The Truth Behind The Secret

By Nathania1721

20.3K 1.3K 102

END (Yang Tersembunyi) Meanie 18+ M-PREG More

Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4

Chapter 5

4.6K 330 41
By Nathania1721

"Hyung, mommy tidak akan malah lagi kan?" tanya Minwoo yang sudah berdiri di depan pintu. Mendongakkan kepalanya untuk menatap Hansol. Ia baru saja pulang sekolah dengan Hansol yang menjemputnya.

"Yeah, of course! You know? A mother's love is full of patient and always forgiving," jawab Hansol pasti. Membuat bocah itu tersenyum cerah. Ia seolah melupakan rasa sedihnya beberapa waktu yang lalu.

"My mom is more than a superhero."

"Eyy ... dari mana kau belajar kata-kata seperti itu?" Minwoo justru mengedipkan sebelah matanya. Hansol tidak bisa untuk tidak tergelak melihatnya. Bocah yang dulu bahkan belum bisa berbicara, kini sudah bergaya layaknya orang dewasa.

"Ya Tuhan Wonwoo hyung ... lihatlah anakmu ini," gemas Hansol sambil menarik hidung Minwoo. Menggendong bocah tampan itu dan membawanya masuk ke dalam apartemen.

"Mom ... I home," salam Minwoo ketika memasuki rumah.

"Mommy tidak ada di rumah Minwoo-ya," peringat Hansol.

"In my heart," koreksi Minwoo cepat. Dan lagi-lagi Hansol tergelak. Ia tidak menyangka mendapat jawaban seperti itu dari bocah berusia empat tahun.

"Ahh ... ok ... I have nothing to say. And now, you need to change your school uniform and wash your hands first."

Hansol menurunkan Minwoo tepat ke atas ranjang. Mencarikan bocah itu sepasang baju yang sudah disiapkan Wonwoo. Saat ia akan membantu si bocah tampan membuka baju, Minwoo menolak. Ia lebih memilih melakukan semuanya sendiri.

"Mommy membuatkan makanan untuk Minu, Hyung?" tanya Minwoo sambil melepas satu persatu kancing baju sekolahnya.

"Sangat banyak. Sepertinya mommy Minwoo harus pergi ke Seoul untuk urusan pekerjaan. Kalau tidak ada kendala, dini hari mommy akan tiba di rumah." Tiba-tiba saja bocah itu terdiam. Ia hanya memandangi kaos di tangannya.

"Minwoo sedih karena mommy tidak bisa pulang cepat?" tanya Hansol hati-hati.

Tidak ingin melukai perasaan si bocah tampan. Karena ia sangat tahu beban yang bocah itu alami. Tanpa ia duga, Minwoo menggeleng dan tersenyum ceria.

"Hyung bantu Minu menghabickan makanan buatan mommy. Jadi kalau mommy puyang, mommy cenang kalena macakannya cudah habic," pinta si kecil. Hansol memasang mode berpikir.

"Baiklah! Tapi imbalannya, Minwoo harus mau ikut menemani hyung."

"Ke lumah Booboo hyung?" tebaknya yang langsung mendapat anggukan. Karena tidak jarang Hansol membawanya bertemu dengan teman seusianya itu. Bahkan mereka sering menghabiskan waktu untuk bermain bersama.

"Dengan Chan hyung juga?" Dan kali ini wajah cerianya berubah cemberut saat Hansol menggeleng.

"Why?"

"Chan sedang banyak kegiatan di kampusnya. Jadi hanya kita bertiga saja. Booboo hyung janji akan menunjukkan permainan terbarunya."

Tidak sabar ingin segera bermain, Minwoo langsung menarik tangan Hansol. Menyeret pemuda tampan itu untuk mengikutinya ke dapur. Menghabiskan makanan yang Wonwoo siapkan untuknya.

Hingga malam, Minwoo masih berada di rumah Seungkwan bersama Hansol. Bocah mungil itu baru kembali ke apartemen setelah merasa mengantuk. Namun karena Wonwoo menunda kepulangannya, membuat Minwoo tidur bersama Hansol. Dan pemuda tampan itu sama sekali tidak kerepotan. Selain karena Minwoo memang anak yang cerdas, Minwoo juga anak yang mandiri.

Saat akan memejamkan mata, ponsel Hansol berdering. Ia langsung mengangkatnya saat melihat nama si pemanggil.

"Hansol-ah, apa Minwoo menangis? Dia makan dengan benar? Apa dia sudah tidur? Minwoo tidak rewel kan?" Hansol tersenyum mendengar rentetan pertanyaan itu.

"Hyung yang paling tahu bagaimana cerdasnya Minwoo. Dia sama sekali tidak menangis, hanya sedikit takut kalau Hyung masih marah." Terdengar helaan nafas dari seberang sana. Hansol tahu Wonwoo menyesal telah membuat anaknya bersedih.

"Seharusnya hyung tidak langsung memarahinya Hansol-ah. Hyung tidak bertanya lebih dulu apa yang membuatnya melukai temannya," ucap Wonwoo lemah.

"Menurutku, Minwoo tidak melukainya Hyung," koreksi Hansol.

"Sepertinya kau benar. Besok tolong antarkan Minwoo sekolah, sepertinya hyung akan tiba sekitar pukul delapan."

"Hyung tidak usah khawatir. Besok aku akan mengantarnya bersama Seungkwan karena Seungkwan sudah berjanji akan mengantarnya besok pagi sekaligus membuatkannya bekal."

Saat sambungan itu terputus, Hansol merebahkan tubuhnya di kasur. Menyusul Minwoo yang sudah begitu lelap.

"Bahkan saat tidur, dia masih tampan dan menggemaskan di saat bersamaan. Aku jadi penasaran seperti apa rupa daddy-nya," monolog Hansol sembari memejamkan matanya.

_________♥_________

Wonwoo tiba di sekolah Minwoo tepat saat anak-anak berhamburan dari kelas. Ia tersenyum melihat kelucuan bocah-bocah seusia anaknya. Membuatnya semakin ingin lekas bertemu dengan buah hatinya. Membayangkan wajah tampan anaknya, membuatnya ingin memeluk erat si kecil yang selama ini selalu menemaninya.

Pergerakan tangan Wonwoo yang akan membuka pintu mobil terhenti. Dadanya berdegup kencang tanpa bisa ia mengontrolnya. Bahkan nafasnya tertahan hingga beberapa detik. Di depan sana, ia bisa melihatnya dengan jelas. Mengenal dengan yakin meski sudah lama tidak melihat wajah itu.

"Mingyu," gumamnya.

Mata tajamnya tidak bisa ia alihkan meski sedetik. Terus memandangi seseorang yang begitu ia cintai bersama dengan seorang anak kecil. Anak yang ia yakini seusia dengan anaknya.

Wonwoo bisa melihat wajah itu lagi. Ia bisa menyaksikan wajah tampan yang tengah menampilkan senyumnya. Membuat Wonwoo hanya mampu diam terpaku di mobilnya.

Mata Wonwoo terpejam. Menarik nafasnya dalam-dalam yang tiba-tiba terasa begitu sesak. Tanpa bertanya, ia tahu bocah berkulit putih itu adalah anaknya. Sangat terlihat kalau Mingyu menyayangi anaknya.

Rasa sesak itu kembali menghampiri hatinya. Rasa sakit yang sudah bertahun-tahun yang sekuat tenaga ia tahan. Meski ia yakin Mingyu sudah bahagia dengan hidupnya, namun tidak bisa dipungkiri hatinya begitu ngilu melihatnya secara langsung. Bahkan setiap detik ia meyakinkan Mingyu tidak akan pernah menjadi miliknya, masih begitu terasa menyakitkan saat kenyataan pahit itu menamparnya.

Tangan putihnya mencengkram setir mobil dengan kuat. Mencoba menyalurkan rasa sakit yang berulang kali menghujam jantungnya. Ia tidak tahu akan sesakit ini saat melihatnya secara langsung. Namun beberapa detik kemudian, ia tertegun. Ingatannya tertuju pada anak semata wayangnya.

"Tidak mungkin. Minwoo tidak boleh melihatnya," batinnya cemas.

Dengan gusar, ia langsung membuka pintu mobil. Mengabaikan kalau saja Mingyu melihatnya. Yang terpenting saat ini adalah buah hatinya. Ia tidak ingin Minwoo merasakan sakit seperti yang ia rasakan. Meski Minwoo hanyalah bocah kecil, namun anaknya begitu cerdas. Ia yakin Minwoo mengerti semua meski hanya melihatnya.

Wonwoo mencoba mencari celah agar Mingyu tidak melihatnya. Ia tidak lagi memedulikan meski Mingyu dan anaknya kembali masuk ke area sekolah. Yang ia pikirkan, ia tidak ingin Minwoo melihat Mingyu dengan anaknya.

"Tolong ... jangan biarkan anakku melihatnya, Tuhan. Jangan biarkan Minwoo merasakan kesedihan," doanya sembari mempercepat langkah kakinya.

Wonwoo bukan hanya seorang yang melahirkan Minwoo. Tapi lebih dari itu. Ia adalah seseorang yang rela menerjang luka demi anaknya. Ia rela membangun prasasti dengan menorehkan darahnya demi kebahagiaan Minwoo.

Selama ini, hanya yang terbaik yang coba ia berikan. Menepis segala rasa demi anaknya. Sepi, luka dan rasa sakit ia abaikan jika memang untuk kebaikan Minwoo. Tidak ada yang ia biarkan untuk melukai sang anak, sekalipun itu Mingyu. Seseorang ia cintai dengan tulus selama bertahun-tahun.

Namun detik ini, ia merasakan luka yang tak terungkapkan. Di sudut sana, bisa melihatnya dengan jelas. Minwoo memandangi sepasang ayah dan anak dengan mata tergenang air mata. Pandangan anaknya tampak begitu terluka.

Langkahnya terhenti di tempat. Kakinya terasa lemas hanya untuk menopang tubuhnya. Rasanya jauh lebih sesak dan menyakitkan dibandingkan beberapa menit yang lalu.

"M-Minwoo ...." tenggorokannya terasa tercekat hanya dengan menggumamkan nama anaknya. Air mata meluncur begitu saja dengan mudahnya tanpa bisa ia tahan.

Air mata, ia anggap sebagai kelemahan seseorang. Dan hari ini, sudah kedua kalinya ia menangis tanpa mampu menahannya. Ia mengabaikan pandangan orang padanya. Matanya hanya terfokus pada buah hati yang begitu ia sayangi.

"Jadi ... Minwoo melihatnya? Minwoo tahu semuanya?"

Tidak pernah ia merasakan sakit yang luar biasa sakit seperti detik ini. Di sudut kelas, Minwoo diam memandangi Mingyu dan seorang anak kecil. Sebagai seseorang yang melahirkannya, ia tahu anaknya begitu terluka. Bahkan tidak ada kata yang mampu melukiskan hancur hatinya saat ini.

"Ya Tuhan, apa malakaikat kecilku selalu bersedih seperti ini? Berapa banyak air mata yang ia keluarkan tanpa sepengetahuanku?"

Tangis dan kesedihan seorang anak adalah duka ibu. Dan senyum kebahagian seorang anak, seperti satu kepingan puzzle yang menyempurnakan hidup seseorang yang melahirkannya. Puzzle itu kini terasa hancur melihat kesedihan dari malaikat kecilnya.

Saat Mingyu sudah menjauh dari area sekolah, Wonwoo langsung berjalan cepat. Isakannya hampir keluar melihat Minwoo menunduk sendu. Mencoba menahan air matanya yang sudah menumpuk di matanya.

"Minwoo."

Minwoo kecil terlonjak saat mendengar suara Wonwoo. Ia bisa merasakan kehangatan saat Wonwoo memeluknya erat. Namun di saat bersamaan, ia tahu ibunya tengah menangis.

"Mommy kenapa? Mommy cedih? Ciapa yang membuat Mommy cedih?" Minwoo langsung melupakan rasa sedihnya. Bocah mungil itu begitu khawatir melihat ibunya menangis. Membuatnya kembali mempertanyakan kenakalan apa yang sudah ia perbuat.

"Minu yang membuat Mommy cedih? Apa Minu cudah nakal?"

Wonwoo semakin terenyuh mendengar pertanyaan polos anaknya. Di saat Minwoo merasakan kesedihan yang begitu mendalam, anaknya masih saja memedulikan tentangnya. Bahkan Minwoo tidak langsung mengadu seperti anak-anak lainnya.

"Minwoo sayang, maafkan Mommy." Wonwoo melepas pelukannya. Menangkup wajah anaknya dengan mata yang masih mengeluarkan kristal bening.

Mata Minwoo kembali berkaca-kaca melihat Wonwoo menangis. Ia selalu mencoba menjadi anak yang baik agar Wonwoo tidak bersedih, apalagi sampai mengeluarkan air mata. Ia merasa sedih saat ibunya menangis.

Wonwoo langsung menggendong anak satu-satunya. Membawanya ke taman sekolah yang tampak begitu sepi. Ia duduk di kursi dengan Minwoo di pangkuannya.

Ia masih memeluk Minwoo menggumamkan kata maaf yang tidak dimengerti anaknya. Minwoo tidak tahu untuk alasan apa ibunya meminta maaf terus menerus.

"Minwoo sedih?" tanya Wonwoo setelah bisa menguasai air matanya. Sedangkan Minwoo tidak menjawab. Ia memang bersedih karena dua alasan. Namun sama sekali tidak mampu terucap dari bibir mungilnya.

"Kenapa Minwoo tidak mengatakannya pada mommy?" dan lagi-lagi Minwoo bungkam.

"Minwoo tahu? Kalau Minwoo bersedih, mommy juga ikut sedih. Tapi mommy jauh lebih sedih kalau Minwoo memendamnya sendiri. Karena itu artinya mommy tidak bisa mengurangi kesedihan yang Minwoo rasakan."

Minwoo kecil mendongak. Menatap wajah Wonwoo yang tengah tersenyum lembut ke arahnya. Namun ia langsung menunduk. Masih enggan untuk membuka bibirnya.

"Mommy, maafkan Minu." Hanya kalimat itu yang mampu ia ucapkan setelah sekian lama terdiam.

"Jadi Minwoo sering melihat daddy datang ke sekolah untuk menemui orang lain?"

Seketika Minwoo langsung mendongak. Menatap Wonwoo yang tersenyum sedih padanya. Ia tidak menyangka kalau Wonwoo sudah mengetahui ayahnya sudah menjadi ayah orang lain. Padahal ia sudah mencoba menahan kesedihannya sendiri agar Wonwoo tidak bersedih.

"Mommy sudah tahu. Jadi jangan sembunyikan apapun dari mommy. Mommy tahu Minwoo yang paling sedih di sini." Dan pada akhirnya, kalimat Wonwoo membuat pertahanan Minwoo hancur.

"Mommy ... hiks ...." Bocah tampan itu langsung terisak pedih. Memeluk Wonwoo erat dan membenamkan wajahnya di dada ibunya. Menumpahkan semua rasa sedihnya dengan tangisan yang terdengar memilukan.

"Menangislah sayang. Menangislah untuk mengurangi kesedihan yang Minwoo rasakan." Suara Wonwoo bergetar. Namun ia harus menahannya demi anaknya. Karena ia tahu luka yang Minwoo rasakan lebih dalam dibanding lukanya. Bahkan anaknya harus merasakan kesedihan itu di saat ia belum pernah merasakan kasih sayang seorang ayah.

"M-Minu ... hiks ... Minu tidak bica punya daddy lagi, Mom."

"Maafkan mommy." Hanya itu kata yang mampu Wonwoo ucapkan. Karena baginya, semua salahnya hingga Minwoo terlahir tanpa seorang ayah.

"Kalau teman-teman ... hiks... betanya ... hiks ... c-ciapa daddy Minu, foto ciapa yang bica Minu tunjukkan, Mom? Daddy yang ada di foto cudah jadi daddy olang. Daddy ... hiks ... daddy camuel bukan daddy Minu."

Pertanyaan polos yang menusuk jantung itu tak mampu terjawab. Wonwoo hanya bisa memejamkan mata menahan rasa sakit yang semakin menjadi.

"Tuhan, maafkan aku yang sudah membuat anakku sedih seperti ini," batinnya pilu.

"Mom, ail mata Minu tidak mau belhenti. Ail di mata Minu kenapa sebanyak ini Mom?" Dengan beruraian air mata, Minwoo mendongak menatap Wonwoo. Membiarkan tangan hangat ibunya menyeka air matanya yang terus mengalir deras.

"Di cini cakit, Mom. Lacanya cecak." Wonwoo menangkup tangan mungil anaknya yang menunjuk dadanya. Minwoo seolah menunjukkan begitu besar luka yang ia dapat. Membuat pemuda berambut hitam legam itu kembali mengeluarkan air matanya.

"Menangislah supaya dada Minwoo tidak sesak lagi."

"T-Tapi ... tapi ... hiks ... cupelhelo tidak boleh mengelualkan ail mata, Mom."

"Kali ini, mommy mengizinkan superhero mommy menangis."

Seolah tidak pernah mengering, Minwoo terus menangis dipelukan ibunya. Menangis hingga ia kelelahan dan tertidur pulas.

_________♥_________

"Mom ... Mommy ... Mommy ... listen to me."

Minwoo kecil berteriak heboh setelah membuka pintu apartemen mereka. Membuat Wonwoo yang tengah menonton berita menolehkan kepalanya. Memelankan volume tv untuk mendengar laporan dari buah hatinya.

"Jadi, apa yang harus mommy dengar, hem?" tanyanya sembari memperhatikan Minwoo yang masih mengatur nafasnya. Tampaknya ia berlarian di lorong apartemen.

"Booboo hyung membawa banyak pelmen dali Jeju. Ada yang belwalna pelangi Mom. Ada juga yang bentuknya cepelti kepala boneka. Ada juga yang pelmennya dicampul cabe. Lacanya pedac, Mom. Minu tidak cuka. Lacanya tidak enak," ucapnya antusias dengan ekspresi wajah yang berubah-ubah. Tidak menyadari Wonwoo tengah memicingkan matanya.

"Jadi, Minwoo makan permen?"

"Yes, Mom. Tadi Minu ... ups ...." seketika Minwoo langsung menutup mulutnya. Melupakan kalau Wonwoo selalu melarangnya mengonsumsi makanan manis. Tidak baik untuk pertumbuhan giginya. Dan bocah itu hanya bisa meringis menyadari kesalahannya.

"Maaf Mom," ucapnya sembari tertawa. Menampakkan deretan gigi susunya yang rapi. Sedangkan Hansol yang mengintip di pintu menggaruk tengkuknya. Ia yakin akan terkena omelan Wonwoo.

"Minu hanya makan cedikit." Ia mencoba menjelaskan dengan menunjukkan separuh jari kelingkingnya.

"Eh ... cepeltinya lebih cedikit lagi," ucapnya sambil memperpanjang jarak yang ia tunjuk dengan jarinya.

"Tidak ... tidak ... tambah cedikit lagi," tambahnya dengan menunjukkan dua jari mungilnya. Mau tidak mau Wonwoo tersenyum geli. Anaknya benar-benar menggemaskan. Meski tahu ia akan memarahinya, tapi Minwoo selalu berbicara jujur.

"Kalau Booboo hyung membawa banyak permen, kenapa tidak membawakan satu untuk mommy?" tanya Wonwoo yang membuat mata Minwoo membulat lucu.

"Mommy tidak malah?" pekiknya girang. Dan anggukan Wonwoo disambut tepuk tangannya. Tersenyum cerah sambil melompat di depannya.

"Jadi, anak mommy yang tampan ini sudah siapkan dengan sekolah baru?" Minwoo mengangguk mantap. Berjalan ke samping Wonwoo dan mendudukkan bokongnya di sofa.

"Of course, Mom. Kalena cekolah Minu dekat dengan tempat keja Mommy, jadi Minu bica pulang cendili menemui Mommy." Wonwoo tersenyum bangga. Ia tidak tahu anaknya begitu berbakti. Saat anak lain akan menangis karena dipindahkan, Minwoo justru langsung mengangguk dan tersenyum.

"Di cana, tidak ada yang membuat Minu dan Mommy cedih. Minu akan mencali teman di cekolah balu nanti. Kalau Mommy bekeja, Minu akan menemani Mommy dengan belajal. Minu juga akan membantu Mommy bekeja."

Wonwoo tidak tahu apa lagi yang lebih membahagiakan selain memiliki Minwoo. Anaknya begitu cerdas untuk anak seusianya. Bahkan anaknya berjanji tidak akan bersedih meski tidak akan pernah bisa bersama Mingyu. Bocah kecil itu berjanji akan membahagiakannya meski tidak ada Mingyu bersama mereka.

Meski rasa sakit itu masih ada, Wonwoo mencoba menepisnya. Mencoba melupakan Mingyu yang ia yakini telah bahagia dengan kehidupan barunya. Yang ia pikirkan adalah bagaimana membahagiakan anaknya. Berperan sebagai ayah dan ibu agar Minwoo tidak kekurangan kasih sayang meski tanpa Mingyu.

_________♥_________

"Kita akan pergi, Mom? Kemana?" Minwoo kecil mengekori Wonwoo yang tengah berganti pakaian. Ikut sibuk mondar-mandir seperti yang Wonwoo lakukan. Padahal bocah berusia empat tahun itu sudah begitu tampan setelah Wonwoo memandikannya.

"Minwoo tidak lupakan kalau besok kita harus ke sekolah baru Minwoo? Jadi Minwoo membutuhkan tas baru, sepatu baru, baju baru, buku baru," ucap Wonwoo tanpa memperhatikan raut anaknya yang berubah.

"Minu tidak mau, Mom." Wonwoo langsung berbalik dan menautkan ke dua alisnya.

"Pelengkapan cekolah Minu tidak ada yang lucak. Hansol hyung akan cedih kalau Minu tidak memakainya." Ekspresi serius Minwoo membuat Wonwoo tersenyum. Dengan gemas menarik hidung anaknya. Mendudukkan Minwoo kecil di ranjang dan berjongkok di depannya.

"Jadi, apa yang akan kita lakukan sekarang, hem?" tanya Wonwoo yang membuat si kecil berpikir keras.

"Minu mau makan chicken juga cucu picang cepelti yang Booboo hyung bawakan."

"Janji akan menghabiskannya?"

"Janji."

"Dan tidak ada mobil untuk perjalanan ke sana." Ucapan Wonwoo langsung membuat si kecil bungkam.

"Tapi Mommy juga janji tidak akan menggendong Minu. Kalena Minu cudah becal cekalang. Makan Minu banyak jadi badan Minu belat. Nanti Mommy bica kelelahan kalau mengendong Minu."

"Call," jawab Wonwoo sembari tertawa geli. Mengiyakan meski Minwoo masih seringan kapas untuknya.

"Call."

Dan sore itu mereka pergi dengan berjalan kaki. Wonwoo bahkan tidak ingat kapan terakhir kali berjalan-jalan bersama anaknya. Pekerjaan membuatnya kesulitan membagikan waktu. Dan kali ini ia memanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Menuruti keinginan Minwoo selagi tidak berdampak buruk.

Wonwoo menahan senyumnya melihat si kecil yang berjalan di sampingnya. Tampaknya Minwoo kelelahan karena terlalu banyak tempat yang mereka datangi. Bocah tampan itu berulang kali memegangi lututnya. Namun sama sekali tidak mengeluh apalagi meminta gendong.

Alisnya bertaut saat tiba-tiba Wonwoo jongkok di depannya. "Mommy cakit pelut?" tanyanya polos.

"Naiklah!" perintah Wonwoo yang dibalas gelengan.

"Minu belat, Mom. Cangat belat," ucapnya serius yang lagi-lagi ingin membuat Wonwoo tertawa.

"Kalau Minwoo tidak mau, bagaimana kalau Minwoo yang menggendong mommy?" tanya Wonwoo yang membuat Minwoo memanyunkan bibirnya. Karena ia sadar kalau tidak akan bisa melakukannya.

"Untuk kali ini saja ya, Mom? Becok Minu akan makan lebih banyak lagi cupaya cepat becal. Jadi Minu yang akan menggendong Mommy." Dan dengan berat hati, ia naik ke punggung ibunya. Mengalungkan kedua lengannya di leher Wonwoo.

Sepasang ibu dan anak itu melakukan perjalanan pulang dengan bersenandung bersama. Bernyanyi lagu tiga beruang diiringi tawa Minwoo. Kepala bocah itu bergerak ke kanan dan ke kiri. Membuat orang yang melihatnya tersenyum gemas. Selain karena begitu tampan, bocah itu terlihat aktif dan ceria.

Sampai di jalanan yang cukup sepi, keduanya masih bernyanyi dan sesekali menertawakan apa yang mereka bicarakan. Namun nyanyian bocah tampan itu terhenti saat sebelah sepatunya terlepas.

"Cepatu Minu, Mom."

Wonwoo berhenti. Menurunkan Minwoo dan beranjak mengambil sepatu anaknya. Sedangkan Minwoo masih berdiri di tempat dengan mengangkat sebelah kakinya. Sesekali melompat-lompat saat tidak bisa menyeimbangkan tubuhnya.

"Mommy," rengeknya karena Wonwoo tidak kunjung memberikan sepatunya. Ibunya justru memegang sepatunya dan tersenyum jahil.

"Ugh ... kaki Minu bica klam, Mom." Wonwoo terkekeh geli. Meski masih ingin melihat wajah memelas anaknya, akhirnya Wonwoo mendekat. Menunduk dan memasangkan sepatu di kaki Minwoo.

Sebelum berdiri, Wonwoo merapikan helaian rambut hitam anaknya yang terkena angin. Namun alisnya bertaut saat menyadari raut wajah Minwoo menegang.

"Mommy," gumamnya pelan.

Wonwoo berdiri dan berbalik. Dan langsung membeku di tempat saat melihat seseorang yang berdiri tidak jauh di depannya. Matanya membola dengan nafas tercekat. Jantungnya bekerja di luar batas normal saat orang berpakain formal di depannya terus memandangi anaknya.

"M-Mingyu." Wonwoo bergumam tanpa suara. Ia masih belum bisa menguasai keterkejutannya. Bahkan suaranya terasa hilang begitu saja.

Menyadari tatapan Mingyu terus tertuju pada Minwoo, Wonwoo langsung menggenggam tangan anaknya. Membalikkan tubuhnya dan berusaha berjalan menjauhi Mingyu.

"Kau akan memisahkanku dari anakku lagi?" suara bass itu terdengar di telinganya. Membuat jantungnya berdegup semakin kencang.

"Dia ... dia tahu Minwoo anaknya?" batinnya cemas. Kakinya terasa lemas hanya untuk menopang tubuhnya.

"Kau tidak bisa mengelak karena dia memang anakku."

Ketakutan itu langsung menjalar. Mata Wonwoo bergerak cepat dengan tubuh membeku di tempatnya. Bayangan Mingyu akan mengambil alih Minwoo membuat nafasnya semakin terasa memberat. Sedangkan Minwoo hanya memandangi Wonwoo saat genggaman tangan itu terasa begitu dingin.

Mencoba menutupi ketakutannya, Wonwoo berbalik. Menatap mata Mingyu yang juga menatapnya dalam. Andai ia tidak tahu Mingyu telah memiliki kehidupan sendiri, Wonwoo mungkin akan menangis melihat wajah itu lagi. Wajah yang begitu ia rindukan selama bertahun-tahun.

"Kau pergilah! Aku bisa mengurusnya sendiri dan aku juga tidak pernah mengganggu kehidupan barumu." Wonwoo mencoba berucap tegas meski suaranya terdengar bergetar. Sedangkan Mingyu justru mendecih mendengarnya.

"Tidak mengganggu katamu?" tanyanya dengan terkekeh pelan.

Mingyu berjalan mendekat yang membuat Wonwoo memundurkan langkahnya. Menyadari Wonwoo menghindarinya, Mingyu menghentikan pergerakannya. Menatap intens wajah di depannya yang masih terlihat sama seperti di ingatan dan bayangannya selama ini. Masih begitu mempesona yang membuatnya sulit mengalihkan pandangannya.

"Kau itu adalah pengganggu," ucap Mingyu tegas.

Wonwoo tidak menanggapi. Masih menunggu seseorang yang begitu ia cintai melanjutkan kalimatnya. Meski ia sudah menyadari tidak akan pernah memiliki pemuda tampan itu, tapi Wonwoo tidak bisa menepisnya. Masih mengakui kalau Mingyu adalah cintanya. Cinta pertama dan terakhir yang selalu ia simpan dalam hati.

"Kau adalah pengganggu paling handal Jeon Wonwoo. Sebelum aku mengenal Jeonghan, kau sudah mengganggu hidupku. Bahkan kau masih jadi pengganggu hidup dan pikiranku yang tidak bisa aku enyahkan barang sedikitpun di saat aku sudah bersama Jeonghan."

Mata sipit Wonwoo membola. Pengakuan Mingyu terlalu mengejutkan untuknya. Namun lagi-lagi ia hanya bisa terdiam di tempatnya. Karena yang ia tahu, cinta terpendamnya hanya bertepuk sebelah tangan.

"Setelah semua yang kita lakukan waktu itu, kau menghilang begitu saja tanpa memikirkan bagaimana diriku. Aku hampir lupa caranya bernafas dan bertahan hidup. Apalagi setelah aku tahu kau mengandung anakku. Kau tidak tahu aku hampir gila?"

Mata Wonwoo langsung memerah. Ia tidak tahu Mingyu mencarinya. Ia kira Mingyu membencinya setelah kejadian itu. Wonwoo juga merasa bersalah menggoda Mingyu yang sudah memiliki kekasih.

"Tapi ... dari mana Mingyu tahu?" batinnya. Karena seingatnya, ia tidak memberi tahukan siapapun kalau ia tengah mengandung. Ia hanya menyimpannya sendiri dan pergi ke luar negeri. Melahirkan dan membesarkan Minwoo di sana sebelum kembali ke Korea.

"Aku mencarimu kemana-mana hingga bertahun-tahun. Aku tidak peduli jika harus menerima kenyataan kau sudah bersama yang lain. Yang aku pikirkan bagaimana caranya menemukanmu dan darah dagingku. Aku sampai lupa pada diriku sendiri karena yang aku pikirkan hanya kau dan kau. Jadi kau masih bisa mengatakan tidak pernah mengganggu hidupku?"

Air mata menggenang di pelupuk matanya melihat tatapan terluka yang Mingyu tunjukkan. Ia tidak tahu harus bahagia atau menyesali semuanya. Karena ia tidak ingin mengganggu kehidupan Mingyu untuk kedua kalinya. Mingyu ditakdirkan bukan untuknya. Apalagi Mingyu sudah memiliki anak.

"Dan kau pikir bisa pergi setelah semua yang kau lakukan?" tanya Mingyu dengan tatapan terluka dan frustasi yang menjadi satu. Namun Wonwoo masih saja bungkam. Meski tidak ingin, ia memang harus pergi. Pergi dari kehidupan Mingyu dan keluarga barunya.

"Tapi, kalau kau memang ingin pergi, pergilah! Aku tidak akan menghalangimu. Namun satu yang perlu kau ingat, aku akan mengejarmu ke mana pun. Bahkan sampai ke ujung dunia sekalipun, aku akan mengejar dan menemukanmu. Kalau memang itu hanya satu-satunya cara untuk bersamamu dan anakku."

Dan pada akhirnya, air mata itu tertumpah juga. Wonwoo tidak mampu menahan sesak di hatinya. Pertemuan dengan Mingyu adalah sesuatu yang tidak diharapkan meski kerinduannya hampir tidak tertampung. Karena ia sudah terbiasa hidup dengan buah hatinya tanpa Mingyu di sisinya.

"Kau ... kau tidak bisa melakukannya Mingyu. Kau tidak bisa seperti ini. Kau tidak boleh mengabaikan mereka hanya karena aku. Aku dan Minwoo akan baik-baik saja. Aku bisa mengurusnya. Jadi lebih baik kau lupakan kami dan hidup berbahagia dengan anak dan istrimu," ucap Wonwoo dengan suara bergetar. Mingyu justru terkekeh mendengar kalimat panjang Wonwoo.

"Dan ini salahmu karena aku jadi pria duda seperti ini," ucapnya yang membuat Wonwoo tersentak.

"M-Maksudmu?"

"Jadi namanya Minwoo? Apa itu gabungan namaku dan namamu?" Mingyu justru mengalihkan pembicaraan. Tersenyum memandangi si bocah tampan yang sedari tadi memandangi keduanya. Ia tersenyum semakin cerah saat menyadari wajah Minwoo seperti duplikat wajahnya.

Namun lagi-lagi Wonwoo menghindar. Menggenggam erat tangan anaknya dan memundurkan langkahnya. Berusaha menolak Mingyu yang mencoba menepis jarak mereka.

"Kau masih berpikir aku memiliki istri dan anak?" Dan untuk kesekian kalinya Wonwoo bungkam. Karena baginya, sebuah kesalahan kalau Mingyu memasuki kehidupan mereka. Meski Minwoo darah daging Mingyu, tapi ia tidak ingin mengambil kebahagiaan orang lain.

Kali ini Mingyu hanya tersenyum. Dan beralih memandangi Minwoo yang memandangnya intens. Ia jongkok untuk menyamakan tingginya dengan Minwoo. Meski jarak cukup kontras memisahkan mereka.

"Hey jagoan," sapa Mingyu lembut. Tersenyum namun tidak sesuai dengan matanya yang berair. Perasaannya campur aduk melihat si kecil di depannya.

"Apa permintaan maaf berlaku di sini?" tanyanya penuh sesal. Terbayang saat membentak Minwoo dan membuat anak di depannya menangis.

"Minu tidak malah. Jadi Ahjucci jangan minta maaf. Kata Mommy, tidak boleh membenci olang. Tapi Minu hanya cedih. Tapi cekalang Minu tidak cedih lagi kalena Minu tidak mau membuat Mommy cedih."

Mendengar kalimat polos itu, Mingyu justru menunduk. Terisak tanpa suara dan membiarkan air mata membasahi wajahnya. Ia tidak peduli karena tampak begitu lemah. Andai ia bisa lebih cepat, ia bisa membesarkan bocah tampan itu bersama dengan Wonwoo. Yang pasti, tidak ada panggilan 'ahjussi' yang terasa begitu menyakitkan.

"Minu cudah katakan tidak malah, tapi kenapa cekalang Ahjucci cedih?" tanya Minwoo lagi. Wonwoo yang masih menggenggam tangannya hanya membisu. Mencoba membendung air matanya yang terus mendesak keluar.

"Jangan sebut ahjussi. Coba katakan daddy," ucap Mingyu. Mencoba tersenyum dan berulang kali menyeka air matanya. Namun yang ditanya justru menunduk sedih.

"Ahjucci cekalang cudah jadi daddy Camuel, bukan daddy Minu."

"Jadi Minwoo juga berpikiran seperti, Mommy?" Minwoo mengangguk.

"Tapi bagaimana kalau daddy katakan anak daddy di dunia ini hanya satu? Samuel itu bukan anak daddy. Karena Samuel punya daddy dan mommy." Saat Minwoo mengerjap bingung, Wonwoo justru kembali terisak. Ia membekap mulutnya agar isakannya tidak pecah. Harapan dan rasa bahagia itu langsung menyapa hatinya mendegar ucapan Mingyu.

Mingyu membawa tubuhnya berdiri. Berjalan mendekati Wonwoo yang kali ini tidak lagi menghindar.

"Bagaimana mungkin aku bisa menikah dan memiliki anak saat kau sudah membawa semuanya tanpa sisa? Cintaku, kebahagiaanku, harapanku, bahkan anakku. Aku berdiri di sini, bertahan di sini, karena kau dan anak kita. Aku bertahan demi kalian."

Kali ini Mingyu berucap lembut. Memandangi Wonwoo yang hanya mampu menunduk dan menahan isakannya.

"Aku mencari kalian dengan harapan kalian mengizinkanku memasuki kehidupan kalian. Berharap kau bersedia memberiku kesempatan untuk membesarkan anak kita bersama-sama. Aku mohon jangan menjauh lagi Wonwoo-ya, aku lelah menahan rasa bersalah ini. Aku tidak ingin menanggung rindu ini sendirian."

Wonwoo bisa merasakan ketulusan kalimat Mingyu. Saat ia mengangkat pandangannya, Mingyu tersenyum lembut dan memandangnya memohon. Memohon untuk tidak menjauh dan memisahkannya dari anaknya.

"Aku ... aku ...."

Wonwoo tidak mampu berucap. Namun isakannya teredam saat Mingyu langsung memeluknya erat. Memeluknya dan menyalurkan kerinduan yang sama-sama mereka pendam bertahun-tahun. Bahkan cinta di hati mereka tidak memudar meski terpisah waktu dan jarak. Masih terus bersemi seperti awal mereka jatuh cinta dulu.

"Jangan pergi lagi. Izinkan aku membahagiakanmu dan anak kita."

Minwoo kecil langsung melepas genggaman tangan Wonwoo. Untuk pertama kalinya ia tersenyum saat melihat ibunya menangis. Karena ia tahu tangisan Wonwoo adalah tangisan bahagia.

"Welcome Daddy," batinya senang.

_________♥_________

"Apa selama daddy tidak ada Minwoo menjaga mommy dengan baik?" tanya Mingyu dengan berbisik.

"Tentu caja. Minu adalah cupelhelo telhebat mommy," jawab Minwoo bangga dengan ikut berbisik seperti ayahnya.

"Minu sudah memberikan semua cinta Minwoo untuk mommy selama daddy tidak ada?"

"You know, Dad? Not even the best thieves could steal my love for my mom."

Spontan Mingyu langsung tergelak. Menggeleng tidak percaya dengan jawaban anaknya. Ia tahu Minwoo adalah anak yang cerdas, tapi ia tidak tahu akan secerdas ini. Ia yakin Wonwoo akan lebih menerima cinta Minwoo kalau mereka berdua menyatakan cinta secara bersamaan.

"Oh God. Minwoo belajar dari siapa?" tanyanya masih belum bisa percaya.

"Karena Minu anak Daddy."

Dan lihatlah! Bahkan pertanyaannya dijawab dengan kalimat yang membuat senyumnya terkembang. Ia benar-benar mengaku kalah dari anaknya. Mungkin kalau Mingyu semahir anaknya, ia bisa dengan mudah mendapatkan Wonwoo. Tidak akan membutuhkan waktu hingga selama ini.

"Jangan ucapkan kata-kata seperti itu untuk semua orang Minwoo-ya. Daddy tidak bisa membayangkan akan berapa anak gadis yang akan menyeret orang tuanya ke mari," keluhnya terlalu berpikiran jauh. Sedangkan Minwoo hanya memasang wajah bingung.

"Daddy, ayo kita kelual! Cepeltinya mommy cudah lupa."

"Kenapa daddy tidak yakin? Sebentar lagi mommy pasti—"

"Kalian benar-benar akan terus bersembunyi?" suara menggelegar Wonwoo membuat keduanya membungkam mulut masing-masing. Beruntung rumah Mingyu memiliki halaman cukup luas. Tidak mengganggu tetangga sebelah dengan omelan Wonwoo.

"Dad, bagaimana kalau mommy datang ke cini dan menemukan kita?" bisik Minwoo.

"Kita harus berlari sebelum mommy menemukan kita."

Sepasang ayah dan anak itu keluar dari tempat persembunyian. Berlari menuju taman belakang yang sudah Mingyu sudah sebagai tempat bersantai.

Mereka berlari karena tidak ingin memakan sayuran yang Wonwoo masakkan. Minwoo benar-benar meniru semua yang ada padanya. Selain wajah yang begitu mirip, Minwoo bahkan meniru Mingyu yang tidak menyukai sayuran. Sayur seperti musuh bagi keduanya. Namun dengan kejam Wonwoo selalu memasakkan sayur untuk menu makan siang mereka.

"Jadi kalian benar-benar tidak mau memakan masakan, mommy? Padahal mommy sudah bersusah payah memasaknya. Mommy jadi sedih."

Mendengar kalimat itu, Minwoo menghentikan langkahnya. Berbalik dan memandang Wonwoo yang menunduk sedih di ambang pintu.

"Don't be sad, Mom."

Minwoo langsung berlari ke arah Wonwoo. Meninggalkan Mingyu yang cengo di tempat. Lagi-lagi ia dikhianati si kecil.

"Mommy tahu Minu cangat menyayangi Mommy kan? Jadi jangan cedih. Minwoo akan memakannya untuk Mommy acalkan Mommy mau tecenyum lagi."

Lihatlah! Mingyu benar-benar kalah telak. Tidak hanya mendapat senyuman manis, Minwoo mendapat pelukan dan kecupan di pipinya. Saat Wonwoo menggendong bocah cerdas itu memasuki rumah, Minwoo mengedipkan sebelah matanya untuk Mingyu. Yang lagi-lagi membuat Mingyu menggeleng tidak percaya.

"Ya Tuhan, haruskah aku belajar dari anakku sendiri?" tanya Mingyu takjub.

"Aku harus benar-benar hati-hati kalau anak itu beranjak remaja. Bisa merepotkan kalau seperti ini."

Dengan langkah lesu, Mingyu memasuki rumahnya. Rumah yang ia tinggali bersama Minwoo dan Wonwoo. Setelah meresmikan hubungan mereka, ia memboyong keduanya untuk tinggal di rumahnya. Membuat hidupnya terasa begitu lengkap dan dipenuhi warna.

Minwoo yang melihat Mingyu mendekati mereka dengan wajah lesu, tersenyum lucu. Bukan sekali dua kali makan siang mereka didahului dengan acara bersembunyi dan berlari. Meski pada akhirnya Wonwoo yang menang karena keduanya akan menurut dengan terpaksa.

"Cekalang, Mommy tidak akan cedih lagi. Kalena di cini cudah ada dua cupelhelo yang menjaga Mommy. We love you, Mom."

_________♥_________

FIN

_________♥_________

Continue Reading

You'll Also Like

93.5K 6.7K 23
Kumpulan cerita kehidupan Joshua Hong bersama Lee Seokmin. - semi baku - Selamat membaca! ❤
9.3K 800 15
Berisi karya-karya dari penulis blog yang tokohnya aku ganti jadi NielWink. Kumpulan oneshoot, twoshoot, dll. Pokoknya isinya tentang NielWink!!
430K 987 2
Mereka dipisahkan paksa karena perbedaan status. Kini Dinar justru mendapat lamaran dari pria yang sama, namun untuk menjadi istri kedua. *** Lima...
92.2K 10.7K 15
entah Jeonghan harus bersyukur ato nggak, saat ada seorang cowok ganteng godain dia waktu dia lagi kerja.