"Gak ada mesin penghitung yang mampu menghitung harga kemanusiaan." -Raksa Kanagara
***
Senin.
Hari paling sakral dalam dunia persibukan semua orang. Terbukti bagaimana riuhnya seluruh siswa siswi Padja Utama di lapangan sekolah ini, mereka berbaris di setiap deretan kelasnya masing-masing.
Upacara pagi dilakukan di bawah terik matahari yang semakin memanas. Hari pertama sekolah dan hari pertama upacara yang mungkin durasinya akan lebih panjang dari biasanya, mengingat ini adalah tahap awal di semester dua, membayangkan pidato kepala sekolah nanti membuat Alda langsung pegal berdiri, malah sudah membuat gadis itu malas untuk berada di sana, apalagi sahabatnya yang belum terlihat batang hidungnya sama sekali membuat Alda merasa kesepian.
Alda menyipitkan matanya, sedari tadi matanya berkelana mencari-cari sosok yang memang seharusnya ada di barisan kelasnya, namun nihil, orang itu tidak ada.
Alda langsung berjengit saat bahunya di tepuk, ia menoleh ke belakang dan mendapati Syabina yang bergabung di barisan dengan napas tidak teratur.
"Gua.. telat yah?" Ujar Syabina yang tampak kelelahan karena berlari ketika datang ke sekolahnya, tidak membuang waktu Syabina menitipkan tasnya kepada Divel dan langsung masuk ke barisan.
Alda mengerling malas. "Masih nanya?"
Syabina mendengus. "Lo harus tau kalo gua dapet fenomena langka hari ini,"
"Saking langkanya gua udah gak mau denger dongeng tidur lo lagi Bin." Balas gadis itu sedikit terkekeh.
"Gua telat bareng Divel, dan semua temennya," ujar Syabina membuat Alda membalikan badannya 30° ke kanan.
Alda mencondongkan tubuhnya kebelakang. "Terus-terus?"
Syabina terkekeh geli. "Liat aja nanti setelah ini." Jawab Syabina membuat Alda mendengus kesal merasa di gantung.
"Gua dendam kesumat sama orang tukang gantung, Bin." Desis Alda.
Syabina tersenyum geli, ia menunduk, secara tidak sengaja matanya menangkap sesuatu yang janggal di punggung tangan Alda. Syabina mencondongkan tubuhnya. "Tangan lo kenapa di plester?"
Alda terdiam, ia berdehem sedikit. "Kena air panas." Bohongnya, sebenarnya itu adalah jejak imfusan karena Alda di rawat kemarin.
"Tuh kan makanya hati-hati.. Kalo gak bisa masak mending beli aja." Balas Syabina.
Alda mengerling malas saat mendengar sahabatnya itu mulai cerewet lagi. "Gua rebus air doang gak mungkin beli, maemunah." Tekan Alda gemas.
Sedangkan Syabina menahan tawanya dan lanjut memperhatikan pembaca Undang-undang Dasar di depannya. Jujur ia cerewet karena benar-benar khawatir. Alda harus di jaga. Bagi Syabina, sahabat adalah segalanya.
"Berdiri."
Suara Pak Dino selaku guru BK cukup menarik atensi siswa-siswi Padja Utama. Semua mata menatap ke arah depan tepat dimana 7 siswa laki-laki dengan seragam yang keluar dari celananya itu tengah di giring untuk berbaris disana.
Seperti biasa, buronan favorit BK yang selalu berbuat ulah, Raksa dan teman-temannya.
Alda menyipitkan matanya. "Galuh?" Monolog Alda saat melihat sosok yang entah bagaimana bisa ada di sana. "Ngapain dia di sini?"
"Katanya murid baru." Bisik Syabina.
***
Sebut saja kesiangan. Begitulah alibi mereka ketika di tanyai Pak Dino saat terlambat datang ke sekolah.
Meski dengan terkantuk-kantuk karena baru saja pulang pukul 2 pagi dari kegiatan mereka muncak kemarin. Banu rela tidak mandi terlebih dahulu, Banu harus rela parfumnya terkuras setengah, meski sudah menyemprotkan parfum setengah botol tetap saja bau nya hilang karena terkena terik matahari sekarang. Bahkan Gibran sempat-sempatnya menguap seraya menghormat tiang bendera.
"Ya allah, baru juga bangun gua, nyetir aja sambil merem, udah di suruh berdiri aja sama si botak." Keluh Arza.
Gibran menguap lagi. "Ngwantok gwaahhh," ucapnya dengan nada malas.
Divel hanya melirik mereka sedikit, kemudian fokusnya terarah lagi ke koridor atas, dimana Syabina tengah memperhatikannya bersama Alda. Divel tersenyum tipis, membuat Syabina langsung kegirangan di tempatnya.
"Emang bener hari senin tuh vibes nya kaya neraka." Celetuk Kenzo saat karena terik matahari sudah membakar seluruh tubuhnya.
"Gini Jo, rasanya masa depan lo. Hayati dan resapi." Kata Gibran membuat Arza terkekeh.
"Emang enak ya Vel punya cewek, udah sedia air minum nih pasti." Ujar Banu dengan rasa irinya.
"Makanya jangan jones." Balas Divel membuat mereka terkekeh.
Ternyata berdiri di menghadap tiang bendera tidak terlalu buruk, asal masih bisa tertawa bersama mereka bagi Raksa itu sudah cukup.
"Gal?"
Galuh yang berdiri sejak tadi menoleh ke arah sang ketua. "Apa?"
"Baru lo doang yang baru masuk langsung buat kasus." Ucap Raksa.
Cowok berjaket denim itu terkekeh geli. "Gua kira gua lebih alim dari lo Sa, ternyata engga."
"Baru juga masuk, udah di cap jadi buronan Pak Dino." Kata Arza.
"Emang lo doang Gal, yang masuk ke sini make baju kek mau nongkrong." Protes Kenzo melirik jaket Galuh membuat cowok itu melirik jaket denimnya.
Galuh terkekeh. "Berarti kedatangan gua bersejarah dong Jo. Udah cocok nih gua jadi anak IPS." Katanya bangga.
"Paling nanti masuk kelas langsung mokad. Lo pikir gua gak tau kelakuan lo di sana? Hobi tidur, boro-boro masuk ipa, masuk ips aja belum memadai." Balas Arza dengan ucapannya yang pedas seperti biasa.
"Gak papa Za, asal gua bisa masuk ke hati ciwi-ciwi di sini mah aman. Kalo bisa harusnya gelar karpet merah buat gua." Kata Galuh.
Keberadaannya memang mampu menyita seluruh atensi siswa yang berjalan di sana. Suatu hal yang terlihat baru dan menarik di sekumpulan orang-orang itu.
"Anak baru ya?"
"Itu siapa?"
"Ih ganteng banget." Bisik mereka yang hendak meninggalkan koridor.
Rasanya Galuh ingin cepat-cepat masuk ke kelas barunya dan berkenalan dengan semua orang di sini. Andai Dargez tidak rahasia, mungkin Galuh akan tebar pesona dan mengatakan dirinya adalah wakil ketua di sana dengan bangga.
Galuh yang dari asalnya memang nakal hanya berdiri dengan kedua tangan yang terpaut di belakang.
"Hormat Gal." Tegur Raksa.
Galuh mengangkat tangannya dengan malas. "Kenapa harus hormat, lagian cuma bendera."
Raksa hanya menatap tiang di depannya, lalu bersuara. "Bukan cuma bendera, tapi hormat dari tangan kanan lo sebagai bentuk terimakasih bahwa lo hidup di tanah yang udah merdeka." Balas Kanagara bermata elang itu yang cukup membuat darah dalam dada Galuh berdesir.
"Jangan sombong. Darah lo merah, tulang lo putih. Satu kesatuan yang gak akan bisa lo sangkal bahwa tempat lo berdiri punya jasa atas hidup lo." Tuturnya. "Nakal boleh, menghargai harus." Ucap Raksa lagi.
Mereka semua tertegun mendengar ucapan sang ketua. Dengan satu kalimat yang sama-sama terbesit dalam hati mereka. "Nah, ini ketua gua."
"Jangan bilang lo ngajakin kita bolos cuma buat hormat ke bendera setiap saat Rak." Saut Arza yang sudah merasa gerah karena keringat di tubuhnya semakin banyak.
"Emang, se teladan-teladannya orang belum tentu mereka mau ngehormat selama dua jam kaya kita." Balas Raksa begitu saja membuat teman-temannya kompak mendesah pasrah.
"Seterah lo deh Sa." Desis Galuh.
Beruntungnya Pak Dino tidak menegurnya saat ini, Guru berkepala botak itu sedari tadi mengawasi mereka dari lantai tiga.
Kenzo mendengus menyaksikan reaksi siswi-siswi incarannya yang tampak menatap Galuh penuh kagum. Terlebih kelas XI IPA 2 yang sedang berada di jam pelajaran Penjas senin ini. Dan kebetulan juga ke tujum cowok itu di hukum sejak pagi tadi, mereka berdiri menghadap tiang bendera serta tangan yang terangkat naik menghormat ke depan sana.
"Rak, gua bawain minum buat lo." Ujar salah satu anak XI IPA 2 bernama Zia, dia cukup terkenal di sana, namun Raksa tidak peduli akan hal itu.
"Lo siapa?" Jawab Raksa dingin dengan mata yang masih menatap ke arah tiang.
"Nih Jo! Gua bawain air buat kalian." Ujar Syabina yang datang di ikuti Alda dari belakangnya.
"Kenalin gua Zia, kelas XI IPA 2." Balas Zia yang tidak akan menyerah begitu saja.
"Gua—"
"Alda juga bawain minum buat lo Rak." Kata Syabina yang membuat Alda menatapnya penuh tanya, padahal Syabina sendiri yang sengaja membeli air itu, kenapa harus nama dirinya yang ia bawa?
Zia kesal saat Syabina dengan seenaknya memotong ucapannya tadi. "Lo jangan motong ucapan gua bisa gak?"
"Lah? Emang lo siapa sampai gua harus segan sama lo?" Tanya Syabina.
"Cakep!" Saut Gibran.
Zia mendesis dan menghampiri Syabina. "Lo tadi ngapain motong gua?! Iri lo?! Liat gua deket sama Raksa?!"
"Gua kalo iri juga pilih-pilih kali." Balas Syabina judes. Setelahnya Syabina mencibir. "Deket? Apanya deket, baru juga ngomong satu kata. Deketan Alda lah kemana-mana selalu sama Raksa." Ujarnya memanasi.
Zia menarik napasnya, lalu menatap sinis kepada Alda. "RAKSA JUGA OGAH KALI DI BUNTUTIN SAMA YANG GATEL!" Sentak Zia jengkel.
"Udah gak ngaca, kalah saing, masih bisa ngehina orang. Lucu lo ya?!" Syabina berusaha untuk sedikit lebih tenang meski suaranya mulai meninggi, ia paling benci jika ada yang mengusik hidup temannya.
"Buset dah, cewek lo keren juga Vel," bisik Galuh.
Divel tak membalas karena sibuk memperhatikan Syabina yang tengah berdebat sengit dengan Zia. Cowok itu menghela napasnya dan melangkah mendekat lalu menarik tangan Syabina agar pergi dari sana.
Alda yang melihatnya tersenyum geli, hubungan mereka memang sudah jelas. Gadis itu sedikit melirik ke arah Raksa, tepat tatapan tajamnya sudah terkunci ke arahnya, Raksa menatapnya intens secara terang-terangan. Alda menyerahkan dua botol yang ia bawa kepada Galuh. "Nih Gal, btw selamat, udah jadi murid baru." Ujarnya melempar senyum tipis dan segera pergi.
Kepergiannya tetap tak lepas dari mata Kanagara itu. Galuh menelan salivanya saat merasakan hawa dingin dari tubuh Raksa yang berdiri di sampingnya. Kenzo beserta Arza langsung mengambil minuman dari tangan Gibran dan meneguknya hingga tandas.
"Nih Sa, minum." Kata Galuh gugup. "Mati gua, udah di jemur malah dapet minum dari ceweknya."
Pak Sandi, guru Penjas yang menjadi incaran para siswi Padja Utama mendekati mereka. "Hukuman kalian selesai, lain kali jangan terlambat lagi kalo senin," nasihat pak Sandi.
"Berarti kalo selasa boleh telat dong pak?" Tanya Banu sambil terkekeh membuat pak Sandi menggeleng terheran.
"Pantes pak Dino hampir depresi ngurus kalian," gumamnya dan melenggang pergi.
"Eh, Rak, gua ke kelas dulu ya.. bye," ujar Zia dan pergi bersama teman-temannya yang juga mencuri pandang ke arah Raksa.
Raksa hanya diam dengan tatapan datar dan menusuk itu, ia melirik Dianara yang mendekatinya. "Sorry nih, tadi temen aku bikin ribut aja Rak, maaf kalo ganggu," ujarnya merasa bersalah.
Gadis itu tersenyum tipis. "Btw, buku kamu masih aku pake. Nanti di balikin kok kalo udah selesai, gak papa kan?"
Raksa tak membalas, cowok itu hanya pergi dengan kedua tangan yang berada di saku celana, Galuh dengan sesegera mungkin mengikutinya.
Melihat hal itu Banu tersenyum merasa kasihan. "Dia lagi PMS Ra, maklum," ujarnya.
Dianara tersenyum tipis. "Ya gak papa sih. Yaudah aku pergi," ujar Dianara disambut lambaian tangan dari Gibran, Arza, Kenzo, Serta Banu. Tak lupa dengan senyum hangat mereka, bahkan Banu saja mendadak luluh tatkala dihadapkan dengan gadis seperti Dianara.
"Gua ramal pabrik gula tutup dah Jo, kira-kira jodoh dia gimana ya?" Terka Banu yang kagum dengan sosok Dianara.
Arza mendecak malas. "Yang penting gak sebego lo, Nu," jawab Arza terdengar pedas.
"Dia terlalu bibit unggul, buat lo yang amburadul." Tambah Kenzo semakin sadis.
Banu merasa tetohok, ingin menyangkal, sialnya itu fakta. Ia melayangkan kepalan tangannya kepada Arza. "Ngeremehin jurus gua lo Za? Fakboy sejati nih gua!" Lanjutnya membusungkan dada merasa bangga.
"Fakboy kok bangga," cibir Gibran.
"Jadiannya aja kagak," timpal Kenzo mencibir.
Lagi-lagi Banu harus rela di jadikan bahan gunjingan teman-temannya hari ini. "YA ALLAH YA ALLAH. KUATKAN HAMBA YA ALLAH, DEKATKANLAH GALUH AGAR HAMBA TIDAK MENJADI SASARAN TEMAN LAKNAT SAYA YA ALLAH" rapal Banu, jangan lupakan nadanya yang sangat mendramatisir.
Divel menggeleng heran mendengar ocehan teman satunya itu. Ia memilih merangkul bahu Galuh dan mengajaknya pergi dari area lapangan yang panas. Arza juga merangkul bahu Banu dan mengajaknya keluar dari area lapangan, tangan Arza mengusap wajah Banu seakan sedang membasuh muka temannya itu.
Banu menghela napasnya. "Kalo gua jadi ketua Darz aman gak ya kira-kira?"
Arza dengan senang hati langsung menempeleng kepala teman satunya itu. "Udah dibilangin kalo lo jadi ketua sehari aja Darz musnah Nu."
"Kalang kabut pasti," timpal Kenzo sambil tertawa.
"Liat aja, gua kalo jadi ketua angkatan 13 nanti gua akan balas dendam sama lo semua!" Seru Banu, ia menggeleng-geleng tatkala membayangkan bagaimana dirinya ketika menjadi ketua nanti.
"Haluuuu!" Seru Kenzo.
"Selagi Raksa bernyawa, posisi lo belum mutlak, bahkan jadi anggota inti sekalipun, dia ketua dan dia berhak memecat, memerintah dan membubarkan." Terang Arza panjang lebar.
"Darz itu akan kukuh jika inti utuh." Timpal Galuh dari belakang. "Jadi kalo salah satu dari kita keluar atau dikeluarkan. Sama aja kita bunuh diri di lubang yang kita gali buat musuh, kayanya." lanjutnya.
"Darz itu intinya delapan." Tekan Arza lagi.
"Sekalipun di delapan itu ada penghianat?"
Mereka menoleh ke belakang, secara spontan mereka membuka jalan agar Raksa bisa memimpin barisan dengan Divel disampingnya. Bisikan siswi di lorong utama semakin memanas, apalagi melihat rambut Raksa yang basah karena air, mungkin ia habis mencuci muka.
"Makin rame aja nih kuping gua," saut Kenzo sedikit meringis saat telinganya merasa di tusuk teriakan dari penggemar ketuanya.
"Maksud lo penghianat apa?" Tanya Arza.
Raksa tetap berjalan dengan tatapan datar namun tajam. "Siapapun penghianatnya, dia tetap akan habis." Tekan Raksa mutlak, dari nandanya seakan memberi tahu bahwa itu perintah yang tidak bisa dibantah.
Mereka semakin dibuat tidak paham, tampaknya memang ada yang sedang tidak beres di sini.
"Sekalipun dia inti? Dia harus mati?" Saut Galuh sembari menunggu jawaban Raksa yang sepertinya juga akan menjadi jawaban di masa nanti.
"Tahta kesetiaan tertinggi adalah nyawa anggota. Seandainya anggota berhianat, inti atau tidak, dia mati maka terbukti siapa yang benar-benar bukan pecundang." Balas Raksa sukses membuat bulu kuduk Kenzo merinding.
"Darz itu kukuh karena inti. Kalo salah satu dari kita berhianat?" Tambah Arza bertanya.
Raksa menyeringai. "Kenapa engga? Keadilan di tangan gua." Balas Raksa.
Mereka semua diam mencerna segala apa yang sudah mutlak dan menjadi aturan dalam Dargez.
Raksa menghentikan langkahnya tepat di ujung lorong, keadaanya terbilang sepi, mengingat disini lorong tersebut jarang di lewati karena menuju arah ke area belakang sekolah.
Raksa membalikan tubuhnya. Tubuh tegap, alis tebal, dengan bahu lebar dan tatapan setajam elang itu membuat mereka juga tak ragu kenapa Raksa menjadi ketua Dargez sekarang. Pantas disegani.
"Ini sekolah. Nama Darz gak boleh ada di sini," ucap Raksa yang diangguki oleh mereka. "Itu amanat Bryan sebelum mereka lepas Darz ke gua, hargai." Ujar Raksa lagi.
Banu yang merasa canggung segera menguap, dengan wajah sayu ia merangkul Kenzo. "Bos, bolos yu. Gak kasian lo liat kita berdua kurang asupan gizi?"
Arza mendesah pelan. "Baru juga kelar di hukum udah ada godaan setan aja." cetusnya.
"Lah kan ente temennya!" Seloroh Kenzo.
Gibran merangkul Galuh. "Catat Gal. Hari pertama, telat pertama, dilengkapi bolos pertama!" Serunya.
Raksa menaikan satu alisnya. "Duit siapa?" Tanya Raksa yang memang tahu apa isi rencana otak mereka.
"Ini, ATM kesayangan kita!" Banu menunjuk Arza membuat orang yang di tunjuk mendengus kasar.
"Sial."
Divel menepuk bahu Raksa. "Jangan kebanyakan bolos, olim." Peringat Divel. Tanpa bicara pun Raksa mengerti kemana arah pembicaraan cowok itu.
"Itu mah nanti April, sekarang masih Januari, santuy!" Ucap Gibran.
Divel menghela napasnya. Memang selalu sia-sia jika ia memberi nasehat kepada mereka, jarang di indahkan jadi lebih baik Divel diam saja.
Galuh menghela napasnya, kalimat itu terngiang memenuhi isi kepalanya sekarang.
"Kenapa enggak? Keadilan di tangan gua." Matanya menatap sang ketua, ada rasa yang tidak bisa dirinya katakan saat ini.
"Lo emang ketua paling adil Sa, sampai kapan pun." Celetuk Galuh membuat Raksa mengernyit.
"Maksud lo?"
Galuh menarik sudut bibirnya. "Semua orang tau kalo lo berharga. Makanya lo di jadiin ketua, karena pantes jadi panutan."
Raksa menepuk bahu Galuh. "Gak ada mesin penghitung yang mampu menghitung harga kemanusiaan."
"Yaudah kuy bolos lagi!" Ajak Kenzo.
"Bolos bertujuh! Itu keharusan!" Seru Banu menyebut kalimat kebanggannya, lalu dengan gesit merangkul Galuh untuk cepat-cepat bolos menuju tempat sakral mereka.
"Wabyo." Pungkas Raksa memberi tahu.
Sejujurnya Raksa membolos hanya ingin menepis pikiran yang mengganggunya. Belakangan ini Raksa merasa kurang fokus, tetapi penyebabnya bukan hanya dari nama Alda. Banyak hal lain yang harus Raksa urus secara diam-diam.
****
Aku Up👍
Mau berapa bab? 3/5?
Kalian gak ada niatan ninggalin jejak?
By the way, ada beberapa orang yang bilang kalo visual Raksa kurang pas dan bilang mending visual A, B, C dll. Kalian pilih itu karena mereka bias dan idol kalian sendiri kan?
Sedangkan aku liat fitur wajah sama matanya. Aku pilih Boggi Ken (Visual Raksa) karena bentuk wajah dia yang tegas.
RAKSA
Maaf kalo Raksanya B Aja.
GALUH
GIBRAN
DIVEL
ARZA
KENZO
BANU
KELVIN
Giliran ciwik ciwiknya.
ALDA
SYABINA
GIANA
REMA
D
IANARA
RACHEL
FELICIA
JIVA
Di ketik 2759 kata.
🍬🍬🍬🍬🍬🍬