"Mengecewakan penghuni bumi untuk yang kesekian kali dengan berharap dia tidak pergi. Bro, itu komedi." -Banu Bentala
***
Tepat pada waktu bel pulang sekolah berbunyi, seluruh warga Padja Utama keluar dari tempat belajar mereka membuat suasana sekolah sekarang menjadi sepi.
Keadaan sunyi yang terkesan menyeramkan itu tidak membuat Kanagara bermata elang tersebut takut. Ia masih menunggu seseorang di depan gerbang sekolah, tidak di parkiran, karena sudah tidak ada siapapun di sana.
Raksa mengedarkan pandangannya mencari seseorang yang ia tunggu sejak 30 menit yang lalu. Gadis itu belum juga muncul di hadapannya, padahal Raksa yakin mereka sempat berpapasan di lorong kelas ketika hendak pulang.
"Sa!" Sautan itu membuat kepala Raksa menoleh. Keningnya mengkerut saat mendapati gadis berambut pirang yang menghampirinya.
"Ikut pulang ya Sa? Tante gak bisa jemput sekarang, Aku jadi di suruh sama kamu aja pulangnya." Ujar Rachel.
Raksa hanya menatapnya datar. "Gak bisa." Tolaknya dingin.
Bibir gadis itu mengerucut kecewa. "Yah Sa.. Masa Aku pulang sendiri? Kamu kan tau Aku gak bisa naik bus atau angkot, Aku takut." Jelasnya berharap Raksa mengijinkannnya untuk pulang bersama.
"Biasain."
"Tapi Aku trauma naik bus."
"Tunggu aja mama gua sampai datang." Balas cowok itu acuh, tidak peduli tentang sepupunya yang semakin hari semakin merepotkan.
Rachel menghela napasnya frustasi. "Please help me. Sekali ini aja Sa, gak akan lagi abis itu, ya? Anterin.." Pintanya.
Raksa mendengus kasar membuat Rachel tersenyum penuh arti. "Atau.." kalimatnya terhenti membuat Raksa menatapnya penuh tanya. "Aku minta Om aja buat jemput " Ujar gadis itu semakin liar dengan rencana di kepalanya.
Raksa mengeraskan rahangnya, selain merepotkan Rachel memang menyebalkan. Cowok itu mendecak malas lalu menyerahkan helm kecil yang biasanya Alda pakai. Rachel tersenyum senang dan segera naik di atas motor cowok itu. Ia meletakan tangannya pada pundak Raksa karena tahu jika Rachel nekat memeluknya, Raksa akan marah.
"Makasi Sa.."
Bersamaan dengan motor Raksa yang pergi meninggalkan area Padja Utama, sedangkan sosok perempuan itu sudah berdiri sejak tadi di ujung lorong memperhatikan drama kecil yang tertangkap matanya, ia hanya bisa diam tanpa niatan menghentikan aksi kedua manusia itu.
Gadis itu mendecih. "Basic pemain." Desisnya.
Tin!
Alda menoleh ke arah suara, ia melihat motor ninja merah mendekat ke arahnya. Dahi Alda sedikit mengkerut sebelum sosok itu membuka kaca helmnya.
"Lo gak pulang Vel?" Tanya Alda sedikit terkejut karena manusia dingin itu masih ada di area sekolah.
"Ini mau," kata Divel.
Alda mengangguk singkat. "Terus Bina mana? Gak sama lo?"
"Gak,"
"Tumben?" Tanyanya heran.
Divel menatap ke arahnya sedikit intens, lalu ia membuang pandangannya lagi. "Mau pulang bareng gak?" Tawarnya.
Alda terkejut, gadis itu menatap Divel penuh tanya. "Bina udah gua anter tadi." Ujar Divel seakan mengerti apa yang Alda pertanyakan.
Alda sedikit berpikir, masalahnya memang niat Alda adalah pulang sendiri, enggan bersama Raksa karena mood nya sudah turun hari ini.
"Mau hujan, udah sore." Kata Divel lagi.
Alda mengangguk pada akhirnya. "Tapi beneran nih?"
Divel mengangguk singkat. "Bina gak marah kan?" Tanya Alda lagi, takut jika sahabatnya itu marah karena cowok incarannya mengantarnya pulang.
"Dia gak cemburuan." Ujar Divel.
Alda menghela napasnya dan mulai naik di atas motor cowok dingin itu. "Udah." Sautnya membuat Divel segera menyalakan mesin dan menancap gas keluar dari area sekolah mereka.
***
Alda menghela napasnya setelah ia berhasil menginjakan kaki di rumahnya. Gadis itu masuk ke dalam kamar dan meletakan tas sekolahnya di atas ranjang.
Brak!
Sontak ia menoleh, suara benda jatuh mengarah pada jendela kamarnya yang terbuka. Gadis itu melangkah untuk memastikan suara itu bukan apa-apa.
"Kok jendelanya kebuka?"
Alda mengernyit bingung, namun saat ia berbalik kakinya tak sengaja menendang sebuah buku. Sticky note berwarna hitam ada di sela-sela buku itu, ia pun mengambilnya.
-Promise back at 17-
Gadis itu terdiam saat membaca kalimat singkat yang tiba-tiba membuat dirinya menjadi was-was. Apa maksudnya? Siapa yang akan kembali?
Alda melirik ponselnya saat sebuah notif dari seseorang yang membuatnya kesal hari ini muncul.
Raksa menghela napanya kasar. Hatinya menjadi tidak tenang, apalagi saat mengingat kejadian sore ini disaat Raksa tidak mengantar Alda pulang. Raksa mendesah kasar saat tidak mendapat balasan atau tanda-tanda pesannya di baca, sama sekali tidak.
Kanagara bermata elang itu segera membuka ponselnya lagi, namun tetap tak ada balasan. Cowok itu mendesah frustasi dan mematikan layar ponselnya, memilih untuk melajukan motornya menembus angin sore hari ini. Ia memainkan gas motornya melaju sangat cepat di jalanan kota.
Motor yang Raksa kendarai berhenti di sebuah markas perkumpulan ketujuh manusia yang terkenal berandalan, mereka ada di sana sekarang.
"Cuy.. gila si bos rela ninggalin bidadari demi mak lampir!" Seru Kenzo saat mendengar cerita Divel yang baru saja mengantar Alda sesuai dengan permintaan ketuanya.
Raksa menoleh, mendengar hal itu barusan cukup membuat rasa kesal Raksa terpanggil. Cowok itu mendudukan dirinya di teras bersama sebatang rokok yang diapit oleh jarinya. Memang tidak biasa, dan jika Raksa sudah berada dalam kata kurang baik pasti cowok itu akan melampiaskannya dengan merokok. Sedangkan Divel masuk ke dalam markas setelah membeberkan cerita itu.
Arza mendudukan dirinya di samping Raksa. "Kecewanya orang sabar itu pergi." Saut Arza mengisi keheningan di antara mereka.
"Tapi khusus Alda gak berlaku. Dia masih nunggu lo meski udah kecewa berkali-kali." Lanjut Arza membuat Raksa terdiam dalam kebisuan.
Raksa menguarkan asap putih itu dari mulutnya, rahang tegasnya terangkat menengadah menatap langit yang semakin malam, hari ini Raksa sudah banyak kecewa. Kecewa dengan dirinya yang tidak bisa menepati janji kepada gadis itu. Padahal niat Raksa baik, hanya ingin membicarakan hal yang belum terselesaikan antara mereka berdua, sebagai teman yang bukan hanya teman biasa.
Raksa menghela napasnya. "Dia kecewa gak sama gua?" Tanyanya.
"Bego masih nanya." Maki Arza. "Jelas iya lah anjir, gua yang denger aja gedeg sama lo, apalagi yang ngalamin." Balas Arza sinis.
Raksa terkekeh miris. "Ini ke dua kalinya gua buat dia kecewa, Za."
Arza menoleh menatapnya jengah. "Ke dua? Lo ngitung dari angka 1 apa dari 98 sampai 100?" Tanya Arza merasa kesal.
"Alda udah lo tolak 99 kali selama dia nembak lo setahun lebih ini tolol!" Maki Arza semakin menjadi.
Raksa merasa di tohok, ia hanya mendengus dan menyesap rokok di tangannya.
"Untuk yang ke-100 nya lo yang harus nembak dia." Kata Arza memberinya saran, tepatnya mirip perintah.
Raksa menatap temannya itu dengan datar. "Gua gak ada rasa sama dia."
"Jalan jalan ke jakarta pusat!" Seloroh Banu.
"Halah bangsat!!" Timpal mereka dari dalam yang sukses membuat Raksa tersindir.
Dari sana Gibran datang dengan segelas kopi di tangannya. Cowok itu berdiri menyenderkan punggungnya di dinding teras, Gibran terkekeh kecil menatap Raksa yang tampak tidak menginginkan kehadirannya.
"Rak, Lo itu udah cinta, banget malah sama dia. Cuma lo nya aja yang manipulatif sama diri sendiri." Ujar Gibran.
Raksa menaikan alisnya. "Manipulatif?"
Gibran mengangguk. "Lo bilang gak suka tapi lo marah saat gua mau mepet." Cetus Gibran membuat Raksa menatapnya tajam.
"Lo sepupunya goblok!" Protes Arza.
Gibran terkekeh lalu menyesap kopi hitamnya sebelum berkata lagi. "Lagian lo bilang suka ke dia gak bikin harga diri lo jatuh kali bro. Suka kan manusiawi, dan wajar kalo lo suka dengan tiba-tiba." Tutur Gibran memberikan definisi suka yang menurutrnya bisa datang tiba-tiba. "Suka kan datang nya tanpa aba-aba."
Arza mengangguk menyetujui. "Karena katanya cinta datang karena terbiasa. Dan lo udah terbiasa Rak, gak ada Alda sehari aja lo udah kaya kemalingan motor." Ujar Arza tertawa pelan.
"Mengecewakan penghuni bumi untuk yang kesekian kali dengan berharap dia tidak pergi. Bro, itu komedi." Tutur Banu yang bisa Raksa dengar dengan samar dari teras.
Merasa hatinya di cubit Raksa hanya diam. Ia mengepulkan asap rokoknya dengan napas kasar.
"PAK BOS PAWSSWORSNYA APA?!" Teriak Kenzo dari dalam.
"GAK ADA RASA!" Saut Banu dan Galuh berbarengan membuat Raksa mendengus kasar.
Banu dan Kenzo mulai berdatangan mendekati teras berniat merecoki lebih hidmat lagi. Malam ini markas cukup sepi, hanya ada mereka saja.
"Nih ya Nu, kira-kira yang gak sadar siapa?" Tanya Kenzo.
Banu melipat tangannya sambil bersandar di ambang pintu. "Kalo dia gak sadar sama perasaannya sendiri. Kalo Calon istri gua gak sadar udah jatuh di hati yang salah Jo, keknya gitu."
"Emang dia suka sama lo?" Tanya Galuh.
"Kan gua ganteng." Balas Banu sekenanya membuat mereka kompak mendecih.
"Ganteng kok jomblo." Cibir Galuh.
Banu tertawa puas. "Kek yang ngatain udah laku aja." Telaknya membuat mereka terbahak, memang pada akhirnya Galuh yang akan menjadi bahan sasaran dari candaan mereka.
Kenzo menarik napasnya.
"Memberi amanat itu EPILOG
Menerangkan sesuatu itu PROLOG
Berbicara sendiri itu MONOLOG
Berbicara berdua itu DIALOG
Kalo berjuang sendiri itu?!"
"GOBLOG!" Saut Gibran, Banu dan Galuh yang baru saja mendekat langsung duduk.
"Siapa Gal yang goblog?" Tanya Banu sambil tertawa.
"Ketua lo." Balas Galuh sekenanya.
"Surga ogah nerima lo." Hardik Raksa membuat sisanya tertawa habis-habisan. Padahal Galuh baru saja datang tapi langsung terkena semprotan.
"Gusti.. Anak abah terluka, takut tambah dewasa." Lirih Galuh.
Gibran duduk dan bersandar pada dinding dekat Galuh. "Lo tau gak Gal?" Saut Gibran.
"Apa?"
"Lo gak punya bapak." Jawab Gibran.
Pletak!
Bunyi nyaring yang berasal dari tangan Galuh yang beradu dengan kepala Gibran membuat mereka tertawa, Raksa terkekeh kecil, memang keduanya tidak akan akur sampai kapanpun.
"Monyet, sakit!" Maki Gibran.
"Makanya otak jangan di tinggalin di rahim." Cibir Galuh sebal.
Gibran meringis, "Orang gua kagak punya otak." Gerutunya.
"OH PANTES!" Seru mereka.
"Iya Gib, gua paham kok. Jangan di jelasin, nanti gua makin prihatin Gib, tabah aja tabah.." ujar Kenzo.
"Kemarin bilang gak punya lambung, sekarang gak punya otak. Pemilik hati pun lo gak punya, jones amat nasib lo bro.. bro." Tutur Banu.
"SINI SPARING KITA ANJING!"
Banu dengan gesit menghindar dan bersembunyi di balik tubuh Divel. Divel yang baru saja datang ke teras mengernyit, wajahnya kebingungan saat dijadikan benteng antara Banu dan Gibran. Arza yang melihat hal itu mengerling malas. "Resign jadi makhluk bumi gua Rak." Ujarnya.
Raksa terkekeh, "Gampang, gua pites leher lo."
"Sialan." Desis Arza.
Raksa terkekeh dan menyesap rokoknya lagi. Ia mendesah pelan, tentang mereka dan tentang dirinya yang sudah berteman lama. Memang hanya bersama mereka Raksa merasa senang, bersama mereka Raksa tidak kenal sepi, bersama mereka Raksa bisa melupakan masalahnya meski sebentar. Mereka selalu ada, dan Raksa berterimakasih pada Tuhan karena menghadirkan enam orang absurd dalam hidupnya.
Mereka bertemu tanpa tahu latar belakang satu sama lain. Mereka bertemu di sebuah masa yang menceritakan bagaimana melegendanya sebuah arti saudara beda darah. Kalimat sakral itu terngiang di kepala Raksa.
"Beragam bukan berarti tak sama!"
Kanagara bermata elang itu tertegun, dadanya berdebar, pandangannya semakin menajam mengarah pada sebrang jalan sana.
Sorot Arza juga tak kalah berbeda, ia meneguk ludahnya merasa pasokan udara di sekitarnya menipis. Arza melirik Raksa yang saat ini masih diam.
"Rak."
"Dia datang, dan perang dimulai." Ujar Kanagara bermata elang itu dengan sorot yang tidak bisa digambarkan.
***
HAYOLOHHH APA NIH APA NIH???
Siapa sih tuh yang di seberang jalan😌🙏 Tebak..
Siap gak konflik berat?
Vote ya, aku UP lagi kalo mood, kemarin 2 minggu sibuk banget jadi telat update, sorry..
see you🍬🍬