RUMAH DUKUN

Door Ramdan_Nahdi

322K 28.1K 1.6K

Warga sekitar menyebutnya Rumah Dukun. Rumah yang pernah ditinggali oleh Dukun terkenal desa ini. Rumah terku... Meer

Rumah Dukun
Hamid
Belakang Rumah
Tanah Terkutuk
Kamar Mandi
Cerita Risa
Anak Yang Meninggal
Kamu Akan Mati
Ditumbalkan
Ayah
Tamu
Pohon Mangga
Kami Ingin Darah
Dia Menyerupai Ayah
Sudah Saatnya!
Anak Iblis
Ibu
Bos Ayah
Ayah Datang
Suara Dari Gudang
Wajah di Tembok
Amarah
Bisikan
Air Hitam
Tersangka Utama
Tugas Terakhir
Alternatif Ending

Akhir Sebuah Cerita

8.8K 856 102
Door Ramdan_Nahdi

Aku terbangun di sebuah ruangan yang gelap. Merasakan sakit yang luar biasa di belakang kepala. "Aduh," lirihku saat mencoba menggerakan kepala. Kucoba bangkit, tapi tak bisa. Ada sesuatu yang mengikat tangan dan kakiku.

Tek!

Seseorang menyalakan lampu. Aku reflek memejamkan mata, karena silau. "Maafin aku, Syad," ucap Suara yang mirip dengan Risa. Sontak, aku membuka mata. Benar itu Risa.

"Lepasin aku, Sa!"

"Nggak bisa."

"Sebenernya, mau kamu itu apa?"

"Bukan mauku, Syad. Tapi mau ibu dan ayahku. Mereka membutuhkan tumbal untuk kelancaran usahanya."

"Kamu mau jadi pembunuh?"

"Aku sudah bilang terpaksa."

"Berarti kamu sama bejatnya dengan kedua orang tuamu!"

"Ini semua sudah terlanjur, Syad," ucapnya sembari membuang muka.

"Inget, Sa, dosa syirik itu sangat besar. Apalagi ditambah dosa membunuh seorang manusia yang tak bersalah. Itu sama saja dengan membunuh semua manusia!"

Risa terdiam, lalu menatapku. "Tangan aku sudah berlumuran darah, Syad."

"Insya Allah jika kamu bertaubat, Allah akan mengampuninya."

Risa menatap kedua telapak tangannya. "Tanganku sudah merenggut dua nyawa tak bersalah, Syad. Yang pertama adik tiriku, yang kedua temenku."

Seketika itu, aku teringat dengan Leo  dan Rina. "Maksud kamu Leo dan Rina?"

"Dari mana kamu kenal Leo?" tanyanya, terkejut.

"Aku pernah bertemu dia. Jadi dia adik tiri kamu?"

Risa mengangguk, "Aku yang membuatnya terjatuh di tangga."

"Astaghfirullah. Apa kamu gak merasa bersalah?"

"Tidak, semuanya demi ayah."

"Aku ngeliat Rina dan Leo diikat terus dicambuk sama Kakek Tua yang menyeramkan. Kasian mereka, sudah meninggal pun masih terus disiksa."

"Kamu jangan bohong, Syad!"

"Aku gak bohong, Sa."

Risa membalikan badan. Tak lama, terdengar suara isak tangis. "Apa Allah akan merima tobatku, Syad?" ucapnya, terisak.

"Insya Allah, kalau kamu berjanji gak akan ngelakuin ini lagi."

Risa menoleh ke arahku, kemudian berjalan menghampiri. "Kalau kamu ketemu Leo dan Rina, tolong sampaikan maafku," ucapnya lirih, seraya membuka ikatan.

Kriet!

Pintu kamar terbuka. "Kamu ngapain, Sa!" hardik Ibunya.

"Ibu." Risa tampak kaget.

"Ngapain kamu lepasin ikatannya?"

"Cukup, Bu! Mau berapa banyak nyawa lagi yang dikorbankan?"

"Ibu dan ayah kan udah bilang. Ini yang terakhir!"

"Kalau gitu, ambil nyawa Risa aja!"

"Kamu ini apa-apaan! Sebentar lagi ayah datang. Kalau sampe ayah tau kamu ngelepasin dia, bisa habis kita."

Ibunya Risa berjalan mendekat. Dengan sekuat tenaga aku mengulingkan badan, hingga terjatuh dari kasur. "Lari, Syad!" Risa berusaha menghalangi ibunya.

Aku berusaha bangkit, meski kepalaku terasa pusing sekali. Kemudian berlari ke luar kamar. "Lewat pintu belakang!" teriak Risa.

Kulihat pintu belakang terbuka lebar. Bergegas aku berlari ke sana. Namun, belum juga sampai, kakiku terasa berat sekali.

Kulihat ke bawah, ternyata Sosok Kakek Tua itu sedang memegang kakiku. Aku merapal doa, agar terbebas dari genggamannya. Berhasil!

"Mau ke mana kamu?" Seseorang memegang baju. Ternyata itu ibunya Risa.

"Lepaskan, Bu!" teriakku. "Tolong."

"Jangan teriak!" Ia memukul wajahku hingga aku tersungkur ke lantai. Kemudian menjambak rambutku.

"ARGH!" Aku menjerit kesakitan.

Tok! Tok!

Ada suara ketukan dari pintu depan. "Assalamualaikum!" ucap Seseorang dari luar.

"Risa! Liat itu siapa?" teriak Ibunya.

Risa berjalan ke luar kamar, kemudian mengintip dari balik jendela. "Warga, Bu," ucapnya.

"Argh, sial!"

"TOLONG!" teriakku.

"DIAM!" Ibunya Risa menutup mulutku dengan tangannya. Spontan, aku menggigit tangannya, kencang. Kemudian, ia membenturkan kepalaku ke lantai.

Pandanganku langsung berubah buram. Aku bisa merasakan darah yang mengalir di belakang kepalaku. Kucoba bangkit, tapi tubuh ini rasanya sudah tak bertenaga lagi.

"Mereka jalan ke pintu belakang, Bu."

Samar terlihat ibunya Risa mengambil sebilah pisau. "Jangan, Bu!" teriak Risa.

Kubaca dua kalimat syahadat, lalu memasrahkan semuanya pada Allah. Sebelum pandanganku berubah menjadi gelap.

_________

Perlahan, kesadaranku mulai pulih. Kubuka mata, lalu mengedarkan pandangan. Ternyata aku sudah berada di sebuah mobil. Terbaring di kursi tengah.

"Ayah sama ibu mana?" tanyaku saat menyadari hanya ada aku dan orang yang mengendarai mobil.

"Ayah kamu lagi ngurus Risa dan ibunya," balas Orang yang duduk di kursi pengemudi, sembari menoleh ke belakang. Om Edwin.

"Ini mau ke mana, Om?"

"Rumah sakit."

Aku melihat ke luar jendela. Kenapa jalannya malah menembus hutan. "Kenapa masuk ke hutan?" tanyaku, seraya bangkit.

"Ini jalan pintas." Om Edwin mengambil sebuah minuman dengan botol kaca. "Kamu minum dulu, biar gak terlalu lemes," ucapnya seraya menyerahkan padaku.

Kutatap minuman yang ada di tanganku. Lalu merapal doa yang diberikan Ustad Juned.

PRANG!

Tiba-tiba botol kaca itu pecah. Diikuti suara ledakan di luar. Seketika itu laju mobil menjadi tidak stabil, oleng ke kanan dan kiri.

DUAG!

Mobil menabrak pohon. Hinnga membuat tubuhku terlempar ke luar, menghantam kaca depan. Seketika itu, aku tak sadarkan diri.

________

Tut! Tut! Tut!

Aku membuka mata. Tatapan ini langsung tertuju pada langit-langit yang bercat putih. Kucoba menggerakan leher, tapi tak bisa. Ada sebuah penyangga yang menghalanginya.

Kuedarkan pandangan, terlihat ada alat pendeteksi detak jantung di dekatku. Berarti aku berada di rumah sakit.

Kriet!

Pintu terbuka. Terlihat Ibu masuk ke dalam ruangan. Kami pun langsung berpandangan. "Arsyad," ucapnya sembari menghampiriku.

"Bu," balasku, pelan.

Ibu memeluk tubuhku, lalu menangis. "Jangan nangis, Bu," ucapku.

"Ibu takut banget kalau gak bisa ketemu kamu lagi."

"Ibu tenang aja. Anak ibu ini kuat."

Butuh waktu sepuluh hari, sampai aku diperbolehkan pulang ke rumah.Selama di rumah sakit, ibu dan ayah selalu menolak saatku bertanya tentang kejadian di rumah Risa.

Hari ini, akhirnya aku bisa kembali ke rumah. Bukan rumah baru, melainkan Rumah Dukun itu. Mobil melaju melewati jalan desa. Saat melewati rumah Risa, kulihat ia sedang berdiri di teras sembari melihat ke arah mobilku.

Ngik!

Mobil berhenti tepat di depan rumah. Aku pun bergegas turun. Lalu melihat ke arah rumah Risa, ia sudah tidak ada di sana.

"Bu," panggilku.

"Ya?" sahut Ibu.

"Ibu janji bakal nyeritain semuanya kalau aku udah sembuh."

"Iya, nanti. Baru juga sampe."

Aku duduk di ruang tengah, menonton televisi. Tak lama, ibu datang menghampiri, lalu duduk di dekatku. "Kamu mau tau ceritanya?" tanyanya.

Aku mengangguk cepat.

"Jadi, waktu kamu ngilang. Ibu, Ayah dan Ustad Juned udah nyari ke sekitaran rumah tapi gak ketemu. Sampai ...."

Sampai, Ayah menemukan sebuah batu berlumuran darah di dekat makam. Pada saat itu, ia menyadari bahwa aku diculik seseorang.

Ayah dan Pak Ustad meminta bantuan warga untuk mencari keberadaanku. Namun, sampai sore hari, belum juga bertemu. Warga pun tak melihat ada mobil yang melintasi jalan desa di pagi itu. Sehingga, satu-satunya tempat yang dicurgai adalah Rumah Risa.

Ayah, Ustad Juned, Pak RT dan beberapa warga datang menghampiri rumah Risa. Di saat itulah mereka mendengarkan suara teriakanku.

"Waktu ayah masuk ke dalam rumah. Ayah liat kamu udah tergeletak di lantai, bersimbah darah. Di sebelah kamu ada Risa yang juga tergeletak bersimbah darah, dengan pisau yang masih nancep di perutnya," cerita Ibu.

"Jadi ... Risa udah meninggal?"

"Iya."

Lantas siapa yang aku lihat tadi? Mungkin kah itu hantu Risa?

"Waktu itu, ibu langsung lemes. Ngeliat ayah lari sambil bawa kamu yang berdarah. Beruntung Pak Edwin datang tepat waktu. Dia langsung bawa kamu ke rumah sakit, tapi ...."

"Tapi, Om Edwin itu orang jahat," selaku.

"Kamu udah tau?"

"Iya, Bu."

Ayah menyadari kalau Om Edwin jahat saat salah satu warga menemukan sebuah foto keluarga. Di sana ada Risa, ibunya dan Om Edwin yang ternyata ayahnya Risa.

"Ayah dan Ustad Juned udah berusaha ngejar, tapi gagal," ucap Ibu. "Sampai ada laporan, kalau ada mobil tabrakan di jalan sekitar hutan. Ternyata itu mobil yang kamu tumpangi."

Ayah menemukan tubuhku tergeletak di tanah. Sementara Om Edwin sudah meninggal di tempat. Dari cerita yang beredar pasca kejadian itu. Aku mengetahui kalau ternyata Om Edwin adalah anak dari sang dukun. Sedangkan Kakek Tua yang menerorku adalah jelmaan ayahnya alias Sang Dukun yang tubuhnya ditemukan mengering di gudang. Berarti selama ini firasatku benar.

Ada desas-desus yang beredar di warga, kalau sosok ayah Risa yang selama ini dikenal warga, ternyata bukan ayah kandungnya. Bahkan, warga berpikir kalau pria itu telah dijadikan tumbal pesugihan. Karena kematiannya yang begitu mengenaskan. Sama halnya dengan Leo dan ibunya, yang ditumbalkan oleh Om Edwin.

_________

Kini sudah hampir dua bulan aku tinggal di rumah ini. Meskipun beberapa kali ada gangguan, tapi tidak seekstrim dulu. Paling hanya terlihat sekelebatan di sekitar tangga dan gudang.

Pohon mangga pun sudah terlihat rapih dan terawat. Aku tak pernah lagi melihat sosok menakutkan di pohon itu. Kecuali, di pohon beringin. Entah kenapa, beberapa kali aku melihat Kuntilanak sedang duduk di salah satu batang pohonnya.

Ada satu sosok yang selama dua bulan terakhir sering kulihat. Risa. Aku sering melihatnya berjalan-jalan mengitari rumah. Terkadang ia hanya duduk saja di teras dengan tatapan kosong.

Warga yang tinggal di dekat rumahnya pun kerap kali mendengar suara berisik dari dalam rumah. Serta suara tangisan Risa yang menyayat hati.  Sementara itu, aku mendapatkan kabar kalau ibunya kini dirawat di rumah sakit jiwa. Itu balasan untuknya, meski tidak sepadan dengan nyawa orang-orang yang dikorbankan.

"Arsyad," panggil Tio, teman baruku di desa.

"Oit," sahutku seraya bangkit dari kursi, teras.

"Maen bola, yuk!"

"Ayok!"

Aku berlari bersamanya, menuju lapangan.

"Eh, Syad. Lu jadi ke pesantren?" tanya Tio.

"Kayanya begitu, Yo."

"Yahh ... gua jadi gak bisa minta mangga lagi dong."

"Tinggal ambil aja, Yo. Tapi jangan lupa minta izin ke penghuni pohon itu."

"Tuhkan! Ngeri ah gua!"

Aku pun tertawa.

"Syad!" teriak teman-temanku yang sudah menunggu di lapangan. Hampir setiap sore, aku bermain dengan mereka sampai menjelang magrib.

SEKIAN

Ga verder met lezen

Dit interesseert je vast

24.1K 16K 72
WARNING!!! SEBELUM BACA INI MARI KITA BERTEMAN DAN SESUDAH BACA SILAHKAN TINGGALKAN JEJAK AGAR KITA TRUS BERTEMAN. Yup terimakasih! Desa ini terletak...
49.9K 1.8K 9
Cerita2 ini merupakan kisah nyata dari berbagai macam pengalaman orang. Cerita2 ini akan merayapimu dengan mimpi mimpi buruk, jangan baca sendirian...
36.8K 1.5K 36
Cerita ini menceritakan aku , teman - temanku, serta kekasihku yang melakukan pendakian. Pendakian kali ini hanya untuk hiburan, tapi karena kecerobo...
25.6K 740 40
β€’BUDAYAKAN FOLLOW DULU SEBELUM BACAβ€’ Setelah meninggalkan tempat dirinya di lahirkan, Erlang pergi nge-kost. Tidak di sangka juga, Tetangga nya adala...