About Love and Age

By Khuz88_

208K 5.7K 311

♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡ Hanya kumpulan one shot story. Jika berminat silahkan membaca. Apakah tentang pedophile? Of co... More

Mi-Ke-Li
Huh .... Astaga!
Duda
Feeling
Scarlet Heart, Lita
Scarlet Heart, Lita

Makhluk Besi

63.3K 1.4K 90
By Khuz88_

Mencoba untuk membuat one shot. Berharap kalian juga suka. Tentang perbedaan umur adalah pilihanku. Mengapa? Entahlah... Yang pasti aku addicted banget.

Selamat membaca, maaf jika menemukan typo yang bertebaran di mana-mana. Jari tanganku kepleset. (^_-)

Dan satu lagi, alur di one short ini sedikit cepat.

♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧ Makhluk Besi ......................................................................................................

"De, malam ini ikut aku yuk?" tanya Dina sahabat Dea dari semenjak SMP. Dan ternyata orang tua mereka adalah sahabat karib semenjak SMP. Orang tua Dina memutuskan untuk menikah di usia muda. Sedang orang tua Dea menikah di usia tiga puluh tahunan. Mereka berdua saat ini sedang berada di kantin kampus untuk makan siang.

"Ke mana?" tanya Dea sambil menyeruput es jeruknya.

"Ada acara pembukaan cafe baru milik kakakku, kamu datang sama aku ya De."

Dea menusuk salah satu bakso lalu memasukkannya ke dalam mulut. Mengunyahnya dengan pelan sebelum menelan ke tenggorokan, "Boleh, lagian aku butuh teman kencan baru."

Dina tersenyum, "Ya, kita berdua butuh teman kencan baru. Kamu tahu nggak De, si Romi itu sangat payah. Badannya memang kekar sayang sungguh sayang, servisnya sangat parah. Gila saja, aku belum juga nyampe, dia sudah keluar duluan." Iya, Dina memang penggila seks. Tapi dia tahu bagaimana menjaga diri. "No condom, no seks." itulah kata-kata yang selalu di ucapkan untuk setiap cowok yang menjadi pasangannya jika mereka akan melakukan hal itu.

"Hahaha..." Dea tertawa kencang, membuat anak-anak yang ada di kantin menatap ke arah mereka berdua.

"Sialan kamu De, nggak usah kenceng-kenceng juga kali ketawamu. Lihat tuh! Semua anak jadi melihat ke arah kita dengan tatapsn penuh penasaran."

"Lagian, udah aku kasih tahu sedari awal kamunya yang nggak percaya. Jadi resikomu." kembali Dea menusuk bakso dan memasukkan ke dalam mulutnya. Sebenarnya kelakuan Dea juga hampir 11-12 dengan Dina. Hanya saja, jika Dina sudah positif melakukan seks, sedang Dea hanya sebatas make out saja. Itu pun bisa di hitung.

"Iya-iya aku tahu. Dia juga sudah aku putusin. Semoga saja nanti malam aku dapat gebetan yang lebih ok dan kece. Salah satu temannya kak Daffa mungkin!" Dina mempunyai seorang kakak yang usianya terpaut cukup jauh, 15 tahun.

"Sekarang kamu mau berpindah haluan? Dari yang mulanya gebetan cowok-cowok muda dan kece, sekarang mau yang bertipe om-om?"

"Yah, itukan cuma kemungkinan juga kali De. Ntar malah kamu yang dapat om-om!"

"Idih ogah."

"Kenapa memangnya? Nggak ada yang salah juga dengan yang namanya om-om. Buktinya Kak Daffa. Banyak banget cewek yang naksir dan ngebayangin dia jadi pasagannya. Secara Kak Daffa udah mapan bila di lihat dari berbagai macam segi."

"Iya dari segi miring!"

"De, aku heran deh sama kamu. Memangnya kenapa sih kamu nggak suka sama Kak Daffa? Kamu kayanya benci banget sama Kak Daffa."

"Siapa yang bilang? Biasa saja kok!"

"Yaelah, aku yang bilang tadi. Kak Daffa-kan orangnya baik." Dea mendengus, "Ganteng," Dea kembali mendengus, "Mapan dan dia selalu nuruti keinginanku."

"Baik, apanya yang baik. Yang ada dia selalu jahat sama aku. Kamu nggak tahu saja Din. Ganteng? Ganteng di lihat dari menara kembar WTC kali. Mapan? Kalau yang ini memang harus ku akui dia sudah sangat mapan. Hanya tinggal mengenalkan calon istri ke om dan tante. Tapi sampai sekarang nggak ada satu cewekpun yang dia kenalin ke mereka. Tapi jika dia mengenalkan calon istrinya ke Om dan Tante, aku tidak rela." ucap Dea dalam hati, "Yaelah ini anak gadis, di kasih tahu malah melamun." ucap Dina.

Dea menyengir lebar, "Sorry Din. Out my mind." sambil mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya membentuk tanda peace.

"Sudah lupakan saja! Percuma juga kalau aku kasih tahu lagi. Udah belum makannya? Kita pulang yuk, tapi kamu ikut pulang ke rumahku ya De."

"Yang benar saja, ikut pulang ke rumahmu Din? Ntar aku ketemu sama itu makhluk besi. Ih... Nggak banget, ogah ah. Tapi gimana caraku untuk nolak? Aduh... Aku nggak punya alasan."―― "Din, kita ketemu nanti malam saja ya. Aku kan belum nyiapin baju yang pas."

"Urusan baju kamu tenang saja De. Itu masalah kecil." sambil menjentikkan jarinya, "Yang penting sekarang kamu ikutbpulang ke rumahku."

"Mau sih, tapi..." Dea masih berpikir untuk menolak ajakan Dina, "Aku belum ijin buat nanti malam sama Mama, Papa."――"Oh Tuhan, akhirnya aku dapat juga alasan untuk menolak si Dina." ucap Dea dalam hati.

"Oh, masalah itu. Aku tadi sudah minta tolong Kak Daffa untuk mewakilkanmu ijin ke tante sama om. Dan Om sama Tante fine-fine saja. Jadi let's go, Kak Daffa sudah menunggu kita di depan."

Sejenak Dea hanya bisa menganga tak percaya atas pendengarannya tadi, hingga si Dina kembali memanggil namanya, "Ayo De, buruan! Kak Daffa nanti marah kalau kita kelamaan."

"Oh my God! Demi langit dan bumi, aku sedang badmood untuk berhadapan dengan itu makhluk besi. Dina, kamu itu benar-benar membuatku menjadi ikan panggang."――"Din, kamu kan tahu aku tadi bawa mobil sendiri ke kampus, jadi aku nggak perlu ikut satu mobil dengan Kak Daffa."

"Itu juga sudah di atur, teman Kak Daffa yang akan mengantar mobilmu ke rumah. Udah ah, ayo cepat jalan! Kebanyakan ngomong kita." Dina mengambil uang seratus ribu lalu menyerahkannya ke Bi Yati. Setelah itu langsung menarik tangan Dea agar mengikutinya.

"Maaf Kak, kita berdua telat keluar. Tadi makan dulu di kantin." ucap Dina memberi tahu alasan mengapa mereka berdua tadi sedikit lama keluar dari kampus. Dina lalu membuka pintu mobil bagian belakang dan masuk ke dalam. Dea pun mengikuti untuk duduk di samping Dina, tapi Dina tidak mau menggeser tubuhnya, "De, kamu duduk depan. Aku di belakang sama Kak Deny." Dea mencari-cari keberadaan Kak Deny, Dina yang tahu langsung ngomong, "Kak Deny sedang beli minuman, bentar lagi juga gabung. Nah itu dia." tunjuk Dina dengan dagunya.

Dea menatap tajam ke arah Dina, "Kamu sengajakan Din? Awas kamu!" kira-kira seperti itu arti tatapan Dea ke Dina. Dina hanya menyengir. Emang sejak dulu si Dina mau ngecomblangin Dea sama Kak Daffa.

Dengan bibir yang mengerucut, Dea akhirnya duduk juga di kursi depan di samping Kak Daffa. "Pasang seat-beltnya!" perintah Kak Daffa ke Dea dengan suara datarnya. "Tuh kan, nggak ada manis-manisnya. Jadi cowok kok datar banget." dumel Dea dalam hati sambil memasang seat-beltnya. Dia lebih suka memalingkan wajahnya ke arah samping dari pada harus bertatapan dengan Kak Daffa.

"Hai guys..." sapa Kak Deny yang baru masuk ke dalam mobil.

"Beli apa sih Kak, lama banget!" tanya Dina.

"Oh, beli air mineral sekaligus beli kondom. Persediaan kondomku habis Din. Mumpung tadi ingat." Daffa mulai melajukan mobilnya.

"Ais, kalau kondom saja selalu ingat. Giliran yang lain pura-pura lupa."

Deny tertawa pelan, "Nanti malam kamu bawa pasangan?"

"Nggak punya pasangan. Cuma sama Dea saja."

"Kalau gitu, kamu datang sama aku saja Din. Aku juga nggak punya pasangan."

"Nggak punya pasangan kok beli kondom."

"Buat jaga-jaga. Jadi harus sedia di dalam dompet. Kan kamu tahu sendiri kalau sudah nggak kuat di mana saja tempatnya bisa langsung masuk."

"Deny!"

"Iya aku tahu Daffa. Tenang aku nggak akan ML sama adikmu, tapi kalau adikmu yang mau sama aku, itu bukan salahku ya."

"Ogah aku ML sama kamu Kak. Mending cari yang lain."

"Ngomong-ngomong kalian ini niatnya mau ke kampus atau hang out, kok penampilan kalian berdua seperti ini. De, kamu kok diam saja dari tadi. Sariawan ya? Atau lagi PMS, tuh wajah jutek amat!" ――"Sialan Kak Deny, pasti sampe rumahnya aku akan kena kartu merah." Dea mendumel dalam hati.

"Nggak kok Kak, lagi malas ngomong!" jawab Dea.

"Udahlah Den, jangan tanya lagi. Kalau kamu nggak mau jadi santapannya. Nggak lihat itu wajah pengen makan pala orang!"

Dea melotot tajam ke arah Daffa, "Sialan nih orang, sabar aku harus sabar." ucapnya dalam hati, lalu dia kembali mengalihkan perhatiannya ke pemandangan luar jendela mobil.

Mobil masuk ke sebuah halaman yang sangat luas. Setelah masuk ke dalam garasi mereka berempat masuk ke dalam rumah. "Din, aku mau ke kamar mandi. Ke belet nih!" sebenarnya ini hanya akal-akalan Dea untuk menghindar dari pertanyaan yang akan di lontarkan Kak Daffa ke dirinya.

Dea segera melesat ke kamar Dina yang terletak di lantai dua. Kamar Kak Daffa juga terletak di lantai dua, hanya saja kamar mereka terpisah dengan kamar tamu yang terletak di antara kamar mereka. Dan dua-duanya bisa saling bertemu di rusng tamu dengan menggunakan pintu penghubung di kamar masing-masing.

Setelah masuk ke dalam kamar Dina, Dea langsung menuju balkon. Mengambil sebatang rokok yang di taruh di dalam tas. Mengeluarkan pematik dan membakar ujung rokok itu. Dea menghisap rokok lalu mengepulkan asapnya keluar. Kebiasaan Dea untuk meredakan emosinya yang sedang naik.

"Katanya ke belet, kok malah di situ."

"Berisik kamu Din, diam kenapa sih!" kalau sudah seperti ini, tidak ada cara lain untuk Dina selain menutup mulut. Karena jika tetap bicara, Dea pasti yang akan mendiamkannya selama dua hari.

Satu batang habis, Dea kembali mengambil satu batang rokok dan menyalakannya lagi. "Aku haus mau minum, kamu mau aku ambilkan tidak Din!"

"Tidak usah." Dea mengangguk lalu berjalan keluar menuruni tangga untuk menuju dapur. Dea mengambil gelas kosong, lalu menuangkan air dingin ke dalamnya.

Saat dia berbalik dan hendak naik ke atas lagi, Kak Daffa sudah berdiri dan menyandarkan tubuhnya ke pintu, "Kenapa pakai baju seperti itu!"

"Tidak ada yang salah dengan bajuku ini. Dan aku ingin memakai baju model apa itu terserah aku. Jadi berhentilah untuk ikut campur dengan urusanku!"

"Oh, jadi kamu berniat untuk menjerat laki-laki dengan penampilanmu itu, supaya bisa kamu ajak ke kamar tidur. Murah sekali!"

Dea mengepalkan kedua tangannya, tanpa melihat ke arah Daffa Dea berjalan melewatinya. Air mata telah menggenang di kedua matanya. Dengan satu kedipan, air mata itupun bisa jatuh mengalir. Begitu sampai di kamar Dina, Dea langsung masuk ke dalam kamar mandi. Membasahi tubuhnya dengan air dingin. Setelah tubuhnya menggigil kedinginan barulah dia keluar dengan bathrobe yang sudah di sediaksn di dalam kamar mandi.

"De, kamu kenapa?" tanya Dina yang khawatir dengan keadaan Dea. Giginya bergemelatuk karena menggigil kedinginan.

"Aku baik-baik saja. Hanya terlalu lama mandi, sekarang aku butuh tidur Din." Dea langsung tidur di atas ranjang tanpa mengeringkan rambutnya terlebih dahulu.

"Kamu boleh tidur, tapi keringkan dulu rambutmu De. Nanti kamu sakit."

"Aku sudah terbiasa Din. Kalau kamu mau tidur kemarilah, tapi jika tidak tolong tinggalkan aku!"

"Dea, aku hanya mencemaskanmu."

"Aku mengerti, tapi kamu tidak perlu mencemaskanku. Bangunkan aku ketika sudah malam."

"Baiklah, aku mengerti." Dinapun keluar dari kamarnya.

♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧ Makhluk Besi ......................................................................................................

"Kak, kali ini kamu berulah apalagi? Kenapa Dea seperti itu?" Dea menghampiri Kak Daffa yang sedang duduk di teras belakang sambil mengerjakan laporan keuangan cafenya.

Kak Daffa menggedikkan bahunya, lalu menatap sebentar ke arah Dina sebelum matanya fokus lagi ke arah laptop. "Aku tidak berulah Dek. Tadi Kakak hanya bilang kalau penampilannya itu untuk menjerat cowok. Dengan begitu Dia terlihat sangat murah. Termasuk juga kamu."

"Astaga Kak, kamu ini benar-benar makhluk besi. Seperti julukan yang di berikan Dea untukmu. Pantas Dea begitu emosi. Dan Kak Daffa tahu tidak, kalau Dea emosi pelariannya pasti ke rokok kalau tidak rokok, dia akan berendam di air dingin hingga menggigil dan kulitnya beubah biru."

Daffa mendongak lalu menyipitkan matanya ke arah Dina, "Dasar ababil!"

"Kak awas saja kalau Dea sampai sakit. Bahkan rambutnya masih basah ketika tidur. Dia tidak mau mengeringkan rambutnya. Aduh, punya Kakak satu kok bego amat!"

"Dek, uang jajanmu aku potong!"

"Mana bisanya cuma mengancam. Capek deh!"

"Dek, Kakak nggak main-main. Uang jajanmu aku potong!"

"Terserah Kakak, tidak masalah. Oh iya, malam ini aku mengundang Delon. Delon sangat tertarik dengan Dea, dan Dea kelihatannya juga tertarik dengan Delon. Jadi jangan buat masalah lagi. Aku memang mau ngecomblangin Kak Daffa sama Dea, tapi kalau Dea selalu sakit hati gara-gara Kakak, mending nggak usah. Bye Kak Daffa, Dina mau tidur siang bentar. Ingat kata-kataku!"

Daffa hanya diam saja menanggapi ocehan Dina, adiknya. Tidak menunjukkan respon sedikitpun. Membuat Dina geleng-geleng kepala, "Dasar makhluk besi!" ucap Dina sambil berjalan masuk ke dalam rumah.

Daffa malah tersenyum, "Makhluk besi." ucapnya dalam hati.

♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧ Makhluk Besi......................................................................................................

"Malam Om,Tante..." sapa Dea ke orang tua Dina. Saat ini mereka sedang berkumpul di ruang santai keluarga.

"Malam Dea, sudah lama juga ya kamu tidak menginap di sini. Tante kangen sama kamu. Sini!" Mama Dina merentangkan kedua tangannya, menyuruh Dea untuk datang ke pelukannya.

Dengan senyum yang mengembang, Deapun langsung menghambur ke dalam pelukan mamanya Dina, "Dea juga kangen sama Tante." ucap Dea.

"Cuma kangen sama Tante nih... Sama Om nggak kangen...?"

Dea langsung memeluk papanya Dina, "Dea juga kangen sama Om." Mama dan Papanya Dina tertawa secara bersamaan melihat sifat manja Dea. Dea sudah di anggap anak sendiri oleh orang tua Dina dan Daffa, jadi jangan heran jika Dea juga sangat manja dengan mereka.

"Ais, giliran si Dea datang, Mama Papa sampai lupa dengan Dina."

Orang tua Dina kembali tertawa, "Sini sayang!" dan mereka berempat berpelukan.

Daffa datang bersama Deny dan ikut bergabung dengan mereka. "Om, Tante." sapa Kak Deny.

"Hai Den, gimana kabarmu? Duduk!"

"Baik Om." Deny lalu duduk di sofa yang kosong.

"Besok kita tanding catur ya, kalau sama Daffa dia sudah pasti menolak. Dia sukanya ngegym."

"Sip Om, besok Deny temani main catur."

"Dina nanti datang dengan Deny, kalau pasangan kamu nanti siapa Dea?"

Dea tetap berada di pelukan Tante Dila. Dengan lembut tante Dila mengelus kepalanya, "Dea nanti di jemput Delon, tante."

"Oh, kamu sudah punya pasangan rupanya. Padahal tante mau kamu jadi pasangannya Daffa. Masa setiap ada acara Daffa selalu datang sama Om dan Tante. Kan nggak lucu!"

"Maaf tante, Dea sudah buat janji sebelumnya."

"Sudah , nggak masalah Dea. Tahu kapan Daffa mau ngasih tante cucu. Padahal umur Om dan Tante sudah tua."

"Ma, jangan mulai lagi deh!"

"Makanya kamu itu cepat cari pasangan. Kalau bisa yang seperti Dea. Jadi Mama nggak akan maksa kamu terus."

"Mama apa nggak salah? Masa nyuruh Daffa nyari pasangan yang sifatnya seperti Dia." tunjuk Daffa dengan telunjuknya, "Sudah keras kepala, manja, perokok lagi. Nggak ada bagus-bagusnya sama sekali."

"Dea, jangan dengerin ucapan Daffa ya. Mending kamu sama Dina sekarang siap-siap."

"Bener juga tuh Ma. Bikin emosi ngomong sama Kak Daffa. Ayo De, kita berdua siap-siap." Dea mengangguk. Lalu tanpa sengaja meraba lehernya. Dea tersadar kalungnya tidak ada. Diapyn menjadi bingung.

"Dea, kamu kenapa?"

"Kalungku Din... Kalungku nggak ada."

"Ya sudah, nanti kita hunting yang baru. Bukan kalung berhargakan?"

"Sayang sekali tebakanmu benar, kalung itu sangat berarti untukku. Liontin kalungku itu hadiah dari seseorang yang sangat aku sayangi setelah kedua orang tuaku."

"Coba kalian cari di kamar. Sekaligus bersiap-siap." ucap Tante Dila.

"Om, Tante, Dea siap-siap dulu ya. Mau nyari kalung Dea juga. Lagian sebentar lagi Delon mau datang menjemput."

"Iya sayang." jawab Tante.

"Deny juga ya Om, Tante."

"Iya Den." jawab Om. Setelah mereka bertiga pergi, Om Dedy papanya Daffa dan Dina angkat bicara, "Daffa, Papa tahu kamu cinta sama Dea-kan? Tapi kenapa sikapmu begitu?"

"Papa tahu dari mana?"

"Itu nggak penting Daffa. Papa cuma pengen kasih tahu, kalau kamu cinta sama Dea kamu jangan seperti itu. Nanti kalau dia benar-benar membencimu, baru tahu rasa kamunya."

"Iya Pa, Daffa mengerti. Ma, Pa, Daffa ke atas dulu mau ganti baju." mereka mengangguk.

"Bagaimana De? Ada tidak di kamar mandi?"

"Ada Din, terjatuh di bawah wastafel. Terima kasih sudah ikut membantuku untuk mencari."

"Sama-sama."

♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧ Makhluk Besi ......................................................................................................

Dea sedang duduk di ruang tamu sambil sesekali melihat ke arah jam tangan yang melingkar cantik di pergelangan tangannya. "Delon ke mana sih? Udah jam segini kok belum datang juga."dumelnya dalam hati.

"Loh Dea, kamu kok belum berangkat juga. Temanmu mana?"

"Dia belum datang Tante. Mungkin masih di jalan."

"Coba kamu telpon dulu, jadi kamu tidak akan bingung." Dea mengangguk, lalu mengambil hp-nya yang ada di dalam tas. Membuka kunci layar, menuju aplikasi kontak dan mencari nama kontak Delon kemudian menghubunginya.

"Halo..."

"Halo Dea."

"Kamu di mana Delon? Kenapa belum sampai juga?"

"Maafkan aku Dea, kemungkinan aku akan datang sangat terlambat. Ban mobilku kempes. Atau kamu berangkat sendiri. Maaf."

"Ya sudah , tidak masalah. Aku akan berangkat dengan keluargaku. Sampai ketemu besok. Bye."

Dea menggembungkan pipinya, "Bagaimana Dea?"

"Dia tidak akan datang Tante. Ada masalah dalam perjalanannya ke sini."

"Kalau begitu kamu bareng Daffa, Om dan Tante ya. Kan Dina sudah berangkat." dengan terpaksa Dea mengangguk menyetujui.

"Kamu tampil cantik banget Dea, Tante jadi pangling."

"Tante bisa saja. Dea jadi malu."

"Ma, Pa, ayo berangkat! Bukannya pacarmu mau jemput? Kok masih di sini!"

"Dia nggak bisa datang."

"Jadi kamu mau berangkat bareng kita? Ujung-ujungnya tetap saja membuat susah orang."

"Kalau bukan gara-gara Delon yang nggak jadi datang. Ogah banget aku semobil sama kamu." Dea kembali mendumel dalam hati.

"Sudah-sudah, ayo kita berangkat. Jangan dengerin omongannya Daffa. Dia itu kalau ngomong irit tapi bikin sakit hati."

"Udah biasa Om." mereka langsung masuk ke dalam mobil. Orang tua Daffa duduk di kursi penumpang bagian belakang. Sedang Dea duduk di depan, di samping Daffa.

Satu setengah jam kemudian, mobil mereka sampai di sebuah cafe yang terletak di pinggiran pantai. Ternyata saat mereka sampai acara sudah di mulai sedari tadi.

"Nah berhubung orang yang sudah kita tunggu sedari tadi sudah datang, sekarang saatnya kita menyaksikan acara potong pita. Sebagai tanda bahwa cafe ini telah di buka mulai malam ini." ucap host memberi instruksi.

Daffa berjalan mendekat ke arah host, mengambil gunting yang di letakkan di atas nampan. Dalam hitungan yang ketiga, Daffa telah memotong pita warna merah itu. Suara tepuk tangan bergema di telinga.

"De, kok kamu datang sama Kak Daffa, Mama dan Papa. Delon ke mana? Nggak jadi jemput kamu ya?" tanya Dina yang sudah berada di samping Dea, terlihat Kak Deny yang menggamit pinggangnya dengan posesif.

"Daffa, ada yang ingin ketemu. Dia menunggu di ruanganmu." ucap Kak Deny, setelah Dina selesai bertanya.

"Aku ke ruanganku dulu." pamitnya lalu berjalan pergi.

Dea tersenyum, jujur di dalam hatinya dia merasa iri melihat sikap posesif Kak Deny, "Delon nggak bisa datang, ada masalah dengan mobilnya."

"Dina, aku lapar. Kita makan yuk!" ajak Kak Deny.

"De, yuk kita makan. Aku juga laper banget nih."

"Kalian berdua makan dulu, tuh Om sama Tante ada di sana. Kalian gabung dengan mereka, aku agak nanti. Belum lapar."

"Ok, kita berdua ke sana dulu ya."

Tanpa sepengetahuan orang-orang, Dea berjalan menyelinap mencari tempat yang di anggapnya nyaman. Dea berjalan melewati beberapa ruangan dan tanpa sengaja melewati ruangan Kak Daffa. Sekilas Dea bisa melihat seorang wanita cantik yang sedang duduk di sofa. Tapi dia terus melangkah dan naik hingga ke lantai teratas di lantai tiga. Pelan-pelan Dea membuka pintu itu, lalu mengganjalnya dengan sebuah balok kayu. Karena pintu itu akan langsung terkunci jika tidak di ganjal.

Dea berjalan hingga ke ujung, lalu membuka tas tangan persegi panjangnya. Mengambil sebatang rokok dari bungkusnya. Kemudian menyalakan pematik dan membakar ujung rokok itu. Menaruh tas tangannya di atas sebuah meja yang kosong.

Kepulan asap keluar dari mulutnya. Angin malam yang bertiup membuat tubuhnya menggigil kedinginan. Tapi ia tetap berdiam di tempatnya sambil menikmati pemandangan malam.

Tangan kirinya mengeluarkan kalung yang berada di balik gaunnya, menggenggam erat sebuah cincin yang sengaja di jadikan sebuah liontin kalung. "Waktu sepuluh tahun pun masih tidak cukup untuk menghilangkan rasa ini. Aku membencimu tapi aku juga sangat mencintaimu."

Tanpa terasa 2 bungkus rokok yang sudah Dea hisap. Saat akan membuka bungkus yang ketiga, suara pintu terbuka. Dea segera memasukkan kalung itu ke balik gaunnya. Begitu juga dengan dengan rokoknya.

"Semua orang bingung mencarimu, tapi apa yang kamu lakukan di sini? Sibuk menghisap rokok dan melamun. Sungguh, tidak sepadan dengan tenaga yang mereka keluarkan."

"Sepuluh tahun kamu terus menyakitiku, tapi sepuluh tahun aku masih bisa bertahan hingga detik ini."――"Aku tidak menyuruh mereka untuk mencariku. Jadi itu bukan salahku."

"Cepatlah turun! Bisakah kamu sekali saja tidak menyusahkan orang lain."

"Kamu mengkhawatirkanku?" entahlah, tanpa pikir panjang Dea menanyakan pertanyaan itu.

"Buat apa aku mengkhawatirkanmu, itu adalah hal yang mustahil!"

"Aku tidak tahu apa yang membuatmu berubah menjadi makhluk besi, aku merindukan dirimu yang sepuluh tahun lalu." ――"Baguslah." Dea berjalan begitu saja melewati Daffa.

"Dea, kamu benar-benar membenciku. Jadi mustahil jika kamu mencintaiku." ucap Daffa dalam hati.

"Om, Tante, maaf membuat kalian bingung. Tadi Dea berkeliling sebentar."

"Sayang, Tante hanya khawatir kalau kamu kenapa-kenapa. Tapi syukurlah, ternyata kamu baik-baik saja. Ayo kita pulang!"

"Om, Tante, Dea tadi sudah menelepon Pak Man. Sebentar lagi juga sampai."

"Oh, sayang sekali. Padahal Tante dan Om masih kangen sama kamu."

"Ma, kalau Dia tidak mau ya jangan di paksa. Jadi kita tidak di bust repot. Lagian Daffa ingin mengantar Della pulang."

"Daffa!" bentak Papanya.

"Tapi Pa..."

"Nggak apa-apa kok Om."

"Kak Daffa benar-benar jahat, kejam!" ucap Dina.

"Om, Tante, Kak Deny, Din, aku pulang dulu. Pak Man sudah datang." setelah berpamitan dan mencium mereka satu persatu, Dea menuju ke mobil. "Pak Man, kita pulang!"

"Daffa, kamu sangat keterlaluan! Papa kecewa sekali denganmu."

♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧ Makhluk Besi ......................................................................................................

Papa dan Mamanya Dea sedang ngobrol di dalam kamar. Sebelum masuk, Dea mengetuk pintu terlebih dahulu, "Tok... Tok... Tok..."

"Masuk," Dea mendorong pintu dan berjalan masuk ke dalam kamar, "Eh, sayang. Kamu ada masalah, mau cerita sama Mama dan Papa. Ke sini!" Mama Dea menepuk pahanya, memberi isyarat agar Dea menaruh kepalanya di sana.

Dea naik ke atas ranjang, menaruh kepalanya di paha Mamanya. "Mau cerita sekarang?" tanya Mamanya sambil tangan Mamanya mengelus rambut Dea dengan lembut dan penuh kasih sayang.

"Papa sama Mama dulu sudah lama saling mencintai?"

Orang tua Dea saling berpandangan lalu tersenyum, "Papa sudah mengenal Mamamu sejak SMP. Kita berdua mulai berpacaran saat masuk SMA. Terus Papa pisah dengan Mamamu karena Papa harus kuliah ke luar negeri. Selama lima tahun Papa hanya bisa menghubungi Mamamu lewat telepon atau chating. Tapi kita berdua saling menjaga kepercayaan sehingga LDR yang bagi orang lain terasa berat tidak terasa begitu berat untuk kita berdua. Setelah kuliah Papa di luar negeri selesai, Papa pulang untuk menemui Mamamu dan mengajaknya tinggal serumah. Tentu atas ijin kedua orang tua Papa dan Mama. Papa meneruskan perusahaan yang di wariskan oleh kakek. Dan ketika usia kita berdua sudah mencapai tiga puluh tahun, kita berdua memutuskan untuk menikah. Tapi Tuhan baru memberi kepercayaan kepada kita berdua saat kita berumur tiga puluh empat tahun. Saat itulah Mamamu sedang mengandung dirimu. Ya seperti itulah kisah Mama dan Papa. Kenapa kamu tiba-tiba bertanya hal ini sayang?"

"Dea hanya ingin tahu saja Pa."

"Dea, kamu tidak bisa membohongi Mama dan Papa. Karena kita adalah orang tuamu. Ceritalah, kita akan memendengarkan."

"Pa, Ma, Dea cinta sama Kak Daffa sejak kecil. Tapi setelah ulang tahun Dea yang kesepuluh, Kak Daffa mulai berubah. Kak Daffa mulai menjauhiku. Jika bertemu, aku dan Kak Daffa juga seperti tikus dengan kucing. Tidak pernah akur. Ma, Pa, Dea kangen dengan sikap Kak Daffa yang dulu. Dea... Dea kangen kak Daffa, Ma." ucap Dea dengan menangis sesenggukan.

"Terus, mau kamu apa sayang?"

Dea mengusap air matanya dengan telapak tangannya, "Papa dan Mama bisa bantu Dea?"

"Tentu saja, asal itu demi kebahagiaan kamu sayang." ucap Mama.

"Papa dan Mama bisa tidak merencanakan perjodohan Dea dengan Kak Daffa?"

"Hahaha..." mereka berdua tertawa.

"Kalian kok malah tertawa?!"

"Tentu saja bisa, itu memang rencana kita semenjak dulu. Kamu tenang saja. Biar Papa urus."

"Makasih Ma, Pa." ucap Dea lalu memeluk kedua orang tuanya. Dan mereka membalas dengan anggukkan kepala.

♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧ Makhluk Besi ......................................................................................................

"Apa kabar Dedy, Dila." sapa Papa ke orang tua Daffa sambil menjabat tangan mereka secara bergantian, "Sudah tiga bulan kita tidak bertemu. Terakhir kita bertemu saat acara amal ya." mereka sedang mengadakan acara makan malam di salah satu cafe milik Daffa.

"Iya. Kamu dan Dewi baik-baik saja-kan?"

"Seperti yang kamu lihat sekarang. Dina apa kabar? Kamu juga semakin cantik seperti Dea."

"Baik Om. Om Doni bisa saja. Namanya juga cewek ya pasti cantiklah. Mana ada cewek yang ganteng. Lesbong donk!"

"Hahaha... Hahaha... Hahaha... " dan semua tertawa.

"Dedy, Daffa belum datang ya?"

"Kelihatannya dia akan sedikit terlambat Don."

"Oh, tidak masalah. Kita ngobrol saja."

Selang beberapa menit, Daffa datang. "Maaf semuanya, aku terlambat. Tadi masih menyusul Della dulu." dan semua mata menatap ke arahnya. Termasuk juga Dea.

"Tidak masalah Daffa, duduk!" ucap Om Doni papanya Dea.

"Terima kasih Om." Daffa lalu menarik sebuah kursi untuk Della, "Oh iya, kenalin ini Della calonnya Daffa."

Tante Dewi meremas tangan Dea karena dia tahu perasaan anaknya saat ini. Mencoba memberi kekuatan untuk anaknya, "Cantik." ucap mamanya Dea di sertai senyuman.

"Iya, cantik. Setuju dengan kata-kata istri Om tadi, Daffa. Kalau gitu kita mulai saja acara makan-makannya." ucap Om Doni mencoba mencairkan suasana yang mulai terasa tidak nyaman. Tangan kiri Om Doni meremas paha Dea, melakukan hal yang sama dengan istrinya.

Dina menatap tajam ke arah Kak Daffa, yang hanya di tanggapi dengan satu lirikan.

"Dea, kenapa malam ini kamu hanya diam? Biasanya kamu selalu cerewet dan membuat keributan. Tapi malam ini kamu terlihat sedih. Cowok mana yang membuatmu sedih?" ucap Daffa dalam hati.

"Terima kasih Dedy, atas undangan makan malamnya. Makanannya benar-benar enak. Maaf tidak bisa lama-lama, ada hal yang harus aku kerjakan."

"Sama-sama Don. Dea, kapan-kapan main ke rumah lagi ya? Jangan sungkan."

"Iya Om, Dea janji lain kali akan main ke rumah lagi."

"De, besok ke rumah ya. Aku mau cerita, please..." ucap Dina memohon.

"Iya. Besok aku datang ke rumah. Aku pulang dulu, sampai ketemu besok."

"Ma, Pa... Aku mohon jangan bahas." ucap Dea berbicara terlebih dahulu karena tahu orang tuanya pasti akan bertanya ketika sudah berada di dalam mobil. Mama memandang ke arah Papa, dan di balas anggukkan olehnya.

Keesokkan harinya Dea datang ke rumah Dina. Dan bertepatan dengan Della yang juga sedang bertamu. Daffa dan Della duduk dengan jarak yang sangat dekat sekali. Rasa sesak tiba-tiba muncul di dada Dea,"Eh, hai Dea... Kita ketemu lagi." ucap Della.

"Hai Kak..."

"Mau ketemu Dina?"

"Iya Kak, Dea ke atas dulu ya."

"Oh, Ok."

Dea berpura-pura tersenyum untuk menutupi ekspresi sedihnya. Dengan langkah yang sedikit cepat Dea naik ke lantai atas. "Hai Din, maaf aku tidak bisa lama-lama. Papa dan Mama menungguku, hari ini kita mau ke tempat saudara. Oh iya, ini kado untukmu. Happy birthday ya." Dea menyerahkan sebuah kotak yang tadi di ambil dari dalam tasnya, "Lain kali aku pasti akan mendengarkan ceritamu, tapi tidak untuk hari ini."

"Dea, ulang tahunku masih tiga hari lagi."

"Tidak apa-apa. Kemarin, sehabis pulang makan malam, kita mampir ke toko jam. Dan aku melihat jam tangan limited yang hanya tersisa 2 buah. Jadi aku membelinya. Satu untukmu dan satu untukku."――"Maafkan aku Din, aku terpaksa membohongimu. Bukan aku yang memilih dan membeli kado ini, tapi aku meminta tolong ke Mamaku."

"Makasih Dea. Jangan lupa datang ke acara ulang tahunku. Janji!"

"Iya."――"Untuk kali ini Aku tidak bisa berjanji Din. Maaf."――"Din, aku pulang ya, Mama sama Papa pasti sudah menunggu. Sampai jumpa."

"Sampai ketemu tiga hari lagi."

"Salam buat Om Dedy dan Tante Dila." Dea menuruni tangga untuk turun ke bawah. Lalu keluar melalui pintu samping. Dia tidak ingin berpapasan dengan mereka berdua. "Aku berusaha bertahan selama sepuluh tahun ini. Tapi semalam aku sadar , saatnya untukku menyerah. Sayonara." ucap Dea dalam hati sambil berjalan meninggalkan halaman rumah Daffa.

♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧ Makhluk Besi ......................................................................................................

"Aduh... Maaf... Maaf... Saya terburu-buru, jadi tidak melihat." ucap seseorang sambil mengumpulkan kertas laporan yang berserakan.

"Ah, Saya yang seharusnya minta maaf. Saya juga sedang terburu-buru jadi tidak melihat Anda yang berjalan ke arah Saya yang sedang sibuk membaca laporan."

"Ini." ucap seseorang itu memberikan kertas laporan yang sudah berhasil di kumpulkan.

"Terima kasih banyak." mereka saling bertatapan.

"Om..."

"Daffa..." ucap mereka bersamaan.

"Om ada di sini?"

Om Doni mengangguk, "Bagaimana kabarmu dan kabar kedua orang tuamu? Sudah setahun kita tidak bertemu."

"Mereka baik-baik saja kok Om. Om tinggal di kota Banjarmasin ini?"

"Iya, Om tinggal di kota ini. Kamu tambah dewasa dan ganteng saja Daffa. Waktu makan malam itu Om sangat berharap kamu bakalan jadi menantu Om. Hingga Om menyetujui rencana Dea untuk menjodohkanmu dengannya. Makanya Om sama orang tuamu mengatur acara makan malam itu. Tapi ternyata kamu sudah punya calon. Aduh, maaf ya Daffa, Om jadi mengingat masa lalu."

"Pak, Anda sudah di tunggu." ucap asistant Om Doni.

"Daffa, Om harus segera ke sana. Om ada rapat."

"Iya, Om."

Setelah kepergian Om Doni, Daffa langsung pulang menuju penginapannya. Daffa duduk diam di sofa, dan kembali omongan Om Doni tadi terus berputar-putar di kepalanya. Daffa pun memutuskan untuk kembali ke kantor Om Doni untuk memastikan sesuatu.

"Maaf Mbak, bisa Saya bertemu dengan Pak Doni pemilik kantor ini? Saya Daffa." tanya Daffa ke bagian resepsionis. Lalu resepsionis itu menelepon sekertaris Om Doni.

"Maaf Sir, dengan sangat menyesal Saya memberitahukan bahwa Pak Doni sekitar satu jam lalu sudah naik penerbangan ke Jakarta."

"Kalau begitu terima kasih." resepsionis itu mengangguk tersenyum.

Daffa langsung memesan tiket penerbangan menuju Jakarta, yang sayangnya jadwal penerbangan pesawat hanya tersisa di bagian malam.

♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧♧ Makhluk Besi ......................................................................................................

Daffa memasukkan mobilnya ke dalam garasi dan dengan sedikit terburu Dia berjalan masuk ke dalam rumah. Terdengar suara yang sudah tidak asing lagi di telinganya yang berasal dari ruang santai. Daffa menarik nafas untuk menenangkan emosinya sebelum masuk dan ikut bergabung, "Malam Ma, Pa..." sapanya.

Mereka yang tadinya mengobrol dan sesekali tertawa tiba-tiba menjadi diam dan terlihat canggung. Mamanya Daffa akhirnya membuka obrolan untuk mengembalikan kecanggungan yang sempat terjadi, "Loh Daffa, kamu kok sudah balik? Bukannya masih sekitar dua hari lagi?"

"Iya Ma, seharusnya begitu. Tapi Daffa sudah selesai mengerjakan, jadi Daffa bisa pulang lebih awal."

"Oh, begitu ya."

"Untuk apa Dia datang ke sini lagi Ma? Ternyata Dia masih ingat, aku kira sudah lupa!"――"Sial, kenapa dengan mulutku ini? Harusnya aku tak berbicara seperti itu ke Dea."

"Tahu tuh Kak Daffa, ngomong kok asal ceplos. Wong Dea ke sini mau jenguk Mama sama Papa. Bukannya mau ketemu sama situ! Lagian Dea juga ada keperluan dengan Delon. Delon sudah melamarmu-kan Dea?" Dea mengangguk.

"Kamu istirahat di kamarnya Dina ya sayang. Besok pagi saja ketemuannya. Memang jam berapa janjiannya?"

"Besok pagi, jam sembilan Tante."

"Baguslah, kamu istirahat dulu."

Dea mengangguk, "Setahun telah berlalu, tapi kamu masih tetap sama sebagai Makhluk Besi."――"Iya Tante, terima kasih. Dea ke atas dulu mau istirahat." pamitnya sebelum berjalan beriringan dengan Dina menuju kamar.

"Daffa, apa kamu ingin mengulang kesalahan yang sama untuk yang kedua kali? Jangan kira Papa tidak tahu. Kamu bisa saja membohongi Mama dan adikmu, tapi tidak dengan Papamu ini. Setahun yang lalu Papa amat sangat kecewa dengan sikapmu Daffa. Papa ingin memarahimu, tapi setelah Papa pikir memarahimu adalah hal yang tidak berguna. Kamu sudah dewasa Daffa. Papa tidak mau melihatmu menyesal seumur hidup. Jika kamu tidak berubah , bersiaplah untuk kehilangan Dea untuk selamanya." Papa Daffa berdiri dari duduknya, menepuk bahu Daffa.

"Yang Papamu bilang tadi adalah benar Daffa. Jika kamu terus mempertahankan egomu, bersiaplah untuk kehilangan Dea sekali lagi." Daffa memejamkan matanya, meremas rambutnya frustasi.

....................................................................................

"Dina, kok kamu turun sendiri? Dea mana?" tanya Mamanya saat melihat Dina turun sendirian ke ruang makan.

"Itu Ma, Dea masih tidur. Tidurnya sangat pulas, aku tidak tega untuk membangunkannya."

"Daffa, kamu ingin sarapan apa? Roti atau nasi goreng?"

"Umm... Nanti saja Ma. Daffa belum lapar. Daffa balik ke kamar dulu Ma." sampai di kamar Daffa memikirkan cara untuk membatalkan acara Dea. Tapi otaknya benar-benar buntu, tidak ada satu idepun yang muncul. Daffa melihat ke arah jam dinding yang sudah menunjukkan jam delapan. "Satu jam lagi." ucapnya. Akhirnya Daffa keluar dari kamar melalui pintu penghubung. Dia lalu berjalan ke pintu penghubung kamarnya Dina. Dengan hati-hati Daffa melihat situasi. Ternyata Dina belum balik dan keberuntungan berpihak padanya. Daffa berjalan mendekat dengan pelan-pelan ke arah ranjang. Dengan hati-hati Daffa mengangkat tubuh Dea dan membawanya ke kamarnya sendiri. Lalu membaringkan Dea di ranjangnya. Menyelimuti tubuhnya.

Daffa mengamati wajah Dea lekat-lekat, "Cantik, dari dulu kamu tetap cantik." batinnya, "Maaf, aku selalu menyakitimu." lanjutnya. Tangan Daffa terulur untuk membelai pipi Dea, hingga tanpa sengaja matanya melihat kalung yang melingkar di leher Dea. Karena penasaran , Daffa mengeluarkan kalung itu dari balik gaun tidur. Kalung itu panjang hingga ke bagian bawah dada.

Betapa terkejutnya Daffa saat tahu bahwa liontin kalung itu adalah cincin pemberiannya untuk Dea ketika Dea berusia sebelas tahun. Saat Dea pertama kali masuk ke SMP. Dan waktu itu Daffa berusia dia puluh lima tahun,"Dea, jadi selama ini kamu tetap menyimpan cincin pemberianku. Padahal sudah sebelas tahun berlalu." Daffa mengambil kursi menempatkannya di samping ranjang. Lalu ia mendudukkan dirinya di kursi itu dan tangannya menggenggam erat tangan Dea. Sedetikpun Daffa tidak melepaskan genggaman tangannya. Sampai matanya juga ikut terpejam.

Dea membuka mata dan sedikit menggeliat. Saat matanya sudah terbuka penuh Dea menatap langit-langit kamar, "Sejak kapan dinding langit-langit kamar Dina berubah warna menjadi biru langit? Seingatku masih tetap sama warnanya pink." batinnya. Dea ingin beranjak bangun, tapi ada seseorang yang sedang menggenggam tangannya dengan erat. Dea berusaha untuk menarik tangannya, membuat seseorang itu terbangun dan menatap dirinya. "Kak Daffa?" batinnya.

"Kamu sudah bangun?"

"Iya. Kenapa aku bisa tidur di kamarmu?"

"Aku yang memindahkanmu ke sini. Kita perlu bicara, lebih tepatnya aku ingin bicara."

Dea bangun lalu menyandarkan punggungnya di dashboard ranjang. "Kamu masih menyimpan cincin itu?"

"Iya, aku masih menyimpannya. Sebelas tahun yang lalu ada seseorang yang berjanji padaku bahwa dia akan kembali lagi untukku tapi entah kenapa dia tiba-tiba berubah. Setelah dua bulan memberiku cincin ini, dia mulai menjauhiku. Hari ini aku sudah berniat untuk membuang cincin ini. Sudah tidak ada gunanya lagi, aku sudah bertahan cukup lama untuk menunggunya dan setahun lalu aku menyerah. Dia lebih memilih orang lain. Jadi aku juga memilih orang lain untuk menggantikannya."

"Kamu benar-benar sudah menyerah?"

"Iya, aku menyerah. Boleh aku keluar dari sini? Aku harus pergi." Dea menyingkap selimut berniat untuk turun dari ranjang.

Tapi tangan Daffa menahannya, "Jangan pergi... Jangan pergi menemui Delon. Tetap di sini bersamaku Dea." untuk sesaat tubuh Dea menegang, setelah sebelas tahun Daffa kembali memanggil namanya. "Maafkan aku Dea. Maaf karena telah menyakitimu selami ini. Waktu itu aku takut untuk memulai. Kamu masih gadis kecil sedang aku sudah menjadi pria dewasa De. Aku takut itu hanya obsesiku. Jadi aku mulai menjauhimu. Dan ternyata kita berdua sama-sama sakit." Daffa menaruh kepalanya di atas paha Dea, "Jangan pergi De... Aku mohon!"

"Tapi aku harus pergi sekarang." Wajah Daffa terlihat murung, "Aku harus pergi ke kamar mandi sekarang, kalau tidak aku akan mengompol di celana Kak." perlahan rahangnya ketarik hingga sebuah senyuman muncul.

"Dea, kamu membuatku ketakutan. Aku kira kamu mau pergi..."

"Mau pergi menemui Delon? Tentu saja tidak, buat apa aku menemuinya jika priaku sudah kembali. Minggir Kak! Aku sudah tidak tahan." Dea sedikit berlari masuk ke kamar mandi untuk melakukan panggilan alam.

Pintu kamar mandi terbuka, Dea keluar dari sana. Ternyata Daffa berdiri di luar pintu menunggunya. "Apa yang kamu lakukan? Kamu menungguku?" tanya Dea.

"Iya, aku takut kamu berubah pikiran."

"Kemarilah!" perintah Dea ke Daffa agar mengikutinya. "Duduk!" Dea menyuruh Daffa duduk di pinggir ranjang. Dea menangkup kedua pipi Daffa, perlahan Dea mendekatkan bibirnya ke bibir Daffa lalu menciumnya dengan lembut. "Mari kita mulai dari awal lagi." Daffa mengangguk.

Daffa menarik tengkuk Dea supaya lebih mendekat. Kemudian memagut bibirnya. Karena posisi yang kurang nyaman, Daffa menarik pinggang Dea dan mendudukkan di pangkuannya. Ciuman mereka semakin lama semakin intens dan panas. Mereka berdua saling mencecap rasa. "Kak, kamu sudah siap memberi Mama dan Papa cucu?" tanya Dea ketika ciuman mereka berhenti.

"Kalau kamu siap, aku juga siap. Kita mulai sekarang gimana?"

Dea mengangguk, "Aku ingin tiga anak Kak."

"Boleh, tapi kita proses satu dulu ya."

Dea membalas dengan menganggukkan kepalanya lagi, "Sekarang." Daffa langsung mencium bibir Dea dengan sangat bergairah. Tangannya menarik ke atas gaun tidur tipis yang di pakai Dea melewati kepalanya. Menampilkan payudara yang tidak tertutupi oleh bra. Daffa menggeram, "Dea, kamu cantik." ucapnya dengan nafas tertahan di tenggorokan. Daffa membaringkan tubuh Dea dan dia-pun langsung membenamkan wajahnya di dada telanjang Dea. Meremas, menghisap dan memainkan pucuknya yang tegang secara bergantian. Hingga ledakan itu datang, "Aaah..." Dea dan Daffa mendesah bersamaan.

Saat Daffa ingin menarik selimut untuk menutupi tubuh mereka berdua barulah Daffa sadar kalau dia adalah pria pertama untuk Dea karena ada bercak darah di sprei birunya. "Love you Dea."

"Love you too, Kak." balas Dea.

Tiba-tiba pintu penghubung di kamar Daffa terbuka, "Kak Daffa... Huwaaa.... Mama..." teriak Dina yang shock melihat Dea dan Daffa sedang berada di atas ranjang dengan keadaan telanjang. Niatnya tadi ingin menanyakan keberadaan Dea. Tapi belum bertanya Dina sudah shock duluan melihat kejadian yang ada di depan matanya.

"Kenapa sih Din?" tanya Mama ysng sudah menyusul masuk ke dalam kamarnya.

"Itu." tunjuk Dina dengan jari telunjuknya.

"Ma, bawa Dina keluar. Dia bisa mengganggu kegiatanku kalau tetap berada di sini. Aku sedang berusaha untuk memberikan seorang cucu untukmu Ma." Dea mencubit lengan Daffa sampai mengaduh karena kesakitan, "Aduh... Sakit De..." Dea langsung menyembunyikan wajahnya di dada Daffa karena malu.

Mama tersenyum, "Ok, Mama akan bawa Dina keluar. Mama tidak sabar untuk menunggu kabar gembira dari kalian. Lanjutkan lagi Daffa!" perintah Mamanya.

"Sip Ma. Jangan lupa untuk menyiapkan acara lamaranku! "

"Dea, Mama dan Dina sudah pergi. Kita lanjut ronde kedua."

"Awww..." Dea kaget karena Daffa langsung membalik tubuhnya. "Dasar makhluk besi! Tidak memberiku waktu istirahat. Tapi... Aku sangat mencintaimu."

End

Continue Reading

You'll Also Like

263K 11.2K 39
Typo bertebaran, harap tadani❗ Cinta pada pandangan pertama memang sebuah anugrah yang Tuhan berikan bada suatu hambanya. Tetapi tidak semua orang bi...
1.9M 16.6K 46
harap bijak dalam membaca, yang masih bocil harap menjauh. Kalau masih nekat baca dosa ditanggung sendiri. satu judul cerita Mimin usahakan paling b...
316K 13.9K 48
FOLLOW DULU SEBELUM BACA !!! ⚠️IDE ITU SANGAT MAHAL!⚠️ ⚠️DILARANG PLAGIAT!!!⚠️ "Nak, apakah engkau bersedia jika Abi menikahkanmu dengan putra kam...
372K 5K 27
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...