TRULY DEEPLY (REVISED)

By irfaza_faza

319 0 0

Kriteria cowok idaman Liesel adalah sederhana, biasa, dan tidak terlibat kepentingan apapun-kriteria yang ber... More

Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 16
Chapter 17

Chapter 15

12 0 0
By irfaza_faza

-Liesel Iskan-

Aku benar-benar tak terlalu menyadari dampak yang aku lakukan saat menerima Galan sebagai pacarku sampai hari ini. Galan menungguku di depan gerbang, dan karena aku berangkat agak siang jadi hampir semua orang di sekolah memandangi kami dengan penasaran. Aku memandanginya dengan alis bertaut sedangkan Galan sama sekali tidak terganggu. Dia tersenyum lebar dan bahkan memaksa membawakan tasku. Kemarin ketika melihat Riana dan pacarnya aku tidak menyadari kalau hal-hal seperti ini sangat memalukan.

Aku berjalan cepat menjauhi Galan sedangkan Galan mengejarku dan memanggil namaku.

"Kenapa kamu cepat-cepat?" tanya Galan ketika berhasil menyusulku.

"Kenapa kamu membuatnya sangat jelas? Sekarang semua orang memandangi kita." kataku pelan dan agak geregetan.

"Kenapa? Kamu ingin merahasiakan hubungan kita?"

"Aku malu."

"Kenapa harus malu? Kita pacaran, dan tidak ada hal memalukan soal itu. Iya, kan?"

"Tapi-"

Galan akhirnya menarik tanganku dan memaksa aku berhenti di lorong. "That's okay, Liesel. Everything will be okay, trust me."

Melihat kesungguhan Galan, aku tahu hal ini sangat penting untuknya. Diketahui semua orang atau apapun itu. Akhirnya aku mengangguk pelan.

Galan tersenyum manis. "Kamu bahkan nggak tahu kalau dari kemarin aku menanti-nantikan hari ini. Bertemu kamu."

"Really?"

"Em." Galan mengangguk seperti anak kecil yang mengatakan betapa ia menyukai permen. "Hari ini kamu pulang jam berapa?"

"Aku? Aku ada les piano. Kamu ingin melihat les piano aku? Kalau kamu tidak sibuk?"

"Aku nanti pulang jam 1 karena bertemu Mama. Tapi aku bisa kembali lagi ke sekolah setelah selesai. Kapan kamu mulai?"

"Jam 3." Kemudian perkataannya sedikit menggangguku. "Kamu bertemu Mamamu dengan cara janjian seperti itu?"

"Iya, Mamaku super sibuk. Kalau nggak janjian, aku nggak akan bisa bertemu dia."

"Papa kamu?"

"Oh Mama dan Papa aku bercerai. Sekarang Papa aku mungkin di Hawaii."

Galan mengucapkannya tanpa beban. Aku tidak menyangka kalau kehidupan keluarganya juga berantakan sama seperti aku. "Kamu pasti kesepian. Kamu anak tunggal kan?"

Galan mengangguk. Aku melanjutkan. "Tapi sekarang kita saling memiliki. Kita nggak akan kesepian lagi."

Galan tersenyum lebar kemudian ia menjulurkan tangannya, menggenggam tanganku. "Mari bergandengan tangan mulai sekarang-biar aku nggak kedinginan."

Aku memukul bahunya-tahu ia hanya mencari alasan. Tapi pada akhirnya kami tetap bergandengan tangan sampai di depan kelasku. "Sampai jumpa nanti sore."

Galan mengangguk. "Bye."

Ketika Galan pergi, aku mulai memikirkan alasan apa yang akan kukatakan pada Riana. Dia pasti akan mendengar berita ini dan menemuiku dengan sangat marah. But, who cares? Aku memutuskan tidak akan peduli.

*****

-Galan W. Aldrich-

"Wow, Galan, begitu gue masuk gerbang berita pertama yang gue denger lo sama Liesel gandengan tangan. Lo pengen semua orang tahu, ya?" kata Galih begitu dia masuk kelas.

"Tentu saja." kataku percaya diri. "Gue nggak punya alasan buat menyembunyikannya."

"Gimana nih ya misalnya fans lo nyerang Liesel? Lo pengen dia kenapa-napa?"

"Gue nggak punya fans, Lih."

"Orang yang bodoh sekalipun tahu lo punya fans sekalipun lo bukan artis-"

"Kalaupun begitu, ya, gue tinggal jagain-"

Kalimatku terpotong karena ada seseorang yang memanggilku dari luar kelas. Ketika aku melihat keluar ternyata Riana. Aku menghela nafas. Oke, dia terlihat sangat marah padaku. Baguslah setidaknya dia tidak menghampiri Liesel dan memarahinya.

"Sepertinya lo pacaran sama Liesel adalah persoalan serius bagi Riana." kata Galih kemudian menepuk pundakku menguatkan.

Aku berjalan keluar kelas. "Ada apa?" tanyaku ketika tepat di depan Riana yang menyeret tanganku agak menjauh dari keramaian.

Riana berkacak pinggang. "Ada apa? Kamu tanya ada apa? Kamu memperlihatkan ke semua orang kalau Liesel pacar lo padahal-"

"Gue emang pacaran sama Liesel."

Mata Riana membulat tak percaya. "Lo? Sama Liesel?"

"Iya, dan lo sendiri yang bilang kalau Liesel nggak mungkin menyukai orang seperti gue."

Riana mengumpat. Aku tersenyum tipis.

"Lo bakal menghancurkan hidup gue dan keluarga gue."

"Asal bukan kehidupan Liesel."

Riana mengumpat untuk kedua kali. "Sumpah, lo bangsat. Gue nyesel udah ngundang lo ke acara pesta ultah gue."

"Memang kenapa gue bisa menghancurkan hidup lo?"

"Bukan urusan lo."

"Kalau gitu nothing to worry about. "

Mata Riana menyipit. "Lo bakal nyesel, Ga."

"Menyukai cewek semanis Liesel nggak akan membuat gue nyesel."

"Lo tahu apa yang akan terjadi kalau semuanya berjalan tidak lancar? Liesel akan pergi dan lo bakal nyesel. Lagian lo tahu siapa Liesel? Orang kayak lo dan orang kayak Liesel nggak bakal bisa bersatu."

Kali ini ganti aku yang merasa marah. "Orang kayak Liesel? Siapa elo berani menghakimi orang lain seperti itu? Apa lo bahkan pernah bercermin? Mungkin saja orang seperti elo yang nggak pantas."

Kemudian aku menambahkan, "Jangan pernah memprovokasiku, Ri. Jangan pernah."

"Gue udah memperingatkan elo, ya." Kemudian Riana berlalu dengan menghentakkan kakinya. Mataku menyipit memandangnya, kesal.

Diantara semua orang, nggak ada yang seberani Riana padaku. Aku memang jarang berinteraksi dengannya, tapi aku tahu dia memang brat girl. Dan kuakui di sekolah ini, dia menjadi salah satu perempuan yang disegani dan dihormati. Tapi haruskah dia seberani itu? Tidak tahukah dia siapa yang berani ia bantah barusan-

*****

Acara makan siang dengan Mama sangat membosankan. Mama selalu mengatakan sesuatu yang diulang berkali-kali hingga rasanya aku hafal yaitu tentang tanggungjawab memegang perusahaan. Satu-satunya hal yang aku excited dari cerita Mama adalah terkait ekspansi salah satu anak perusahaan ke Qatar. Jika Mama berhasil menjalin kerjasama dengan salah satu perusahaan besar di sana, rencana ekspansi itu benar-benar excellent. Qatar memang negara kecil, tetapi negara kecil itu memiliki semua sumber daya yang menguntungkan perusahaan.

Begitu Mama bilang akan tinggal sebulan di Qatar, aku tidak kaget. Aku juga tahu apa yang harus aku lakukan di sini. Artinya, Mama ingin fokus pada proyek Qatar, dan proyek selebihnya akan dilimpahkan ke orang kepercayaannya. Tugasku adalah mengawasi dan mengecek proyek-proyek lain itu. Aku tahu aku memang masih muda untuk melakukannya. Tapi memang begitulah makna anak tunggal dan pewaris perusahaan.

"Jangan main-main, Galan." Adalah pesan Mama sebelum pergi.

Aku berpikir. Memang kapan aku pernah main-main? Bahkan untuk tugas selevel OSIS saja aku kerjakan dengan sungguh-sungguh. Orang-orang yang ngefans padaku karena aku seorang ketua OSIS, mereka tidak tahu bahwa OSIS hanyalah sebagian kecil dari tugasku saat ini.

Begitu Mama pergi, aku ingin segera bertemu Liesel. Biasanya aku akan malas kembali ke sekolah apalagi ini sudah cukup sore. Tapi bisa memandang wajah Liesel sepadan dengan perjuanganku menerjang kemacetan. Sekolah sudah cukup sepi begitu aku sampai. Tapi aku tahu Liesel pasti masih di ruang ekskul musik. Aku memasuki ruangan piano tanpa peduli pada beberapa pandangan anak yang sedang memainkan beberapa instrumen. Bu Faza bersiap-siap pulang ketika aku datang.

"Galan, ada apa?" tanya beliau bingung.

"Saya ingin bertemu Liesel."

Liesel yang sedang duduk di kursi piano segera menoleh ke arahku. Dia tersenyum manis. Apa aku bilang? Usahaku pasti sepadan.

Kening Bu Faza mengerut curiga. Namun kemudian beliau berkata, "Ya sudah saya pulang dulu. Ketika beliau pergi, aku mendekati Liesel.


"Kamu baru datang?" tanya Liesel. "Bagaimana acara makannya dengan Mamamu?"

"Membosankan-seperti biasa. Kamu masih ingin di sini? Berlatih?"

Liesel mengangguk. "Sorry-soalnya ini masih ada waktu-"

"Aku akan menunggu kamu." potongku.

Selama hampir satu jam aku memandangi Liesel bermain piano. Kadang dia kecewa dengan dirinya sendiri ketika tidak bisa menyesuaikan tempo yang ia harapkan. Aku berpikir bahwa sebenarnya di level Liesel yang ini dia tidak lagi butuh Bu Faza. Kenyataan bahwa dia masih menghargai seorang guru membuatku sangat takjub.

Jika berada di depan piano, aku hanya melihat seorang Liesel yang penuh tekad, gigih, ambisius, dan pantang menyerah. Terlihat berbeda dari dirinya yang biasanya. Ketika waktu menunjukkan pukul 5 tepat, akhirnya Liesel berhenti berlatih.

"Bagaimana menurutmu?" tanyanya tiba-tiba.

"Terlihat susah."

"Apa kamu terkesan?"

"Aku sudah terkesan sejak pertama kali lihat kamu main piano."

"Ahh itu nggak ada apa-apanya. Kalau sekarang aku harus berjuang."

"Kamu bilang itu hanya acara biasa. Bukan kompetisi. Kamu tidak usah terlalu-"

"Tapi ayahku di sana."

Ayahku. Di. Sana.

Aku menatap Liesel lekat-lekat. "Kamu bilang tidak mengharapkan ayahmu-?" tanyaku super hati-hati.

Liesel terlihat terluka saat memikirkannya dan ekspresinya juga menyakitiku. "Dia membuangku. Aku memang sudah tidak menganggapnya sebagai ayah. Tapi ini kesempatan untuk memperlihatkan padanya bahwa aku tumbuh hebat meskipun tanpa dia. Dia harus menyesal telah mengabaikan dan membuangku."

"Liesel-"

Liesel menunduk. Entah bagaimana aku melihat matanya berkaca-kaca. "Aku terlihat menyedihkan, ya. Sekarang kamu tahu bagaimana situasiku. Aku tidak akan kecewa jika kamu ingin putus, seperti yang kita sepakati di awal-"

"Aku kecewa." kataku kemudian.

Liesel mendongak. Kesempatan itu aku gunakan untuk menghapus air matanya menggunakan jariku. Dia cukup terkejut.

"Aku menyukaimu. Aku mengusahakan segala cara agar hubungan ini berhasil. Tapi kamu terlihat mudah sekali mengatakan putus."

"Bukan begitu-"

"Kalau begitu, ayo kita sama-sama berusaha, Lie. Aku tidak pernah mempermasalahkan siapa kamu ataupun ayah kamu. Aku hanya ingin hubungan ini berhasil."

Liesel mengangguk-angguk, patuh.

*****

Continue Reading

You'll Also Like

79.7K 3.3K 40
(under major editing) bl (boys love)
44K 2.5K 39
Javaid
216K 9K 50
|ongoing| Ivana grew up alone. She was alone since the day she was born and she was sure she would also die alone. Without anyone by her side she str...