The Fate of Us | Jaerosè

By jaeandje

270K 22.9K 3.9K

Bagaimana jadinya apabila seorang Ketua Dewan Rumah Sakit secara tiba-tiba 'melamar' salah satu dokter reside... More

PROLOGUE
01
02
03
04
06
07
08
09
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31

05

9.5K 907 173
By jaeandje

HARSH WORDS🚫

Rasel bergumam melatunkan melodi sebuah lagu yang tangannya sedang memasak makan malam ini sambil menunggu suaminya pulang, dan menu yang Rasel pilih cukup sederhana yaitu rice bowl chicken special berhubung tidak banyak bahan makanan yang tersisa.

Maklum belum belanja bulanan. Malah hampir dua bulan pernikahannya dengan sang suami, tapi Rasel tidak pernah sekalipun belanja bulanan seperti ibu rumah tangga pada umumnya.

Mereka berdua cenderung lebih sering makan di luar, hal ini dikarenakan pekerjaan Rasel yang membuatnya sulit untuk memasak sarapan atau makan malam buat suaminya.

Jadi saat ini juga kali pertama Rasel memasak makan malam untuk mereka berdua. Berterima kasih pada pihak rumah sakit yang berhasil merekrut dokter residen kardio baru sehingga Rasel bisa dibebastugaskan untuk dua hari ke depan.

Sudah hampir sebulan dari kejadian Jehan yang tiba-tiba datang dan bertingkah aneh, tetapi dari hari itu sampai sekarang suaminya masih saja bertingkah aneh, malah semakin aneh.

Dia jauh lebih protektif dibanding sebelumnya seolah dia sudah menaruh rasa kepada Rasel. Jujur terkadang Rasel suka bertanya-tanya, apa suaminya udah mulai mencintainya atau itu cuma formalitas saja?

Ngomong-ngomong soal perasaan, Rasel jujur merasa nyaman memiliki suami seperti Jehan. Meskipun pria itu terkadang masih suka berubah mood secara tiba-tiba, tetapi Jehan mempunyai cara yang sukses membuat jantungnya berdebar kencang.

Benar ya kata pepatah, kalau cowok dingin sudah memberikan perhatiannya pasti akan sangat membekas di hati para perempuan.

Tapi untuk cinta, Rasel masih belum yakin. Ada beberapa hal yang masih menjanggal di dalam lubuk hatinya. Jangan kira Rasel tidak menotis keanehan Jehan akhir-akhir ini, justru hal aneh tersebut yang membuat Rasel bimbang.

Rasel takut mencintai orang yang salah, karena ia merasa sosok Jehan sangat misterius namun ia tidak berani mengutarakan kejanggalannya.

"Udah lama gue ngga masak, bakalan enak ngga ya?" gumam Rasel merasa ragu selepas melihat santapan malam ini sudah tertata rapih.

Tidak lama dari itu indra pendengarannya dapat menangkap sebuah suara pintu tertutup dan juga suara seseorang menyimpan kunci. Mudah sekali ditebak siapa orang tersebut, Rasel melepaskan celemek coklat dari tubuhnya kemudian berjalan menghampiri suaminya.

"Udah pulang? Respect deh sama lo yang selalu nepatin janjinya, mau langsung makan atau mandi dulu? Gue udah masak nih, tumben ka-- OH MY GOD!!"

"LO KENAPA?!" Rasel memekik saat melihat penampilan Jehan yang tidak pernah ia duga. Wanita ini langsung berlari mendekat dan memeriksa tubuh suaminya dengan hati-hati.

Tangannya mulai bergetar melihat noda merah pekat di kemeja bagian perutnya, "I-ini darah siapa?"

"Lo kenapa bisa berdarah gini?!"

Jehan sungguh terkejut melihat kehadiran sang istri di rumah, ia sedikit menunduk dan melihat ekspresi panik pada wajah Rasel.

"Bukan darah gue, tenang."

Rasel menghembuskan napasnya, merasa lega karena apa yang ia pikirkan ternyata salah. Ia mendongak dan menatap Jehan ingin memberi semacam ocehan akibat dibuat murka karena pulang dengan kondisi yang mengkhawatirkan, namun Rasel mengurungkan niatnya ini ketika ia melihat luka kecil pada sudut bibir Jehan.

"Itu bibir lo kenap-- Lo berani pulang dengan keadaan gini?! Berantem sama siapa lo, hah?" Rasel menarik paksa Jehan menuju ke sofa di ruang tengah.

"Duduk." Jehan hanya menurut perintahnya tanpa mengeluarkan suara. Setelah memastikan lelaki itu duduk, Rasel bergegas mengambil kotak P3K di dapur.

Sambil menunggu istrinya kembali kesini, Jehan menyandarkan lehernya dan menatapi lampu dengan perasaan campur aduk. Kalau tau sang istri ada di rumah, Jehan akan meminjam baju bersih Marven agar Rasel tidak mengetahui apa yang baru Jehan lalui.

Jehan memejamkan matanya, sempat meringis perih di bagian sudut bibirnya sampai ia dengar langkah kaki mendekat ke arahnya.

"Jaman sekarang masih aja berantem, padahal udah bukan anak SMA lagi. Inget umur coba?!" sindir Rasel terdengar jelas di telinga Jehan seraya duduk di sampingnya sambil membuka kotak P3K.

Punya istri dokter lumayan juga ternyata, bisa mendapat penanganan gratis.

Setelah memakai sarung tangan lateks yang sudah menjadi hal dasar bagi seorang dokter mengambil berlembar kapas lalu dituangkan alkohol, Rasel dengan telaten mulai membersihkan luka tersebut.

"Ck! Tahan. Gini doang cemen, berantem aja bisa" decaknya saat mendengar ringisan keluar dari mulut Jehan.

"Galak," gumam Jehan sangat kecil.

"Ngga ada luka berat kan?" tanya Rasel mencoba memastikan noda merah tadi benar-benar bukan luka dari diri suaminya.

Jehan menggeleng sebelum ia memandangi wajah cantik istrinya yang masih sibuk merawat luka kecil pada ujung bibirnya. Rasanya ingin tersenyum melihat wajah fokus sang istri yang membuatnya terlihat jauuh lebih cantik, apalagi kalau diliat dari dekat seperti sekarang.

"Untung ngga terlalu parah.." gumam Rasel saat sudah menyelesaikan perawatan pada luka sobek itu.

"Pake salep ini setiap hari. Biar cepet sembuh," ucapnya sembari menyodorkan sebuah obat salep ke hadapan Jehan.

Jehan memandangi obat tersebut sangat datar, "Ada cara yang lebih cepet biar luka ini sembuh" katanya.

Rasel mengangkat salah satu alisnya kemudian melipat tangannya di dada. "Cara apa?"

"Tiupin dulu, perih nih." ujar Jehan berekspresi sayu sambil menunjuk lukanya dengan telunjuk jarinya.

"Kok manja?" pekik Rasel terkaget.

Kaget karena seorang Jehan Atharizz Kanagara yang selalu terlihat berwibawa  dan awet ngomong nyatanya bisa bermanja kaya gini.

"Manja sama istri sendiri ngga boleh emang?"

Rasel bergidik ngeri. Ngga biasanya Jehan kaya gini, sumpah.Tapi anehnya jantung Rasel malah kembali berdegup kencang, hal begini lah yang suka bikin Rasel bingung.

Jehan benar-benar tidak tertebak.

"Yaudah sini maju" titah Rasel pasrah menuruti kemauan suaminya.

Dengan senang hati, Jehan bangun dari sandaran punggung sofa dan mendekatkan wajahnya ke wajah Rasel, tepatnya menempatkan sudut bibir yang terdapat luka sobek tepat di depan mulut istrinya.

"Tiupin" ujar Jehan yang membuat Rasel mau tak mau merotasikan bola matanya.

Rasel mulai meniupi luka sobek tersebut dengan sangat lembut, tidak mau menyakiti empunyanya. "Udah kan?"

"Sekali lagi." Rasel menghela napasnya kesal, tapi ia tetap menuruti permintaannya.

Perempuan berstatus istrinya itu kembali meniup pelan luka sobeknya, namun kali ini agak sedikit mengejutkan. Jehan dengan lancangnya malah memajukan wajahnya sampai bibir ranum Rasel yang sedang meniup menempel pada sudut bibir Jehan.

Rasel membelalakan matanya lalu menjauhkan diri dan menggampar bahu suaminya, "Gila ya?! Maksud lo kaya gitu apa hah??"

"Luka kalo dicium itu cepet sembuhnya tau," ujar Jehan santai.

"Alesan. Lo nya aja yang emang mesum--" Rasel berdecak kesal masih tidak terima dengan kelakuan pria itu membuat Jehan terkekeh.

"Lo habis masak? Tumben," tanya Jehan saat indra penciumannya menangkap aroma sedap dari arah dapur.

Rasel menggigit bibir bawahnya, "Selama ini gue selalu ngerasa kalo gue ngga pernah jadi istri yang baik buat lo ya kan?"

"Kata siapa?"

"Kata gue barusan ih, gue ngga pernah masakin lo sarapan atau makan malam. Nah mumpung hari ini gue pulangnya cepet, jadi gue coba masak aja deh"

Jehan mengangguk paham sambil menggulung lengan bajunya. "Gue juga belom pernah nyicip masakan lo, enak ngga?"

"Enak ya! Restoran aja kalah tau," Rasel tersenyum bangga pada dirinya sendiri.

"Dih" perkataannya berhasil membuat Jehan terkekeh gemas.

"Jadi, abis berantem sama siapa?" tanya Rasel seraya membereskan perlengkapan obat-obatan.

Jehan menoleh dan melihat perubahan ekspresi pada wajah istrinya. Ia menggigit bibir bawahnya merasa ragu apakah harus menjawab jujur atau bohong, karena jika jawaban jujur mau tidak mau Jehan harus sekaligus menceritakan kehidupan aslinya bagaimana.

"Preman jalanan doang," jawab Jehan akhirnya memilih untuk berbohong.

"Lo pikir gue percaya?"

"Ngapain juga gue bohong? Mereka sengaja ngerusak kaca spion mobil gue, ya gue---"

Rasel menutup kotak P3K dengan keras lalu menghela napas. "Sebulan jadi istri lo cukup bagi gue buat tau sifat lo itu gimana dan marah adu fisik bukan salah satunya."

"Waktu anak kecil ngga sengaja nabrak mobil lo aja gue ngga liat raut marah di muka lo."

Jehan mengulum bibirnya, "Ini beda. Mereka se--"

"Berantem macam apa sampe noda darah di baju lo segitu banyaknya?" Pertanyaan ini berhasil membuat Jehan terbungkam.

"Bukan tentang itu doang. Jangan pikir gue bego, Jehan. Gue notis semuanya dari awal, mulai dari waktu lo tiba-tiba ngajak gue keluar ruangan resepsi atau sebulan yang lalu pas lo dateng ke rumah sakit dengan sebegitu paniknya seolah lo diancam pake nama gue dan--"

" 'Kalo lo macem-macem tanpa rencana yang jelas, lo bisa mati di tangan mereka', gue masih inget perkataan lo sama seseorang yang gue ngga tau itu siapa."

Rasel bisa melihat Jehan menatap lurus ke depan dia tau kalau suaminya itu terbungkam, bisa diliat dari wajahnya yang merah dan rahangnya yang mengeras.

Ngga peduli lagi kalau lelaki itu marah, yang jelas Rasel ingin tau sosok Jehan yang sebenarnya.

"Gue istri lo, tapi rasanya gue jauh banget sama lo tau ngga? Lo itu siapa sih, Je? Kenapa di mata gue lo itu misterius banget.."

"Jehan, gue mohon. Lo ngga suka gue bohongin, tapi kenapa lo bohong sama gue?" Rasel menatap Jehan dengan tatapan sendu, membuat rasa bersalah muncul di benak Jehan.

Lagi-lagi Rasel menghela napasnya. Sepertinya Rasel yang harus mengalah lagi untuk kesekian kalinya. "Yaudah lah, sana mandi. Abis itu makan ya gue udah masak--"

"Apa lo bisa nerima gue yang sebenernya?" tanya Jehan, ia memutuskan akan menjelaskan secara detail semuanya.

Rasel membalikkan badannya dan melihat pria itu sudah menatapinya, "Jehan yang sebenernya itu kaya gimana?"

"Gue bukan penjahat tapi gue juga bukan orang baik buat lo"

Detik itu juga Rasel membenarkan semuatebakan dan spekulasinya serta menyimpulkan bahwa suaminya itu bukanlah orang biasa.

Beberapa jam yang lalu...

Jehan merogoh sakunya untuk mengambil kunci mobilnya lalu memencet salah satu tombolnya sambil berjalan menuju mobilnya yang masih terparkir.

"Gue denger lo cukup protektif sama istri lo ya.. Gara-gara gue?"

Langkah kaki panjangnya langsung terhenti saat mendengar sebuah sahutan dengan suara yang begitu familiar di telinganya.

Seringaian muncul pada wajahnya ketika sadar siapa pemilik suara tersebut, Jehan membalikkan tubuhnya dan mendapati sesosok yang sedang menyandarkan badannya pada kaca pintu parkir.

Entah bagaimana caranya sosok itu tiba-tiba muncul, tetapi Jehan ngga heran lagi karena dia adalah Jeksa.

"Suami protektif sama istri sendiri itu biasa, bro" balas Jehan setenang mungkin, dirinya tidak mau lelaki berstatus musuhnya itu tau kalau Jehan agak terkejut oleh kedatangannya.

"Whoa, you don't seem suprised."

Jehan terkekeh, "Cara lo terlalu gampang di tebak"

"Boring, right?" Jeksa mendongak dan menatap Jehan dengan tatapan aneh namun sangat tidak bersahabat.

"Kalo gitu apa gue perlu pake cara baru? Playing with your wife maybe?" mulai merubah suasana dengan memancing amarah Jehan menggunakan
kelemahan pria itu.

Rahang Jehan auto mengeras ketika musuhnya itu menyinggung istrinya tetapi Jehan berusaha keras agar tidak terpancing. "Lo naksir istri gue?"

Jeksa tertawa sebagai respon dari pertanyaan konyol yang pernah ia dengar. "Direktur kaya lo pasti bisa bedain mana obsesi, mana naksir, mana dendam,"

Dendam apa lagi?

"Kayanya lo belum tau apa-apa tentang istri lo, am i right? Gue liat-liat lo sama Rasel lebih dari kata baik, in a good way.."

"Ah-- Mungkin nyokap sama kakak lo belum buka mulut"

"Should I tell you?" gumam Jeksa masih bisa terdengar sambil berjalan maju agar berhadapan dengan Jehan yang sudah bingung oleh tutur katanya barusan.

"I want to play with your wife for one reason.. Revenge." kata Jeksa tersenyum kecut.

Jehan mengepalkan tangannya yang sedang menggenggam kunci mobil, emosinya sudah tidak bisa dikendalikan lagi.

Sepertinya Jeksa berhasil memancingnya, membuat Jehan ingin melayangkan tinjuan andalannya sekarang juga.

"Kalo lo mau bales dendam, ngga usah bawa-bawa istri gue." ucap Jehan datar namun sangat mengintimidasi.

Tetapi dia adalah Jeksa, pemuda keturunan dari keluarga Navarez yang mendapat julukan sebagai manusia berdarah dingin oleh badan intelijen negara. Bisa dibilang keluarga Navarez adalah buronan yang sudah dicari oleh kepolisian dan juga intelijen lebih dari 20 tahun lamanya.

Dengan identitas seperti itu Jeksa tidak pernah merasa takut ataupun terintimidasi hanya dengan ancaman seperti itu. Jiwa pemuda itu memang sudah berdarah dingin seperti mendiang ayahnya.

"Jehan.. Jehan.." tawa Jeksa memenuhi area parkir.

"Sekarang istri lo jadi alesan utama gue bua--"

Bugh!

"Gue ngga main-main sama perkataan gue, Tuan Navarez." kata Jehan yang menjadi peringatan dengan sorot mata dingin namun penuh amarah.

"Jangan ganggu istri gue." ucapnya sekali lagi penuh penekanan.

Jeksa meludahkan darah di dalam mulutnya, lalu tersenyum miring. Nyatanya memancing emosi Jehan tidak sesulit itu, hanya disinggung tentang istrinya saja Jeksa berhasil mendapatkan satu bogeman kencang.

Ini yang dia tunggu.

"I want to tell you the truth, bro" ujar Jeksa yang berhasil membuat Jehan mengangkat salah satu alisnya.

Merasa tertarik dengan pembahasan itu.

"What kind of truth?" tanyanya berhati-hati.

"Istri lo jadi kunci permainan ini--"

Bugh!

Kembali menyinggung istrinya, Jehan tidak segan untuk meninjunya lagi namun kali ini memakai tenaga penuhnya sehingga membuat bajingan itu tersungkur jatuh.

"Harus berapa kali gue bilang, hah?! Ngga usah bawa-bawa istri gue, brengsek!"

Jehan menjongkokkan dirinya tepat di hadapan wajah lelaki yang sedang memegang rahangnya. Sudah terlanjur terkulut emosi, tangan kekarnya mencengkram baju Jeksa.

"Gue tanya baik-baik, ada urusan apa lo dateng kesini? Our game hasn't started yet, bastard"

Pria yang dicengkram bajunya lagi-lagi tersenyum miring, menertawakan kebodohan Jehan. "Then, shall we begin?"

Tanpa Jehan sadari, diam-diam Jeksa merogoh pisau andalannya dengan niat menusuk salah satu area tubuh sang musuh sejatinya ketika dirasa lelaki tengah lalai.

Jehan tidak menyadari itu, intensinya fokus pada lelaki yang masih digenggamannya. Amarah di benaknya membuat Jehan tidak waspada oleh segala kemungkinan yang ada, mengingat orang di depannya ini merupakan orang manipulatif.

Tangan Jeksa sudah memegang pisau andalan di balik tubuhnya sambil menyeringai, dirinya siap melayangkan serangan yang menjadi salah satu tujuannya datang kesini.

Namun detik itu juga terdengar,

Dor!

Suara nyaring yang dihasilkan dari pertemuan antara pisau dan juga peluru berhasil membuat keduanya langsung menjauhkan diri satu sama lain. Jehan dan Jeksa sama-sama mencari asal sumber suara tembakan tadi.

Tetapi sepertinya mereka berdua sama-sama tau siapa orang yang berani menembak disituasi seperti ini.

Di sisi penembak, seorang lelaki dengan setelan serba hitam sontak tersenyum merekah sambil mengunyah permen karet dan tangannya sibuk mengisi peluru dan membidik ke arah dua orang yang sedang bercengkrama tadi.

"Sesayang apa lo sama istri lo sampe bikin Jehan yang selalu sigap baca gerakan orang jadi lalai begini?" gumamnya menggelengkan kepalanya.

'Manusia kulkas lagi jatuh cinta maklumin aja sih, Lan'

'Yang penting kita udah gercep--'

'Apaan?! Gue juga yang kerja cepet, untung otak sama jari gue lagi bisa diajak kompromi. Kalo ngga si Jehan udah masuk di Rumah Sakit kali,'

'Lo kerja di markas, kita bertiga yang turun ke lapangan langsung. Fair kan?'

"Woy fokus!" decak pria penembak si penyelamat Jehan hari ini.

Pria ini memicingkan matanya untuk memastikan posisi Jehan dan Jeksa apakah berada pada titik jangkauan atau tidak. "Lo dimana, Ven?!"

Jeksa mengumpat kesal karena rencananya kali ini kembali gagal untuk kesekian kalinya. Tanpa perlu lama-lama, Jeksa memberi semacam kode kepada anak buahnya yang bersembunyi di balik tembok pembatas.

Mata coklat Jehan jatuh pada pisau yang bercorak khusus dan tentunya dia tau siapa pemilik pisau tersebut.

"Pengecut.." gumam Jehan meremehkan.

"Sialan lo. Mau ngebunuh gue disini?" tanya Jeksa sengaja agar perhatian Jehan tetap terus kepadanya.

"Playing victim lo? Padahal posisinya lo yang rencana bunuh gue,"

Jehan tersenyum kecut, "Jadi itu alesan lo dateng ke kantor gue?"

"Bingo! Lo mati, gue bisa leluasa main sama istri lo."

"Try me, bastard. Setelah lo berhasil bunuh gue, lo pikir anak buah gue bakal diem aja?" Jehan memberikan senyuman miring, meremehkan apapun rencana lelaki itu.

"What? Rekaman CCTV? Gue ngga takut berurusan sama polisi, bukan kasta gue." jawab Jeksa percaya diri.

"Kasta gue itu, Raselia Emmera." lanjutnya yang kembali memancing amarah Jehan.

Jehan, pria itu mengepalkan tangan dan rahang tajamnya mengeras, pertanda bahwa emosinya sudah memuncak ke permukaan benaknya. Kaki panjangnya hendak melangkah namun bajingan itu lebih dulu mengatakan,

"Maju selangkah, detik itu juga satu peluru bakal nembus ke kepala lo."

Sebuah ancaman yang membuat Jehan langsung mengurungkan niatnya, saat ini bukan waktunya untuk bermain-main. Sepertinya ancaman Jeksa bukan lelucon, ia harus berhati-hati.

Anak buah Jeksa sudah siap menarik pelatuknya dengan bidikan tertuju pada Jehan yang sedang diam tidak bergeming membuat rekan timnya di dalam mobil menggeram kesal.

"Jehan bego." umpatnya. "Lo ngga pernah sebego ini.."

Mau tidak mau pria bertopi hitam ini segera membidik para anak buah Jeksa, namun gerakannya terhenti saat mendengar suara seseorang.

"JEHAN!"

Jehan dan Jeksa menoleh, keduanya mendapati sekretaris pribadinya Jehan berjalan ke arahnya dengan penampilan yang berantakan dari atas kepala sampai ujung kaki.

"What the--" Jehan terkejut melihat sekretarisnya sudah menodongkan pistol ke arahnya,

"NUNDUK BODOH!!" teriak Marven sedikit geram.

Sebelum melakukan perkataan sekretarisnya, Jeksa lebih dulu mendorong kasar tubuh Jehan yang tidak siap akhirnya menabrak mobil bagian depan.

Tanpa berpikir lama, Marven menembak salah satu dari banyaknya anak buah Jeksa yang dengan beraninya bersembunyi di sekitar area parkir perusahaan.

Bahkan beberapa ada yang mencegat Marven saat ingin menyusul bosnya tadi. Hal ini menjadi alasan mengapa Marven terlambat datang.

Jeksa menonjok pria yang gerakannya terkunci oleh rengkuhan atau tahanannya di atas kap mobil, setelah itu menatap Jehan dengan tatapan iblis yang emosinya sudah memuncak.

"Your bloody bastard team ruined my plan!" geram Jeksa, kesal sekaligus marah karena semua rencananya hari ini tidak ada satupun yang berhasil.

Jehan menyeringai sambil terkekeh, "Ruined your plan? Just admit it if you're really bad, ah no--"

"You are suck, Jeksa." setelah mengucapkan satu kalimat hina, Jehan langsung membalas tonjokan dengan sekuat tenaga.

Bebas dari kuncian bajingan itu, Jehan berdiri sambil memeriksa ujung bibirnya yang sudah mengeluarkan darah sebelum melawan anak buah Jeksa yang mulai menyerangnya satu persatu.

Dimulai oleh Marven yang menembak salah satu anggota komplotan Navarez membuat anggota yang lain mulai keluar dari persembunyiannya dan menghujami Marven dengan tembakan juga.

Namun karena Marven alumni dari pelatihan ayah Jehan lelaki itu berhasil menghindar, menjadikan mobil yang terparkir perisai dari hujaman peluru.

Tenang saja, mobil yang ia jadikan pelindung saat ini merupakan mobil miliknya. Kalau rusak, nanti Jehan yang tanggung biaya perbaikannya atau beli yang baru.

"Shit! Gue stuck. Lan, lo lagi ngapain?!" Marven sibuk mengisi ulang pelurunya, dirinya masih di hujami oleh peluru anggota-anggota kawanan Navarez membuatnya kesulitan untuk membantu Jehan yang sedang melawan beberapa anggota Navarez lainnya.

Marven menekan earpiece, "Woy!! Siapa pun, disini gue butuh bantuan!"

'Gue sibuk di depan'

Marven berdecak kesal. Jeksa mengerahkan anak buahnya di setiap penjuru perusahaan, sehingga membuat semuanya kewalahan. Perasaan Marven sedikit tidak tenang karena atasan sekaligus temannya sedang melawan sendirian tanpa senjata.

Dirasa sudah tidak ditembaki, sepertinya banyak dari mereka sedang mengisi amunisi yang baru. Keadaan ini langsung dimanfaatkan oleh Marven dengan seluruh keberaniannya segera keluar dari persembunyiannya dan menembaki satu persatu orang yang tertangkap matanya.

Ada lebih dari tiga orang yang berlari ke arahnya, Marven langsung menghajar menggunakan alat di tangannya yang masih sama yaitu, pistol.

Marven memukul leher, bahu, pinggang, dada dan perut orang-orang tersebut berturut-turut dengan bagian pegangan pistol yang begitu keras. Lalu setelahnya, Marven mengarahkan senjatanya di bagian dada dan kepala, seolah tidak mengenal kata ampun ia menekan pelatuknya pada tempat yang sudah dibidik.

Mata Marven melihat Jehan sedang kesulitan membuatnya merogoh bagian belakangnya untuk mengambil senjata cadangan.

"Je!!"

Jehan merasa sesuatu mendarat di samping kaki kanannya, ia menunduk dan langsung mengambil pistol pemberian sekretarisnya. Benda berbahaya tersebut ia arahkan lalu ditekan pelatuknya tepat pada dahi mereka.

Dor!

Dor!

Dor!

Aksi tembak-tembakan terjadi di parkiran kantor KNG, tentunya kejadian ini akan menimbulkan kepanikan seluruh pegawai yang masih bekerja. Namun berkat gerak cepat Marven serta seorang ahli komputer yang langsung meretas listrik serta jaringan, perhatian para pegawai teralihkan.

Jehan mengumpat kesal karena peluru pada pistol yang ia pegang sudah habis, masih ada lebih dari lima orang yang sudah bersiap dengan pisau, tongkat baseball dan balok kayu untuk menghajarnya.

Sudah terlatih dan tidak mengenal rasa takut, Jehan menjadikan pistol tanpa peluru sebagai senjata dan legegnya ia memberi tanda kepada mereka untuk maju.

Namun sebelum mereka yang tersisa mauju untuk menyerang, sebuah peluru menembus kepala mereka satu persatu dan membuatnya sedikit terkejut.

"Who the f--"

"Yaslan anjing. Dari tadi gue butuh kemampuan nembak lo," sahut Marven menumpu tubuhnya dengan memegang lututnya.

'Gue diem bukan berarti santai-santai, bego'

Marven menghampiri Jehan yang terlihat sedang linglung mencari seseorang, "Kenapa bos?"

"Jeksa? Udah kabur tuh orang," ujarnya ketika tadi dia dan Jehan sibuk baku hantam dan juga baku tembak, matanya ngga sengaja liat Jeksa masuk ke dalam mobil dan pergi begitu saja.

Jehan langsung berdecih remeh mendengar tutur kata sekretarisnya, "Pengecut bakal tetep jadi pengecut.."

Marven tertawa sambil merogoh korek api di saku celananya, "He was born to be a coward.." katanya, menyalakan seputung rokok.

"Are you hurt, boss?" tanya si penembak bertopi hitam sedang berjalan ke arah Jehan dan Marven dengan tas senapan dijinjingannya. Lelaki yang memang sudah terlatih untuk menjadi penembak itu melihat noda darah di baju bosnya.

Jehan memeriksa sejenak lalu menggeleng, ia malah merapihkan bajunya yang berantakan akibat pertarungan tidak terencana beberapa saat yang lalu.

"Yang lain dimana?" tanya Jehan dengan suara beratnya.

Lelaki yang dipanggil Lan juga Marven hanya memberikan jawabannya berupa gidikan bahu. Entah sejak kapan mereka berempat jadi hilang komunikasi, mungkin pengaruh dari kecilnya sinyal karena duaan ini berada di area basement parkir.

"Lo tega amat sama gue, Lan. Kalo gue mati gimana coba?" Marven memberikan tatapan tajamnya.

"Ya berarti bakal ada pemakam--"

"Brengsek lo!" diberi umpatan kasar begini, lelaki itu malah terkekeh sambil melepaskan sarung tangan hitamnya.

"Jeksa ngga berhenti nyinggung tentang Rasel. Gue ngga mau terlalu percaya sama bajingan itu, tapi gue juga ngga mau clueless tentang istri gue sendiri" ujar Jehan setelah menyandarkan diri di atas kap mobil miliknya.

"Nyinggung gimana?"

" 'Istri lo jadi kunci permainan ini' "Jehan meniru gaya bicara Jeksa yang mengancamnya tadi.

"It's kinda nonsense, but at the same time i find it quite reasonable." lanjutnya.

Kedua anggota tim nya sekaligus temannya itu menatap satu sama lain, mencoba mencerna apa yang Jehan katakan namun tak lama kemudian mereka berdua menghela napasnya dan,

"What's your plan now?" tanya mereka bersamaan.

"Lo cari detailnya latar belakang keluarga Rasel, Ven." titah Jehan kepada sekretarisnya.

"Dan lo, Lan," ucapan Jehan yang menggantung membuat lelaki bertopi hitam itu menatapnya.

"Urus semua yang masih hidup, bawa ke markas, gali informasi tentang kumpulan mereka. Don't give them mercy, you can do that right?"

Pria itu menyeringai senang, "Gue dilatih untuk itu tenang aja."

Jehan tersenyum miring sambil menganggukan kepalanya, memberi penuh rasa kepercayaannya dengan menepuk bahunya. Setelah apa yang terjadi hari ini, Jehan bertekad pada dirinya untuk lebih berhati-hati lagi.

Dan mulai saat ini Jehan tidak akan segan-segan juga tidak akan memberi keringanan pada siapa pun yang mencoba membunuhnya.

Jehan menyisir rambutnya ke belakang, "Gue ngga akan ke markas sebelum nyonya besar curiga, gue harus balik sekarang."

"Kapan lo ngasih tau tentang ini semua ke dia, Je? Dia istri lo dan dia berhak tau--"

"Nanti." potong Jehan seraya membuka pintu mobilnya.

Ini belum waktunya untuk si wanita polos nan lemah untuk mengetahui sisi dunia Jehan yang begitu kelam dan keji.

Lalu kapan?

"What should we do with the dead, then?" tanya Marven menunjuk ke arah lantai parkiran yang dipenuhi oleh orang-orang Navarez terbaring beberapa ada yang masih menghirup oksigen namun banyak yang sudah tidak bernyawa.

Kondisi parkiran dari kantor KNG sangat kacau balau. Tidak hanya karena orang-orang Navarez tetapi pecahan kaca, peluru kosong dan yang lebih mengerikan adalah genangan darahnya.

Namun bagi mereka bertiga genangan darah seperti itu bukanlah apa-apa, mereka pernah melihat yang jauh lebih mengenaskan.

"Send the bodies to their family," ujung bibirnya terangkat menimbulkan sebuah senyuman yang bisa menyebutkan kalau Jehan seperti dirasuki oleh iblis kejam.

°°°

"La, hidung lo kenapa deh?"

"AHAHAHAHA--"

"Sahabat paling biadab lo, Sya. Temennya kena tonjok malah ketawa"

"Kena tonjok? Serius lo? Kok bisa?!"

"Ada cewek nganterin cowoknya ngelepas jahitan, nah ternyata cowok itu selingkuhannya anjir. Dan cowok asli si cewek tiba-tiba dateng buat hajar selingkuhannya, yang kena hajar malah gue!" jelas Lola menggeram tidak terima.

Rasel sontak tertawa mendengar cerita yang sudah tidak lagi heran karena kejadian seperti itu sering terjadi kepada dokter maupun perawat.

"Gapapa, biar hidung lo makin mancung, La" kata Rasel masih tertawa.

Lola mendengus sebal, "Matamu mancung! Yang ada malah pesek tau!"

"Gue liat langsung, Sel. Sumpah ya-- AHAHAH" sepertinya Jisya sangat puas melihat tragedi memalukan ini terjadi kepada temannya.

Tidak diam saja, Lola memukul punggung Jisya menggunakan tas selempangnya. "Ketawa terus sampe mampus!"

Baru kali ini sif mereka bertiga selesai di jam yang sama setelah hampir 5 tahun berkarir bersama. Tadinya mereka mau nongkrong dulu di cafe depan rumah sakit, tapi sayangnya Lola dan Jisya ada seminar yang ngga bisa mereka tinggal

Alhasil ketiganya hanya mampir ke cafe untuk sekedar membeli kopi serta kudapan yang bisa mengganjal perut.

"Lo kaya biasa kan, Sel? La?" tanya Jisya memastikan.

Lola dan Rasel mengangguk sebagai jawaban, ada mungkin ratusan kali mereka ke cafe ini jadi ngga perlu bingung lagi apa yang akan mereka pesan karena setiap mereka datang kesini, pasti akan memesan menu yang sama.

Setelah Jisya berlalu dari hadapan mereka, Lola menatap sahabat di depannya yang sedang memandangi layar ponselnya.

"Balik sama siapa?" tanya Lola penasaran, tapi sudah menjadi hal yang lumrah bagi Lola, Rasel dan juga Jisya untuk memastikan kendaraan pulang satu sama lain.

"Karna gue ngga bawa mobil, jadi siapa lagi kalo bukan Jehan?" jawabnya seraya menyimpan ponselnya di atas meja.

"Ngomong-ngomong ya, Sel. Sejak kapan lo punya mobil?"

"Sejak tanggal 11 Februari kemarin,"

"Hah?"

Rasel tersenyum kikuk, "Kado ulang tahun dari Jehan"

"DEMI APA LO?!" pekik Lola beneran kaget bukan main. "Wah gila, kadonya orang kaya beda ya.."

"Jehan tau tanggal ulang tahun lo dari siapa?" celetuk Lola tiba-tiba kepikiran.

Rasel memberikan tatapan datarnya apa Lola pura-pura lupa atau bagaimana?

"Lo yang ngasih tau kan?"

Lola menunjuk dirinya sendiri dengan perasaan aneh, masalahnya dia ngga ingat pernah ngasih tau ke lelaki itu. "Gue?! Sumpah bukan!"

Rasel merotasikan bola matanya. Dia tau kalau Lola hanya mengelak saja, lagipula yang lalu biar saja berlalu. Tak penting siapa yang memberitau tanggal ulang tahunnya, toh itu bukan masalah besar.

"Tapi gue tuh suka ngga enak, La. Semua barang pemberian mamahnya, kakaknya, adiknya bahkan dari Jehan sendiri pasti barang mahal. Gue ngga biasa, terlalu mewah buat gue yang sederhana" ucap Rasel dengan nada lemah.

Lola tersenyum kecil mendengar itu, dirinya bisa memahami karena Lola tau betul kehidupan sederhana Rasel dulu seperti apa. Dan sekarang temannya itu dipertemukan oleh pria kaya raya sehingga apapun yang semula Rasel anggap mahal akan menjadi murah, hadiah ulang tahun saja sekelas mobil tesla.

"Kalo kata gue nikmatin aja sih, Sel. Bukan berarti gue nyuruh lo buat ngelunjak minta ini, minta itu ke suami lo ya--" Lola memicingkan matanya agar sahabat didepannya ini tidak salah kaprah.

"Maksud gue dinikmatin, apa yang mereka kasih itu hal yang wajar di dalam keluarganya dan lo cuma bisa nerima. Lo emang punya hak untuk nolak, tapi status lo sekarang adalah anggota Kanagara. Lo udah jadi bagian keluarga mereka" tambahnya.

"Paling lo ngomong aja ke Jehan kalo lo ngerasa keberatan, dia pasti ngerti kok" sahut Jisya yang sedikit mengejutkan Lola maupun Rasel.

Jisya duduk di samping Lola, "Gue ngga pernah nanya ini karna duduk santai bareng aja susah banget, sialan"

"Tapi gue penasaran. Hampir dua bulan jadi istri Jehan, is everything okay? Tuh cowok baik kan sama lo?"

Lola mengangguk setuju. Dia dan Jisya belum mengetahui kabar apapun mengenai hubungan rumah tangga Rasel yang sudah berjalan hampir dua bulan.

Habisnya setiap kali mereka mau ngobrol santai dan bertukar cerita pasti saja ada keadaan yang mendesak sehingga mau tidak mau ketiga dari mereka harus menunda itu semua.

"Dia baik kok, baik banget malah. Ya meskipun kadang suka bikin gue naik darah sama sikap dia yang super dingin itu, tapi perilaku dia sebagai suami lebih dari kata baik" jawab Rasel sambil tersenyum kecil.

"Lo berdua udah ngelakuin 'itu' belom?" tanya Lola bermaksud menggodai sahabatnya.

Rasel sontak melotot ketika mendengar sebuah pertanyaan tidak berguna, "We're not that close yet, Lola"

"Lo pikir kita percaya?"

"Gue sama Jehan emang ngga sedeket itu," kata Rasel tetap pada pendiriannya.

Jisya menopang dagunya dan mengunci tatapan tajamnya kepada Rasel. "Gue liat loh, Sel"

"Liat apa?"

"Beberapa minggu yang lalu, Jehan lari-lari nyari lo kesana-sini eh tau nya lo lagi makan es krim bareng salah satu pasien. Surprisingly, gue tau siapa pasien itu. Disisi lain suami lo kaya panik banget terus gue liat cara Jehan meluk lo tuh--"

"GUE JUGA LIAT ITU!!" sentak Lola bersemangat yang memotong tutur cerita Jisya.

"Kebiasaan motong omongan gue!" decak Jisya sedangkan Lola hanya menyengir.

"You two have fallen in love right?" goda Lola dengan menaik-turunkan alisnya.

"Engga, sumpah." elak Rasel langsung.

"Belom," ralat Jisya dan Lola bersamaan, setelah itu terkikik. Tadinya Rasel mau mengelak lagi tapi seorang barista tiba-tiba datang mengantarkan pesanan mereka bertiga.

Oh iya, semenjak menginjak cafe ini Rasel sama sekali tidak melihat temannya yang bekerja disini. Hal itu membuatnya bingung dan memutuskan bertanya dengan maksud memastikan temannya baik-baik saja.

"Permisi, maaf mau tanya. Alaya lagi cuti atau gimana ya?"

Barista sempat terkejut sekaligus heran namun ia tersenyum dengan cepat, "Alaya lagi tidur di ruang belakang, Mbak. Mau saya panggil?"

Rasel menarik kedua ujung bibirnya kemudian menggeleng, mendengar itu saja membuatnya merasa lega. Hanya Rasel yang mengetahui apa yang terjadi pada hidup Alaya dimasa lalu, dan itu yang membuatnya menaruh perhatian lebih pada perempuan itu.

"Ngga usah. Nanti kalo bangun, tolong kasih ini ya" ujar Rasel sembari menyerahkan sebuah paper bag berwarna coklat kepada barista tersebut yang langsung diterima dengan baik.

"Lo kenal Alaya dari mana, Sel?" tanya Jisya penasaran.

"H-hah? Oh, waktu gue hampir apa-apa sama preman jalanan, dia yang bantu gue." jawab Rasel berbohong, entahlah itu yang terlintas langsung di otaknya tadi.

Mau gimana pun juga Rasel tetap harus menutup mulutnya karena itu permintaan Alaya sendiri.

Lola menyeruput minuman miliknya kemudian ia memulai gosip, ngga heran lagi deh. Lola emang suka dijulukin ratu gosip dari masa kuliah. "Eh lo tau residen ortopedi yang baru?"

"Kumat lagi pergibahan lo, La" Jisya menggelengkan kepalanya dan menghela napas.

"Hot news ini, Sya! Katanya dia mantan--"

"Gue cabut duluan ya," potong Rasel ketika dia melihat notifikasi muncul di layar ponselnya.

"Cuami gue udah nunggu di depan" lanjutnya dengan intonasi layaknya anak kecil dan siapa sangka perempuan itu mengedipkan sebelah matanya.

Lola hanya bisa menganga kaget dan Jisya yang sedang menyeruput minumannya tersedak kaget juga. Mereka berdua hanya menatapi kepergian sahabatnya itu yang perlahan mulai menjauh dari pandangan mereka.

"Makin ngga percaya gue kalo si Rasel ngga jatuh cinta sama suami paksanya," gumam Lola.

Jisya mengangguk setuju, gumaman kecil Lola masih bisa terdengar jelas oleh telinganya. "Doa gue dijabanin sama Tuhan, La"

°°°

Jehan mengunci ponselnya ketika mendengar suara pintu di sampingnya terbuka, tangannya langsung mengecilkan suhu AC agar istrinya itu tidak merasa kedinginan.

"Haloo" sapa Rasel bersemangat setelah duduk di kursi samping pengemudi, hal ini sedikit membuat Jehan kebingungan.

Tidak ada jawaban apapun dari suaminya, Rasel mendengus kesal. "Seengganya jawab kek,"

"Hmm"

Akhirnya Rasel cuma bisa menghela napas aja, Jehan jago banget ngejatuhin mentalnya. "Dosa apa gue punya suami dingin kek kulkas kaya dia?" lirih Rasel.

Untungnya Jehan tidak mendengar itu.

"Pake seatbeltnya yang bener" ujar Jehan seraya menyalakan mesin mobilnya.

"Ini kan udah sore, hampir mau maghrib malah biasanya jam segini ngga bakal ada polisi. Jadi, boleh ngga--"

"Gue bilang pake." Rasel belum selesai berbicara namun Jehan sudah memotongnya seolah dia bisa membaca apa yang akan Rasel ucapkan.

Jehan memberikan tatapan datar andalannya yang selalu saja berhasil menakuti Rasel yang memiliki hati lemah serta mudah luluh.

"Yaudah iya nih gue pake."

Setelah memastikan perempuan di sampingnya sudah memakai seatbelt dengan benar, Jehan segera menginjak pedal gas dengan kecepatan sedang.

Di sepanjang perjalanan hanya diisi oleh ocehan Rasel yang tiada hentinya, mulai dari membahas kejadian hari ini sampai hal-hal random lainnya.

"Tadi gue kena marah kakak lo tau, Je" ujar Rasel memanyunkan bibirnya.

"Kok bisa?"

Hati Rasel langsung bersorak senang mendengar respon yang sedari tadi ia tunggu, kedua matanya berbinar cerah.

"Karna gue tidur padahal ada jadwal operasi" lanjutnya.

Jehan menoleh sebentar sambil menunggu lampu merah berubah menjadi hijau. "Sengaja tidur atau ketiduran?"

"Ketiduran lah! Gue bukan tipe orang yang suka lepas tanggung jawab, tapi tetep aja gue yang salah disini" jawab Rasel.

"But I'm sure you can handle that mistakes very well." ucapan Jehan yang membuat senyuman Rasel merekah.

"Ada cerita apalagi hari ini?" tanya Jehan sambil menopang wajahnya namun arah matanya tetap lurus ke depan.

Semua ocehan yang Rasel keluarkan dari tadi meskipun risih tetapi Jehan menyukai itu, justru dengan mendengar bacotan tiada henti tersebut membuatnya menghela lega.

Istrinya bisa mengoceh itu artinya dia menjalani hari dengan sangat baik dan bagi Jehan itu sudah lebih dari cukup.

Hendak menjawab namun mata manik Rasel tak sengaja menangkap sebuah benda melingkar di jari manis lelaki itu. Lagi-lagi Rasel tersenyum tulus ketika memandangi cincin pernikahan yang tidak pernah lepas dari tangan suaminya.

Memang hal yang kecil dan biasa bagi pasangan suami istri, namun ingatlah kalau pernikahan Rasel dan Jehan tidak didasari oleh cinta tetapi paksaan.

Melihat lelaki itu selalu memakai cincin indah yang menjadi salah satu identitas sebuah perkawinan itu artinya Jehan mengakui dan menerima pernikahan mereka.

Hanya karena hal kecil itu saja kembali sukses membuat Rasel terharu dan luluh.

"Malah ngelamun,"

Lamunan Rasel lanvsung buyar detik itu juga, ia tersenyum kaku. "S-siapa juga yang ngelamun?"

"Gantian dong. Ada cerita apa hari ini di kantor lo?" tanya Rasel antusias.

Sebelum menjawab pertanyaan perempuan itu, Jehan menancapkan pedal gasnya ketika lampu merah yang sudah berubah menjadi hijau.

"Nothing special. Cerita gue hampir sama setiap harinya, ngurus dokumen kontrak, program sosial atau politik, dan masih banyak lagi. Boring, right?"

"Tugas lo banyak juga ya.." gumam Rasel masih agak terkejut dengan pekerjaan suaminya.

Jehan mengcengkram stir mobilnya ketika dirinya mengingat sesuatu, "Sel.."

"Hmm?"

"Lo serius mau tau tentang diri gue?" tanya Jehan dengan suara yang kembali datar.

Rasel tidak menjawab, perempuan ini sedari tadi malah sibuk memperhatikan kaca spion mobil karena baginya ada sesuatu yang mengganjal.

"Rasel--"

"Apa perasaan gue doang atau mobil jeep hitam di belakang emang ngikutin kita?" ujar Rasel.

Jehan sontak melihat ke arah spion dalam dan memastikan apa yang Rasel katakan itu benar. Detik itu juga sebuah panggilan masuk yang terpampang jelas pada layar headunit mobil.

"Perasaan gue doang kali ya,"

Tangannya langsung memencet tombol terima panggilan secara manual, tidak sempat jika ia harus memakai semacam earpiece. "Mobil jeep di belakang gue itu siapa?"

'Siapa lagi kalo bukan mereka?'

"Sialan." umpatnya.

'Jaga jarak mobil lo sama mobil itu. Nanti di perempatan kedua, belok kanan'

Rasel menolehkan kepala kecilnya ketika dirasa kecepatan mobil semakin bertambah cepat. Dia bisa melihat ekspresi panik dan emosi yang telah bercampur menjadi satu.

"Siapa, Jehan?" tanyanya memberanikan diri.

'Oh shit! Lo lagi bareng istri lo?!'

"Iya. Tadinya mau gue anter pulang dulu, tapi udah terlanjur"

'Jangan, bodoh. Jangan sampe mereka tau rumah lo'

'Pantes mereka berani muncul setelah apa yang mereka lakuin di kantor lo kemarin, ternyata lo bawa kuncinya'

Tunggu. Rasel merasa sangat familiar dengan suara di balik telepon tersebut.

Entah apa yang terjadi entah siapa mereka yang dimaksud dan entah apa yang terjadi di kantor Jehan dua hari yang lalu, Rasel beneran dibuat ketakutan karena laju mobil sekarang sepertinya sudah di atas rata-rata.

Jehan memindahkan gigi mobil lalu menginjak penuh pedal gasnya dan menyalip mobil-mobil lain untuk menjauhkan diri dari mobil jeep hitam yang masih mengikutinya di belakang.

"Je-jehan.." Rasel sontak menggenggam tas putih di pangkuannya.

'Perlu gue susul?'

"Ngga usah, gue pengen tau mereka bakal gerak sejauh mana.." Jehan melirik kaca spion luar mobil, mendapati mobil jeep hitam tadi masih saja mengikutinya.

"Mobil itu beneran ngikutin kita?" tanya Rasel memastikan.

'Looks like you have to explain what is going on now to your wife, Jehan'

'Enjoy your time. Kita pantau dari markas,'

Rasel benar-benar kehilangan fokusnya saat ini, suaminya seperti kesetanan karena dia menyetir dengan tidak santai. Rasel merasa dirinya terjun ke dunia fast & furious, soalnya mobil yang ia naiki sekarang sedang melaju dengan sangat amat cepat hampir kaya lagi balapan.

Tapi lebih tepatnya kaya lagi diajak mati tau ngga? Rasel belum siap mati masalahnya.

"Ngikutin buat apa coba? Mereka siapa lo emang? Tadi yang nelfon lo siapa?"

"Jehan, lo ngeri banget sumpah. Bisa pelan-pelan ngga?"

"Awas di depan ada motor-- Eh lo terlalu ke kanan, loh kok ngga belok? Arah rumah kan kesana,"

"Can you please at least tell me what's going on?!" teriak Rasel meluapkan frustasinya pada Jehan yang dari tadi tidak menggubris semua omongannya.

Jehan menghela napasnya. Percayalah alasan ia diem sejak tadi karena alih fokusnya terbagi dua, menjauhkan diri dari pengikut yang entah siapa dan bingung harus mulai dari mana untuk memberi penjelasan semuanya dari awal.

"Nanti gue jelasin. Sekarang jawab dulu pertanyaan gue--"

Rasel menatap Jehan sambil mencengkram seat belt nya, sambil menunggu pertanyaannya nanti ia bisa merasakan jantungnya sendiri sudah berdegup kencang.

"Lo pernah ketemu sama orang yang namanya Jeksa Kafeel Navarez?" Jehan bertanya tanpa mengalihkan pandangannya dari jalanan.

Intensinya saat ini fokus pada bagaimana pun caranya ia harus berhasil menghilang dari pandangan mereka. Meskipun belum pasti, tapi Jehan tau persis kalau Jeksa memberinya satu peringatan di hadapan Rasel langsung.

"Pernah. Dia salah satu pasien gue, kenapa?"

Jawaban istrinya sesuai dugaan, Jehan langsung tersenyum miring. "So that's why he wanted to tell the truth since he's already met in a person," lelaki itu bergumam kecil agar tidak terdengar Rasel.

Detik itu juga Jehan tiba-tiba memutar arah laju mobil sehingga kepala Rasel sedikit terbentur kaca jendela dan mengeluarkan rintihan kecil dari mulutnya.

"Gila lo! Kepala gue kejedot jendela, sakit tau ngga?!"

"Maaf" ujarnya langsung merasa bersalah.

Rasel memeriksa kembali apakah mobil jeep tak dikenal tadi masih mengikuti mereka atau tidak dari kaca spion kanan. Helaan nafas keluar dari mulutnya, pertanda sebuah rasa kelegaan.

Dilihat dari pantulan kaca spion mobil jeep hitam yang mengikutinya tadi sudah tertinggal jauh, Jehan memanfaatkan situasi dengan membelokkan diri ke sebuah komplek perumahan elit dan bergerak cepat sebelum mereka mengetahui jalur yang ia lalui.

Keadaan semakin tidak jelas Rasel hanya bisa menghela pasrah dan membiarkan sang suami menyetir mobilnya lebih dulu sebelum Rasel menghujami puluhan pertanyaan.

Tapi karena penasaran ketika Jehan membawa ke sebuah komplek perumahan yang begitu asing di mata Rasel, alhasil dia bertanya satu hal.

"Ngapain kesini? Kenapa ngga langsung pulang aja? Mereka udah ngga ngikutin lo kan?"

"Gue boleh minta satu hal?" tanya Jehan ketika lelaki itu membawa mobil yang dikendarai masuk ke pekarangan sebuah rumah besar yang begitu asing di mata Rasel.

Awalnya rumah ini masih terlihat sama seperti rumah pada umumnya, namun ketika mobil ini memasuki bagian garasinya perasaan Rasel langsung berubah. Dia merasa ada sesuatu yang berbeda dari rumah ini.

Mata manik Rasel menelusuri penjuru garasi dari dalam mobil, tidak jauh berbeda dengan garasi pada umumnya namun yang ini sedikit gelap dan memunculkan rada tidak enak pada benaknya.

"Jangan buka mulut tentang rumah ini ke siapa pun yang lo kenal" kata Jehan setelah mematikan mesin mobilnya yang sudah terparkir bersamaan dengan mobil yang lain.

"Bentar. Gue masih ngga paham--"

Ucapan Rasel terhenti ketika Jehan tiba-tiba keluar dari mobil dan kembali lagi dengan membuka pintu pada sisi istrinya, perempuan itu kembali dibuat bingung oleh tingkahnya.

Sialan. Melihat pemandangan begitu seketika membuat Rasel melupakan kebingungannya. Kalau dipikir-pikir, Rasel masih ngga nyangka loh laki-laki dengan penampilan yang bisa bikin kaum hawa kehilangan akal sehat seperti itu merupakan suaminya. Miliknya.

"Tadi lo nyinggung pasien gue, Jeksa. Dia kenapa?"

"Ayo. Gue jelasin di dalem" ujar Jehan dengan suara beratnya serta memberi tanda agar Rasel keluar dari mobil.

Jehan memperhatikan sekitar sebelum menarik tangan istrinya dengan menggenggam tangan putihnya. Berjalan di belakang Jehan, Rasel bisa melihat sebuah pistol yang diselipkan di antara pinggang dengan celana katunnya.

Demi Tuhan Rasel ngga berani ngomong apa-apa sekarang.

"Kepala lo masih sakit ngga?" tanya Jehan saat mengingat kepala sang istri sempat terbentur kaca jendela mobil.

Rasel menggeleng kaku, "E-engga terlalu kok"

Melihat senjata api barusan membuatnya sedikit takut kepada suaminya sendiri.

"Maaf ya?" Beberapa menit setelah masuk ke dalam rumah yang luar biasa besarnya, tanpa Rasel sadari Jehan menuntunnya sampai depan sebuah rak buku.

Tangan kekarnya terangkat untuk mengelus area kepala yang terbentur tadi, "Yang kejedot jendela tadi bagian mana? Ini?" ia mengelus lembut kepala Rasel bagian sampingnya.

Namun karena perasaan takut sudah menyelimuti Rasel, perempuan itu segera menjauh dan sukses membuat Jehan kebingungan sejenak tetapi tidak lama kemudian pemuda itu menghela napasnya.

"Lo takut sama gue?" tanya Jehan dengan suara lembut, intonasi yang belum pernah Rasel dengar selama menjadi istrinya.

Dengan polosnya Rasel mengangguk. "G-gue liat pistol di belakang lo, buat apa, Jehan?"

"Gue masih--"

Jehan menangkup wajah istrinya dan menatapi kecantikan paripurna yang tidak pernah Jehan sadari sebelumnya. "Gue bakal jelasin semuanya nanti oke?"

Setelah mengatakan itu Jehan mengangkat satu buku yang penampakannya sama dengan buku yang lain. Secara mengejutkan Rasel bisa lihat sebuah tombol bewarna merah dibalik buku yang Jehan angkat tadi.

Lebih mengejutkannya lagi adalah rak buku besar ini tiba-tiba terbuka ketika Jehan memencet tombol merah tersebut. Tanpa perlu bertanya, Rasel sudah sangat tau kalau ini merupakan ruang rahasia.

Jehan segera menarik masuk istrinya ke dalam lorongan yang berhiasi semacam kayu plastik dan berbagai lampu gantung untuk menerangi jalannya lorong tersebut.

"Je, ini apaan?"

Lelaki itu tidak menjawab pertanyaan simpel, dia malah tetap menarik Rasel entah sampai ujung mana. Di lorong ini tidak ada sesuatu yang bisa menimbulkan rasa curiga, hanya lampu gantung yang di letakkan secara zig zag.

Rasanya Rasel beneran masuk ke dunia film.

Sampailah di depan sebuah pintu kaca dan tanpa membuang waktu lagi Jehan membuka pintu itu dengan cara menggeser, menampakkan sebuah ruangan besar, disana terdapat banyak orang yang sedang berkumpul di meja pada tengah ruangan.

Ruangan yang sangat menyeramkan bagi seorang Rasel.

Ini tempat apa? Mereka siapa?

Di sisi kanan terdapat banyak sekali komputer dan segala macam teknologi yang tidak Rasel pahami.

Lalu di sisi lainnya berbagai macam senjata menggantung di dindingnya.

Orang-orang itu menoleh ketika Jehan membuka pintunya dan kedatangan dua insan ini disuguhi berbagai macam ekspresi.

Kali ini keterkejutan Rasel berkali-kali lipat dibanding sebelumnya, ia melihat beberapa orang yang familiar di matanya.

"Bos!" teriak salah satunya dengan senyum merekah terpampang di wajahnya.

"Whoa-- Ada ibu negara juga ternyata," tambahnya yang baru menotis kehadiran Rasel di belakang Jehan.

Marven? Apa yang dilakukan seorang sekretaris pribadi ditempat ini?

Rasel bisa melihat berbagai macam luka di sekitaran wajah Marven, otaknya langsung berpikir kalau sekretaris itu termasuk anggota kumpulan yang masih tidak Rasel pahami.

Ini mereka semacam komplotan atau apa sih? Rasel bingung menyebutnya dengan sebutan apa.

Mafia? Di era society 5.0 seperti ini masih saja ada dunia mafia?

"Gue cuma nyari duit ya, Sel" ujar Marven sambil menyengir, merasa bersalah. Entah bersalah karena apa.

"So right now is the time to spill the truth?" sahut seorang wanita yang sedang menopang kepalanya di atas meja.

"Halo, adik ipar." sapanya sambil melambaikan tangannya.

Kanara menyapa sebentar sebelum kembali fokus menatap layar tab di depannya.

"Kayanya istri lo belom siap buat tau ini semua" ujar seorang pria asing dengan setelan teraneh diantara yang lainnya.

"Welcome-- Gue harus manggil apa?" tanyanya.

"Nyonya?" celetuk Marven langsung mendapat toyoran dari Kanara.

"Jawaban lo ngga pernah ada yang bener ya?!"

Marven menyengir, "Gue juga kadang suka bingung harus manggil Rasel apa kalo di depan Pak Bos"

"Gue Yaslan, Nyonya Kanagara" sapanya sebagai perkenalan dirinya berlagak seperti memberi hormat kecil kepada Rasel.

Mulut Rasel rasanya seperti dijahit, kaku sekali. Untuk membalas sapaan saja, dia sungkan.

Semuanya seolah kembali menjadi asing padahal Rasel sudah mengenal beberapa diantara mereka.

"Habis ngajak istri lo balapan terus langsung dibawa kesini? Lo pengen dia mati jantungan, bang?" ujar seseorang di balik tubuh Marven sedang terkekeh.

Sekarang Jendra?

Jendra menghampiri Rasel dan Jehan yang masih berdiri di dekat pintu, "Halo, Kak. It's been awhile"

Ngga kakak ngga adik kok sama-sama terjun ke dunia gelap ini?

Jehan bisa melihat ekspresi kaget di wajah sang istri. Menyaksikannya yang hanya bisa diam tidak bergeming menimbulkan rasa bersalah di benak Jehan, memang ini semua terlalu tiba-tiba bagi perempuan itu.

Marven, Yaslan, Jendra dan Kanara. Selanjutnya siapa?

"Seharusnya kita jujur dari awal ya, Sel?" celetuk seseorang lagi yang menatapinya dari jauh.

Ezzra juga? Bahkan seorang kepala detektif saja menjadi salah satunya.

Apa alasan dibalik mereka berkumpul menjadi satu seperti ini seolah mereka mendirikan sebuah organisasi?

Ezzra tersenyum kikuk, menundukkan kepalanya sejenak lalu kembali menatap istri sahabatnya itu. "Jehan will explain all of this, but.."

"Sebelum lo mikir yang aneh-aneh, gue cuma mau bilang---"

"Kita bukan penjahat." katanya seolah memahami pikiran buruk Rasel.

Itu lah yang terlintas di otak Rasel barusan, meski dari tampaknya bukan tetapi sepertinya mereka adalah sekumpulan orang jahat yang kerjaannya melakukan hal-hal keji atau kejam.

Ezzra jadi ngga tega ngeliat muka Rasel sekarang "Udah gue bilang, kasih tau semuanya dari awal. Liat muka istri lo sekarang?" ucap Ezzra tertuju pada Jehan yang entah kapan mulai sibuk memainkan komputer.

Jehan hanya berdeham seolah tidak peduli, mata coklatnya fokus pada layar di depannya. Jemari- jemarinya asik bermain dengan keyboard disitu.

"Ya, lo udah dapet apa aja?" tanya Jehan.

"Let's talk about it later. Kayanya lo harus kelarin semua ini sama Rasel, kesian banget sahabat gue kebingungan gitu." jawab sosok perempuan yang langsung menarik perhatian Rasel.

"Hai, Sel."

Perempuan dengan penampilan rapih dan berwibawa menyapa Rasel layaknya teman akrab dari duduknya di samping Marven.

Rasanya Rasel ingin menumbangkan dirinya, kaki jenjangnya yang sudah terasa lemas mengetahui sebuah kebenaran yang diluar dugaannya tidak lagi bisa menahan tubuhnya yang dikejutkan dengan cara seperti ini.

Rasel melihat perubahan yang sangat drastis dari penampilan dan juga aura sahabatnya.

Dia bukan Alaya yang Rasel kenal.

Alaya berdiri dari duduk nyamannya lalu menghampiri Rasel dengan senyuman tipisnya, menunjukkan rasa bersalah melalui wajah imut yang berhasil memanipulasi Rasel selama ini.

"Sorry, gue beneran ngga maksud buat nipu lo. Siapa yang nyangka kalo lo bakalan jadi istri si Jehan coba?" katanya.

"Selama hampir dua bulan ini, gue terpaksa buat tutup mulut sebelum Jehan sendiri yang ngasih tau tentang ini semua. Gue beneran minta maaf, Sel"

Dari saat Rasel menginjak ruangan ini, tidak ada suara sekecil pun yang keluar dari mulutnya. Apa lagi mengetahui sahabatnya yang termasuk salah satu anggota atau kumpulan atau apalah itu, dia masih sangat terkejut.

Rasel ingin menjatuhkan dirinya detik ini juga, mengapa rasanya seperti ia terjun ke dunia yang salah?

Tangannya yang sudah bergetar diangkat untuk menutup mulutnya. Hati dan otaknya berkata belum bisa menerima kebenaran yang baru saja terungkap.

"Looks like someone wants to explain about this, i think we should give them a space, let's go out!" sahut Kanara menjadi pertanda bagi yang lainnya untuk memberi Jehan waktu untuk menjelaskan sesuai perkataannya.

Tanpa mengucapkan apa-apa lagi, Jendra, Ezzra, Yaslan dan Marven beranjak dari tempatnya dan satu persatu keluar mengikuti langkah Kanara.

Alaya menepuk-nepuk bahu Rasel sebelum pergi dan berbisik, "Awalnya gue bingung apa alasan Bu Tania ngejodohin lo sama Jehan, tapi gue ngerti sekarang"

"Lo juga bohong sama gue, Sel." kalimat terakhir yang Alaya ucapkan sebelum berlalu pergi dari hadapan Rasel.

Rasel sontak mengernyitkan keningnya, tidak paham dengan perkataan Alaya barusan. Baru mau membalikkan tubuhnya, sang suami telah berdiri di hadapannya sambil menyimpan salah satu tangannya ke atas meja.

Oke mungkin ini waktunya meluapkan kebingungannya sekaligus meminta penjelasan kepada suaminya yang sudah berjanji di perjalanan tadi.

"Ini apa, hah? Gue beneran ngga paham kenapa lo semua termasuk sahabat yang gue kenal sebagai barista cafe nyatanya bagian dari organisasi atau apa lah ini namanya, gue ngga ngerti" Rasel menatap Jehan sendu bercampur bingung.

"Terus ini apaan?!" Rasel menunjuk ke arah sisi yang dipenuhi berbagai macam senjata.

"Pistol ini punya lo semua? Ini ilegal, Jehan!" bentak Rasel. "Ilegal!"

"Lo, Marven, Ezzra, Jendra, Kak Kanara, Yaslan, Alaya. Lo semua siapa sih?!"

Jehan duduk di tepian meja, mendengarkan semua keluhan istrinya dengan baik dan tidak berniat untuk memotongnya. Dia tau kok kalo semua ini memang sulit untuk diterima, wajar saja jika perempuan berstatus istrinya itu marah karena merasa dimanipulasi.

"Gue.." suara Rasel mulai mengecil dan bergetar, kepalanya menunduk untuk menyembunyikan ekspresi takutnya.

Rasel bukan marah karena suaminya menutupi identitas dan segala macamnya, dia juga bukan marah karena Alaya memanipulasinya. Dia cuma takut, Rasel ketakutan.

Dunia seperti ini layaknya mimpi buruk baginya.

"G-gue takut" lirihnya kecil hampir tidak terdengar oleh Jehan.

Jehan bisa melihat tangan putih istrinya sudah bergetar entah sejak kapan ditambah lirihan tadi membuatnya segera mengambil kedua tangan itu untuk digenggam.

"Gue tau lo takut, tapi apa yang lo liat disini ngga seburuk yang lo kira. Kerjaan kita cuma pengen ngasih ganjaran ke mereka yang udah ngelakuin hal kejam ke orang-orang yang ngga bersalah"

"Dan itensi kita semua sekarang itu, Jeksa Kafeel Navarez"

Rasel mendongak dengan raut yang kembali terkejut, "Jeksa? Pasien gue?"

Jehan menggeleng, "He's not your patient, he came to hospital just to manipulate you."

"Oke, let's assume what you say is true. Alesan dia manipulasi gue apa?"

"Lo ngga perlu tau." Jehan menolak untuk menjawab

"Whoa, gue ngga perlu tau?! Kalo gitu lo pikir gue bakal percaya sama penjelasan lo tentang organisasi ini?"

"Lo suami gue, Jehan. Karna itu gue mau percaya sama lo tentang organisasi yang katanya ngasih ganjaran ke mereka yang udah ngelakuin hal kejam ke orang-orang yang ngga bersalah, tapi gue minta lo jujur sama gue, apa susahnya?"

Rasel menghembuskan napas kasarnya, kedua tangannya mengusap wajah yang sudah berkeringat.

"Lo dulu yang jujur sama gue, Sel" celetuknya.

"Gue?" Rasel menunjuk dirinya sendiri dengan sebelah alisnya terangkat. "Gue harus jujur tentang apa lagi?

"Lo bohong soal kematian orang tua lo." ucap Jehan dengan nada yang super datar.

Rasel langsung terdiam mematung sebelum ia membuang mukanya ke sembarang arah, agar tidak bertatapan dengan suaminya. Melepaskan tangannya yang digenggam untuk melampiaskan rasa gugupnya dengan memainkan kuku jemari.

"Orang tua lo meninggal bukan karna kecelakaan, tapi mereka dibunuh kan?"

Dada Rasel langsung terasa sesak dan napasnya mulai tidak beraturan. Sebuah fakta menyakitkan yang tidak ada yang tau mengenai begitu kejam dan tragisnya masa lalu Rasel.

"Dan lo liat langsung orang tua lo dibunuh sampe ada orang yang tiba-tiba dateng buat nyelamatin lo dari pembunuh orang tua lo tapi sayangnya dia juga dibunuh tepat di depan mata lo, gue bener?"

Selang beberapa menit tidak kunjung ada suara yang keluar membuat Jehan menganggapnya sebagai 'iya'.

Rahang Jehan mengeras, tangannya mengepal dan napasnya sedikit menggebu-gebu. "Sel..."

"Orang yang nyelamatin lo waktu itu, ayah gue."

to be continued~~~

YAASSAAAH IM BACKKK BESTIE🤪

vote & komennya jan lupa🙂

Ada yang nungguin cerita ini ngga sih?

Trained Assassin & Sniper,
Yaslan Arlanka Nevalion.

The real identity of Alaya Seyra is,
Hacker.

Pendapat kalian buat part ini? Konflik nya ngga terlalu berat kan? Ngga dong ya..

Jehan, Marven, Ezzra, Yaslan, Jendra, Kanara dan Alaya adalah tim rahasia yang Jehan buat dari 5 tahun yang lalu.

Cuma mau bilang aja kalau Marven, Ezzra, Yaslan sama Alaya pernah dilatih sama ayahnya Jehan.

Mungkin part selanjutnya kita bahas intinya kali ya? Gimana?

Btw, GUE BUKA TWITTER NIH GENG.

https://twitter.com/mootsbeybee?t=R2qXkxaCOZh7PUDYjNtrcA&s=09


Good news! AU Jaerose with 97Line is Up!

Yoookk followww duluuu biar ternotif kalau ada tweet terbaru😉

See u di part selanjutnya<3






GUE RINDU BERAT SAMA JAEROSE😭🙂

Continue Reading

You'll Also Like

174K 19.3K 47
#taekook #boyslove #mpreg
140K 13.7K 25
Xiao Zhan, seorang single parent yang baru saja kehilangan putra tercinta karena penyakit bawaan dari sang istri, bertemu dengan anak kecil yang dise...
727K 58.4K 63
Kisah ia sang jiwa asing di tubuh kosong tanpa jiwa. Ernest Lancer namanya. Seorang pemuda kuliah yang tertabrak oleh sebuah truk pengangkut batu ba...
96.5K 12.1K 37
Jake, dia adalah seorang profesional player mendadak melemah ketika mengetahui jika dirinya adalah seorang omega. Demi membuatnya bangkit, Jake harus...