The Fate of Us | Jaerosè

By jaeandje

256K 22.5K 3.9K

Bagaimana jadinya apabila seorang Ketua Dewan Rumah Sakit secara tiba-tiba 'melamar' salah satu dokter reside... More

PROLOGUE
01
02
03
05
06
07
08
09
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31

04

9.2K 927 124
By jaeandje

WARNING🚫
HARSH WORDS!!

'Bos, jangan lupa ada meeting sama anggota dewan Hadvent jam sepuluh nanti'

'Kalo urusan sama Menteri udah kelar gue bakal langsung kesana'

Tanpa berniat membalas pesan tersebut, Jehan malah mencari kontak seseorang dan menelfon untuk mendapat jawaban langsung. Tetapi sayang sekali tidak ada jawaban yang ia harapkan, Jehan memilih mematikan ponselnya dan menutup mobil hitamnya agak kencang. Setelah itu ia berjalan menuju pintu masuk rumah sakit dengan penuh wibawa.

Penampilan rapihnya membuat orang-orang yang disekitar menatap takjub namun beberapa ada yang menyayangkan bahwa pria berwibawa itu sudah beristri. Terlebih istrinya merupakan salah satu dokter di rumah sakit ini.

Jehan melangkah tanpa memedulikan berbagai bisikkan yang ditujukan untuknya, tetapi dia tidak menghiraukan sapaan para staf rumah sakit yang sudah mengenal Jehan dengan baik.

"Selamat pagi, Pak Jehan" seperti ini kebanyakan yang menyapa Jehan, sebagai balasannya Jehan hanya tersenyum ramah.

Direktur KNG's Group serta anak dari Ketua Dewan Rumah Sakit, kebangetan kalo mereka tidak kenal Jehan.

Satu tangan kekarnya dimasukkan ke dalam saku celana, lalu satunya lagi membenarkan dasi hitam yang dipakai. Kaki panjangnya masih melangkah menuju meja administrasi utama, ada sesuatu yang harus ia lakukan sebelum memulai rapat dengan para anggota dewan.

"Maaf saya mau tanya--"

Seorang pegawai disitu langsung tersenyum, "Jam jaga Bu Rasel sudah selesai jam enam tadi, Pak" ucapnya seolah bisa membaca pertanyaan apa yang akan Jehan ajukan.

"Emm.. Kemungkinan Bu Rasel saat ini sedang berada di ruang jaga, karena disini menunjukkan kartu aksesnya terakhir aktif di ruang jaga." katanya lagi.

Jehan masih tertegun kaget karena pegawai itu bisa menebak pertanyaannya, namun tak lama ia mengangguk kaku dengan senyum tipis. "Ah--"

"Terima kasih banyak ya." Meski begitu Jehan lega ketika mendengar kabar serta lokasi istrinya yang sudah tidak ada kabar dari dua hari lalu.

Bukan ilang kok, Rasel udah ngasih tau Jehan kalau dia ngga bakal pulang selama dua hari karena jadwal tiga operasi berturut-turut. Tapi perempuan itu tidak berkabar sama sekali dan membuat Jehan frustasi karena telfon ataupun pesannya tidak dijawab.

Padahal Jehan hanya perlu kabar apakah istrinya itu baik-baik saja dan makannya teratur atau tidak. Hanya sekedar kabar gitu yang Jehan harapkan, tapi istrinya malah hilang komunikasi dari dua hari lalu sampai saat ini.

Dua hari yang lalu Jehan tidak bisa menengok keadaan Rasel langsung karena jadwal kerjaannya sangat penuh dan pada saat itu Jehan masih mikir mungkin Rasel akan menghubunginya jika operasi atau tugasnya selesai, tapi nyatanya tidak.

Masih mending kalau istrinya sibuk mengoperasi pasien dan Jehan bisa memaklumi mengapa dia tidak memberi kabar, tetapi jika ada sesuatu yang buruk terjadi gimana coba?

Jehan beneran dibuat frustasi dan memilih untuk datang menghampiri Rasel secara langsung hari ini juga, kebetulan dia ada keperluan dengan para anggota dewan dari rumah sakit dimana istrinya itu bekerja.

Lihat saja Jehan akan mengeluarkan kekesalannya. Lagian jadi istri kok bikin khawatir aja?

Ini bukan pertama kalinya Jehan ke ruang jaga khusus para dokter jadinya ia sampai cukup cepat. Tangannya menekan knop pintu secara perlahan, tidak ingin mengganggu apapun aktivitas yang ada di dalam.

Sebagai anak dari Ketua Dewan dan juga Direktur dari perusahaan sponsorship rumah sakit, Jehan bisa melakukan apapun semaunya. Salah satunya ya masuk ke ruang jaga para dokter, padahal dia bukan dokter.

Pokoknya anak dari Ketua Dewan mah bebas mau ngapain juga.

"Kenap-- Eh Pak Jehan?"

Jehan tersenyum kecil melihat dua dokter yang begitu asing di matanya, ia tidak menemukan sosok yang ia cari di ruangan ini. Tetapi ia bisa melihat tas selempang milik istrinya di atas meja.

"Liat istri saya dimana?" tanya Jehan langsung.

Kedua dokter tersebut langsung menunjuk ke arah sofa putih panjang dengan sopan, menampakkan sesosok yang sedang tertidur pulas ditutupi oleh kain putih panjang, hal ini yang membuat Jehan tidak melihat keberadaan Rasel.

"Dokter Rasel baru bisa tidur sejam yang lalu, Pak. Tadi ada dua operasi dadakan soalnya," sahut salah satu dokter mencoba menjelaskan apa yang telah Rasel lalui dua hari terakhir.

Keliatan sangat jelas dari muka Jehan kalau pria itu khawatir.

"Atau mau kami bangunkan, Pak?"

"Ngga usah, saya ngga mau ganggu tidur dia. Kalo gitu makasih ya," ujar Jehan sambil tersenyum ramah dan melepaskan jas hitam yang ia kenakan.

Jehan berjalan menghampiri istrinya yang sedang terlelap di balik kain putih panjang, dia mengutuk Rasel dalam hati, dari sekian banyaknya barang yang bisa dijadikan selimut kenapa perempuan itu malah memilih kain putih panjang?

Jujur jadi kaya mayat jatuhnya.

Dan kedua dokter tadi langsung meninggalkan pasangan suami istri itu, kalau diperhatiin nanti malah mereka yang panas hati. Tersisa mereka berdua di ruangan jaga ini, entah apa yang akan Jehan lakukan.

Selepas kepergian dua dokter yang tidak Jehan kenali, tangan kekar Jehan menarik kain putih yang menutupi tubuh Rasel dan menggantikan dengan jas hitam miliknya. "Untung bukan pake kain kafan.." gumamnya.

"Lain kali kalo gue suruh bawa mantel, dibawa." ujarnya seraya menyelimuti tubuh Rasel dengan jas kerjanya di area dada sampai bahunya.

Tadinya Jehan mau meluapkan kekesalan karena tidak mendapat kabar, tetapi ia urungkan melihat wajah perempuan itu yang begitu kelelahan. Jadi gini ya kerjaan seorang dokter spesialis?

Jehan membelai lembut rambut Rasel yang berantakan, memperhatikan lekat wajah tidurnya yang terlihat begitu damai sampe Jehan tidak mau mengusik tidur nyenyaknya.

"Cape banget kayanya.." gumam Jehan dengan senyuman tipis di wajahnya.

Ibu jarinya mengelus pelipis hingga dahi dan Jehan membungkukkan diri untuk mengecup pelipis istrinya, hal yang hanya Jehan berani lakukan ketika perempuan itu terlelap. "Sleep well, wife."

Definisi suami yang baik itu begini kan?

"Mata sama hati gue belom siap kalo disuguhin pemandangan dari pengantin baru kek gini" celetuk Lola langsung digampar oleh Jisya pada bagian bahunya.

Lola, Jisya dan beberapa dokter magang lainnya berencana untuk istirahat sejenak sebelum jam jaga malam mereka. Tadi mereka pengennya sih masuk ke ruang jaga langsung tiduran atau ngga ngobrol satu sama lain

Eh siapa sangka mereka malah disuguhin oleh pemandangan romantis dari si pengantin baru.

Perkataan Lola membuat Jehan menoleh dan berdiri tegap. "Eh sorry kita semua ganggu ya?" tanya Jisya.

"Ke IGD aja deh yuk, La?" Lola mengangguk dan beranjak pergi bersama Jisya namun langkahnya terhenti saat mendengar suara Jehan.

"Dua hari ini Rasel makan teratur ngga?" tanya Jehan memastikan, biar ngga kepikiran terus.

Prinsip Jehan dari dulu adalah sesibuk apapun tapi jangan pernah melewati satu hal yang sudah menjadi pokok utama di kehidupan manusia.

Mampus. Kata ini yang langsung terucap dalam batin Jisya dan Lola. Masalahnya gini, dua hari terakhir Rasel melakukan operasi yang tergolong berat sehingga memakan waktu 20 jam.

Dini hari tadi Rasel diminta untuk membantu dua operasi dadakan sehingga waktu luangnya habis dan perempuan itu belum mengisi perutnya sama sekali selain kopi.

"Emm..." Lola memberi tanda kepada Jisya, apa yang harus mereka katakan sekarang?

Jehan melihat ada yang aneh dari kedua teman Rasel, keduanya malah beradu mulut satu sama lain dengan berbisik sehingga sulit bagi Jehan untuk mendengar adu bacot mereka berdua.

"Lo aja yang ngomong, Sya. Sumpah gue ngga bisa boong kalo ngeliat muka Jehan," kata Lola memaksa Jisya agar memberi jawaban kepada Jehan.

Sampe sekarang mereka masih bimbang apakah harus memberi jawaban jujur atau bohong.

Jisya menepis tangan Lola, "Kok jadi gue?!"

"Lo bestie Rasel bukan?"

"Lo juga bestie dia, bego!"

"Ya iya sih, tapi kalo harus boong ke Jehan kayanya gue ngga sanggup, Sya"

"Emang gue sanggup? Gue bukan pendusta kaya lo ya, La!"

"Sialan, lo nyebut gue pendusta?!"

Para dokter magang yang berdiri di belakang Lola dan Jisya hanya meringis dan menggelengkan kepala. Yang ada dipikiran mereka sekarang itu, bisa-bisanya kedua senior mereka malah beradu mulut di depan Jehan?

Kalo mau bohong ya tinggal bohong, begitupun sebaliknya, kalo mau jujur ya tinggal jujur. Semudah itu.

Jehan berdecak kesal, "Gue kesini bukan jadi penonton adu mulut lo berdua."

Jisya dan Lola auto diam, dari nada bicaranya saja sukses membuat mereka berdua merinding takut. Ternyata bener kata Rasel, mood lelaki itu sangat tidak tertebak. Kadang manis, kadang dingin nyebelin.

"Maag dia kambuh, Je." celetuk Lola yang langsung mendapat toyoran oleh Jisya.

Jehan memberikan tatapan datar, "Serius lo?"

Lola dan Jisya mau tidak mau mengangguk kecil, "Tapi dia udah minum obat kok, lo tenang aja. Makanya nyenyak banget nih anak" kata Lola.

"Tapi si Rasel ada operasi berat dua hari kemaren, itu ngabisin waktu duapuluh jam kalo ada kesalahan bisa lebih dari itu. Dan sejam yang lalu dia baru beres operasi dadakan, jadi Rasel beneran ngga ada waktu buat makan. Cuma minum kopi biar dia terjaga terus" jelas Jisya penuh dengan keberanian.

Jisya memainkan jarinya di dalam saku jas dokter, gugup berpadu takut akan respon Jehan nanti. "Gue juga salah sih, ngga maksa dia buat makan. Sorry, Jehan." kata Jisya.

"Sorry juga--" ujar Lola kecil namun masih bisa terdengar.

Jehan menghela napasnya, firasatnya benar. Ia kembali menghadap dan menatapi wajah pulas Rasel. "Kenapa lo ngga pernah nurut sih, Sel?"

"Bukan salah lo berdua. Emang nih anak batu banget jadi orang," ujar Jehan sambil menyisir rambut hitamnya.

Jisya sama Lola tersenyum tipis dalam diam, belum sampai seminggu mereka menikah tetapi rasa sayang satu sama lain dan rasa perhatian sangat terlihat dengan jelas.

"Kita mau pesen makan kok, Je. Ntar kalo Rasel udah bangun bakal gue paksa" ujar Jisya.

"Saya denger kalian semua juga baru selesai jaga malam?" tanya Jehan kepada para dokter magang. Mereka berlima lantas mengangguk kecil sebagai jawabannya.

"Kalo gitu pesen makanan buat mereka juga, nanti masukkin ke tagihan gue aja" Jehan ngelus rambut Rasel sebelum pergi mengejar jadwal rapat hari ini.

Namun sebelum benar-benar pergi, Jehan berhenti melangkah tepat di hadapan Jisya dan Lola. "Gue ada meeting sama dewan direksi bentar lagi, gue titip rasel sampe gue kelar meeting"

Dipikir-pikir Jehan cukup overprotect ya kalo masalah makan.

"Oke."

"Aman."

Jawab Lola dan Jisya bersamaan mengacungkan ibu jari mereka dengan senyum merekah sampai lelaki itu benar-benar pergi dari hadapan mereka.

"Agak serem, tapi kenapa gue yang baper?" bisik Lola.

°°°

Rasel memainkan kuku jari di atas pahanya, kepala kecilnya menunduk sambil menggigit bawah bibir ranumnya. Sesekali ia mencuri pandang kepada orang di sampingnya yang sedang fokus menyetir.

Tidak ada obrolan diantara mereka berdua, namun lebih ke Rasel tidak berani untuk mengajak lelaki itu ngobrol seperti biasanya. Bukan canggung, tapi dirinya takut. Melihat raut marah yang terpedam di wajah lelaki itu membuat keberaniannya menciut.

Hanya suara detikkan lampu sen dan udara dingin berhembus dari AC mobil yang menemani situasi hening antara mereka berdua.

Rasel tidak menyukai suasana begini, ia lebih baik menyewotinya saat dalam mode kulkas dari pada diam hening seperti sekarang.

Sampai detik ini juga Rasel masih belum tau apa penyebab lelaki yang merupakan suaminya itu terlihat marah. Tadi di Rumah Sakit aja pas Rasel nanya-nanya, dia cuma diem ngga ngeluarin suara sekecil pun.

Kayanya Rasel yang menyebabkan dia marah seperti ini, masalahnya jujur nih ya, sekedar natap doang Rasel jadi takut banget. Dia ngga pernah liat Jehan marah soalnya. Ini pertama kali.

Eh tapi bisa jadi masalah kantor juga.

"Jehan--" panggilnya dengan suara rendah, masih mengumpulkan keberanian. Sesuai dugaan, lelaki itu tidak menjawab apapun.

"Lo marah sama gue?" tanya Rasel. Tidak ada jawaban yang keluar dari mulut Jehan.

Bahkan sampai mobil sudah terpakir di parkiran rumah saja masih tidak ada jawaban satu kata pun dari suaminya itu. Rasel semakin dibuat bingung, ngga tau lagi harus apa biar Jehan ngomong sama dia.

Rasel lebih suka Jehan sinis dibanding diam kaya gini.

"Kalo gue ngelakuin yang bikin lo marah, maaf ya." ucap Rasel memilih untuk mengalah. Ia mengambil jas dokternya lalu membuka pintu mobil, buru-buru ingin tidur di kasur empuknya setelah dua hari dia tidak bisa tidur nyenyak.

Sepertinya Jehan benar-benar marah kepada Rasel, buktinya lelaki itu tidak menahan untuk sekedar mengobrol dan meluruskan apa yang terjadi.

Rasel jadi agak kesel, alasan lelaki itu marah masih tidak jelas. Padahal kalau Rasel ada salah, tinggal bilang. Kalo diem gini, Rasel mana bisa sadar apa kesalahannya.

"Gue salah apa coba?"

"Tuh cowok kenapa sih?! Lagi ada masalah di kantor? Kok gue yang kena imbasnya? Atau gue emang ngelakuin kesalahan?"

"Ditanya ngga dijawab, gue ajak ngobrol juga ngga digubris. Dikasih mulut sama Tuhan itu harusnya dipake, jangan cuma jadi pajangan doang." monolog Rasel, mengeluarkan semua kekesalannya seraya berjalan menuju kamar.

Rasel ngga akan ambil pusing lah kalo gini, dia lagi cape banget. Dua hari penuh ia melakukan tugas sebagai dokter sudah sangaat menguras energinya, dan ia berharap Jehan bisa diajak ngobrol untuk mengembalikan semangatnya.

Eh malah bikin Rasel makin cape. Udah cape fisik sekarang jadi cape hati juga.

Saking keselnya, Rasel mengunci kamar mereka berdua. Tidak mau melihat wajah suaminya untuk sementara waktu. Kalo mengingat rumah ini milik Jehan, Rasel beneran bodo amat. Ngga peduli dia tidur dimana juga, lagian kamar di rumah ini ada lebih dari dua jadi tenang aja lah ya.

Di kamar pun Rasel masih melemparkan berbagai umpatan dan juga kekesalannya.

Sedangkan di sisi Jehan yang baru saja masuk ke dalam rumah hanya menghela napasnya ketika mendengar suara pintu terkunci. Dirinya tau kalau Rasel kesal akan sikapnya yang tiba-tiba diam tak menggubris sama sekali.

Merasa lelah juga, Jehan menduduki dirinya pada sofa sambil mengeluarkan ponselnya dari saku celana dan jemarinya mencari kontak seseorang.

'Yang lain udah ada disin--'

Jehan mengulum bibirnya, "Gue ngga akan ke markas dulu hari ini, Jen"

'Kenapa? Urusan kantor?'

"Bukan. Ada yang lagi ngambek, ya kali gue tinggal."

Adiknya tertawa di sebrang sana, 'Bini lo ya? Lo apain sampe dia ngambek?'

"Gue diemin."

'Kalo itu lo yang bego, bang. Udah punya istri masih aja kelakuannya dingin kek kutub. Gue kalo jadi dia juga bakal ngambek lah--'

"Berisik"

'Ck! Gitu doang. Ah sebelum lo bucin sama istri lo, gue rasa lo harus tau ini.'

Jehan menegakkan tubuhnya dan menatap lurus ke depan, merubah suasana menjadi lebih serius dibanding sebelumnya. "Apa?"

'Penyelundupan senjata ilegal, sekarang wanita yang jadi korbannya. We just found evidence of them selling women to European assholes, whoa mereka jauh lebih gila dari yang gue bayangin..'

"Itu baru satu dari banyaknya kegilaan Navarez. Kalo lo masuk ke dunia mereka lebih dalam, lo bakal tau kegiatan mereka yang jauh lebih gila, jauh lebih kejam dari itu. Terutama pemimpinnya. Save that proof first, we use it at the right time."

"Rajendra Aksa Kanagara. Gue peringatin jangan sampe lo pake bukti itu buat mancing mereka." peringat Jehan terdengar serius.

Sudah bisa menebak apa yang akan adiknya itu lakukan apabila sudah menemukan sesuatu yang bisa dijadikan bukti sekaligus kekuatan untuk mereka kepada lawan mereka.

Jendra itu tipikal orang yang nekat banget. Dia melakukan sesuatu tanpa berpikir panjang, ini karena adiknya itu tidak memedulikan apapun selain dendamnya yang harus terpenuhi.

Jadi apakah Jendra itu pendendam? Sangat. Jendra memiliki dendam yang sangat berat dibanding dengan kedua kakaknya, makanya ia akan melakukan apapun asal pihak lawan bisa mendapat ganjarannya.

Bahkan Jendra pernah berpikir untuk membunuh agar semua ini selesai dengan cepat, tapi Jehan menjelaskan semua rencana balas dendamnya serta segala resiko apabila Jendra bertindak gegabah.

Dari situ Jendra berpegang teguh akan mengikuti semua omongan Kanara dan juga Jehan agar rencana yang sudah mereka persiapkan setahun tidak berakhir sia-sia.

'Padahal gue udah emosi--'

"Kalo lo macem-macem sama mereka tanpa rencana yang jelas, lo bisa mati di tangan mereka"

'As long as my revenge is fulfilled, I don't mind if the risk is death'

"Gila lo. Udah berapa kali gue jelasin, hah?!" bentak Jehan tidak sadar.

"Anggap aja gue ngga denger ucapan lo barusan, gue matiin." Jehan langsung memutuskan telfon dan mematikan ponselnya.

Ia menunduk sejenak, banyak sekali beban pikiran yang memenuhi kepala Jehan saat ini. Mulai dari urusan kantor, urusan tim rahasianya, dan urusan rumah tanggganya. Meskipun urusan rumah tangga tidak serumit urusan yang lain, tapi Jehan ingat ucapannya sebelum menikah.

Dia harus menemukan alasan untuk mempertahankan pernikahannya dengan Rasel.

Kayanya Rasel tidak akan mengizinkan Jehan tidur di kamar utama, alhasil Jehan memutuskan berjalan menuju kamar satunya lagi yang berada tepat di sebrang kamar utama.

Jehan ingin melampiaskan segala pikirannya yang begitu berat dengan menyelesaikan urusan kantor dimulai dari yang sederhana. Berhubung keduanya sudah makan malam jadi Jehan bisa tenang dan leluasa tanpa perlu memikirkan maag istrinya yang katanya sempat kambuh.

Setelah beberapa jam dan saat ini menunjukkan pukul sebelas malam, Rasel masih terjaga karena merasa janggal soalnya dia sama Jehan belum ngobrol apapun semenjak mereka sampai di rumah.

Rasel menatap langit-langit kamar, entah kenapa warna putih disitu membuatnya tersenyum kecil. Detik itu juga Rasel mengusap air matanya yang membasahi pipi, leher serta surai panjangnya.

"Jehan udah mandi belom ya?"

"Kok ngga masuk ke kamar? Dia tidur dimana deh?"

"Lah pintunya gue kunci ya?!" Rasel menepuk keningnya lalu buru-buru membuka kunci dan melihat keadaan luar.

Siapa tau Jehan malah tidur di lantai depan kamar kan kesian juga. Rasel ngga setega itu sama suaminya sendiri, dia masih punya hati.

Ternyata spekulasinya salah, Rasel memutuskan untuk mencari keberadaan Jehan dan mengajak suaminya itu bercengkrama. Bosen banget, kalo ngga adu mulut sama Jehan kaya biasanya itu kaya ada yang kurang.

Perang mulut sebelum tidur udah menjadi salah satu kebiasaan mereka berdua dan Rasel suka itu soalnya Rasel bisa langsung terlelap sehabis adu mulut dengan suaminya.

"Jehan??"

Hening tidak ada suara apapun.

Rasel berjalan menuju tangga dan berhenti di tengah-tengah, "Jehan ihh??" panggilnya lagi.

Masih hening, mata Rasel bisa melihat tidak ada apapun di ruang tengah, meja makan dan dapur. Tapi Rasel ingat ada satu tempat lagi yang belum ia periksa, kamar sekaligus ruang kerjanya Jehan.

Sebelum itu, Rasel mengambil dulu jas hitam milik Jehan yang tergeletak di sofa. Dengus kesal keluar dari mulutnya, "Jorok banget sih jadi cowok,"

Rasel melangkah menuju kamar yang sekaligus menjadi ruang kerja juga, berharap kehadiran Jehan disana. Rasel mau minta maaf juga, kalo dipikir-pikir ngga mungkin suaminya itu marah tanpa sebab. Kayanya Rasel melakukan suatu kesalahan deh.

"Jehan, lo di dalem kan?" Rasel mengetuk pintu ruangan tersebut tetapi lagi, tidak ada balasan apapun.

Tidak kunjung mendapat jawaban, Rasel sedikit merasa putus asa. Namun perempuan ini tetap membuka pintu dan memastikan ruangan itu kosong atau tidak.

"Sumpah kalo lo ngga ada di dalem gue nangis nih-- Eh ada ternyata," Rasel menghela napas lega melihat suaminya disibukkan oleh berkas-berkas penting tentang projek sosialisasi dan kolaborasi dengan perusahaan lain.

Hampir tengah malam kaya gini, lelaki itu masih mengurus urusan kantornya? Sepertinya yang di katakan Jendra itu benar, Jehan tipikal orang gila kerja.

"Gue boleh masuk ngga?" tanya Rasel hati-hati, masih takut oleh Jehan yang seperti ini. Ya meski Rasel sudah tau tidak akan ada jawaban yang keluar dari mulutnya.

"Masuk aja."

Mata Rasel langsung berbinar, tidak menduga akan mendengar jawaban setelah didiami lebih dari empat jam.

"Lo udah ngga marah sama gue nih?"

Rasel mendekat ke arah meja kerja Jehan, pria itu sama sekali belum menatap kedatangan istrinya. Bahkan melirik saja tidak, pertanyaan Rasel tadi aja lagi-lagi tidak digubris.

"Masih marah ya?" Rasel menyimpan jas milik Jehan di atas meja kerjanya.

"Gue berharap lo mau ngomong sama gue terus kasih tau apa salah gue, kalo emang lo semarah itu, gue minta maaf deh. Beneran minta maaf ini, no tipu-tipu." ucap Rasel menghela napasnya.

"Kalo udah beres langsung tidur, ini udah tengah malem. Pintu kamar ngga gue kunci kok,"

Jehan sontak menghentikan kegiatannya, lalu tak lama ia menutup berkas-berkasnya dan menatap istrinya yang sedang menundukkan kepalanya.

"Gue ngga marah" ucap Jehan dengan suara kecil namun tegas, pria itu sudah menyandarkan tubuh kekarnya ke punggung kursi.

"Dua hari kemarin gue ngga bisa mantau lo karna lo full kerja di rumah sakit. Gue percaya lo pasti bisa jaga kondisi diri lo sendiri, tapi nyatanya lo ngga denger apa yang gue suruh."

Rasel mendongak, "Jadi lo marah gara-gara hal sepele it--"

"Lo sebut itu sepele tapi liat akibatnya apa? Maag lo kambuh, Sel. Gue ngga ngerti tentang medis, di antara kita berdua lo yang lebih paham kalo sakit maag ngga bisa dianggap sepele." tungkas Jehan membuat Rasel langsung terdiam.

"Ngerawat orang lain emang udah tugas lo, gue paham. Tapi ngerawat diri sendiri itu kewajiban lo, Rasel. Lo harus sayang sama diri lo sendiri dong" tambah Jehan penuh perhatian di dalam intonasi bicaranya.

Rasel menundukkan kembali kepala kecilnya, apa yang Jehan jelaskan itu benar semua. Seorang dokter seharusnya jauh lebih memahami cara yang benar untuk menjaga kondisi tubuh, Rasel harusnya mengaplikasikannya di kehidupannya sehari-hari.

Kalo gini alasan Jehan marah Rasel ngga bisa balik marah, justru Rasel merasa tersentuh pria itu ternyata memperhatikannya.

"Maaf---" lirih Rasel terdengar merasa bersalah.

Jehan menghela napasnya seraya berdiri dari duduk nyamannya, menghampiri Rasel dan dia kembali mendudukkan dirinya di tepian meja. "Sekarang masih sakit ngga?"

Rasel menggeleng lemah. "Engga kok, tadi gue udah minum obat jadi udah agak mendingan"

"Kalo Lola ngga ngasih tau gue tentang maag lo sempet kambuh, gue ngga akan pernah tau lo tidur itu karna nahan sakit" ucap Jehan terdengar sekali nada khawatirnya.

"Lain kali kalo gue nyuruh makan teratur itu coba nurut."

Ini memang masalah simple, tapi bisa berujung fatal kalo disepelekan. Alasan mengapa Jehan begitu overprotect tentang ini.

"Yaudah iya, maaf" ucap Rasel hampir saja dibuat menangis. Menangis terharu.

"Dimaafin."

Jehan melipat kedua tangannya di dada, sedikit membungkuk untuk melihat wajah Rasel. "Kalo gitu, lo kenapa?"

Rasel kembali mendongak dan menatap Jehan, "Hah? Kenapa apanya?"

"Lo habis nangis kan?" ibu jari Jehan terangkat untuk mengusap bawah mata istrinya yang telah membengkak.

Rasel melihat mata suaminya dengan lekat, satu rahasia yang ia jaga ternyata bisa terbaca oleh pria itu. Mulutnya terasa kaku untuk berbohong, sepertinya tangisannya tadi terlalu kencang.

"Kenapa? Gagal nyelamatin pasien?" tanya Jehan dengan suara lembut. "Gapapa, lo bukan Tuhan yang bisa--"

"Bukan itu." jawab Rasel kecil.

"Atau gara-gara gue diemin?"

Rasel menggeleng lemas, "Bukan karna itu juga" perempuan itu kembali menundukkan kepalanya. Matanya memanas ketika mengingat apa yang membuatnya menangis tadi.

Entah apa yang merasuki Jehan, salah satu tangan pria itu terangkat untuk menyelipkan rambut Rasel ke belakang telinga. "Gue ngga bakal maksa lo buat cerita kok. Sana tidur, gue masih harus ngurusin ini"

"G-gue..." gumam Rasel sedikit bergetar.

"Hm?"

Rasel mengambil nafas panjangnya sebelum ia kembali menatap suaminya, "Gue kangen orang tua gue." detik itu juga tangis Rasel pecah.

Jehan tidak menduga hal itu. Dia membuang arah tatapannya ke sembarang arah, Rasel membuat dia seketika mengingat sosok ayahnya. Sosok yang sudah sulit untuk Jehan jumpai, berbeda alam soalnya.

Rasel mendongak dengan kondisi wajahnya yang dipenuhi air mata, "Gue kangen ayah sama bunda Jee..."

Tanpa berpikir panjang, Jehan langsung menarik istrinya itu ke dalam dekapannya. Dan tangisan Rasel semakin kencang disana, membuat Jehan memilih untuk mengusap punggung istrinya agar bisa merasa lebih tenang.

Jehan menaruh dagunya di puncak kepala Rasel. Kedua tangannya mendekap tubuh ramping istrinya itu, dan salah satu tangannya masih mengelus lembut bagian punggungnya, terkadang bagian kepala belakang juga.

Baru pertama kali Jehan melihat dan mendengar Rasel menangis kencang seperti ini, membuatnya sedikit terbawa suasana.

Dikeadaan begini Jehan hanya bisa menjadi pendengar, bukan karena tidak ada niat untuk menghiburnya hanya saja Jehan belum mengenal Rasel sedalam itu. Dia ngga tau apa yang membuat perempuan itu tiba-tiba mengingat kedua orang tuanya, dan dia juga ngga tau cara apa yang paling ampuh untuk menenangkannya.

Kita ngga tau apakah Rasel akan sensitif disaat seperti ini atau tidak, Jehan tidak mau perburuk suasana.

"D-dari sekian banyaknya orang kenapa harus orang tua gue yang diambil?" kata Rasel dalam dekapan tersebut dengan sesegukan.

"Gue kangen sampe hati gue rasanya tuh sakiiit banget, Je. Kenapa sesakit ini?"

Rasel mencengkram baju suaminya, "Gue salah apa sih sampe Tuhan tega banget ngambil kedua orang tua gue sekaligus?"

"Gue kurang apa???"

"Sstt..." Jehan mengisyaratkan Rasel agar tenang dan tidak menyalahi dirinya sendiri. "Ngga gitu"

"Lo tau ngga apa yang ngga bisa kita prediksi di dunia ini? Kematian, Sel" ucap Jehan tanpa melepas pelukannya. "Dan kita sebagai manusia biasa yang ngga punya kehendak apapun cuma bisa mempersiap diri"

"Hey.." Jehan menatap wajah sembab Radel dan mengusap air matanya yang masih mengalir.

"Losing a parent is the most terrible thing, i know that feeling, cause i lost my dad too." senyuman miris di wajah Jehan bisa terlihat oleh mata Rasel

"Tapi coba lo liat sisi positifnya--"

"Tuhan ngambil orang tua lo sekaligus artinya dia tau lo itu perempuan yang kuat, buktinya liat diri lo sekarang. You did survived, and it's even cooler that you're a doctor now"

"I mean yes of course they means a lot for you and your life, tapi ngga semua orang bisa sekuat lo, Sel." ucap Jehan tulus.

Tangan kekar Jehan menyelipkan rambut basah karena tangisan ke belakang telinga, "Kangen itu wajar, gue juga kangen sama papah gue"

"Tapi kalo lagi kangen coba kenang memori terbahagia lo, jangan pake rasa kangen itu buat nyalahin diri lo sendiri. Itu baru ngga wajar, ya?"

Jehan menangkup wajah Rasel lalu terkekeh, "Lo jelek ya kalo lagi nangis gini.."

Mata merah nan bengkak serta ujung hidungnya juga merah menjadi penampilan baru bagi Jehan. Penampilan yang tidak pernah Jehan lihat, tetapi dimatanya ini sungguh lucu.

Rasel mengerutkan bibir bawahnya dan memukul dada bidang suaminya, tapi Jehan malah tertawa kecil. Bisa-bisanya lelaki itu berkata seperti itu disituasi sedih kaya sekarang.

"Ah lo mah! Ngancurin suasana aja, padahal gue udah baper banget sama omongan lo" ketusnya sebal.

Tapi Rasel beneran kaget mengetahui sisi baik nan hangat dari Jehan barusan. Pria itu punya cara berkata manis yang sukses menenangkan suasana sedihnya beberapa saat yang lalu.

Sialnya Rasel jadi lebih suka sisi hangat Jehan yang begini dibanding sisi dinginnya.

"Udah nangisnya?" tanya Jehan seraya menyeka sisa cairan bening di pelupuk matanya dengan senyuman tipis.

Rasel tidak dapat menahan senyumnya sebelum ia mengangguk, "Udah dulu. Cape,"

"Lo tau darimana gue nangis?"

Setelah menghapus jejak air mata yang keluar, Jehan menaruh kedua tangan kekarnya di kedua sisi pinggang kecil istrinya. "Lo pikir gue bisa tau darimana coba?"

"Mata gue bengkak banget emang?" Salah satu alis Jehan terangkat lalu mengangguk tipis.

"Sia-sia dong gue tutupin pake concealer sama bedak..." Rasel bergumam kecil.

"Besok kerja?"

"Iya lah!"

"Lo udah kerja dua hari penuh kemarin, ngga ada cuti libur?"

Rasel menggeleng, "Libur buat seorang dokter itu lumayan susah sih. Kadang setiap dokter punya satu atau dua atau bahkan lebih pasien utama yang perlu kita pantau setiap harinya, dan dokter setiap bidang ada keterkaitannya satu sama lain terutama bidang gue"

"Tapi sebenernya bisa aja ambil cuti libur cuma resikonya ya kita harus siap siaga kalo ada panggilan dari rumah sakit."

Rasel melihat wajah anteng Jehan yang fokus mendengarkan penjelasannya. "Lagian bagi dokter bedah spesialis kaya gue, kerja dua hari penuh kemarin bukan apa-apanya tau!"

"Lo harus siap kalo gue harus stay seminggu penuh di rumah sakit," kekeh Rasel bermaksud menggoda suaminya.

"Urusannya sama gue apa?"

"Dih pura-pura lupa ya lo?! Gue stay dua hari aja tapi lo malah nyamperin gue ke rumah sakit, mana pake marah-marah lagi." sarkas Rasel.

"Gue dateng ke rumah sakit karna ada meeting sama dewan direksi, pede amat lo!" tungkas Jehan langsung.

Rasel memanggut saja, "Tapi lo dateng lebih pagi dari jadwal lo cuma buat liat kondisi gue kan??"

Jehan menyentil dahi perempuan di hadapannya, "Lo ngga ngasih kabar ke gue, Raselia."

"KEBIASAAN LO NYENTIL JIDAT GUE MULU!" pekik Rasel kesal sambil mengusap dahinya.

"Itu hadiah dari gue karna lo ngga denger suruhan suaminya. Kalo lo ngulangin lagi, mending lo ngga usah makan selamanya sekalian." ucap Jehan datar.

"Ck! IYA JEHAN IYAAAA"

°°°

Rasel menutup pintu mobilnya, berjalan buru-buru menuju ruang jaga untuk mengganti setelan baju. Tidur dipelukan Jehan benar-benar nyaman dan membuatnya terlambat bangun.

Tapi kemarin dia benar-benar dibuat lelah oleh pekerjaannya, dan sialnya, Jehan tidak niat membangunkan Rasel.

Biasanya kalau Rasel berangkat kerja itu, pasti Jehan yang nganterin, berhubung Rasel belum pede untuk menyetir mobilnya sendiri. Tetapi, karena Rasel udah telat banget akhirnya dia nekat buat nyetir mobil sendiri.

Kado yang Jehan kasih kalo ngga dipake kan sayang juga. Kalo didiemin ntar malah rusak, jadi ya Rasel coba pake aja.

Dengan tergesa-gesa, Rasel berlari kecil hingga orang sekitar memperhatikannya. Sesekali dia melihat jam tangannya, Rasel lupa kalo hari ini dia ada konsultasi dengan salah satu pasiennya.

Bruk!

"Sorry, sorry--"

Rasel tersenyum tipis kepada seorang lelaki bersetelan rapih dan terlihat seumuran yang menubruknya, tidak mau menghabiskan waktu ia menghela napas dan membereskan tasnya serta isiannya yang jatuh berantakan.

Lagi buru-buru, masih ada aja insiden yang tidak terduga.

Pria itu membantu Rasel karena rasa bersalahnya dengan memungut beberapa barang, "Sorry tadi gue lagi fokus main hape jadinya ngga ngeliat lo jalan"

"Gapapa kok, gue juga salah. Thanks ya," Rasel menerima serahan pria itu dan setelahnya berdiri.

"Em, lo dokter disini?" tanya pria itu yang memotong niat berpamitnya.

Rasel mengangguk masih tersenyum tipis, "Iya."

"Bentar, muka lo agak familiar. Ah! Istrinya Jehan Kanagara, Raselia, dokter kardio kan? Kalo gitu, gue bisa minta--"

"Sorry banget, pasien gue udah nunggu. Jadi gue lagi buru-buru, kalo ada yang mau lo bahas diluar medis, gue ngga bisa." ujar Rasel sudah mulai gelisah, takut membuat pasiennya menunggu lebih lama.

Tanpa mendengar jawaban atau persetujuan pria itu, Rasel menunjukkan ekspresi rasa bersalahnya dan membungkuk sedikit sebagai permohonan maaf.

"Sekali lagi sorry banget."

Setelah itu Rasel kembali berlari kecil namun kali ini dirinya menatap lurus agar kejadian seperti ini tidak terulang. Sedangkan pria tadi hanya bisa menatap kepergian Rasel sambil terkekeh kecil.

Di ruang jaga, Rasel segera mengganti bajunya menjadi seragam dokter dan memakai jas putih yang menjadi almamater seorang dokter.

Rasel mengambil ponselnya yang bergetar di atas meja setelah mengikat rambut panjangnya. "Iya, halo?"

'Dimana lo?'

Perempuan ini berlari sekencang mungkin agar pasiennya tidak menunggu lebih lama, "Gue lagi otw ke ruang tunggu Kardio."

'Gue butuh konsultasi lo, bisa ke IGD sebentar?'

"Duh gue ada janji sama pasien sebenernya, tapi yaudah gue kesana."

'Oke, sorry ya.'

Rasel berhenti sejenak untuk mengirimi pesan ke staff komunikasi Kardio untuk memberitahu info mengenai dirinya harus ke IGD terlebih dahulu.

Meski Rasel sudah membuat janji dengan salah satu pasiennya, tetapi dia lebih memprioritaskan pasien di IGD. Namanya saja Gawat Darurat, itu artinya pasien yang datang kesana pasti dalam keadaan darurat.

Profesi lain kebanyakan lebih mendahului janji temunya, sedangkan dokter tidak. Mereka lebih mementingkan kondisi pasien, bukan bermaksud untuk merusak budaya antri tetapi mereka harus melihat situasi yang lebih darurat karena kondisi seperti itu membutuhkan penanganan segera.

Setelah memasuki ruangan IGD yang sangat besar, Rasel langsung mengambil gel penyanitasi tangan yang tersedia dan menghampiri Jisya.

"Kenapa, Sya?"

Jisya segera menuntun temannya menuju ranjang pasien yang akan dituju, "Keluhannya nyeri bagian dada, dan gue liat ada bekas luka tembak disitu"

"Luka tembak?" Rasel sontak berhenti melangkah tangannya tiba-tiba bergetar. Nafas Rasel juga terengah dan jantungnya pun mulai berdegup kencang.

"Luka setahun lalu kok," ujar Jisya langsung, ia menyesali ucapannya tadi. Padahal dirinya tau kalau Rasel benar-benar sensitif mendengar kata luka tembak.

Rasel menghela nafas lega kemudian dia lanjut melangkah menuju pasien yang sudah menunggu konsultasinya.

Jisya membuka tirai ranjang, memperlihatkan seorang pria yang sedang terbaring. "Jeksa Kafeel Navarez, 27 tahun. Keluhannya nyeri di area dadanya, ada bekas operasi luka tembak yang mungkin menjadi penyebab rasa nyerinya"

"Hasil tes lab nya mungkin beberapa menit lagi, Sel."

"Jadi lo pasiennya?" Rasel sungguh terkejut, ia mengenal baik siapa pasien ini.

Si Pria yang menabraknya tadi.

"Lo kenal?" tanya Jisya.

"Belom kenal secara resmi sih, tapi kita ngga sengaja ketemu tadi." jawab Rasel.

"Kalo gitu ayo kenalan resmi. Gue Jeksa Kafeel Navarez," pria itu menyodorkan tangan kanannya.

Dengan senang hati Rasel menerima sodoran itu, keliatannya Jeksa adalah pria yang baik jadi ngga masalah hanya untuk sekedar berkenalan ya kan?

"Gue Raselia Emmera Abiyaksa."

"Kanagara, Sel!" ralat Jisya dengan decakannya.

"Serah dah,"

"Jadi Lo mau minta sesuatu ke gue itu minta konsultasi?" Rasel jadi merasa bersalah sudah tidak menghiraukannya beberapa saat yang lalu.

Lagian Rasel ngiranya pria itu semacam jurnalis atau reporter yang akan memberikan segudang pertanyaan mengenai keluarga besar Kanagara.

Melihat Jeksa mengangguk, Rasel meringis kecil. "Gue kira lo itu---"

"Jurnalis atau reporter?" potongnya. "Sorry deh, gue akui lagak gue tadi emang kaya jurnalis yang pengen ngobrol sama istri anggota Kanagara"

Rasel terkekeh sembari memakai sarung tangan lateks, kemudian mulai memeriksa bagian yang dikeluhkan secara perlahan dan berhati-hati.

"Nih, Sel. Hasil tes lab sama hasil pindai X-ray nya." Jisya menyerahkan dua lembar kertas tebal ke hadapan Rasel.

Dengan teliti dan telaten Rasel membaca hasil tes serta menilik secara seksama hasil pindaian kondisi dalam tubuh Jeksa.

"Semua tes lab normal dan X-ray nya juga normal kok." ujar Rasel malah bingung.

"Bekas ini dari operasi setahun yang lalu kan?" tanya Rasel memastikan.

Jeksa mengangguk, "Why? Is there something wrong with the surgery?"

"No. Justru kalo hasil tes sama X-ray nya normal, that's a good sign. Rasa sakit yang lo rasain itu efek samping dari operasi yang udah lo jalanin."

"Paling kita bakal kasih obat pereda nyeri untuk dua minggu kedepan, after that there's nothing for you to worry about" jelas Rasel tersenyum sambil melepas sarung tangan lateksnya.

Jeksa menghela napas lega, kemudian mengancingkan kembali kemejanya. "Oke, what a good news.."

"Thank you, Miss Kanagara."

Rasel menggeleng tidak setuju, "Don't call me like that!"

"Ada lagi ngga, Sya?" Jisya menggeleng sebagai jawabannya.

"Tadi ada sebenernya tapi udah ditanganin sama Dokter Kanara. Lo ada janji sama pasien lo kan?"

Rasel mengangguk, "Kalo gitu gue pergi dulu ya? Jeksa? Or Pak Jeksa?"

Jeksa tertawa kecil. "Just call me, Jeksa."

"Nice to meet you, Jeksa." Rasel memberikan senyuman manisnya kemudian berlalu dari hadapan Jisya dan juga Jeksa.

Jisya tidak begitu memedulikan bagaimana cara keduanya bertemu. Hal ini karena masih banyak pasien yang harus ia periksa sekarang dan Jisya tidak memiliki waktu untuk itu.

"Kamu bisa tunggu disini, perawat tadi akan memberikan obat pereda nyeri untuk dua minggu kedepan sesuai perintah Dokter Rasel." ucap Jisya yang terakhir lalu pergi memeriksa pasien lain.

Jeksa hanya memanggut paham, kepergian dua dokter itu membuatnya menundukkan kepalanya sambil tersenyum tipis.

"Nice to meet you too, Rasel."

°°°

"Lo ngga macem-macem kan, Jen?"

"Ngga. Senekat-nekatnya gue, ngga bakal berani bantah perintah lo, bang."

Jehan mengangguk lega lalu berjalan menuju sesosok yang diikat tali di pojok ruangan. "Loyal banget ya lo sama tuan lo,"

"Gue kira lo udah sekarat, taunya masih lebih dari kata oke. Adik gue terlalu baik ternyata,"

"Gue ngga mau ngotorin tangan suci gue" sahut Jendra yang membuat kakaknya terkekeh.

Jehan menarik kursi yang ada dan menempatkan tepat di depan orang yang sudah babak belur itu. Tangannya menarik lepas lakban yang menutupi mulutnya dengan kencang sehingga membuat orang itu meringis ngilu.

"Lo mau ngapain di pernikahan gue?" tanyanya dengan nada datar.

Tidak ada jawaban apapun dari orang itu. Dialah orang yang berhasil Jendra sergap ketika acara resepsi pernikahan Jehan beberapa hari lalu. Dia adalah suruhan musuhnya yang memata-matai setiap pergerakan keluarga Kanagara, terutama Jehan.

Dibuat kesal, Jehan menggulung lengan bajunya kemudian mencengkram keras rahang orang itu. Memaksa agar orang itu menatapnya, "Jawab."

Orangb berambut pirang itu sama sekali tidak berekspresi. Tidak ada tanda akan menjawab pertanyaan, Jehan mengepalkan tangan satunya yang bebas dan rahangnya yang mulai mengeras.

"JAWAB BRENGSEK!!" bentak Jehan membuat orang itu menyeringai.

Jehan tidak hanya berdua dengan Jendra, tetapi juga dengan keempat yang lainnya tengah berdiri di belakang Jehan dan menyaksikan sebuah pemandangan langka seperti ini.

"Gue lebih baik mati." katanya.

Jehan menghempaskan cengkraman rahangnya lalu tertawa remeh. "Really? Lo pikir dengan ngorbanin nyawa lo kaya gini bakal dicap pahlawan sama pemimpin lo?"

"Ngga, bro. Lo itu cuma pion bagi mereka, leader lo nganggep diri lo sebagai alatnya ngga lebih. Serendah itu harga diri lo buat mereka, how sad isn't it?"

Pria itu mengeraskan rahang dan menggertakan giginya, wajahnya sudah memerah menahan rasa amarah yang kian memuncak ke permukaan.

Tutur kata Jehan sukses memancing emosinya, namun Jehan beserta yang lainnya malah puas dan senang melihat pemandangan seperti ini.

Jehan memandangi pisau tajam kecil yang entah kapan sudah berada digenggamannya. "Gimana? Masih mau ngorbanin nyawa lo?"

"Honestly, we don't need you anymore. I could kill you right now as you wish, but I want to give you a chance."

"Kesempatan buat ngejalanin hidup layaknya orang-orang pada umumnya, karna gue tau selama ini lo diperbudak sama tuan lo sendiri"

"I'll give you time to think." kalimat terakhir yang Jehan lontarkan karena dia merasakan getaran pada pahanya.

Jehan merogoh ponsel ke dalam saku celananya dan melihat sebuah nomor tak dikenal tertera di layar ponselnya.

"Istri lo?" tanya Jendra mendapat gelengan.

"Nomor ngga dikenal--" Jehan menggidikkan bahunya, "Paling telfon iseng." lanjutnya.

"Angkat." ujar orang tadi yang mengejutkan seisi ruangan.

"Kemungkinan besar itu bos gue."

Jehan menatapi wajah orang tersebut, mencari kebohongan disana namun tidak menemukannya. "Atas dasar apa bos lo nelfon gue?"

"Ngga usah pura-pura bego, lo semua tau sendiri sebesar apa dendam bos gue." katanya yang terdengar meyakinkan.

"He's right. Bisa jadi itu telfon iseng kaya yang lo bilang karna lo punya banyak banget fans, tapi ngga menutup kemungkinan kalo yang nelfon lo sekarang itu dia." sahut seorang perempuan yang menyandar santai pada kursi beroda.

"Angkat aja dan kalo bener itu dia, ulur waktu buat gue. Biar gue bisa ngelacak nomor itu." tambahnya.

Tanpa berpikir panjang Jehan mengangkatnya dengan mode pengeras suara agar yang lain bisa mendengar dengan jelas. "Who's this?"

'It's been a long time, Jehan Kanagara.'

"Jeksa Kafeel Navarez.."

"Setelah tiga tahun akhirnya lo ngehubungin gue, bahkan lo berani ngutus anak buah lo buat jadi mata-mata di acara pernikahan gue? Whoa, a big thumbs up for your courage, Mr Navarez"

'Sayangnya rencana gue kemaren gagal total gara-gara adik dan kakak lo, padahal kalo anak buah gue berhasil ngelukain istri lo it will be so much fun isn't it?'

Jehan mencengkram ponsel digenggamannya, ia berusaha keras agar tidak terpancing emosi. Dan untungnya Jendra langsung membantu kakaknya agar tidak terbawa suasana dengan berbisik, "Tahan emosi, dia cuma mancing lo."

Ketiga yang lainnya menoleh ke arah si wanita yang sedang sibuk beradu dengan keyboard dan layar komputer.

"Ya, dapet identitasnya ngga? Atau posisinya?"

"Wait a minute, em-- Done! No way.." perempuan yang berhasil melacak nomor telepon sontak memainkan kuku jemarinya dan menatap ketiga pria yang sudah membulatkan matanya.

Jehan mengulum bibirnya, "Jauh-jauh dari istri gue, Jeksa." katanya setenang mungkin tetapi terdengar mengancam.

'Hahahaha. Let's see later--'

"Brengsek!" umpat Jehan yang sudah tidak bisa lagi menahannya.

'Ouch. Btw, istri lo Raselia Emmera kan? Istri lo baik banget, bro. Gue hampir naksir'

'Wow, dia ada tujuh langkah dari depan gue nih. Harus gue apain ya? Hmm, at least say hi right?'

Detik itu sambungan telepon terputus. Jehan dan Jendra sama-sama terkejut mendengar kalimat terakhir. Namun Jehan masih mencoba untuk berpikir positif mungkin lelaki bangsat itu hanya memancingnya

"Gue udah ngga sebego dulu, Jeksa Kafeel." gumam Jehan tersenyum miring.

"Je, gue rasa kita harus ke tempat kerja istri lo sekarang juga" ujar salah satu dari ketiga yang sudah panik tidak karuan.

"Gue berhasil ngelacak nomor tadi dan posisinya di Rumah Sakit Hadvent." kata perempuan yang berhasil melacak nomor telepon Jeksa.

Drtt

Jehan memeriksa layar ponselnya dan membaca sebuah notifikasi yang bertulisan,

'Sedikit goresan gapapa kali?'

°°°

Kelalaian Jehan beserta yang lainnya membuat Rasel dalam bahaya sekarang. Jehan menyetir mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata, hatinya tidak tenang setelah mendapat pesan dari musuh sejatinya.

Jehan menyalip kendaraan lain sehingga para pengendara dibuat emosi. Tangannya mengepal pada stir mobil sambil bergumam, "Ya Tuhan, Rasel..."

Tubuhnya yang sudah dipenuhi oleh rasa gelisah semakin membuat Jehan menancap pedal gas, berharap terus agar istrinya tidak terluka.

"Jeksa, brengsek!!" sesekali Jehan memukul stir mobil di depannya.

Pria yang sudah super panik ini tidak menyimak perbincangan pada earpiece yang terpasang di telinganya. Intensinya sekarang adalah sampai pada tujuan secepat mungkin.

Dengan kecepatan yang tidak manusiawi, Jehan sampai di Rumah Sakit tempat istrinya bekerja hanya memerlukan sekitar tujuh menit saja. Tak mau membuang waktu, dia langsung berlari masuk setelah memakirkan mobilnya sembarangan.

Perasaan Jehan udah ngga enak banget ini.

"Ya, titik posisi Rasel dimana?" tanya Jehan sambil mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru. Namin rumah sakit yang begitu besar dan megah ini akan memakan waktu yang cukup lama.

'Sorry, bos. Gue ngga dapet, kayanya hape istri lo mati deh. Bentar gue coba liat CCTV nya,'

Jehan mengumpat kesal. Alhasil ia memutuskan untuk mencari pakai tenaga dan usahanya sendiri dengan berlari ke semua penjuru di rumah sakit ini, tidak mau ada yang terlewat.

'Lantai dua sama tiga clear.'

'Lantai empat clear.'

'Lantai lima sama enam clear.'

'Rooftop sama basement clear.'

Sudah lebih dari duapuluh menit tetapi Jehan masih belum menemukan keberadaan istrinya. Bahkan keringat sudah memenuhi kening dan mengalir ke pelipis hingga pipinya dan bagian punggung belakangnya basah akibat dari berlari tanpa henti.

"Rasel, please don't get hurt." gumam Jehan sebelum kembali berlari untuk terus mencari istrinya.

Persetan dengan orang-orang sekitar yang sudah memandanginya dengan tatapan heran dan juga bingung. Pikiran Jehan saat ini adalah keberadaan istrinya yang bernama Raselia.

Sudah berkali-kali juga Jehan mencoba nelfon tetapi tidak ada jawaban. Malah ada suara dari operator seperti, 'nomor yang anda tuju sedang tidak aktif--' membuat perasaan jehan semakin tidak enak.

'Gue ngga liat posisi Rasel dari kamera CCTV, bos'

"Terus cari."

'Siap, laksanakan!'

Jehan masih terus melihat kanan-kiri agar tidak melewati sosok istrinya sampai ia memekik, "Thank, God!" matanya menangkap perawakan yang begitu familiar sedang asik memakan es krim di dekat pintu masuk.

'I found her! Rasel berdiri di deket pintu masuk, bos.'

Tanpa berpikir panjang, kaki jenjangnya langsung menghampiri Rasel dengan perasaan lega karena setelah beberapa menit akhirnya Jehan sedikit mengurangi rasa khawatirnya.

Jehan menarik bahu Rasel agar menghadapnya, "Lo dari mana sih?!"

Rasel dengan perasaan terkejut hanya bisa mengerjapkan mata dan menghentikan kegiatan menikmati es krim di tangannya. "Sialan lo! Bikin gue kaget aja,"

"Lo ngapain disini? Gue kan bawa mobil sendiri,"

"Are you hurt?" tanya Jehan dengan napas yang tersenggal.

Rasel merasa ada yang aneh, wajah suaminya itu penuh kekhawatiran yang entah apa penyebabnya dan juga ia bisa melihat pria itu banjir keringat membuat Rasel bertanya-tanya. "Lo kenapa?"

"Jawab pertanyaan gue, Rasel!" bentak Jehan tanpa sadar.

Bentakan yang sukses mengalihkan perhatian orang sekitar hingga kini mereka berdua menjadi pusat perhatian.

Rasel juga terkejut atas bentakan suaminya yang tidak pernah ia dengar sebelumnya. Meski begitu ia menjawab, "I'm fine, Jehan."

Jehan memeriksa seluruh area tubuh istrinya, memeriksa tidak ada luka sekecil apapun di sekujur tubuhnya.

"Lo kenapa sih, hah?!" Rasel dibuat heran oleh tingkah suaminya sendiri. "Udah gue bilang kalo gue ngga kenapa-kenapa,"

Setelah memastikan tidak ada luka gores atau lecet di sekujur tubuh istrinya, Jehan menghela napas lega sambil bergumam mengumpati Jeksa yang mempermainkannya.

"Bajingan. Gue ngga akan diem aja, Sa"

'Son of a bitch! He really wants to start the game'

'JEKSA SIALAN!!'

'I think i found something interesting, guys. Lo semua ke markas dulu deh'

'Yaudah gue sama yang lain cabut ke markas. Bos, ibu negara aman kan?'

"Aman." jawab Jehan kecil agar Rasel tidak mendengar.

Jehan menatap Rasel yang masih bingung oleh tingkahnya barusan, "Sorry gue kelepasan tadi" pria ini membawa tubuh rampingnya ke dalam dekapannya.

Nah kan Rasel semakin bingung. Suaminya ini tiba-tiba datang ke rumah sakit, lalu bertanya apakah dirinya baik-baik saja atau tidak, dan sekarang tiba-tiba memeluknya di depan umum?

Ini emang tingkahnya yang random atau sesuatu telah terjadi?

"Jehan, serius. Lo kenapa?" tanya Rasel penasaran yang agak samar.

"Nothing." jawab Jehan sambil menggeleng.

"Bohong..." gumam Rasel, membiarkan posisinya saat ini. Nyaman banget soalnya.

Sedangkan di balik tembok putih pada pojokan antara ruang tunggu dengan meja administrasi terdapat sepasang mata yang menyaksikan semuanya sambil tersenyum miring.

"So she is indeed your weakness?"

"Let's begin, Jehan Atharizz Kanagara"



to be continued~~~

kepo siapa mata-mata yang berhasil Jendra sergap??
nih👇🏻

daaaaaaaaaannnnn ini diaaa

Manipulator, Spy, Provokator, Killer
Jeksa Kafeel Navarez

jadi udah ke spill ya siapa musuhnya disini, tinggal tim rahasia Jehan dan ada beberapa rahasia lainnya yang belum keungkap. Just wait a little bit longer😆

gimana udah panas belom?

btw gue bakal agak lama publish yang selanjutnya karena dua minggu kedepan gue ada praktikum sekaligus presentasi banyak banget, mohon pengertiannya ya🙏🏻

see u soon, bestie<3

Continue Reading

You'll Also Like

54.7K 5K 45
Sebuah cerita Alternate Universe dari tokoh jebolan idol yang banyak di shipper-kan.. Salma-Rony Bercerita mengenai sebuah kasus masa lalu yang diker...
69.2K 6.9K 20
Romance story🤍 Ada moment ada cerita GxG
73.8K 7.5K 23
Brothership Not BL! Mark Lee, Laki-laki korporat berumur 26 tahun belum menikah trus di tuntut sempurna oleh orang tuanya. Tapi ia tidak pernah diper...
44.4K 3.2K 48
"Jika ada yang harus berkorban dalam cinta ini, maka itu cintaku yang bertepuk sebelah tangan" - Dziya Idzes "Sekat-sekat ruang yang tertutup layakn...