π™Ύπšžπš› π™³πšŽπšœπšπš’πš—πš’ (#𝟸 𝙴...

By _sidedew

614K 30.9K 2.5K

#Book-2# BIJAKLAH DALAM MEMBACA! 18++ . . . π‘Ήπ’Šπ’„π’‰π’†π’π’π’† π‘ͺπ’“π’†π’”π’†π’π’„π’Šπ’‚ π‘¬π’…π’Žπ’π’π’… π’Žπ’†π’π’šπ’Šπ’Žπ’‘π’–... More

CAST
-Prolog-
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 28
Chapter 29
Chapter 30
Chapter 31
Chapter 32
Chapter 33
Chapter 34
Chapter 35
Chapter 36
Chapter 37
Chapter 38
Chapter 39
Chapter 40
Chapter 41
Chapter 42
Chapter 43
Chapter 44
Chapter 45
Chapter 46
Chapter 47
Chapter 48
Chapter 50
Chapter 51
Chapter 52
Chapter 53
Chapter 54
Chapter 55
Chapter 56
Chapter 57
Chapter 58
Chapter 59
Chapter 60
Chapter 61
Chapter 62
Chapter 63
Chapter 64
Chapter 65
Chapter 66
Chapter 67
Chapter 68 [END]
-Epilog-
EXTRA CHAPTER

Chapter 49

8.2K 447 24
By _sidedew

Playlist : Justin Bieber - Ghost

Ekhem, absen dulu . . .
Sebutkan tempat dimana kamu sedang baca part ini 😚

⚠️🔞⚠️


Kurang lebih sepuluh jam lamanya mereka semua sampai di Bandara Charles de Gaulle dalam waktu yang berbeda, tentu Edmond beserta keluarganya sudah lebih dulu sampai dan beristirahat di penthouse milik mereka.

Sedangkan Richelle kembali tertidur dalam perjalanan darat menuju mansion William di kota Paris-- dua kilometer jaraknya dengan menara Eiffel itu berada.

Alaric sudah mengabari Kenrich maupun David dan meminta izin pada mereka untuk membawa Richelle ke tempat tinggalnya.

Keesokan harinya, Richelle terbangun dalam pelukan Alaric yang bertelanjang dada. Tirai jendela diterpa angin pagi sebab pintu balkon terbuka begitu saja entah sejak kapan.

Tidurnya sangat pulas sehingga masih di jam enam pagi ini ia tidak lagi mengantuk. Tubuhnya yang hanya mengenakkan gaun tidur setengah paha itu-- beranjak dan duduk dari terbaringnya.

Dia tidak perlu bingung siapa yang menggantikan bajunya dengan gaun ini.

Sudah pasti Alaric memang siapa lagi? Pikirnya.

Untuk beberapa saat mata bulatnya memandangi sosok manusia yang baginya terlalu sempurna Tuhan ciptakan. Semakin bertambahnya usia, Alaric justru semakin tampan, dewasa dan errr, sexy.

Wajah berbentuk setengah oval itu memiliki rahang yang tegas disertai jambang tipis yang selalu tumbuh dan tidak pernah dibiarkan semakin lebat. Tatapannya beralih pada bibir merah dengan warna hitam yang tidak begitu kentara mungkin akibat keseringannya merokok. Hidungnya mancung sempurna, juga bulu mata tak lentik namun lebat memayungi kelopaknya yang terpejam. Ia begitu menyukai bentuk dan warna bola mata Alaric yang nyaris selalu menatapnya teduh.

Meninggalkan kecupan singkat di kening pria itu, lantas kedua kakinya menapak lantai berkarpet lembut. Richelle juga membetulkan letak selimut untuk Alaric namun pria itu malah telungkup dari posisi baringnya.

Pintu balkon ia geser semakin lebar, angin kota Paris pun menyambutnya dengan sukacita.

Merentangkan kedua tangannya ke atas seraya menguap pelan. Ah, betapa sejuknya udara di sini. Ia bisa melihat menara Eiffel dari kejauhan juga gedung-gedung yang berjejer abstrak. Morning view yang sayang untuk dilewatkan.

Ia menoleh ke bawah sana dan terdapat beberapa orang yang sepertinya para pelayan yang sedang sibuk dengan pekerjaan mereka di hari yang masih pagi ini.

Dari sini saja ia yakin bahwa tempatnya menginap adalah sebuah hunian mewah dan besar.

Bibirnya memancarkan senyum tipis tat kala melihat deretan pot bunga minimalis yang begitu indah dengan berbagai macam bunga tentunya.

Ada sekitar belasan tanaman yang diletakan di samping kiri balkon tersebut.

Melihat teko siram tak jauh darinya, pun ia mengambil benda tersebut yang kemudian mengisinya dengan air kran sebelum menyirami tanaman.

Seluet tubuhnya tetap terlihat dari kamar, sehingga Alaric tidak bingung ketika wanita itu tidak ada di ranjangnya.

Alaric tidak lekas beranjak, ia memiringkan tubuh-- menyangga kepalanya dengan tangannya seraya menatap lekat pada objek yang lebih indah dibandingkan pemandangan menara Eiffel. Richelle. Bagaimana rambut lebatnya yang panjang tergerak pelan oleh tiupan angin, wajahnya tanpa polesan makeup terlihat dari samping semakin mempertegas bentuk hidungnya yang mancung juga bulu mata yang lentik nan tebal.

Sampai fokusnya tiba pada sepasang kaki jenjang yang nyaris terbuka sempurna sebab gaun tipis berwarna putih gading itu ikut tersingkap apalagi saat ia membungkuk rendah, bokongnya nyaris mengintip nakal.

Lama-lama, Alaric tidak tahan-- ingin lekas menyerangnya di atas ranjang.

Shit!

Richelle masih asyik menyirami tanaman satu persatu sampai tubuhnya tersentak ringan karena kedua lengan kekar yang tiba-tiba memeluknya dari belakang disertai kecupan hangat di pipi kirinya.

"Bonjour." Sapa Alaric dengan suara khas orang bangun tidur disertai kecupan dalam yang ia berikan di pelipis Richelle.

Hanya seperti itu saja Richelle dibuat tersipu karenanya. Entahlah, dia seolah belum terbiasa dengan kemesraan juga keromantisan yang Alaric lakukan.

"Morning.... Kau sengaja menanam mereka?" Menunjuk pada deretan tanaman.

"Bukan, tapi membelinya dan sengaja aku simpan di sini. Apa menurutmu bagus? Maksudku, tidak aneh ada hiasan bunga di balkon kamar ku." Katanya setengah bergumam.

"Tidak, di sini bagus. Tanaman bunga tidak harus diletakkan di kamar wanita saja, toh kau juga pastinya akan beristri." Richelle kembali melanjutkan kegiatannya pada tanaman yang belum ia siram.

"Ya, aku ingin secepatnya menjadikanmu istriku." Katanya terdengar tulus dan penuh harap. Pelukannya semakin erat saja tanpa mengurangi kenyamanan Richelle yang tiba-tiba berdiri kaku mendengar ungkapan Alaric barusan.

"Kenapa kau diam?"

Sontak saja Richelle mendongak dengan mata berkedip cepat. Alaric merasa kecewa dan pesimis karena respon Richelle sekarang ini.

"Apa perkataan ku membuat mu tidak nyaman? Maaf, aku hanya menyuarakan keinginan ku dan berharap ada respon baik darimu."

"Kau.." Richelle menggantung kalimat dan Alaric tidak berniat menyela. "Serius padaku? Bukan menganggap ku pelarian karena kehilangan istrimu? Aku tidak mau menghabiskan sisa hidupku bersama seseorang yang masih menyisakan cinta pada masa lalunya. Katakanlah aku egois. Aku tidak mau berbagi,"

Lagi-lagi pembahasan ini yang dibicarakan. Alaric pikir dengan mereka sudah menjalin hubungan sebagai kekasih, Richelle telah sepenuhnya menerima ia tanpa mengungkit permasalahan yang menjurus pada masa lampau yang kerap kali Richelle cemaskan.

Alaric mengambil benda yang tidak diminati Richelle untuk digunakannya lagi lalu meletakkan teko siram tersebut di space yang kosong.

Memegang kedua bahunya dan menariknya agar mereka saling berhadapan. "Hei.. apa penjelasan ku masih kurang? Apa alasan yang sejujurnya itu tidak juga kau percaya? Lalu dengan cara apalagi aku meyakinkan mu, Ichel."

Alaric lelah. Richelle tahu itu, karena terbukti dari suaranya yang rendah dan sedikit bergetar. Nampak jelas ia mengerang frustasi disertai kesedihan yang terselip di dalamnya.

Kedua pasang netra berbeda warna itu mengunci tatapan masing-masing. Menyalurkan bahasa kalbu yang bersemayam di relung hati mereka. Tidak ada kebohongan yang Richelle lihat di sana. Tidak ada keraguan atau tipu muslihat yang terpancar di mata itu. Yang ia lihat hanyalah permohonan disertai kelulusan yang berpendar nyata di sana.

Dulu, Richelle tidak pernah melihat tatapan Alaric yang seperti ini, tidak ada keseriusan dalam arti menyayangi yang Richelle harapkan. Tapi sekarang, betapa bahagianya dia karena telah mendapatkan kesempurnaan cinta yang Alaric tunjukkan lewat kata yang tulus juga sikap manis yang tak pernah berkurang.

Begitu pun Alaric, menatap jauh pada netra bening di sana. Masih jelas terlihat luka lama yang belum terhapus yang Richelle coba perlihatkan lewat matanya. Ada keraguan meski hanya sedikit tetapi tetap mengganggu baginya. Ia hanya ingin Richelle percaya dan yakin bahwa kini dialah yang Alaric pilih selayaknya pria kepada wanita untuk menemani masa depannya kelak. Untuk menciptakan warna baru yang belum sempat mereka ciptakan. Untuk melakukan hal-hal manis lainnya yang belum sempat selesai. Untuk menjalani bahtera rumah tangga yang mungkin tidak selalu berjalan mulus nantinya namun sama-sama mempertahankan pernikahan mereka apa pun ujian yang menanti.

Alaric ingin itu. Alaric ingin bersamanya.

"Biar ku tanya sekali lagi. Apa kau masih mencintai ku?"

Richelle terlihat gelisah. Kedipan mata pun berkedut resah. Bibir itu mengatup singkat lalu kembali terbuka kecil.

"Masihkah kau menganggap ku pria mu?"

"Y-ya." Ada sesak saat Richelle menjawab satu patah kata dan menurut Alaric itu belum menjelaskan apa pun maka ia menunggu kelanjutannya meski jeda yang dibuat Richelle cukup panjang.

Alaric sangat gemas sekali. Sesulit itu kah Richelle menyuarakan kejujurannya? Padahal dulu Richelle amat terlalu gamblang mengumbar kata cinta terhadapnya.

"Apakah aku belum jujur padamu? Mungkin kau lupa dan aku tidak ingat." Katanya dengan pelan.

Lalu melanjutkan, "Tapi soal cinta itu ada atau tidak terhadap mu," Richelle diam untuk menghirup oksigen sebanyak mungkin. "Maka jawabannya adalah ada. Terlalu singkat untuk bisa berpaling darimu, terlebih ketika kau datang kembali dan mencoba mendobrak pintu hati yang pada awalnya ku tutup rapat-rapat-- kau, kau berhasil membuka celah itu sampai pada akhirnya tidak ada lagi yang menghalangi mu untuk masuk."

"Dan sekarang, saat kejujuran yang masih ku simpan. Saat cinta itu masih ada untukmu. Dan saat kau tahu soal perasaan ku yang tak berubah-- apakah cinta ku tak lagi bertepuk sebelah tangan?" Tanyanya dengan suara tercekat dalam senyum getir yang terlihat.

Alaric mengikis jarak dan menciumnya dalam-dalam tepat di kening Richelle bersamaan dengan wanita itu yang meluruhkan segaris air yang muncul dari balik kelopak mata yang terpejam.

"Kau sudah mendapatkan semuanya. Cintaku yang sepenuhnya hanya untuk ibuku namun sekarang kau mendapat bagian itu lebih banyak. Aku tidak bisa lagi menganggap mu adik. Aku tidak peduli dengan perbedaan usia karena nyatanya mencintai mu adalah hal terbesar yang tidak mau menyingkir dari hidupku, izinkan aku kembali menjadi sosok yang kau harapkan seperti dulu lagi. Tidak ada setulus dirimu yang bisa ku temukan, pun aku tidak berniat mencarinya sebab kau telah menjadi jawaban atas semuanya."

Pada akhirnya, Richelle hanya menangis dalam pelukannya. Tergugu di sana dengan nafas yang menyesakkan juga lega dalam waktu bersamaan setelah mendengar kembali penuturan Alaric yang sangat indah dan bukan sekedar bualan untuk didengar.

"I love you... I love you so much, Richelle."

Alaric tidak menunggu jawaban darinya karena ia sudah meraup bibir itu dengan caranya yang lembut dan penuh perasaan. Mengajak Richelle untuk ikut membalasnya walau tubuh wanita itu sedikit tersengguk sebab tangis yang dicoba untuk diredakan.

Wajah mereka silih berganti mencari posisi ternyaman selama ciuman mesra itu berlangsung. Dengan kedua tangan Richelle yang telah mengalung di leher Alaric sedangkan satu tangan pria itu mengelus lembut punggungnya, juga tangan yang lain menekan tengkuk Richelle untuk memperdalam ciuman mereka.

Bagian tubuh mereka menempel satu sama lain tanpa ada sekat yang berarti. Alaric membawa tubuh mungil itu ke pagar tembok balkon tanpa melepaskan penyatuan bibir mereka yang masih bekerja lembut.

Hal itu justru membuat Richelle sedikit panik sebab di bawah sana ada banyak pelayan yang berlalu lalang. Alaric paham akan hal itu ia pun menoleh ke belakang telinganya dan dijadikan kesempatan oleh Richelle untuk meraup oksigen dengan kasar.

Seolah paham juga tidak mungkin memperhatikan tuan mereka, pun para pelayan juga penjaga di bawah sana lekas pergi.

"S-sudah?" Tiba-tiba Richelle gugup sehingga pertanyaan konyol itu lah yang keluar dari mulutnya.

Alaric menyeringai. Richelle pun tahu bahwa ini belum selesai dan otak cantiknya yang meminta berhenti tidak singkron dengan bahasa tubuhnya.

Udara pagi hari masihlah bertiup dingin akan tetapi hawa yang dirasakan tubuh mereka adalah kegerahan. Detik berganti menit, gairah yang menggelora pun timbul dalam percikan nafsu yang mendera pada kedua insan yang tengah menyatukan bibir penuh candu dan terburu-buru.

Kedua tangan besar itu tidak lagi di tempatnya melainkan sudah bergerilya pada setiap titik sensitif wanita yang tak henti-hentinya melenguh manja serta desahan pelan yang tertahan.

Seolah bagian tubuhnya di bagian atas adalah mainan baru, Alaric begitu gencar memberi rangsangan di gundukan yang terasa pas dalam tangannya. Mulutnya pun kian aktif dan itu membuat Richelle gila.

Tidak menolak ketika kain berenda tipis itu ditarik oleh Alaric dengan gerakan yang pelan dan menggoda sampai akhirnya teronggok di sembarang arah. Pun gaun tidurnya sudah berkumpul di sekitar pinggangnya.

Richelle seakan tidak peduli dengan keselamatannya mengingat ia sedang duduk di ketinggian mansion. Toh, Alaric tidak melepaskan pegangannya pada pinggang Richelle agar ia tidak sampai jatuh menyeramkan ke bawah sana. Tubuh kecil itu melengkung, ada pertahanan kuat dari satu tangannya yang memegang erat pada sisi pagar sedangkan satu tangan yang lain menjambak rambut Alaric sekaligus menekannya lebih pasrah lagi di bagian intimnya.

Pelepasan itu datang lebih cepat. Nafasnya memburu kasar juga tatapan sayu yang begitu melelahkan. Ia tersipu bagaimana dengan menggodanya Alaric mengusap sudut bibirnya yang terdapat sisa-sisa miliknya.

Apakah dia tidak merasa jijik? Pikir Richelle.

"S-sudah. Aku lelah, Al." Kata Richelle setengah merengek.

"Padahal hanya permainan jari dan mulutku tapi kau sudah lelah saja." Ujar Alaric menyeringai nakal.

🌷🌷🌷

Sebelum Richelle disibukkan dengan urusannya esok hari, maka pagi ini setelah menyelesaikan sarapan-- keduanya sepakat untuk berjalan-jalan di kota Paris.

Kali ini, Alaric tidak membawa supir tetapi tetap membawa pengawal yang mengikuti dengan mobil di belakang mereka.

Pun mobil McLaren Volcano Red yang mereka tumpangi keluar dari pelataran mansion hingga membelah jalanan yang sepi sebelum kemudian berbaur dengan kendaraan lain di jalanan kota yang ramai.

Diawali dengan membeli susu hangat di pedagang kecil tak jauh dari tempat mereka berada sekarang-- museum Louvre atau Musée du Louvre, adalah bekas istana kerajaan Perancis yang sekarang menjadi salah satu museum terbesar di dunia dan sekaligus museum paling terkenal di Paris. Tempat wisata di Paris ini menjadi museum yang paling banyak dikunjungi di dunia, maka tak heran di hari yang masih terbilang pagi ini sudah banyak sekali para pengunjung yang entah itu turis dari berbagai negara atau masyarakat lokal yang tidak sedikit juga berjalan-jalan santai di tempat itu.

Alaric sempat mengajaknya untuk masuk ke museum tersebut tetapi melihat banyaknya jumlah pengunjung, Richelle sedikit malas karena ia lebih tertarik melihat Piramida Louvre dari luar dan itu sudah cukup.

Sesekali juga ia bermain air yang diikuti tiga gadis kecil. Keasyikannya bersama mereka tentu menjadi pusat perhatian dari banyak orang yang ikut tersenyum nyaris tertawa karena tidak merasa terganggu dengan tingkah kekanak-kanakannya.

Dari tempatnya berdiri, Alaric masih memperhatikannya dengan tatapan penuh cinta. Ia menipiskan bibirnya kala wanita itu tersenyum ceria serta melambaikan tangan ke arahnya. Richelle sempat berbisik kepada tiga gadis kecil itu dan tak lama mereka ikut melambaikan tangan juga.

Alaric terkekeh kecil saat mereka bertiga melayangkan flying kiss dengan tatapan lucu yang menggemaskan.

Setelahnya, Richelle terlihat berpamitan pada mereka kemudian berlari persis seperti anak kecil dengan mata yang lurus menatapnya.

Tubuh ramping itu pun segera ditangkapnya dan mengangkatnya sedikit karena gemas.

"Kau kenal mereka?" Alaric bertanya yang mendapat gelengan antusias.

"Tidak. Aku bahkan tidak mengerti mereka bicara apa, tapi untungnya bahasa Inggris mereka cukup diancungi jempol."

"Dan mereka mengerti saat kau menyuruh mereka memberiku flying kiss, hem?"

"Ya! Bagaimana ekspresi mereka? Lucu atau menggoda?"

Alaric menyipit, "lucu. Mana mungkin anak kecil memiliki tampang menggoda, aku pun tidak akan juga tergoda oleh anak kecil." Ia menjawel hidung Richelle pelan.

"Dari dulu aku sering menggoda mu, apa kau pun tidak tergoda juga?"

"Sempat." Katanya dan langsung mencium singkat bibir mungil itu. "Ayo! Kita masih ada waktu untuk berkencan sampai malam tiba."

Mereka pun menjauhi Piramida Louvre tanpa Richelle melepaskan rangkulannya di lengan Alaric.

"Bagaimana jika malam nanti kita tutup kencan ini dengan bergulat di ranjang saja." Richelle menggigit bibirnya dengan tatapan nakal.

Alaric pura-pura tidak mengerti. "Maksud mu berkelahi? Akan lebih leluasa jika kita lakukan di lapangan terbuka." Jelasnya yang dihadiahi decakan malas.

"Kalau sedang begini saja, kau pura-pura polos."

"Hanya mencoba menahan diri agar tidak masuk dalam rayuan mu."

"Aku tidak merayu mu tapi mengajakmu." Tambahnya sedikit malu.

"Nanti nangis..."

.
.
.
-to be continued

Continue Reading

You'll Also Like

676K 27.4K 23
Berisi cerita keseharian putra kecil papi Jevan dan mami Seina πŸ“ 22 September, 2022 - ? πŸ…High rank #3 Nomin 11, Oktober 2022 #1 Jaemings 12, Oktobe...
3.6M 27.5K 47
harap bijak dalam membaca, yang masih bocil harap menjauh. Kalau masih nekat baca dosa ditanggung sendiri. satu judul cerita Mimin usahakan paling b...
15.9K 1.9K 25
Pikir Arumi, menikah dengan duda berusia delapan tahun lebih tua akan membuatnya dilimpahi cinta, kasih sayang, dan perhatian, dijaga dan diperlakuka...
1.9M 93.3K 56
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...