Playlist ~ Mockingbird (Eminem)
Please sambil dengerin playlist biar feelnya dapet:"
__________
"Lah? Rumah saya nggak deket-deket banget, Pak, lagian nggak ada makanan juga di sana." Ucap Rasel.
"Kenapa?"
"Karena kita tidak punya uang!" Timpal Rasel dengan nada yang diucapkan Pak Prabowo dalam pidatonya.
Rafi berdecak dan menggaruk kening glowing nya dengan jemari lentik, "Haduh, mangkanya jangan perawatan terus."
"Saya 'kan udah nggak jadi pandu karaoke alias LC lagi, jadi anjlok banget harus ngirit." Tutur Rasel. "Tapi nggak masalah, yang penting udah nggak dipangku-pangku lagi."
Dengan gerakan gemulai, Rafi merogoh saku belakang celananya dan mengambil dompet merah muda miliknya dari sana. Sontak saja hal itu membuat Rasel bergidik ngeri.
Pink?
Namun, sesaat kemudian, gidikan ngeri itu berubah menjadi haru. Jemari lentik Rafi ternyata bergerak untuk mengambil beberapa lembar uang berawarna merah dan memberikannya langsung pada Rasel.
"Buat perawatan biar cetar kaya eke." Tutur dosen itu sembari memberikan uangnya. "Kucel banget kamu kayak nggak pernah ke salon."
Apa dia bilang barusan? Baru saja Rafi mengatakan bahwa Rasel kucel? Memang nyatanya gadis itu tak memiliki dana lebih untuk merawat kecantikannya seperti dulu lagi. Percayalah, segala yang ia prioritaskan adalah adik-adiknya.
Rasel menggeleng menolak pemberian itu, "Nggak usah, Pak, saya nggak semenyedihkan itu kok." Melihat ekspresi Rafi yang diam seakan tidak percaya membuat Rasel berdecak. "Yaudah ayo kalo nggak percaya ke rumah saya."
"Oke cyn ayo."
Mereka melaju menggunakan kendaraan milik Rasel. Rafi tidak ingin mendendarai miliknya sendiri karena ia merasa begitu malas hari ini. Lagi pula untuk apa membawa 2 kendaraan dengan tujuan yang sama?
Setibanya di rumah Rasel, benar saja. Rasel bukanlah orang yang kekurangan harta dari penampakan rumah dan mobilnya. Namun mengapa anak itu bekerja terlalu keras untuk menjadi tulang punggung keluarganya?
Mata Rasel menyipit kala melihat laki-laki di atas motor memakai jaket hijau khas ojek online. "Rama order makanan kah?" Gumamnya.
"Rama? Siapa tuh?"
Rasel menoleh sebelum ia mematikan mesin mobilnya, "Adek saya."
Sesaat setelah turun dari mobil, bukan main keterkejutannya ketika menyadari kalau laki-laki di atas motor dengan jaket hijau itu tidak lain tidak bukan adalah adiknya sendiri. Astaga, benar sekali itu Rama!
"Rama kamu apa-apaan sih?!" Pekik Rasel yang memergoki itu semua.
Sontak saja laki-laki yang lebih muda dari Rasel itu terkejut kala kakaknya pulang lebih cepat dari ucapannya tadi. "Kak Sel kok udah pulang?"
"Jawab kakak!" Bentak Rasel pada Rama. "Apa maksudnya kamu kerja begini?! Kurang uang yang Kakak kasih buat kamu sama Adek?!"
Rafi yang menyaksikan itu semua perlahan tapi pasti bergerak mundur. Rasel benar-benar mengerikan jika gadis itu emosi. Seakan khodam-khodam yang ada dalam dirinya keluar semua.
"Cuma pengen bantu Kak Sel. Biar Kak Sel ngga berusaha sendirian terus. Lagian aku juga udah gede, Kak."
Astaga, Rasel mengusap rambutnya frustasi mendengar alasan adiknya itu. "Kamu nggak usah macem-macem lah! Belajar! Fokus buat masa depan kamu dulu. Urusan uang biar Kakak yang cari. Nanti kalo kamu udah waktunya kerja baru Kakak izinin."
"Tapi Kak Sel juga mesti fokus kuliah 'kan?" Tanya Rama balik. "Kak Sel juga mesti belajar 'kan?"
"Ram!" Tegur Rasel yang semakin tak sabar. "Bokap nyokap cabut dan nggak ninggalin apa-apa buat kita selain ni rumah yang bahkan nggak tau kemana sertifikatnya itu bukan alasan kamu nggak sekolah!"
Eh?
Rafi yang menyimak itu semua semakin berdebar. Fakta-fakta mengenai Rasel akhirnya bisa ia ketahui. Jujur, ia tak pernah menyangka di balik sosok Rasel yang keras ada jiwanya yang lunak pada adiknya.
Seburuk apa masa lalu gadis muda yang malang itu?
"Aku sekolah, Kak. Aku udah pulang baru narik!" Jawab Rama yang tak kalah kerasnya dengan Rasel.
"Sejak kapan? Sejak kapan kamu kerja diem-diem gini?!" Tanya Rasel dengan emosinya yang membara. Ia tidak menginginkan adiknya harus turut serta mencari nafkah juga. "Jangan bilang selama ini kamu bohong?"
Rama diam, ia enggan menjawab pertanyaan kakaknya itu. "Aku udah bukan bocah lagi, Kak. Aku udah SMA, udah bisa nyari penghasilan sendiri." Tutur Rama dengan nada yang melembut. "Aku nggak mau jadi beban buat Kakak sama pacar kakak itu."
"Pacar?" Jemari Rafi menunjuk dirinya sendiri, "Ek—Saya?"
"Ram, denger Kakak." Sahut Rasel. "Nggak ada alesan kamu kerja lagi. Kakak nggak izinin. Sekolah yang bener buat masa depanmu. Sisanya biar Kakak yang cari."
"Bahkan buat beli susu adek aja Kak Sel pontang-panting 'kan?" Tanya Rama balik pada gadis di depannya.
Memang benar, fase hidupnya sedang berubah lagi semenjak dirinya bukan lagi pandu karaoke. Penghasilannya berkurang, tak sebanyak dulu. Sementara kebutuhan hidupnya semakin bertambah.
Rasel menggigit bibir bawahnya perlahan, hatinya sedikit tergores mendengar fakta kalau Rama mengetahui sesuatu yang berubah dari penghasilannya.
"Kata siapa?" Tanya Rasel pada adiknya itu. "Kamu nggak percaya sama Kakak? Apapun itu alasannya, Kakak usahain segalanya buat kamu sama Adek, kamu paham?!"
Rafi yang dari tadi menyaksikan adegan itu mengerti gerak-gerik Rasel seperti tersinggung dengan ucapan adiknya barusan. Mulut pria kemayu itu akhirnya mengeluarkan suara deheman.
"Maaf ya sebelumnya saya ikut campur," Ucapnya dengan berat suara Rafi. "Tapi menurut saya, baik Rama maupun Rasel kalian sama-sama masih di usia produktif buat belajar. Menurut saya nggak ada satu alesan yang mewajibkan Rasel ini bertanggung jawab."
"Pak Rafi!" Seru Rasel yang tambah emosi mendengar penuturan Rafi tadi. "Nggak usah ikut campur!"
Rama menganggukkan kepalanya, menyetujui apa yang Rafi katakan. "Aku setuju sama itu. Aku juga nggak tega liat Kak Sel harus kerja sampe malam. Padahal aku yakin tugas kuliah juga nggak sedikit."
"Kalo kamu kerja, Adek sama siapa, Ram? Bisa nggak sekali aja kamu mikir lebih jauh?!"
"Aku titip temen." Ujar Rama dengan tegas. "Dia mau jaga Adek selama aku kerja."
Semakin mendengar itu, kepala Rasel semakin pening. Adiknya ini memang masih usia remaja labil, belum bisa sepenuhnya ia percaya untuk mengurus adik bungsunya.
"Kalo Adek diapa-apain sama temen kamu gimana? Kalo dia nggak becus jaga bocah gimana? Kalo dia kenapa-napa kamu mau tanggung jawab?"
"Tunggu dulu," Sahut Rafi, "Temenmu cewek apa cowok, Ram?" Tanya Rafi.
Rama terdiam sebentar, dia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Cewek."
"Aishhh itu mah bukan temen kaleee tapi pacar, Sel!" Nyinyir Rafi. "Temen mana mau dititipin bocil ngerepotin."
Buru-buru Rama menggoyangkan telapaknya ke kanan dan kiri, tidak setuju dengan apa yang Rafi katakan tadi.
Rama di sekolah cukup populer. Banyak penggemar karena sifat dan penampilannya yang memikat. Namun, Rama belum menemukan belahan jiwanya di sekolah itu seperti cerita fiksi remaja pada umumnya.
Dunia remajanya sangatlah flat. Hampir kosong.
Tapi entah mengapa, setelah Rama mengenal gadis yang dengan sukarela dan kelapangan hatinya bersedia mengasuh adik Rama selama cowok itu bekerja, setelah itu juga Rama merasakan sesuatu yang berbeda.
Tangan besar Rama merogoh waist bag yang ia gunakan. Sesaat setelah menemukan apa yang dia cari, ia segera mengulurkan tangannya dan memberikan benda itu pada Rasel.
"Ini susu beruang buat Kak Sel," Tuturnya mengingat peristiwa tadi pagi. "Lain kali utamain Kak Sel sendiri dulu, sebelum mikir aku sama Adek."
[ B A Y I D O S E N K U 2 ]
"Maka bertakwalah kepada Allah, dan tempuhlah jalan yang baik dalam mencari rezeki. Tempuhlah jalan-jalan mencari rezeki yang halal dan tinggalkan yang haram.” (HR. Ibnu Majah)
Karena lama ga update, mau double up? Komen ya!
Masih inget? Ini berkaitan sama part Sapu Tangan yang Rasel ngasih susu beruang ke adek2nya