyaan kedua. Apa kalian mengetahui sesuatu tentang hilangnya obat anestesi dengan jumlah yang sangat banyak ini?"

Lola, Jisya dan Rasel sama-sama menggeleng. "Tidak sama sekali, Bu" jawab mereka serempak tanpa di duga.

"Bu Tania.." panggil salah satu tim penyelidik seraya memberi tanda kalau mereka baru saja mendapatkan sesuatu.

Orang itu menunjukkan sebuah video pada tab yang sudah diberikan kepada Tania dan Jehan satu persatu. Tania dan yang lain berbincang dengan suara yang pelan agar tidak terdengar ketiga dokter perempuan disana.

"Alibi nyonya besar terbukti nih jadi ngga usah overthinking lagi ya, bos." bisik Marven yang dari tadi berdiri di samping Jehan.

Jehan menjauhkan tab dari pandangannya, lalu mengusap dagu runcingnya. Hatinya tenang saat mengetahui alasan istrinya tidak pulang kemarin malam. Kebiasaan perempuan itu tidak memberi kabar sama sekali, semenjak dia kejadian ruang rahasia beberapa hari kemarin.

Tania menghela napas lega. Ketiga dokter yang di tengah sana termasuk jajaran dokter hebat serta kompeten, bisa dibilang mereka bertiga memiliki image yang sangat bagus. Khususnya Rasel, dia sudah dikenal hebat dari segi keahlian medisnya kini namanya pun semakin naik sejak berstatus istri Jehan.

Sebagai Ketua Dewan maupun ibu mertua Tania benar-benar bersyukur tiga-tiganya tidak terlibat ke dalam kasus ini.

"Karena kami telah memastikan alibi kalian bertiga, kalian bisa kembali bekerja. Terima kasih atas kerja samanya." ujar salah satu anggota tim penyelidik sembari merapihkan berkas-berkas di atas meja.

Mereka akan menunda kegiatan introgasi ringan ini sebentar karena sekarang merupakan jamnya waktu makan siang, tidak seharusnya mereka mengganggu waktu istirahat begini.

Lola, Jisya dan Rasel langsung merasa lega. Hatinya yang semula terselimuti oleh rasa gelisah kini rasa itu berubah menjadi tenang, apa yang mereka hadapi barusan tidak sesuai ekspektasi ternyata.

Ketiganya kompak berdiri, mengelap telapak tangan yang basah karena keringat dingin pada baju mereka.

"Makan di kantin apa di luar?" tanya Lola sambil menarik pelan kedua temannya, namun mereka tidak langsung melenggang pergi.

"Luar. Abis dibuat degdegkan kek tadi, gue jadi pengen makanan yang berkuah" jawab Jisya.

Di ruangan ini masih ada kehadiran Ketua Dewan dan Direktur KNG, ngga etis kalau mereka bertiga pergi keluar sebelum atasannya.

Jisya, Lola dan Rasel membungkukkan badannya kepada Tania dan Jehan sebagai rasa hormat serta bersikap sopan pada atasan yang sudah menjadi salah satu aturan di rumah sakit ini.

"Dokter Rasel, kamu ada waktu luang? Ada yang ingin saya bicarakan.." celetuk Tania setelah membalas bungkukkan ketiga dokter ini.

Tania berjalan menghampiri Lola, Jisya dan Rasel yang masih berdiam di tengah ruangan besar ini dan Jehan serta sekretarisnya mengikuti gerakan Tania dari belakang.

Yang terlintas di otak Rasel sekarang adalah ini Tania ada perlu sebagai apa ya? Ketua Dewan, ibu mertua atau keduanya?

Rasel menegakkan tubuhnya, tersenyum kepada ibu mertua sekaligus atasannya. Lalu ia memberi semacam kode untuk kedua temannya untungnya mereka cepat membaca situasi.

"Kalo gitu gue sama Lola duluan ya, Sel. Kalo lo mau nyusul, nyusul aja" ucap Jisya dengan suara yang agak kecil. Selepas perkataannya mendapat anggukan dari Rasel, Lola dan Jisya berpamitan dan pergi dari keluarga baru tersebut.

"Ada apa, Bu?" tanya Rasel tanpa basa-basi saat kedua temannya sudah menghilang dari pandangan matanya.

Tania mengerutkan bibir bawahnya, "Kamu istri Jehan tapi kenapa masih kaku banget sama mamah sih?"

Rasel menyengir dan terkekeh. "Takutnya mamah ada perlu sama aku sebagai ketua dewan kan aku harus matuhin aturan disini"

"Engga kok. Detik ini juga peran mamah disini itu sebagai ibu mertua bukan ketua dewan" Tania melingkarkan tangannya di bahu panjang Rasel.

Dari tadi Jehan memeriksa jam tangannya yang dipakai pada tangan kirinya sementara Marven hanya bisa melirik Jehan dengan perasaan heran dan mencuri pandang ke arah Rasel yang terlihat memandangi lelaki di samping Marven.

Rasel merasa ada yang aneh dari suaminya, dia seperti enggan berbicara malah menatapnya saja tidak. Tumben sekali pria itu tidak mengomel apa pun padahal sudah hampir dua hari Rasel emang sengaja tidak mengabari suaminya.

Sedangkan bagi Jehan, entah mengapa dirinya merasa sedang tidak ingin berbicara dengan istrinya sendiri. Seolah Rasel telah melakukan kesalahan fatal padahal kalau mengingat perbincangan bersama tim rahasia Jehan beberapa hari yang lalu, lebih masuk akal jika Rasel yang diam tidak acuh.

"Kalian lagi berantem ya?" tanya Tania menunjuk ke arah Jehan dan Rasel bergantian.

"Enggak." jawab Jehan dan Rasel bersamaan.

Kenapa Marven ngerasa canggung ya? Tangan dia bergerak untuk menggaruk tengkuknya yang tidak gatal ketika mendapat tatapan penasaran dari ibu majikannya.

"Kayaknya Pak Bos masih marah sama Bu Rasel soalnya ngga ada kabar dari kemarin malam" ucap Marven langsung dihadiahi tatapan tajam dari bos sekaligus temannya.

Asal kalian tau, semalam itu Jehan menitahnya untuk melakukan sesuatu yang tidak begitu masuk akal yakni mencari Rasel di tengah malam lalu menyuruhnya untuk segera pulang karena Jehan yang di rumah tidak bisa tidur akibat tak kunjung mendapat kabar dari sang istri.

Ya karena Marven lagi ngantuk berat waktu itu jadi dia tidak menuruti perintah majikannya, malah dia memberikan semacam saran dan masukan untuk tidak terlalu khawatir. Titik lokasi pada peta yang ada di komputer Alaya menunjukkan kalau perempuan itu sedang berada di rumah sakit, jadi harus dicari kemana lagi?

"Ibu majikan nanya itu harus dijawab, bos."

Tania menggelengkan kepalanya setelah itu dia menoleh ke arah Rasel sebentar dan berkata, "Kamu udah tau ya, Sel?"

Rasel segera menatap ibu mertuanya dengan alis yang mengerut. "Tau apa, Mah?"

"Tim yang Jehan buat diem-diem bareng Kanara sama Jendra, dan salah satu anggotanya itu dia" ujar Tania seraya menunjuk Marven dengan dagu runcingnya.

"Ah--" Rasel menundukkan kepalanya, selang tiga detik setelahnya ia sontak melototkan matanya ketika otaknya baru saja menangkap sesuatu.

Mamah Tania tau tentang tim rahasia itu?!

"Loh? Mamah juga tau tentang itu?" pekiknya terkejut. Rasel mengalihkan pandangannya ke sang suami seolah berharap mendapat jawaban namun lelaki itu malah menggidikkan bahunya.

Tania masih tersenyum tetapi kali ini senyuman ragu, tangannya menarik bahu sang menantu agar masuk ke dalam pelukan kecilnya. "Tau"

"Kana, Jehan sama Jendra buat semacam tim itu mamah yang nyuruh, Sel"

"Hah?!"

"Nanti kita ngobrol deh ya? Sekarang mamah ada urusan sama kuasa hukum buat kasus ini," Tania menunjukkan semacam dokumen di tangannya.

Sumpah. Rasel beneran penasaran alasan Tania menyuruh anak-anaknya membuat semacam grup tertutup seperti yang dikenalin ke dia kemarin.

Ngga anak ngga ibu, sama-sama masuk ke dunia berbahaya macam ini. Sebenarnya ada apa?

Asal kalian tau Rasel ingin sekali meminta Tania menjelaskan sekarang juga, tapi karena dia sangat menghargai waktu dan urusan Tania sebagai ketua dewan alhasil Rasel hanya bisa mengangguk.

Dan lagi-lagi Rasel harus menunggu penjelasan yang entah kapan waktu pastinya.

"Ven--" panggil Tania pada Marven yang sedari tadi hanya bisa menatap ke sembarang arah, entahlah dia memandangi apa.

Marven sontak menoleh dan melihat majikannya memberi sebuah kode yang tidak begitu dipahami. Selang beberapa detik Marven membuka mulutnya sambil mengangguk.

Tania menepuk bahu putranya, "Sekretaris kamu mamah pinjem dulu. Kamu makan siang sama istri kamu aja ya?"

"Udahlah, Je. Ngga usah bete gitu orangnya udah di depan kamu ini," goda Tania mengundang tawa bagi Marven, namun sekeras mungkin ia mencoba menahannya.

"Sel, lain kali kalo mau lembur kabarin suami kamu dong. Kan jadi khawatir tuh" kekeh Tania membuat Rasel mau tidak mau tersenyum kikuk.

"Iya, Mah"

"Yaudah mamah tinggal ya?" Rasel mengangguk sedangkan Jehan berdeham kecil sebagai respon mereka. Tania pun melenggang pergi bersamaan dengan Marven di belakangnya.

Tidak mau ada kecanggungan diantara mereka, Rasel maju satu langkah dan menarik kemeja yang Jehan kenakan. "Lo serius marah gara-gara ngga ada kabar dari gue?"

"Gue laper. Mau bareng apa ngga?"

"Ish! Jawab dulu pertanyaan gue, Jehan" Rasel menahan tangan lelaki yang hendak pergi.

Jehan berdecak kesal karena kegiatan makannya harus tertunda padahal perutnya sudah bersuara meminta asupan.

"Siapa yang bilang gue marah? Gue ngga marah, Rasel. Puas?"

"Kemarin-kemarin lo manis banget sama gue kok sekarang tiis lagi sih? Perubahaan mood lo emang nguji hati gue.." gerutu Rasel yang aslinya pengen menggeram dan meluapkan keluhannya.

"Lo ngomong apa?"

"E-enggak. Pokoknya gue minta maaf, kemarin itu gue beneran ngga pegang hape sama sekali." ucap Rasel setelah melepaskan cengkramannya pada kemeja Jehan.

"Ngga usah dibahas lagi" Jehan langsung berjalan pergi meninggalkan Rasel seorang ditengah ruang yang cukup besar ini.

"Tungguin ih!!" teriak Rasel memanyunkan bibir mungilnya.

Jehan menghentikan langkahnya membuat Rasel sedikit menabrak punggungnya dan meringis sakit.

"Kok tiba-tiba berhenti?!"

"Makanya kalo jalan itu liatnya ke depan."

Rasel merotasikan bola matanya sebelum dia menggandeng sang suami dan menariknya keluar menuju kantin rumah sakit untuk mengisi perut mereka berdua.

Pada lorong besar yang dipenuhi staf rumah sakit berlalu lalang bebas rata-rata mereka memandangi satu pasangan yang tengah berjalan berdampinga

"Orang-orang ngeliatin lo tuh, Je" celetuk Rasel, sepertinya dia tidak sadar kalau posisi mereka sekarang itu saling bergandengan.

"Ngga peduli."

"Senyum dikit coba, bisa ngga sih? Datar amat tuh muka kek aspal," gerutunya.

Kurang nyaman dengan posisi digandeng seperti yang dilakukan Rasel, tangan kiri Jehan bergerak untuk menuntun tangan Rasel yang menggandeng ke telapak tangannya untuk ia genggam.

"Eh jangan kaya gini, malu diliatin orang" ucap Rasel dengan suara kecil sambil berusaha melepaskan tautan tangan mereka.

"Diem." Jehan mengeratkan genggamannya agar tautan mereka tidak lepas.

Orang-orang disekitar yang memperhatikan itu hanya bisa menahan senyumnya. Pemandangan yang tidak sering terlihat seperti ini akan sangat disayangkan jika terlewat.

Mereka semua berpikir hubungan pasangan itu berjalan jauh lebih baik dari yang mereka bayangin. Padahal mereka menikah secara tiba-tiba bukan?

Rasel hanya menunjukkan senyuman kikuknya, agak risih karena para staf yang ada di sekeliling memusatkan perhatiannya kepada dirinya yang berjalan bersama suami tersayang.

"Jehan, malu sumpah" bisik Rasel seolah memohon agar lelaki itu mau melepaskan genggamannya.

"Ngapain malu sih? Semua orang juga tau kalo perempuan yang di samping gue itu istri gue" ujar Jehan menilik ke jam tangan yang terpakai.

Mulut Rasel seolah dijahit rapat ketika mendengar kalimat itu sehingga tidak lagi memberontak atau mencoba melepaskan tautan tangan mereka.

Jangan pikir Rasel sudah menerima fakta yang ia ketahui beberapa hari yang lalu, malahan bagi dia semuanya masih berbentuk teka-teki. Terutama saat Tania mengatakan kalau tim rahasia kemarin  dibuat atas perintahnya.

Artinya masih ada lagi yang perlu dijelaskan ya kan?

"Kalo sif lo udah beres langsung pulang, Sel." kata Jehan penuh dengan ketegasan.

"Gue ngga janji" balas Rasel pelan, sedikit takut dengan balasan balik dari suaminya.

"Raselia..."

Rasel berdecak, "Iya, Jehan iya." Dia cuman bisa pasrah aja akhirnya.

"Arah kantin mah kesini ih!"

Ketika Rasel menotis suaminya berjalan ke salah arah, dia sontak menarik tangan Jehan ke arah sebaliknya, jalur yang benar menuju kantin rumah sakit.

Jehan mengulum canggung bibirnya merasa agak sedikit malu. Namun tidak sampai satu detik pun, ekspresi malu pada wajahnya langsung berubah.

"Bukannya Direktur dari perusahaan yang jadi sponsor rumah sakit ini harusnya tau tata letak setiap area rumah sakit?" sindir Rasel dengan nada yang sedikit meledek.

"Ngga gitu konsepnya. Lo pikir kapasitas daya ingat gue ngga ada batasnya apa?"

"Ya tapi lo sebagai Direktur harusnya bisa inget setidaknya kan-- IH NGGA SOPAN!" Rasel memekik kesal ketika Jehan mengusap seluruh wajahnya seraya mengatakan,

"Terserah. Buruan jalan, lo mau gue mati kelaparan hah?"

Entah apa yang membuat Rasel tersenyum. Dia menarik kedua sudut bibirnya saat mendengar kalimat yang menurutnya cukup konyol. "Eum.."

"Suami aku laper, hm?" Mumpung sedang dalam mode hangatnya harus Rasel manfaatkan dong ya, dia memutuskan untuk menggodai sang suami. Kapan lagi coba?

Jehan melemparkan tatapan picingnya, menilik ekspresi yang tidak pernah ia lihat sebelumnya. Sejenak, dia dibuat merinding oleh ucapan yang tidak terduga akan keluar dari bibir mungilnya.

"Lo kesambet apaan?"

Masih dengan ekspresi yang sama, istrinya itu menggeleng sambil menyunggingkan senyuman aneh. "Gue beneran nanya loh ini,"

"Suami gue kelaperan? Kalo gitu mau makan apa? Gue yang bayar!"

Tenggorokannya tercekat sehingga Jehan sempat memalingkan wajahnya ke sembarang arah. Tidak biasanya perempuan itu bersikap seperti ini, entah apa yang merasuki tubuhnya sampai Jehan harus mengakui kalau Rasel sangat menggemaskan.

"Lo pikir uang siapa yang lo pake buat bayarin gue nanti?"

"Chill. Gue pake uang gue sendiri ko, kartu yang lo kasih ngga akan gue sentuh sama sekali" jawabnya yang tidak tersingungg sama sekali karena Rasel tau kalau ucapan Jehan itu semacam lelucon saja.

"Cepetaan ih! Lo mau makan apa, Jehan?" Rasel menggoyangkan tangan Jehan yang berada di genggamannya.

Sekedar info saja kalau dua insan ini telah menjadi pusat perhatian pegawai maupun pengunjung biasa yang hendak masuk atau keluar dari area kantin.

Jehan memperlihatkan senyum tipisnya kepada mereka yang memandanginya, kemudian dirinya mendekatkan diri dan berhenti tepat di samping telinga Rasel lalu berbisik,

"Makan lo boleh ngga?"

°°°

Alaya tersenyum sejenak sebelum merangkul bahu panjang sahabat terdekatnya yang sedang sibuk memakan sebungkus roti lapis.

"Udahan juteknya dong, Sel. Gue kan udah bilang kalo gue ngga niat jadi penipu lo," ujarnya sedih.

"Tapi meski Jehan bukan suami lo gue tetep ngga bakal buka mulut tentang diri gue yang sebenarnya ini. Maaf ya?"

Rasel melirik sambil mengunyah, sorot matanya terlihat merasa bersalah sehingga membuat Rasel tidak tega.

"Kenapa harus dunia yang kaya gitu sih, Al?"

Mendengar pertanyaan itu, Alaya tersenyum tipis. "Lo tau kan kalo Mbak Kana, Jehan sama Jendra kehilangan orang tersayangnya?" Anggukan kepala menjadi jawaban atas kalimat tanya tersebut.

"Gue juga kehilangan orang tersayang gue, Sel. Orang-orang yang lo temuin malam itu sama-sama kehilangan orang tersayangnya dengan pelaku yang sama." jelas Alaya berusaha kuat untuk tidak meneteskan air matanya.

Kenangan paling buruk dalam hidupnya seketika kembali muncul.

"Maaf, gue ngga tau--"

Alaya menepuk bahu yang dirangkulnya, memberi interupsi sebelum Rasel melanjutkan ucapannya. "Sst ah. Kita berempat udah move on berkat suami  dan ibu mertua lo,"

"Mertua gue?"

"Lo belum tau? Sial--" Alaya memukul mulutnya sendiri yang sudah lancang menyebutkan sesuatu yang tidak harusnya keluar.

Lagi. Yang seperti ini membuat Rasel merasa jika kehidupan pernikahannya layaknya sebuah puzzle yang harus ia susun agar semuanya jelas.

Siapa sangka menikah dengan Jehan ternyata akan menjadi serumit ini?

"Ngga usah dibahas lagi ya? Hehee, gue ngga ada hak buat cerita semuanya dari awal." kekeh Alaya sedikit menegaskan kalau dia harus mengalihkan topik pembicaraan diantara mereka.

Rasel tersenyum simpul, kesekian kalinya dia harus mengalah dan membiarkan dirinya dipenuhi oleh teka-teki.

"Lo dijemput Jehan?" tanya Alaya.

"Engga kayaknya." jawab Rasel seraya memeriksa ponselnya.

Rasel membuang bungkus roti lapisnya ke tempat sampah yang kebetulan di sampingnya, "Al, gue tiba-tiba punya pertanyaan random"

"Apa tuh?"

"Ulang tahun Jehan kapan ya, lo tau ngga? Dia tau tanggal ulang tahun gue dan dia ngasih gue kado" lanjutnya.

Alaya menganga tidak percaya, tangannya yang merangkul sontak mendorong sahabatnya. "Lo serius ngga tau? Kenapa lo ngga reset biodata dia coba?"

"Mau reset gimana? Gue ngga punya kemampuan hacking kaya lo ya, Al"

"Whoaa, ternyata ada ya orang bego kaya lo jadi dokter" gumam Alaya terkekeh lucu.

"Sel, suami lo itu public figure. Tanggal lahir dia udah pasti ada di internet lah!"

Rasel langung menutup mulutnya yang terbuka, kaget karena bisa-bisanya dia tidak terpikirkan cara instan tersebut. "Iya juga.."

Alaya berdecih kocak lalu tertawa kecil. "Rasel, Rasel-- Tanggal 14 Februari, tiga hari setelah lo"

"HAH?!"

"Udah lewat satu bulan, Sel" Alaya menahan tawa saat melihat wajah Rasel yang buffering tidak bisa berkata-kata.

"Lo kawin sama dia tanpa tau tanggal lahir suami lo sendiri? Kocak juga ya lo," kali ini Alaya melepas tawanya yang tertahan tadi.

Rasel menggaruk lehernya yang tidak gatal, rasa bersalah muncul ke permukaan benaknya. Kok bisa ia melewatkan hari spesial suaminya sendiri?

"Gue harus ngasih kado apa ya, Al? Surprise party? Atau apa?"

"Jehan bukan tipe cowok yang suka kejutan, trust me, we once gave him a surprise and he's just ignored it. Katanya sih buang-buang waktu," Alaya mendengus sebal.

"Dia ngasih lo kado apa emang?" tanya Alaya.

"Mobil" jawab Rasel kecil.

"Mobil yang lo pake akhir-akhir ini?"

Rasel mengangguk lemah. Sejenak dia mengulum bibir atas dan bawahnya sedangkan Alaya berpikir mau heran tapi suami sahabatnya itu Jehan.

"Gue ngga punya duit sebanyak itu buat ngasih dia kado sekelas mobil yang dia kasih ke gue..." lirih Rasel mengerucutkan bibir bawahnya.

"Orang kaya kalo ngasih hadiah emang ngga nanggung-nanggung yee" gumam Alaya.

"Jadi gue harus ngasih apa, Al?"

"Kasih dia sesuai apa yang hati dan otak lo bilang, maybe it will be more meaningful for him" jawab Alaya sambil tersenyum lebar.

°°°

Kedua kaki Jehan tidak bisa diam jika dia duduk di sofa besar yang menghiasi ruang tengah rumah mewahnya. Rasa gelisah telah menyelimuti benak dan hatinya semenjak beberapa jam yang lalu.

Berulang kali ia mencoba menghubungi sesosok perempuan yang baginya penting untuk dilindungi, namun tidak ada jawaban sama sekali dari sekian banyaknya panggilan yang sudah Jehan coba.

Tau apa yang membuat Jehan lebih merasa panik, khawatir dan gelisah?

Empat jam yang lalu, perempuan itu mengatakan bahwa dirinya sudah dalam perjalanan pulang tapi sampai detik ini Jehan tidak menemukan batang hidungnya di semua area rumah.

"I swear to god, if there's something wrong with my wife, i'll kill you with my own hands, Jeksa" gumam Jehan dengan rahang yang mengeras sampai urat di lehernya terlihat jelas.

Penampilan Jehan dari atas kepala sampai bawah sudah berantakan. Rambutnya yang semula rapih kini acak-acakan, dua kancing kemejanya terbuka, dan satu sisi dari baju kemeja putihnya keluar dari celana katunnya.

"Gue ngga maksud pindah haluan, tapi kali ini gue yakin bukan ulah mereka" celetuk Jendra yang sedang menyandarkan tubuhnya di dinding dekat pintu masuk.

"Gimana gue bisa percaya?" ujar Jehan tidak terlalu terkejut dengan kedatangan adiknya.

Jendra menggaruk pelipisnya, "Semenjak kejadian lo diikutin hari itu gue kerahin anak buah terbaik gue buat mantau pergerakan mereka setiap jam- Ah, setiap detiknya malah"

"Kaptennya udah ngelapor ke gue kalo kegiatan mereka hari ini ngga ada kaitannya sama Rasel"

"Tenang aja. Gue yakin dia ngga kenapa-kenapa" ucap Jendra sambil menghirup rokok eletriknya.

Jehan menutup wajahnya seraya menghembuskan napas panjangnya. Berharap apa yang diucapkan adiknya benar, tidak terjadi apa-apa kepada Rasel.

"Lo jago banget bikin gue khawatir, Rasel"

Kondisi hujan deras di luar semakin membuatnya gelisah khawatir tapi ia tetap berpikir positif.

Jendra tersenyum miring mendengar gumaman kakaknya, mulutnya mengeluarkan asap dengan wangi mix berry lalu menyeletuk, "Udah jatuh cinta ya?"

"Ngelantur apaan lo?" sinis Jehan.

"Jadi abang gue tipikal cowok yang gengsi kalo jatuh cinta sama cewek," Jendra mengangguk paham, lebih tepatnya anggukan meledek.

"Bacot."

Mendengar kata yang bisa dibilang umpatan itu membuat Jendra terkekeh. "Gue numpang mandi ya, bang"

"Miskin amat lo sampe mandi aja numpang di rumah orang" sewot Jehan beranjak dari duduknya dan mulai berjalan mondar-mandir.

"Bacot." balas Jendra mengikuti gaya bicara kakak cowoknya. Lelaki ini membuka jaker leather hitam andalannya kemudian tangannya bergerak untuk melepaskan jam tangannya.

Setelah adiknya pergi dari pandangan Jehan, detik itu juga indera pendengarannya menangkap suara pintu terbuka.

"Arghh, basah banget."

Jehan berjalan ke sumber suara dengan perasaan kesal sekaligus marah, "Lo darimana hah?!"

Kali ini benar dia perempuan yang sedari tadi ia tunggu-tunggu. Rasel terpenjat kaget, menatap Jehan dengan ekspresi polos. Seolah dia tidak sadar kalau sudah kesekian kalinya, Rasel sukses membuat Jehan khawatir setengah mati.

"Lo tau berapa kali gue nelfonin lo?" tanyanya membuat Rasel merasa terintimidasi. "Darimana sih?!"

"Gue sampe harus ngebatalin meeting gue karna pikiran sama perasaan gue ngga tenang, Sel."

Rasel tidak berani menatap suaminya, kepalanya menunduk dan tangannya mencengkram tali tas dan cardigannya yang menjadi pelindung dirinya dari derasnya hujan malam ini.

Perempuan yang tengah kedinginan itu menggigit bibir bawahnya, saking takutnya dia sampai tidak seperti biasanya yang selalu berani menyolot.

"Gue tanya lo dari mana? Kenapa telfon sama chat gue ngga ada satupun jawaban dari lo?"

Tak kunjung mendapat jawaban, Jehan melipat kedua tangannya di depan dada. "Punya mulut kan lo? Jawab pertanyaan gue."

"J-jangan marah dong..." ujar Rasel dengan suara bergetar.

Sejujurnya, melihat penampilan istrinya membuat hati Jehan terenyuh. Rambut dan pakaiannya basah kuyup, dahi, pelipis dan pipinya terdapat butiran-butiran air hujan.

"Kenapa hujan-hujanan?" Kali ini Jehan bertanya dengan suara yang lebih lembut.

Rasel mengulum bibirnya lalu mendongak, "Tadi di halte kan ujan deras banget tapi gue terobos aja, hehehe"

"Hape lo ngga aktif? Gue telfon ngga nyambung, Alaya ngga bisa liat titik posisi lo di denah dia"

"Maaf banget, hape gue batrenya abis. Gue mau ngabarin lo jadi susah" Rasel mengerucutkan bibir bawahnya.

Jehan menghela napasnya, "Terakhir lo bilang ke gue kalo lo udah dijalan pulang, but you only got home after four hours! Where have you been??"

"Gue ke sesuatu tempat dulu" jawab Rasel ragu.

"Lo bener-bener ya--" Jehan menunjuk-nunjuk, tidak bisa berkata apa-apa lagi. Dia memilih untuk menjauhi istrinya dan memijat keningnya di tengah ruangan keluarga.

Untuk kali ini Rasel mengakui kesalahan dirinya, ponselnya mati total dan dia tipikal yang pemalu sehingga dia tidak berani menghubungi suaminya melalui ponsel orang asing.

"Maaf, Jehan. Gue beli ini dulu buat lo" ujar Rasel merasa bersalah karena telah membuat suaminya khawatir.

Meski begitu Jehan benar-benar lega, Rasel pulang dengan selamat. Tanpa ada lecet segores pun.

Jehan membalikkan tubuhnya dan mendapati sebuah bucket dan box persegi di kedua tangan perempuan itu. Keningnya mengerut heran dan alisnya terangkat seraya matanya menatap Rasel dengan tatapan penub pertanyaan.

"Hadiah ulang tahun dari gue buat lo" ujarnya sambil tersenyum lebar. "Happy late birthday, Jehan"

"Maaf banget ya, gue baru tau ternyata tanggal ulang tahun lo tiga hari setelah gue."

"Lo udah ngasih gue kado waktu gue ulang tahun, sekarang gantian gue yang kasih. Tenang aja ini murni dari uang gue kok, tapi sorry hadiah yang gue kasih ini ngga sebanding sama hadiah yang lo kasih buat gue,"

Rasel berbicara dengan suara kecil nan lemah, seolah merasa insecure kalau dibanding dengan pemberian Jehan sewaktu dia ulang tahun.

"Gue ngga tau lo suka apa, jadinya gue beli kue biasa aja. Dan karena ulang tahun lo tanggal 14, which is, itu hari valentine jadi gue buatin bucket chocolate!!" Rasel tersenyum heboh.

"Tapi bucketnya udah lumayan hancur, kena hujan ehehe, gapapa ya?"

Sementara Jehan malah memberikan tatapan yang super datar seperti tidak tersentuh sedikit pun.

"Sini," ujar Jehan, lebih tepatnya menyuruh sang istri untuk menghampirinya.

Kalian tau perasaan Rasel gimana sekarang? Sedih banget, kayaknya pria itu tidak suka pemberian dia. Dengan perasaan sedihnya ini Rasel melangkah lesu sampai di hadapan suaminya. Kepala kecilnya menunduk, menyembunyikan rasa malu sekaligus sedihnya.

"Ngga suka ya? Maaf, kalo gitu gue kasih ke anak kecil yang suka diem di halte--"

"Sesuatu tempat yang lo maksud itu toko kue?" tanya Jehan yang langsung mendapat anggukan.

"Dan lo hujan-hujanan karna beli ini dulu?" Lagi. Pertanyaan yang dijawab sebatas anggukan.

Kalau begini caranya, tidak mungkin jika hatinya tidak tersentuh. Malah perasaannya yang semula dingin perlahan kian menghangat dan muncul rasa bersalah karena sudah memarahinya.

Mata Jehan terjatuh pada box kue dan bucket coklat yang tatanannya agak berantakan akibat ujan deras yang Rasel lalui. Kedua sudut bibirnya terangkat sedikit menimbulkan senyuman tipis.

"Hadiahnya gue terima."

Rasel mendongak dengan tatapan binarnya dan senyumnya yang merekah. "Serius??!"

"Tapi lain kali--" tangan kekarnya bergerak untuk merapihkan rambut basah sang istri. "Jangan kaya gini lagi"

"Lo ngga paham sebesar apa rasa khawatir gue hari ini, Sel"

Jehan sedikit tersenyum sembari mengambil kue dan bucket coklat pemberian istrinya, "Thank you for this"

"Tapi gue rasa terima kasih gue ngga cukup untuk lo yang udah ngeluarin effort buat beli dua hal ini" lanjutnya sambil menyimpan kedua hadiah tersebut di atas nakas panjang didekatnya.

"Kok gitu? I had fun when I bought the cake and made the chocolate bucket. And what makes me even happier is that you like my gift, even though it's not as good as your present on my birthday" balas Rasel masih tersenyum bahagia.

Jehan juga tersenyum ketika matanya melihat tulisan 'Happy Birthday' pada kue di dalam box yang bagian atasnya transparan.

Setelah kembali berhadapan dengan Rasel, lelaki dingin itu menarik pinggang rampingnya agar jarak diantara mereka terhapus dan dengan jarak yang sedekat ini dia bisa merasakan tubuh istrinya agak bergetar kedinginan.

"Lo bisa manis juga ternyata ya.."

Rasel menyimpan kedua tangannya di pinggang suaminya dengan senyuman lebarnya, "Iya dong! Gue bisa bersikap jauuuh lebih manis dari yang lo bayangin"

Jehna berdecih tanpa menghapus senyuman tipis di wajahnya. "Ngomong-ngomong, kenapa lo harus hujan-hujanan? Lo bisa sakit, Rasel"

"Gapapa. Hujan-hujanan itu seru tau! Terakhir kali gue hujan-hujanan waktu gue kecil bareng bunda sama ayah,"

Meskin tubuhnya sedikit kedinginan sekarang, dia merasakan ketika bermain dengan air hujan deras memiliki euforia yang berbeda. Dan satu hal yang membuat Rasel mau hujan-hujanan.

Memutar kembali kenangan bersama kedua orang tuanya meskipun tidak dengan sosok yang sama.

Jehan memerika sekujur tubuh istrinya secara lembut. "Lo serius ngga kenapa-kenapa kan?"

Rasel tertawa, entah mengapa melihat wajah panik nan khawatir yang begini sangatlah lucu di mata Rasel. "Serius, Jehan. Gue aman kok"

Tentunya Rasel paham kok kenapa Jehan bisa sekhawatir ini. Jujur ketika mengetahui rival Jehan tiba-tiba menjadikannya target, Rasel agak takut dan lebih berwaspada lagi.

Jehan menghela napasnya, setelah memastikan istrinya itu tidak kenapa-kenapa dia berangsur lega dan merutuki dirinya karena membuat sang istri harus terguyur hujan deras.

"Oh iya, lo udah makan belom? Kalo belom nanti gue masakin makan malam, tapi gue mau mandi dulu gapapa?" Rasel menatap Jehan yang tengah menatapnya juga.

Rasa bersalah seketika muncul ke permukaan benaknya, tadi Jehan sempat menyinggung kalau suaminya itu membatalkan jadwal rapat karena merasa tidak tenang.

Rapat saja dia tidak segan membatalkannya, jadi sepertinya lelaki itu melewatkan jadwal makan malamnya juga.

"Ngga usah masak. Lo istirahat aja hari ini,"

Tangan Rasel yang semula di pinggang Jehan, kini bergerak pindah dan mengalungkan tangannya di leher jenjang Jehan. Kemudian wanita itu menatap Jehan dengan sangat lekat sehingga ia menyadari lelaki yang di depannya ini nyaris sempurna.

"Maaf ya udah bikin lo khawatir" ucap Rasel serius.

Entah apa yang merasukinya, perempuan bersurai panjang ini mengecup bibir suaminya sehingga sang empunya dibuat melongo atas perbuatannya.

"Itu sebagai permintaan maaf gue, diterima?"

Bukannya menjawab, Jehan malah menempelkan lagi bibirnya seolah tidak puas dengan kecupan singkat yang Radel berikan tadi. Terlalu tiba-tiba, sehingga hampir saja tersorong ke belakang, tapi dengan sigap Jehan menahannya.

Tidak hanya sekedar menempelkan, Jehan mulai memagut bibir ranum istrinya secara lembut dan halus, tidak mau menyakiti sang empunya. Pikiran keduanya kosong seketika bahkan Rasel perlahan membalas lumatan yang Jehan berikan.

Layaknya profesional padahal ini kali kedua bagi Jehan, dia mulai memainkan lidahnya, menelusuri rongga mulut perempuan di genggamannya. Rasel melenguh ketika dirasa Jehan sesekali menggigit bibir bawahnya.

Bahkan tangan Jehan yang di pinggang Rasel, mulai bergerak naik untuk menjamah tubuh ramping sang istri.

Sebelum akal sehatnya benar-benar hilang, Jehan menyudahi aktivitas pangutan mereka dengan beri kecupan singkat di ujung bibir sang istri yang menjadi penutup kegiatan manis malam ini.

Bahaya, pikir Jehan. Bibir ranum istrinya itu manis dan benar-benar candu hingga membuat Jehan menggila sejenak.

"Jangan bikin gue khawatir lagi ya?" Jehan melihat iris mata Rasel dan rona merah di kedua pipinya.

Rasel tersenyum manis. Entah mengapa kegiatan manis barusan, membuatnya merasa kupu-kupu berterbangan di dalam perutnya. Ini kali pertama dia merasakan sensasi senang semenjak belasan tahun yang lalu.

"Jangan hujan-hujanan lagi, nanti lo kedinginan" kalimat ini tertutur seraya membawa tubuh Rasel ke dalam dekapannya.

Jehan mengelus lembut kepala Rasel dengan rambut yang mulai mengering, sesekali mencium tulus pelipis istrinya.

Sementara Rasel mengulas senyum manis di dalam dekapan tersebut, tangannya juga bergerak untuk membalas pelukan Jehan yang begitu erat.

Di sisi lain sosok pria yang baru saja keluar dari kamar mandi langsung mendapat pemandangan panas dari pasangan suami istri di bawah sana. Ingin mengumpat, tetapi dia juga ingin meriahkan suasana yang tidak pernah ia lihat sebelumnya.

"Oh my eyes.." dia berlagak menghalangi matanya dari pemandangan yang seharusnya tidak ia lihat.

Senyum miring nan senang muncul di wajah muda dirinya. Tangannya yang menopang pada batasan kaca lantai dua mengetuk-ngetuk pelan, tidak mau mengganggu kehangatan diantara mereka.

"Clearly, you're in love with her my bro" gumamnya merasa turut senang.

Tapi kalau dipikir-pikir kayaknya seru juga ya kalau menginterupsi kegiatan peluk-pelukan mereka? Setelah memasukkan ponselnya ke dalam saku celana, Jendra mengeringkan rambutnya dengan handuk putih yang mengalung di lehernya.

Kemudian dia berjalan menuruni tangga dan sengaja mendeham untuk mengganggu kakaknya yang mulai tertawa bersama sampai Jendra tidak lagi melihat raut khawatir atau marah di wajahnya.

"Ekhem! Sial bener gue dateng kesini cuma bikin mata gue ternodai.."

to be continued~~~

HAIII, IM BACK BESTIEEE😆

ehehehehe maaf ya gue ninggalin dua minggu wkwkw, emang parah si gue😡

tapi serius minggu ini gue lagi banyak banget tugas, gapapa lah karna gue STRONG!

Stress Tak Tertolong:)

Tadinya gue mau nyertain visualisasi Jehan-Rasel kiseu, tapi jangan ah bahaya.

Next part kemungkinan uwu moment buat pasutri ini🥰

See u di part selanjutnya!

cantik bgt si ayang Jae😍😭

Continue Reading

You'll Also Like

332K 27.6K 39
"I think ... I like you." - Kathrina. "You make me hate you the most." - Gita. Pernahkah kalian membayangkan kehidupan kalian yang mulanya sederhana...
79K 7.6K 21
Romance story🤍 Ada moment ada cerita GxG
49.6K 3.6K 51
"Jika ada yang harus berkorban dalam cinta ini, maka itu cintaku yang bertepuk sebelah tangan" - Dziya Idzes "Sekat-sekat ruang yang tertutup layakn...
38.4K 4.9K 43
[DISCLAIMER!! FULL FIKSI DAN BERISI TENTANG IMAJINASI AUTHOR. SEBAGIAN SCENE DIAMBIL DARI STREAM ANGGOTA TNF] "apapun yang kita hadapi, ayo terus ber...