TRULY DEEPLY (REVISED)

By irfaza_faza

319 0 0

Kriteria cowok idaman Liesel adalah sederhana, biasa, dan tidak terlibat kepentingan apapun-kriteria yang ber... More

Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17

Chapter 7

9 0 0
By irfaza_faza

—Galan W. Aldrich—

Aku masih saja memikirkan moment bersama Liesel bahkan pada keesokan harinya. Entah mengapa wajah perempuan itu tidak bisa aku lepaskan dari pikiranku. Senyumnya, suara lembutnya, tatapannya. Aku ingin berada di dekatnya lagi. Sungguh.

Sial, sejak kapan seorang Galan terobsesi dengan perempuan yang tak dikenal? Tunggu, obsesi? Tidak, aku hanya tertarik. Mungkin lama-lama juga aku bakal bosan—siapa tahu kan.

"Jadi gimana, Ga?" tanya Galih saat aku baru saja masuk kelas.

"Apanya?"

"Festival itu, anak musik. Kandidat kedua—Diandra—gagal dibujuk. Dia bilang ada pertandingan penting sehari setelah festival, jadi dia gak mau buang energinya."

Aku menghela nafas. Sejujurnya hari ini aku hanya ingin memikirkan cara bagaimana aku bisa menemui Liesel lagi. Tapi tentu saja persoalan festival juga tak kalah penting. Apalagi musik. Salah satu ekskul yang dibanggakan di sekolah ini adalah musik. Gurunya dari berbagai penjuru yang profesional di kancah internasional. Meski begitu anak-anaknya sulit sekali diajak kerjasama. Jika aku tidak bisa membujuk salah satu dari mereka yang berprestasi, maka tidak ada pilihan lain. Aku harus turun tangan sendiri dan memakai kekuasaanku—Tunggu,

Musik?

Aku yakin Liesel tertarik dengan ekskul musik kemarin. Aku harus mencari tahu.

"Kita akan pikirkan lagi setelah aku dapat sebuah informasi." kataku dengan cepat membuka tas dan mengambil laptop.

"Informasi? Informasi apa?" Max nimbrung. Ia menarik bangkunya agar duduk dekat denganku.

Aku segera membuka email dan menulis pesan untuk sekretaris Jo, sekretaris yang paling bisa diandalkan Mamaku. Sesekali aku juga menggunakan kerjanya yang seperti anggota FBI. Kerjanya selalu memuaskan. Tetapi kali ini aku ingin dia merahasiakannya dari Mama apa yang ingin aku perintahkan—

Tunggu!

Bukankah cluenya jelas? Jangan-jangan tanpa sekretaris Jo aku bisa mencari tahu sendiri soal Liesel. Mungkin saja dia punya akun media sosial atau apapun yang bisa aku telusuri kan? Sial, aku terlalu mengandalkan jasa Sekretaris Jo selama ini sehingga tidak pernah berpikiran untuk mencari tahu sendiri.

Aku membuka halaman depan Google dan mengetik nama Liesel Iskan.

"Astaga. Lo sangat terkesan sama cewek itu sampai—"

Aku tak terlalu mendengarkan gerutuan Max karena kata kuncinya justru diarahkan ke Liesel Schan yang aku tidak tahu apa itu. Akhirnya aku mencari kata kunci lebih spesifik, berdasarkan feeling.

Liesel Iskan a pianist in Paris.

Dan...

"What?" Itu respon Galih. Ia berdiri di sampingku dan tidak percaya dengan temuanku. "Coba klik link ini. Perbesar wajahnya."

"Liesel? Cewek kemarin?"

"Astaga, ternyata dia seorang pianis besar dan terkenal, Ga."

Aku tersenyum senang. Well, akhirnya aku punya alasan lagi bertemu dia dan punya kandidat untuk festival. Jackpot.

*****

"Lo dapat CV-nya dari kepala sekolah?"

"Kepala sekolah bilang data pribadi nggak boleh disebarkan. Dia takut Liesel bakal nuntut."

Aku menyipitkan mata.

"Ya udah lah, lo bilang aja sejujurnya kalau lo tahu dia seorang pianis dari web."

"Tapi dia bakal penasaran kenapa lo cari tahu namanya di Google."

Aku menghembuskan nafas dan berpikir. "Kalau dia anaknya terkenal seharusnya salah satu pianis di sekolah ini ada yang tahu dia kan?"

"Mungkin kayak gitu."

"Kita juga harus buat dia nunjukin siapa dirinya sebenarnya. Supaya kita tinggal minta dia buat maju ke festival. Prestasinya—beuh, segudang. Nggak ada alasan dia nggak terpilih."

Aku mengangguk. "Hubungi anak piano sekarang juga—" kemudian aku berubah pikiran. "Tidak, jangan anak piano." Aku tersenyum. "Hubungi Bu Faza—guru piano. Dia pasti akan tahu jika ada berlian masuk sekolah ini, kan? Bu Faza nggak bakal melepaskan Liesel demi mendapatkan murid terbaik kan? Mengobati rasa hausnya soal kompetisi piano. Dan Liesel nggak akan bisa mengelak."

Galih menatapku penuh senyum. "Well, Ga, lo emang penuh perhitungan. Pantas lo adalah pewaris tunggal Aldrich Group."

Aku tersenyum.

*****

—Liesel Iskan—

"Liesel."

Aku mendongak pada seseorang yang berdiri di pintu kelas.

"Kamu dicari Bu Faza. Ke ruang guru sekarang."

Keningku mengerut. Bahkan nama Bu Faza terdengar sangat asing. Siapa Bu Faza? Dia jelas bukan wali kelasku. Ketika dalam perjalanan ke ruang Bu Faza, aku tak sengaja berpapasan dengan Galan dan kedua temannya. Dia hanya tersenyum tipis padaku. Sepertinya dia akan ke ruang OSIS. Melihatnya membuatku teringat perkataan Riana.

Kenapa menjadi masalah kalau aku bersama ketua Osis? Karena fans-nya banyak? Lagipula orang seperti dia tidak akan tertarik padaku. Aku hanya membuang waktu memikirkan hal yang nggak penting.

Aku memasuki ruang guru yang cukup ramai membuatku kebingungan. Ketika seorang anak mau keluar sambil beberapa beberapa buku aku menanyai dimana tepatnya meja Bu Faza. Anak itu menunjuk meja paling ujung dengan seorang guru yang mengenakan blazer putih. Aku berjalan menghadapnya dan bertanya,

"Apa Ibu meminta saya menghadap Ibu?" tanyaku langsung.

Bu Faza mendongakkan wajahnya dari berkas apapun yang ia baca. Saat beliau melihat wajahku, matanya langsung membelalak. "Kamu sungguh Liesel Iskan."

Tentu saja, batinku. Mulai bertanya-tanya kemana arah pembicaraan kami. Dia terlihat terkejut melihatku, apa yang membuat dia terkejut?

"Silahkan duduk, Liesel."

Aku duduk di bangku depan meja beliau. Bu Faza—aku menaksir umurnya masih sangat muda, 32 tahun?—memandangku antusias. "Jadi kamu pindah dari Paris?"

Aku mengangguk.

"Tidak akan kembali lagi? Bukankah kariermu di sana cukup sukses?"

Karir? Aku memandang Bu Faza dengan tubuh menegang. "Darimana ibu tahu soal karierku?"

"Siapa yang tidak mengenalmu? Semua pianis pasti mengenalmu."

"Jadi Ibu—"

"Iya, aku guru piano di sekolah ini."

Aku mengangguk-angguk.

"Kapan kamu akan bergabung ke ekskul musik. Aku sudah—"

"Aku berhenti main piano."

Bu Faza melongo memandangku. "Katakan kamu bercanda."

"Iya, aku memang berhenti."

"Kenapa?"

"Tidak ada alasan khusus. Aku hanya tidak ingin main piano di sini."

"Kamu meremehkan kredibilitas guru di sini? Kamu pikir kamu hanya bisa maju di Paris?"

"Bukan seperti itu,"

"Aku seorang pianis, Liesel. Seseorang seperti kita pasti punya alasan kenapa bertahan dengan kehidupan kejam seorang pianis sampai berdiri di titik ini. Dan pastinya itu alasan yang kuat. Tapi sekarang kamu bilang tidak ada alasan khusus? Kamu tidak benar-benar mencintai piano? Tidak masuk akal."

"..."

"Temui aku nanti sepulang sekolah di ruang ekskul. Buktikan kalau kamu memang benar-benar tidak ingin menjadi pianis lagi."

"Tapi—"

"Sekarang kamu bisa keluar."

Aku mendesah dan keluar ruangan guru. Sial. Sekarang aku menjadi sangat bimbang. Siapa sebenarnya yang sungguh-sungguh ingin berhenti? Aku hanya mengatakannya karena ingin melawan ayahku. Lagipula bagaimana bisa aku meninggalkan apa yang sudah kutekuni sejak kecil? Tapi ayahku—dia akan berpikir aku ingin memainkan piano itu karenanya. Karena perintahnya. Surat sialan itu.

*****

Continue Reading

You'll Also Like

40.7K 2.8K 24
|ongoing| Ivana grew up alone. She was alone since the day she was born and she was sure she would also die alone. Without anyone by her side she str...
202K 9.9K 56
ငယ်ငယ်ကတည်းက ရင့်ကျက်ပြီး အတန်းခေါင်းဆောင်အမြဲလုပ်ရတဲ့ ကောင်လေး ကျော်နေမင်း ခြူခြာလွန်းလို့ ကျော်နေမင်းက ပိုးဟပ်ဖြူလို့ နာမည်ပေးခံရတဲ့ ကောင်မလေး နေခြ...
1.1M 60.3K 39
Millie Ripley has only ever known one player next door. Luke Dawson. But with only a couple months left before he graduates and a blackmailer on th...
19.2K 1.2K 14
الكاتبه : رند السبيعي✍🏼 روايتي الاولى أتمنى تعجبكم واستمتعو...