The Fate of Us | Jaerosè

By jaeandje

270K 22.9K 3.9K

Bagaimana jadinya apabila seorang Ketua Dewan Rumah Sakit secara tiba-tiba 'melamar' salah satu dokter reside... More

PROLOGUE
02
03
04
05
06
07
08
09
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31

01

13.9K 1.1K 104
By jaeandje

Satu alasan terbesar mengapa Hadvent Medical Center bisa berdiri dan bertahan lebih dari duapuluh tahun adalah karena sponsorshipnya. Sponsorship yang memberikan dukungan dan wewenang penuh untuk sistem serta kinerja rumah sakit.

KNG's Group Corporation, satu-satunya perusahaan swasta yang di pandang baik oleh masyarakat dan juga pemerintah. Itu karena perusahaan ini selalu memberikan bantuan berupa dana atau barang, tak hanya itu, perusahaan ini juga bekerja sama dengan banyak perusahaan yang bidangnya berbeda-beda.

Saham, teknologi, pendidikan, kemasyarakatan serta kesehatan dan farmasi. KNG memiliki itu semua.

Dan KNG adalah perusahaan yang menjadi sponsor Hadvent sejak rumah sakit itu berdiri sampai saat ini pun keduanya masih bekerja sama.

"Sebentar. Kenapa anggaran dana untuk Hadvent cuma enampuluh persen dari keseluruhan dana yang ada? Kita udah sepakat untuk memberi dukungan seratus persen dari awal" celetuk seorang pria yang tengah menatapi layar benda persegi panjang.

"Pengurangan empatpuluh persen itu besar, anyone please explain what kind of situation is this?"

"Maaf, pak. Kami terpaksa memotong sebesar itu karna pemasukkan Hadvent tidak mencapai target yang seharusnya, sehingga dana perusahaan tidak memiliki keuntungan seperti---"

Pria itu menghela nafasnya sehingga menyela salah satu karyawannya yang sedang menjelaskan. "Harus berapa kali saya jelaskan?"

"Perusahaan tidak memiliki sistem seperti itu. Hadvent adalah rumah sakit dengan pasien terbanyak tahun ini karna apa? Mereka sangat mementingkan pasiennya dibanding tagihan biaya."

"Of course, kita bekerja di dunia bisnis sudah pasti mengincar keuntungan. Tapi sebagai sponsor Hadvent, kepuasan masyarakat dan juga para pasien adalah prioritas perusahaan."

"Untuk masalah pemasukkan dan yang lainnya saya sendiri yang akan bicara dengan Direktur Medis Hadvent. Kedepannya saya tidak mau ada kejadian seperti ini lagi, paham?" Pria berparas tampan nan berwibawa itu adalah Direktur KNG's Group yang sudah bekerja lebih dari lima tahun.

Jehan Atharizz Kanagara. Keturunan kedua dari tiga bersaudara Kanagara. Marga yang sudah tidak asing lagi bagi semua orang merupakan pendiri dan juga founder perusahaan ini sejak tiga dekade yang lalu. Lebih tepatnya kakek dari ayah Jehan lah yang mendirikan perusahaan ini dari nol.

Dan kini Jehan lah yang menjadi penerus ketika ayahnya meninggal dunia. Sampai Jehan memiliki keturunan, KNG's Group akan terus di tangan Jehan.

Tania Morelanisse Kanagara, Ketua Dewan dari Rumah Sakit Hadvent ialah ibu kandung dari Jehan. Semua orang mengetahui fakta ini, entah itu pegawai atau bahkan para masyarakat.

Pasalnya Jehan yang selalu melakukan kegiatan positif ternyata turunan dari sang ibu, malah memang sudah menjadi kewajiban sebagai anggota Kanagara.

Jiwa sosial serta relawan yang mengalir dalam darah Kanagara menjadi salah satu alasan mengapa keluarga Kanagara begitu dihormati.

"Oke, next topic. Farmasi--" Jehan mengusap dagu runcingnya dengan salah satu tangan.

"Supply segala obat dan alat-alat untuk rumah sakit apa ada kendala?"

"Tidak ada, pak."

"Tapi perusahaan farmasi yang bekerja sama dengan kita menawarkan kontrak baru untuk kegiatan pelayanan gratis di kota terpencil bulan depan" jawab salah satu karyawannya.

Jehan memetikkan jarinya, "Nanti bawa kontrak itu ke ruangan saya."

Tok tok tok

"Permisi. Maaf mengganggu waktu rapatnya, pak. Tapi Bu Tania sudah menunggu dua jam lebih di ruangan bapak dan--"

"Iya, saya kesana sekarang" sela Jehan, pasrah untuk menghadapi ibunya yang datang secara tiba-tiba.

Jehan berdiri dan merapikan segala dokumen dan tablet di atas meja. "Rapat kali ini cukup sekian, jika ada sesuatu yang mendesak langsung datang ke ruangan saya"

"Baik, pak." jawab para karyawan bersamaan.

Sekretaris pribadinya mengambil semua berkas yang sudah dirapihkan oleh Jehan lalu mengikuti jejaknya yang pergi menuju ruangan khusus seorang direktur.

Jehan berjalan dengan penampilan tidak serapih tadi pagi, dua lengan bajunya sudah tergulung dan satu tangannya menggenggam jas biru gelap yang senada dengan celananya.

Jarak ruang rapat dengan ruang Jehan tidak begitu jauh, hanya dengan beberapa ruangan para pegawai biasa. Ini satu hal yang menjadi aspek kesukaan orang-orang, Jehan tidak mendiskriminasi ataupun menganaktirikan bawahannya. Pria itu menganggap bahwa mereka itu sama, meskipun jabatan dia lebih tinggi.

Biasanya ruangan untuk direktur terletak di lantai ke enam, namun karena sifat rendah hatinya Jehan, ia meminta untuk memindahkan ruangannya menjadi selantai dengan karyawan biasa.

"Berkas ini gue urus dulu di ruangan gue, kayanya ada bahasan penting sampe nyokap dan kakak lo rela nunggu dua jam," ujar sekretaris pribadinya yang membuat Jehan berhenti melangkah tepat di depan pintu ruangannya.

"Kakak gue ada di dalem juga?"

Sekretaris pribadinya mengangguk, "Btw, gimana proses nikahan lo?"

Jehan menatap sekretaris pribadi sekaligus teman seperjuangannya, "Nyokap gue dateng kayanya buat bahas itu"

"Lo beneran terima apa yang nyokap lo suruh? Nikah sama cewek yang ngga lo kenal sama sekali?"

"Umur gue 27, bro. Lo pengen punya bos jomblo sejati emang?" Jehan menggeleng, dan mendelik kesal.

Sekretaris pribadinya itu tertawa puas, "Jehan, jehan. Dari awal gue udah bilang cari cewek, jangan kerja mulu."

"Gue ngga perlu omelan lo, Mar. Pergi sono-" Jehan memberi tatapan datar sehingga membuat orang itu terkikik puas.

"Jangan lupa kasih gue undangannya! "

Tidak mau membuat ibunya menunggu lebih lama, Jehan pun masuk ke dalam ruangannya dan melihat sang ibunda tengah duduk bersantai ria tanpa melakukan apapun.

Tanpa perlu memastikan Jehan sudah pasti tau kalau ibunya datang bukan sebagai Ketua Dewan, melainkan sebagai orang tua yang sedang sibuk menyiapkan pernikahan untuk anaknya dengan wanita yang tidak pernah Jehan temui sebelumnya.

"Kenapa, Mah?" tanya Jehan langsung tidak ingin basa-basi seraya berjalan menghampiri Tania yang sudah tersenyum tidak jelas.

"Kamu udah ketemu Rasel belum?" tanya Tania.

Jehan menyandarkan tubuhnya setelah duduk di hadapan Tania lalu menghela napas. "Belum ada waktu, banyak yang harus--"

"Jehan, dia calon istri kamu. Coba ajak dia dinner kek atau apa kek terserah kamu. Setidaknya kamu tau dia sosok wanita yang kaya gimana," Tania berdecak kesal, beranjak dari duduknya, menyilangkan dua tangannya di area dada.

"Jadwal aku akhir-akhir ini lagi penuh banget, Mah. Ngertiin Jehan dong," Jehan mengusap wajahnya, sudah tiga hari ia tidak istirahat dengan benar.

Kegiatan sosialisasi, bakti sosal dan yang lainnya tidak pernah berhenti berdatangan. Terkadang membuat Jehan sedikit kewalahan.

"Jangan bilang lo berubah pikiran?" celetuk seorang perempuan bersurai panjang yang sedang memandangi langit di balik jendela ruangan.

"Lo ngapain disini? Ngga ada kerjaan emang?" tanya Jehan mendengus sebal.

Kakaknya itu terkekeh, membalikkan badan lalu menghampiri kedua orang tersayangnya dan duduk di samping Tania. "Sif gue udah beres jam 11 siang tadi,"

"Iri ya lo gue punya jam yang cukup terjadwal?" Kanara tersenyum remeh.

Jehan memutarkan bola matanya, "Bacot lo, Kak"

"Lo sama Rasel udah sama-sama nerima tawaran Mamah tapi lo berdua sama sekali belom ketemu?" Kanara menatap adiknya tidak percaya.

"Adik gue yang gue sayangi, semua cewek pasti gengsi buat mulai semuanya duluan. Lo sebagai cowok harusnya gentle dong!"

Jehan menundukkan kepalanya sambil menghembuskan napas kasarnya. Diam meski kakaknya mengeluarkan semacam ceramah yang dapat ditebak jika Kanara mengoceh akan berlangsung lama.

Tania menghela nafasnya, "Kalo kamu mentingin jadwal kamu yang super padat itu kapan kamu bisa kenal dia, Jehan?"

"Yaudah kenapa mamah ngga coba buat dinner satu keluarga gitu? Keluarga kita sama keluarga dia," tanya Jehan sekaligus usulan apabila ibunya merasa kebingungan.

Tania terdiam, momen wawancara Rasel semasa magang tiba-tiba terlintas di otak dan pikirannya. "Orang tuanya udah meninggal, Jehan. Itu alasan kenapa mamah ngga buat rencana dinner dari dua keluarga, dari awal karna dia hidup sendirian."

"Rasel bener-bener sendirian, Jehan. Satu alesan kenapa gue ngedukung banget pernikahan lo sama dia, ya karna gue percaya kalo adek gue bisa ngejagain dia" ujar Kanara tulus.

Jehan dibuat bungkam oleh kalimat tersebut, ia mendongak dan menatap ibunya dengan perasaan tidak enak telah memberikan usulan yang tidak akan mungkin terjadi.

Rasa bersalah timbul hingga ia mengusap wajahnya, kemudian berkata, "Maaf, aku ngga tau tentang itu."

"Banyak yang harus kamu tau tentang Rasel, begitu juga sebaliknya. Jadi mamah saranin, temuin dia secepatnya"

"Alright, kalo gitu aku harus apa sekarang?"

"Fitting baju sore ini" ucap Tania mengambil tas kulit dengan brand ternamanya, menyimpan sebuah kartu di atas meja lalu melangkah pergi karena ada suatu urusan yang tidak bisa ia tunda.

"Oh iya--" Tania berhenti melangkah, membalikkan tubuh untuk kembali melihat putra keduanya sedang memandangi kartu nama yang ia simpan tadi. "Cari cincinnya juga ya, kemarin mamah sengaja ngga milih karna takut ukurannya salah. Jadi mending kamu sama Rasel sendiri yang pilih, ya, Jehan?"

Mau tidak mau Jehan mengangguk, tidak tau lagi harus apa selain mematuhi apa yang dikatakan ibunya.

"Mah," panggil Jehan.

"Kenapa?"

"Pernikahannya kapan?" tanya Jehan memastikan, agar ia bisa menyesuaikan jadwalnya karena tiga minggu kedepan sangatlah padat.

Tania tersenyum kecil mendengar itu. "Dua minggu dari sekarang"

Kanara menganga takjub, "Wow, it's too soon for those who don't know each other yet" diakhiri kekehan.

Jehan membelalakan matanya dan sontak berdiri terus menghampiri Tania, "Dua minggu?!"

"Mah, dua minggu ke depan Jehan ada sosialisasi sama beberapa perusahaan dan itu ngga bisa Jehan cancel. Diundur jadi sebulan bisa kan?"

"Ngga bisa, sayang. Kamu sama Rasel tinggal fitting baju dan milih cincin. And everything will be ready in two weeks" ucap Tania final sambil menepuk-nepuk bahu Jehan dengan senyum lebarnya.

"Untuk jadwal kamu yang super padat itu, mamah bakal ngobrol sama Marven, oke? Nothing is more important than your wedding"

Jehan ingin memprotes namun dirinya sadar kalau ia sedang berhadapan dengan ibunya, sosok yang tidak bisa Jehan bantah. Alhasil ia menghembuskan napas pasrah oleh keadaan, tidak lagi memikirkan schedule dia sebagai Direktur untuk tiga minggu kedepan.

"Sif Rasel hari ini di IGD ya," kata Tania sebelum benar-benar keluar ruangan, hilang dari pandangan Jefran.

"Kak--"

Kanara menoleh sebentar dengan alisnya yang terangkat, "Kenapa?"

"Kalo dia masuk ke kehidupan gue, they will threaten her life. You know that," kata Jehan dengan nada sedikit khawatir.

Kanara tersenyum tipis, ia mengangguk. "That's why, Jehan. You have to take care of her, it's your responsibility now"

"Tapi kenapa harus dia? Gue bisa milih seseorang nanti kalo gue rasa waktunya udah pas" kata Jehan masih tidak paham alasan bundanya tiba-tiba menikahkan dia dengan orang yang tidak ia kenal.

"Seiring berjalannya waktu lo bakal tau kenapa mamah pilih dia diantara sekian banyaknya wanita di dunia ini" Kanara menepuk bahu sang adik sambil tersenyum lalu berlalu dari hadapan Jehan.

Pernyataan kakaknya membuat Jehan berpikir keras, entah apa yang dimaksud dari kalimat itu. Apapun itu Jehan tidak akan mempermasalahkannya karena satu hal yang langsung terlintas di pikirannya adalah tanggung jawabnya yang berkali lipat lebih besar dibanding sebelumnya.

Terlebih ketika Jehan mengingat kalau dirinya sedang dalam sesuatu kegiatan yang tidak semua orang tau.

Kegiatan yang mungkin akan mengancam nyawanya. Dan tak lama lagi nyawa Rasel juga akan menjadi taruhannya.

Selepas kakak dan ibunda pergi, Jehan menilik jam di pergelangan tangannya kemudian mengambil kunci mobil yang disimpan di atas meja kerjanya lalu pergi keluar, melakukan apa yang diperintahkan ibunya.

Meski tidak menyangka kalau dua minggu dari sekarang dirinya akan menjadi suami sah seseorang secara hukum dan agama.

Mau tidak mau, siap tidak siap Jehan perlu mematangkan diri dan biarkan semuanya mnegalir seperti air.

°°°°°

Rasel mengikat rambutnya setelah menyimpan satu berkas milik pasien kepada perawat yang ada untuk melakukan pemeriksaan selanjutnya.

"Untuk sekarang kasih leukotrien 5 mg, tapi tolong pantau kadar oksigen pasien ini setiap sejam sekali ya" ucap Rasel mendapat anggukan dari perawat itu.

"Sel.." Rasel berdeham mendengar namanya dipanggil oleh suara yang familiar di telinganya.

"Gantiin sif gue malem ini dong"

"Ngga"

"Gue bayarin lo jajan seminggu full, gimana?"

Rosel terlihat berpikir, tertarik akan tawaran tersebut. Namun mengingat kembali betapa tidak enaknya sif malam di rumah ini terlebih ketika jaga area IGD. Ia menggeleng, "Ngga dulu"

"Tumben? Yaudah sebulan deh"

Tetap pada pendiriannya, Rasel menggeleng. "Ngga, La"

Lola berdecak sebal lalu memberikan ekspresi sayu agar temannya itu terbawa suasana. "Sel, malem ini tuh gue ada blind date. Lo pengen sahabat lo ini punya pacar sebelum umur 30 ya kan?? Nah makanya---"

"Tapi ngga hari ini, Lola. Gue baru beres operasi dua jam yang lalu dan sekarang gue di suruh jaga IGD sama Jisya buat ngebantu lo. Sore nanti gue mau tidur pokoknya jangan ganggu gue, titik." Rasel melenggang pergi dari hadapan Lola.

Ternyata meluluhkan hati Rasel tidak semudah itu ferguso.

"Jadi kuncen IGD udah cocok nih gue--" monolognya.

Rasel berjalan menuju pintu, niatnya ingin mencari udara segar. Namun ia mengurungkan niatnya saat ada seseorang yang memanggil namanya. Yang ada di pikirannya saat ini adalah,

Ada pasien lagi?

Ngga bisa gitu ya Rasel istirahat dulu sebentar?

"Pasien ranjang berapa?"

Perawat yang memanggilnya itu malah menggeleng, "Bukan, dok."

"Terus apa?" tanya Rasel mengernyit heran.

"Dokter udah ditunggu Pak Jehan di meja administrasi IGD" ucap perawat tersebut.

"Jehan? Jehan siap--- Hah?!" Rasel memekik kaget, orang yang tidak pernah terlintas di otaknya akan datang ternyata kesini untuk menemuinya.

Kabar mengenai Tania selaku Ketua Dewan yang akan menikahkan anak keduanya dengan Rasel sudah tersebar luas dengan cepat. Semua staf yang ada tentunya mengetahui pria yang akan menjadi calon Rasel adalah Direktur dari KNG's Group Corp.

Dan siapa sih yang tidak tau seorang Jehan Atharizz Kanagara? Seluruh staff rumah sakit tentu harus tau direktur dari perusahaan yang menjadi sponsorship mereka.

Perawat yang memberitahu kabar itu malah menarik kedua ujung bibirnya, entah mengapa ia terbawa perasaan padahal yang akan menikah itu bukan dia.

Rasel mengedarkan pandangannya lalu mendapati seorang pria dengan penampilan rapih dibanding yang lain sehingga mengakibatkan pria itu lebih mencolok.

Wah dari belakang aja udah kerasa wibawanya.

"Samperin atuh, Dok." kekeh perawat tadi masih berdiri di samping Rosel.

Alih-alih menggunjing, staff Hadvent kebanyakan mendukung penuh pernikahan Rasel dan Jehan yang tiba-tiba seperti ini. Katanya mereka cocok banget.

Bertemu dengan orang yang akan menjadi suaminya nanti, Rasel tidak yakin kalau dirinya siap. Meski dia pernah melihat perawakan wajahnya melalui media karena pria itu selalu berkegiatan positif, jujur Rasel mengagumi ketampanannya. Rasel juga tau kok kalau dia dengan Jehan seumuran. Tetapi Rasel belum pernah bertemu secara langsung.

Dan ini akan menjadi kali pertama Rasel bertemu Jehan secara langsung sebelum pada akhirnya akan mengucapkan janji suci bersama di altar pernikahan.

Doakan Rasel agar tidak melakukan hal-hal yang memalukan di depan pria tampan itu.

"Kalau ada apa-apa langsung kabarin saya ya" ucap Rasel kepada perawat itu lalu berjalan menghampiri pria yang sedang menyandarkan tubuh pada meja administrasi IGD dengan keberaniannya.

Tinggal beberapa langkah lagi, tangan Rasel gemeter parah sekarang. Kedua tangannya mencengkram erat jas dokter yang ia pakai, rasa gugup yang timbul kini kian memuncak ke permukaan benaknya.

Rasel menengok kanan dan kiri, melihat para staff yang sudah memandangi ke arahnya. Dan ia juga melihat Lola, temannya, sedang tersenyum ngejek ke arahnya yang telah berdiri tepat di belakang tubuh Jehan.

Bisa dilihat dari gerakan mulut Lola kalau wanita itu berkata, "Ciee ketemu calon suami"

Nah Rasel malah membalas, "Temenin gue disini dong" tanpa bersuara.

Seakan membalas dendam karena Rasel menolak permintaannya barusan, Lola malah menggidikkan bahu dan terkikik. Dan itu membuat Rasel menahan napas, mengepalkan kedua tangannya.

Fix ini pembalasan.

Oke, Rasel akan menghadapi ini sendirian.

Rasel maju satu langkah agar sejajar dengan Jehan lalu memberanikan diri untuk memulai percakapan, "Gue denger lo mau ketemu gue-- eh sorry, should I speak polite language?"

Jehan sontak menengok ke samping, menegakkan tubuhnya. "Bahasa santai aja, we're both at the same age right?"

"Right. Jadi ada perlu apa?" Rasel mulai berani menatap Jehan meski tangannya masih mencengkram ponselnya didalam saku jas dokter.

Damn, pria itu jauh seraaatus kali lipat lebih tampan kalau dilihat secara langsung.

"Sif lo kapan beresnya?" tanya Jehan memandang Rasel dengan posisi kedua tangannya dimasukkan pada dua saku celananya.

Rasel mengulum bibirnya berlagak untuk berpikir sejenak, "Udah beres sih. Tapi--"

"Kalo gitu buruan" sela Jehan.

"Buruan apaan? Yang jelas dong" sewot Rasel heran, bingung oleh perkataan Jehan barusan.

Jehan menghela napas, "Fitting baju and find the ring for both of us."

Rasanya Rasel pengen menghilang aja dari hadapan pria itu. Masalahnya ia sempat lupa kalau Jehan itu calon suaminya, mendengar Jehan menyebut suatu yang berhubungan dengan pernikahan membuatnya degdegkan seketika.

"Hari ini?" Jehan mengangguk sebagai jawabannya.

"Nyokap gue udah buat janji sore nanti. Do you know that our wedding is in two weeks from now?"

"HAH?!" pekik Rasel terkejut bukan main.

Masa bodo kalau mereka masih menjadi pusat perhatian semua staff, malah pekikkan Rasel tadi membuat para pasien yang melewat serta keluarga pasien mengalihkan perhatian mereka kepada dua insan ini.

"Lo kaget? Sama gue juga." ucap Jehan santai, ini karena ia sudah pasrah dan menerima rencana sang ibu dengam lapang dada.

Kalau Rasel masih berusaha mencerna perkataan Jehan. Jadi lelaki itu akan menjadi suami sahnya secara hukum dan agama dalam dua minggu?

"Dua minggu dari sekarang? Really?"

Jehan menggigit pipi bagian dalamnya, "Wish we could rewind a little time, but we can't. Yang ngurus semua ini nyokap gue soalnya,"

Rasel menunduk sedikit, menatapi lantai dengan perasaan super campur aduk. Tapi lebih ke kaget karena pernikahan ini datang lebih cepat dari yang Rasel bayangkan.

Perempuan berprofesi dokter ini merasa dirinya belum siap untuk menjadi istri.

Padahal Rasel masih happy and enjoy bekerja di dunia medis, terlebih berperan sebagai dokter. Tapi tidak bisa disangkal juga kalau usia Rasel sekarang itu memang sudah waktunya menikah.

Kalo jomblo terus sampe tua nanti kan ngga lucu juga. Apa kata orang-orang nanti?

Tetapi, apakah dua minggu waktu yang cukup untuk mengenal satu sama lain? Rasel mengenal Jehan lebih dalam begitupun sebaliknya, sepertinya tidak cukup.

Let it flow adalah pilihan yang tepat, membiarkan waktu yang menjawab.

Jehan memeriksa pukul berapa saat ini melalui jam tangannya, menunjukkan pukul 14.57 dan sadar kalo dirinya belum mengisi perutnya sama sekali sedari tadi pagi. "Udah makan belom?"

Eh gila juga baru pertama kali ketemu udah ngajak makan.

Sebenarnya ini udah kayak dunia fiksi yang di platform warna oren berisi jutaan cerita, dijodohin. Bisa dibilang begini karena Rasel kalo gabut suka baca fanfiction nah biasanya di dunia fiksi tentang perjodohan gitu kedua pihak pasti akan menolak mentah-mentah, tetapi anehnya yang terjadi pada kehidupan Rasel tidak begitu. Dirinya maupun pihak si cowok malah menerima seolah tidak ada beban.

Dua-duanya kebelet kawin kali ya jadinya malah nerima-nerima aja pas dijodohin gini.

"Belom sempet," jawab Rasel.

"Yaudah sekalian aja" Jehan mengedarkan matanya untuk melihat situasi IGD, dan ternyata cukup ramai sehingga Jehan merasa tidak enak, "Kalo lo pergi sekarang gapapa?"

"Harusnya gapapa karna jam jaga gue udah beres, ini serius pergi sekarang?" Rasel menatap Jehan untuk memastikan.

"Ngga sekarang tapi tahun depan" jawab Jehan datar.

Rasel malah berdecih ketawa, "Lawak lo?"

Tak diduga Jehan tersenyum kecil, sangat kecil. "Ayo pergi,"

"Gue ambil tas dulu, lo tunggu disin---"

"Tas lo yang ini bukan?" Jehan menunjukkan sebuah tas selempang coklat yang dari tadi tersimpan di dekat Jehan namun Rasel tidak menyadari itu karena tertutupi oleh tubuh Jehan.

"Kok??" Rasel mengambil tasnya dan memberikan tatapan penuh pertanyaan. Bagaimana bisa tas dia bisa berada di tangan Jehan?

"Tadi gue ke ruang jaga dulu, biar cepet. Ngga masalah kan?"

Rasel mengerjapkan matanya, rasanya dia sudah terhipnotis oleh pria di hadapannya ini. Wajahnya, penampilannya dan tatapannya bisa menghantui Rasel beberapa hari kedepan.

Masih tidak percaya dua minggu lagi, dia akan bisa melihat wajah itu setiap ia bangun pagi---

God, Rasel jadi memikirkan yang aneh-aneh.

"Y-ya, lain kali jangan gini. Ngga enak sama yang lain, gue bisa ambil sendiri kok"

Jehan terkekeh.

Demi Tuhan, manis banget. Lesung pipi yang muncul ketika pria itu terkekeh kembali menghipnotis Rasel, membuatnya berpikir ada ya lelaki semanis Jehan?

Ini serius calon suami Rasel? Takdirnya kok bisa seberuntung dan seindah ini ya?

"Mulai sekarang lo harus terbiasa sama sikap gue yang kayak gini, because in next two weeks---" Jehan maju satu langkah, mempertipis jaraknya dengan Rasel.

"I'm your husband, Rasel."

°°°°°

Serius, siapapun orangnya kalau melihat cara Jehan memarkirkan mobil seratus persen akan meleyot seperti Rasel sekarang. Kedua lengan baju yang tergulung membuat tangan yang super kekar itu tertampak jelas.

Dan posisi satu tangan yang mengatur stir mobil dengan tangan satunya lagi diletakkan pada bagian tiang yang fungsinya memindahkan gigi mobil.

Damage nya ngga ngotak tolong.

Keduanya sudah di toko butik yang Tania buatkan janji temunya untuk fitting kedua mempelai, tetapi rasanya roh spirit Rasel masih di dalam mobil. Bayangan Jehan yang memarkirkan mobil masih terngiang-ngiang di kepalanya.

"Pak Jehan Atharizz Kanagara dengan Ibu Raselia Emmera Abiyaksa." sapa karyawannya tersenyum merekah.

"Bu Tania sudah menyiapkan beberapa pilihan, mari kita lihat di ruangan 03." ujar sang karyawan yang tak lama menuntun Jehan dan Rasel menuju ruangan khusus mencoba dan memilih gaun pernikahan.

Rasel merasa sedikit malu, orang lain yang datang ke tempat ini berpakaian dan berpenampilan rapih. Lah, dia berantakan ditambah kotor lagi. Ya gimana ya, ia ngga keburu mandi dan ganti baju setelah selesai membantu Dokter Kanara mengoperasi salah satu pasien.

Dari semenjak kakinya memasuki tempat ini, Rasel sudah bisa mencium aroma elit dan kemahalan barang yang ada disini.

Ini bukan Rasel banget, sudah sebelas tahun ia hidup sendirian dan kehidupannya yang super sederhana membuatnya merasa minder atau tidak cocok untuk berada ditempat yang elegan dan mahal seperti ini.

Jehan melingkarkan tangan kananya di punggung Rasel, menahan dan mendorong wanita itu agar terus bersejajaran dengannya. Sikap Jehan sekarang membuat Rasel terkejut, lebih tepatnya jantung dia sudah berdegup tidak terkendali.

"Ngga usah minder, siapapun berhak buat dateng ke tempat kaya gini." bisik Jehan seolah bisa membaca pikiran dan hati Rasel.

"Mereka emang keren karna pake barang mewah or branded. Tapi lo lebih keren, ngga semua orang bisa pake baju dokter kayak lo sekarang. Lo harus bangga akan itu," lanjutnya. Jehan menoleh dan menatap mata manik Rasel yang sedang menatapnya juga.

Jelas lah ya gimana perasaan Rasel sekarang, rasa haru mendominasi permukaan benaknya. Sumpah, ini lakik ngga ketebak banget perilakunya.

Harus diingat ini adalah kali pertama mereka bertemu face to face.

"Lo duluan, gue tunggu disini." ucap Jehan seraya mendudukkan dirinya pada sebuah sofa panjang.

Rasel masih tidak mengatakan apapun, seolah bibir ranumnya itu membeku semenjak perkataan Jehan cukup menghangatkan hatinya yang gelisah. Sial, ia merasa hiperbola sekarang.

Menunggu perempuan itu memakai beberapa gaun yang telah dipilih Tania dua hari yang lalu, Jehan merogoh saku celananya untuk mengambil benda pipih yang sudah tidak ia periksa untuk beberapa jam takut ketinggalan informasi penting perusahaan.

Sesuai dugaan banyak sekali pesan atau email masuk yang memberikan dokumen, pesan atau lainnya. Sebagai direktur yang mengelola secara keseluruhan, Jehan membuka satu persatu dengan hati-hati ingin memastikan semuanya terbaca.

Tak lama kemudian sebuah panggilan masuk mucul dengan suatu nama yang wajib sekali untuk di jawab. Panggilan yang sangat penting dan rahasia, melihat bagaimana pemuda ini memastikan Rasel tidak keluar ruangan dan tidak mendengar percakapannya dengan orang di sebrang sana.

"Halo?"

'Lo harus kesini sekarang juga. Man, mereka jauh lebih gila dari yang lo bayangin--'

"Gue ngga bisa bahas itu sekarang" sela Jehan dengan suara rendah, sengaja agar tidak terdengar oleh orang lain.

'Sorry, lagi rapat ya lo?'

"Bukan"

'Terus?'

"Fitting baju--"

'Shit ahahaha! Gue lupa bentar lagi lo nikahan ya? Gilaa! Ngga lama lagi temen gue bakal jadi suami orang'

Jehan tersenyum kecut, "Tanggung jawab gue bakal tiga kali lebih berat dan kali ini perempuan yang jadi taruhannya. Gue ngga yakin.."

'Ck! Jehan, jehan. Lo lindungin istri lo, kita berempat yang bakal lindungin keluarga lo. Ngga usah takut, lo ngga sendiri.'

'Gue sama yang lain ngga bisa dateng ke resepsi lo nanti, it's too dangerous. Especially for you and your wife'

"Yap, gue setuju." Jehan mengusap wajahnya dan menatapi lantai yang dilapisi karpet tebal.

"Gue ngga bisa ambil risiko di hari pertama pernikahan gue"

'Bro, lo udah jadi tawan mereka dari dulu. Dan pas lo resmi jadi suami orang nanti, ngga lama istri lo juga bakal jadi sasaran mereka.'

Jehan mengangkat kepalanya ketika mendengar suara gesrekan tirai dari ruangan yang Rasel masuki tadi dan mendapati perempuan itu berjalan keluar ruangan lalu menghampiri Jehan yang masih duduk. "Gue matiin dulu"

'Wait, i'm warning you. Mereka udah mulai gerak, lo harus extra hati-hati'

Langsung mematikan panggilan tersebut setelah orang tadi memberikan peringatan untuknya, tidak mau menimbulkan rasa kecurigaan Jehan segera memasukkan ponselnya ke dalam saku celananya.

"Kok gue ngga liat gaunnya?" tanya Jehan heran melihat Rasel kembali dengan pakaian semula.

"You can see later" jawab Rasel sembari melepas ikatan rambutnya.

Jehan menggidikkan bahunya tak acuh, pemuda itu malah memberikan kunci mobil dan dompetnya. "Gue titip dua barang ini. Oh ya, selagi gue di dalem sana lo bisa pilih-pilih dulu cincinnya"

Sumpaah, kalau ngeliat cara lelaki itu menitipkan barang pentingnya kepada perempuan yang baru pertama kali ditemui bukankah dia terlalu santai?

Maksudnya, sebelum hari ini mereka berdua tidak mengenali satu sama lain loh.

Kalau Rasel pikir-pikir mereka berdua ini aneh juga, baru pertama kali ketemu tetapi tidak merasakan apapun, canggung aja engga. Ya meskipun kadang Rasel dibuat degdegkan sama perilaku pria yang akan menjadi suaminya.

Jadi kepikiran, kalau gini kira-kira pernikahan mereka bisa bertahan lama ngga ya?

Rasel berjalan menyusuri area aksesoris untuk melakukan apa yang Jehan katakan. Baru tiga langkah melihat-lihat sekumpulan cincin, gelang serta kalung yang terlihat sangat mahal bagi dirinya si perempuan sebatang kara, rasa minder kembali menyelimuti benaknya.

Dirinya merasa tidak cocok karena apa yang diberi keluarga Jehan terlalu banyak dan Rasel takut jika dia tidak bisa membalas ini semua.

Tadi aja pas Rasel ditunjukkin tiga pilihan gaun yang termurah itu seharga 25 juta dan yang termahal itu seharga 40 juta. Cuma gaun doang tapi kok bisa ya semahal ini?

It looks elegant and beautiful at the same time, tapi untuk seorang perempuan yang tidak memiliki apa- apa seperti Rasel gaun-gaun tersebut telalu mewah. Sehingga Rasel memutuskan untuk memilih gaun yang paling murah dari yang lainnya.

Rasel masih tau diri ya.

"Ngga bisa milih gue kalo gini caranya," gumam Rasel kebingungan sendiri dari tadi. Berharap agar Jehan selesai lebih cepat dari dugaannya.

"Halo, Mbak. Ada yang perlu saya bantu?"

Rasel memberikan senyuman manisnya sebagai respon kepada si karyawan yang menyapanya. "Apa ada rekomendasi untuk em--"

Mau bilang cincin pernikahan tapi kok malu ya.

"Wedding?"

"Yap!" Untung saja karyawan itu langsung memahami bahkan sebelum Rosel beri kode atau semacamnya.

Rosel lupa kalau tempat ini merupakan toko butik & aksesoris khusus untuk sebuah pernikahan.

"Mempelai wanita nya, Mbak?" tanya karyawan tersebut sambil terkikik tidak jelas. Sedangkan Rosel hanya tersenyum paksa, tidak tau kata apa yang pas untuk diucapkan.

"Saya rekomendasi ini, Mbak--" Karyawan itu menunjukkan sekumpulan cincin yang ditempatkan berbeda dari yang lainnya. "Tapi, semua cincin ini cuma ada satu bisa dibilang limited edition. And it's really expensive,"

Rasel sontak mengangkat kepalanya dan menatap wanita dengan busana karyawan itu. Satu hal yang membuat Rasel speechless adalah karyawan itu menjelaskan dengan nada meremehkan seolah berpikir Rasel tidak akan mampu membeli cincin mahal tersebut.

Emang bener kalau Rasel tidak akan pernah bisa membeli cincin-cincin mahal itu bahkan jika dirinya sudah bekerja keras untuk menghasilkan duit seperti hotman paris Rasel tetap tidak akan bisa membeli ini, cuma sebagai karyawan yang tugasnya memberi pelayanan terbaik kepada customernya apakah pantas bicara seperti itu?

Padahal gaji dokter bisa jauh lebih besar dari ekspektasi.

Tapi karena Rasel tidak berani menjulid seperti Jisya yang tidak pernah berhenti berjulid. Oleh karena itu, Rasel hanya tersenyum tipis sebagai responnya.

Sebenarnya Rasel pengen banget jambak rambutnya, kayak apa banget ngomong gitu ke pelanggannya. Tapi ya udah lah biarin aja, lagian Rasel tidak ingin mengacaukan suasana.

Malu, dia mengakui kalau dia ngga level untuk berada disini.

"Mbaknya sendiri?" tanya si karyawan dengan nada yang kembali meremehkan.

"Hah? Em--" Rasel bingung harus menjawab apa, tidak tau status apa yang harus ia sebutkan.

Tunangan? Tidak juga.

Suami? Kan belum sah.

Rasel mencoba mengalihkan percakapan dengan tersenyum lalu memandangi kaca yang memperlihatkan sekumpulan cincin cantik nan mewah.

Jujur, ia terpikat oleh cincin yang diberi julukan limited edition. Namun ia sadar kalau tidak seharusnya ia melakukan hal yang senonoh kepada keluarga yang sama sekali tidak ia kenal.

"Saya mau liat dulu yang ini deh, Mbak" ucap Rasel menunjuk salah satu cincin yang menarik perhatiannya.

Karyawan itu lagi-lagi menahan senyum remehnya agar tidak terlihat oleh Rasel. Cincin yang ditunjuk oleh perempuan itu adalah cincin termurah dari semua cincin yang ada di toko ini.

"Jadinya milih yang paling murah, mbak? Kalo gitu buat apa minta rekomendasi dari saya?"

Oke, Rasel sudah tidak kuat lagi. Hatinya panas begitu mendengar tuturan kata si karyawan yang masih sama. Jika begini sudah tidak pantas untuk dibiarkan, apa maksudnya karyawan itu meremehkan pelanggan?

Harga diri Rasel tidak serendah itu.

"Maksud mbak ngomong kaya gitu apa ya? Saya agak tersinggung--" baru saja Rasel akan menyalurkan amarahnya, namun suara berat menginterupsinya sehingga Rasel menahan diri.

"Calon istri saya itu dokter spesialis, kamu pikir dia ngga mampu beli cincin-cincin yang kamu sebut 'really expensive' itu?"

Rasel menoleh ke samping dan melihat kehadiran Jehan sedang menatap seram kepada karyawan tadi. Tangannya yang sempat mengepal kini sudah melonggar seketika.

Karyawan itu menundukkan kepalanya, merutuki apa yang sudah ia perbuat pada Rasel setelah mengetahui peremuan yang ia remehkan merupakan calon istri dari anggota Kanagara.

"I will take that damn limited edition ring" ucap Jehan yang mengintimidasi semua orang di dekatnya, termasuk Rasel.

•••

"Gue laper, tempat makan favorit lo apa?" ujar Jehan yang memecahkan keheningan antara dua insan di dalam mobilnya.

Rasel masih meluruskan penglihatannya, pikirannya bergulat untuk memilih satu dari sekian banyak tempat makan favorit selama ia hidup.

Perempuan ini diam bergeming, tidak menjawab Jehan dengan satu kata pun. Hal ini tentunya membuat Jehan sedikit heran, ia memelankan laju mobil dan menoleh ke arah Rasel.

"Lo denger gue kan?" tanya Jehan.

"D-denger kok, takutnya lo keberatan kalo makan di tempat pilihan gue" jawab Rasel setelah berpikir lama.

Ini beneran aneh, Jehan maupun Rasel sama sekali tidak merasa canggung berat seperti yang biasanya terjadi ketika ada yang bertemu dengan orang asing dalam hidupnya.

Keduanya berbincang seolah memang sudah mengenal baik satu sama lain. Padahal hari ini adalah hari pertama mereka bertemu sebagai calon satu sama lain yang dalam waktu dekat akan sah menjadi pasangan suami istri.

"Gue beneran laper banget ini, makan dimana aja gue ngga masalah." ucap Jehan kembali meluruskan pandangan matanya.

Rasel dibuat tersenyum oleh perkataan Jehan tadi, meskipun hanya senyuman kecil. "Bener ya?"

"Kalo gitu ntar di depan ada belokkan ke kanan, nah belok kesitu dulu" ucap Rasel yang diangguki Jehan.

Tiba di sebuah Rumah Makan yang tidak jauh dari belokkan yang tadi Rasel tunjuk, Jehan dan Rasel segera keluar dari mobil dan berjalan saling bersampingan ke area dalam rumah makan tersebut.

Sampai detik ini Jehan masih belum tau apa yang menjadi menu makannya hari ini, Rasel bersikeras agar Jehan melihat sendiri.

"Masakan rumah?" gumam Jehan saat melihat tulisan besar yang terpajang di kaca bagian dalam tempat ini.

Gumaman yang terdengar oleh Rasel membuat perempuan itu menoleh dengan perasaan ragu. "Ngga keberatan kan?"

Di dalam benak Jehan yang terdalam, ia berpikir kalau Rasel ada tipe perempuan yang menyukai restoran mewah. Dirinya tidak menyangka akan berakhir di tempat seperti ini.

Jehan sama sekali tidak keberatan kalau ingin tau jawabannya, malahan masakan rumah kaya gini adalah yang terbaik. Selain cita rasanya yang tidak kalah dari restoran mewah, tetapi juga harga yang terjangkau untuk semua kalangan.

Rasel adalah perempuan dengan gaya hidup sederhana. Satu kesimpulan yang Jehan ambil sebagai aspek untuknya mengenal Rasel lebih dalam.

"Jehan? Lo ngga suka makan di tempat beginian kan? Ck, kenapa tadi lo bilang ngga masalah coba," ketus Rasel sebal.

Jehan tidak menghiraukan ketusan Rasel, dirinya memilih untuk melangkah untuk mengambil beberapa masakan yang dia pilih untuk menu makannya.

Rasel mengumpat dengan suara kecil, melihat pria itu meninggalkan seorang diri layaknya kehilangan arah. Tak lama ia menyusul Jehan dari belakang, agar tidak tertinggal lebih jauh.

Kini, dua insan yang semula tidak saling mengenal namun akan menjadi pasangan suami istri sudah duduk berhadapan di salah satu meja yang tersedia.

Sepuluh menit pertama, keheningan menyelimuti mereka berdua yang tengah sibuk mengisi perutnya. Seolah tidak ada yang mau memulai percakapan.

"Langganan lo disini?" tanya Jehan yang memutuskan untuk memecah keheningan diantara mereka berdua.

Rasel hampir tersedak karena pertanyaan Jehan kelewat tiba-tiba, tetapi buru-buru Rasel menyembunyikan rasa kagetnya. Ia mengangguk, "Setiap tugas gue di rumah sakit beres gue pasti kesini,"

"Pantesan.." gumam Jehan, dengan mulut yang dipenuhi oleh makanan.

Pasalnya tadi ketika mereka lagi memilih menu makanannya, beberapa pegawai, bahkan hampir semua pegawai bersiul mengejek karena kedatangan Rasel kali ini ditemani oleh seorang pria.

Dan salah satunya ada yang bertanya, apakah Jehan ini pacarnya atau bukan.

Rasel ngga jawab calon suaminya kok. Soalnya kalo jawab gitu bisa-bisa mereka pingsan di tempat.

Saking ngga pernahnya Rasel terlihat dekat dengan sesosok pria.

"Kenapa lo terima permintaan nyokap gue?" tanya Jehan tiba-tiba, berhasil membuat Rasel menghentikan dirinya yang sedang makan.

Jehan menunda aktivitas makannya untuk sementara, ia mendongak dan menatap Rasel cukup serius. "Padahal kenal aja ngga--"

"Apa karna gue termasuk Kanagara jadi lo manfaatin itu buat---"

Tau arah pembicaraan Jehan, Rasel yang tidak terima sontak membanting sendok yang dipegang sehingga mengalihkan atensi pengunjung yang lain.

"Brengsek! Lo pikir gue cewek apaan yang manfaatin ketenaran sama kekayaan lo?! Gue bukan cewek matre," Rosel menatap Jehan dengan ekspresi amarahnya dan napas yang memburu.

"Kenapa orang suka banget ngerendahin orang lain ya? Tadi karyawan butik yang ngerendahin gue, sekarang lo? Wow, you surprised me, Jehan"

Jehan menghembuskan napasnya, ia akui kesalahannya. Tidak seharusnya dirinya berbicara seperti itu, "Sorry. Gue ngga ada maksud buat ngerendahin lo,"

"Aset yang gue punya bener-bener berarti buat gue dan keluarga gue, there are so many women who are after my property, jadi gue harus hati-hati." jelas Jehan yang sebenarnya, sangat menyesali apa yang sudah ia katakan kepada calon istrinya.

"Gue serius minta maaf, Rasel" Jehan menatap Rasel dengan tatapan sendu. Menyalurkan rasa bersalahnya.

Rasel menundukkan kepalanya, menahan agar air matanya yang telah terkumpul di pelupuk matanya tidak jauh. "It's okey" ucapnya lemah, semakin membuat Jehan merasa bersalah.

"I'm truly apologize to you" ucap Jehan sambil memberikan es krim stroberi kesukaan Rasel kalau datang ke tempat ini.

Jehan hanya menebak saja, tadi es krim stroberi yang ia ambil tadi adalah stok terakhir sehingga Rasel tidak kebagian. Nah, Jehan tak sengaja melihat ekspresi cemberut nan sedih yang terpancar di wajahnya.

Dari situ Jehan bisa menyimpulkan kalau Rasel menyukai dan sedang menginginkan es krim stroberi tersebut.

Rasel mengernyit heran saat pria itu menyerahkan es krim nya, "Kenapa dikasih ke gue?"

"Buat lo aja, gue lagi males makan es krim." ucap Jehan datar.

"Kenapa diambil kalo males?" gerutu Rasel agak kesal namun tetap mengambil pemberian pria itu.

Suasana canggung, lagi, mereka berdua sama-sama kembali melakukan aktivitas makannya yang sempat tertunda. Tidak ada yang memulai percakapan, seperti suasana awal mereka datang kesini.

Jehan menarik ujung bibirnya sedikit saat melihat perempuan di hadapannya sibuk menyantap es krim yang ia beri barusan. Terlihat jelas raut senang yang terlukis di wajah cantiknya, membuat Jehan sedikit tersenyum sangaat tipis.

"Lo suka banget sama es krim?" tanya Jehan penasaran.

Rasel menyimpan es krim tersebut, lalu ia mengangguk. "Bangeeet, kenapa?"

"Nanya doang,"

Jawabannya membuat Rasel berdecak, kepribadian itu lakik kayanya sering berubah-ubah deh. Kadang hangat dan manis, kadang pula dingin seperti kutub.

"Kalo lo sendiri gimana?"

Jehan mengangkat salah satu alisnya, "Gimana apanya?"

"Alesan lo terima suruhan nyokap lo apa? Mbak Kanara bilang lo langsung setuju tanpa penolakan," ucap Rasel.

"Hoax itu, ngga usah percaya omongan kakak gue." elak Jehan.

Rasel menggidikkan bahunya tak acuh, "Yaudah berarti alesan lo akhirnya terima apa? Gue kepo--"

"Ngga tau" jawab Jehan langsung.

Perkataan yang menjadi jawaban untuk pertanyaan Rasel, tidak sesuai dugaannya tentunya hal ini membuat Rasel berpikir sesuatu yang aneh.

"Ini bukan pernikahan kontrak kaya di film-film gitu kan? Yang satu atau dua tahun selesai?" tanya Rasel agak takut.

Kalau iya, Rasel akan amaaat sangaaaat menyesali atas keputusan dirinya sendiri yang menyetujui permintaan atasan di temapt kerjanya.

Feeling Rasel sih iya, soalnya kalau dilihat dari kepribadian mereka yang jauh sekali kesamaannya dan juga mereka menikah tidak melibatkan perasaan untuk satu sama lainnya.

Padahal impian Rasel dari dulu adalah hanya sekali menikah.

"Bukan. Kita nikah bukan karena kontrak atau kesepakatan dengan waktu terbatas" jawab Jehan datar.

"Lo pikir ini dunia fiksi apa?"

Rasel menghela lega, lagi-lagi pikirannya salah. Dan ternyata Jehan tidak sekejam yang ia duga, pria itu terlihat masih memiliki hati nurani.

"Tapi.."

Persetan dengan amanah bunda dan  kakaknya yang menyuruhnya untuk menjaga Rasel. Ia hanya tidak ingin membuat Rasel jatuh lebih dalam ke dunia gelap yang sedang Jehan hadapi.

Rasel, perempuan yang notabenenya orang asing. Jehan tidak mau apabila tindakannya yang tidak bisa membantah keinginan bundanya menjadi musibah atau bahkan malapetaka untuk orang itu.

Terlalu berbahaya untuk Rasel.

"Gue bakal cari sesuatu yang bisa gue jadiin alesan kenapa gue harus pertahanin pernikahan ini."

"Tenang aja, ngga dalam waktu dekat kok. Kalo nemu ya, good for us. Tapi kalo ngga nemu sorry to say--"

"We're done."

to be continued~~

Direktur KNG's Group Corporation,
Jehan Atharizz Kanagara.

Dokter Residen Tahun Kedua Kardiotoraks Hadvent Medical Center,
Raselia Emmera Abiyaksa.

Ketua Dewan Hadvent Medical Center,
Tania Morelanisse Kanagara.

Dokter Spesialis Bedah Kardiotoraks Hadvent Medical Center,
Kanara Faye Kanagara.

Dokter Residen Tahun Kedua Penanganan Darurat,
Lola Agaisha.

Tadaaaaa, ternyata gue bisa publish lebih cepet dari dugaan gue wakakaka.

Yes, there will be a lot of riddles so i hope you guys ok with that. Don't worry, gue ga akan buat serumit itu ko.

hope you like it!🤍

Kanagara's family sending this to you..

see u soon!

Continue Reading

You'll Also Like

400K 29.5K 39
Romance story🤍 Ada moment ada cerita GxG
706K 56.8K 61
Kisah ia sang jiwa asing di tubuh kosong tanpa jiwa. Ernest Lancer namanya. Seorang pemuda kuliah yang tertabrak oleh sebuah truk pengangkut batu ba...
80.4K 7.8K 32
Supaporn Faye Malisorn adalah CEO dan pendiri dari Malisorn Corporation yang memiliki Istri bernama Yoko Apasra Lertprasert seorang Aktris ternama di...
172K 9.3K 48
Noa baru saja di pecat dari perusahaannya, karena kesulitan mencari pekerjaan ia terpaksa menerima pekerjaan merawat pria dewasa yang tengah berjuang...