Menolak Move On [Hiatus]

By shbakri

133 22 4

[Teenfiction - Spiritual - Spin-off Menolak Bersama] Prinsip yang Hanif bangun untuk tidak menikah sebelum ki... More

Prologue
Bab 02 - Atmosfer Bumi
Bab 03 - Rupanya Dia

Bab 01 - Insiden

34 7 0
By shbakri

Indeed Allah is the best of planners.

•••••

Sebagai seseorang yang mengabdi untuk masyarakat dengan menstransformasikan ilmu pendidikan, teknologi, dan seni melalui pendidikan kerap kali dituntut untuk sempurna. Padahal saya juga manusia biasa. Pernah membuat kesalahan. Terlebih pernah menjadi orang yang menyakiti seorang perempuan hingga rasa bersalah itu membekas sampai saat ini.

Namun, hari ini masalah besar menimpa saya. Bukan hanya raga, tapi pikiran saya juga ditabrak hingga buyar tak menemukan titik terang. Saya sudah berjanji tidak akan menikah jika kisah masa lalu saya belum usai, tapi hari ini seorang ibu yang tak sengaja saya tabrak meminta pertanggung jawaban dengan menikahi anak gadisnya. Sebuah permintaan yang sangat konyol.

Ini bukan kisah Tsabit bin Marzaban yang terpaksa menikahi anak seorang pemilik kebun buah hanya untuk mendapatkan rida dari pemilik kebun tersebut karena apelnya sudah ia makan saat merasa kelaparan di jalan.

"Bu, saya akan bayar semua biaya perawatan dan pengobatan Ibu sampai sembuh, saya bisa pastikan bertanggung jawab untuk itu," kata saya berusaha meyakinkannya. Saya tidak bisa mempermainkan pernikahan. Saya takut akan ada satu perempuan lagi yang kecewa karena saya. Saya takut. Jejak sosok masa lalu saja belum saya temukan, bagaimana bisa saya memulai hidup dengan menikah jika dulu saya telah menorehkan luka pada seseorang.

"Saya nggak butuh uang, Mas. Masnya pingin dapat maaf dari saya, 'kan?"

Saya mengusap wajah kasar. "Iya, saya memang pingin, tapi tidak dengan ini. Pernikahan tidak bisa dipermainkan, Bu. Saya tidak mau pernikahan saya akan berakhir di persidangan."

"Masnya sudah menikah?" tanyanya. Saya menggeleng. "Nikahi anak saya. Saya bisa pastikan tidak akan membiarkan perceraian di antara kalian terjadi."

Harus apa saya?

Lagi-lagi saya hanya bisa mengusap wajah kasar. Tidak tahu lagi apa yang harus saya lakukan untuk meyakinkan ibu ini. Jika saja saya berhati-hati dan tetap menerapkan protokol keselamatan, mungkin saya tidak akan mengalami ini. Saya terlalu awur-awuran saat menyetir tadi pagi karena takut terlambat dan takut wibawa saya sebagai seorang dosen turun, tapi bukan semakin tepat waktu. Saya malah berada di titik seperti ini, lebih pentingnya lagi, meskipun saya sudah menambah kecepatan, saya tetap terlambat dan ini sangat jauh dari ekspektasi awal.

"Bu, saya mohon maaf. Pernikahan itu bukan seperti games, kalau kita bosan bisa kita berhenti begitu saja. Ini masalah serius. Saya tidak mungkin menikahi seorang wanita hanya berdasarkan tanggung jawab saya kepada ibunya. Bagaimana dengan anak ibu? Dia tidak mengenal kepribadian saya, bahkan saya sendiri tidak kenal."

Wanita di hadapan saya tersenyum. "Saya yakin kamu pasti mengenalnya."

Saya mengerutkan dahi. "Maksudnya?" tanya saya.

"Saya bercanda." Beliau kemudian menangkupkan kedua tangannya. Saya juga ikut menangkupkan kedua tangan saya. "Nama saya Ratna. Masnya?"

"Hanif."

Bu Ratna mengangguk-anggukkan kepalanya. "Hanif, kamu hanya memiliki satu pilihan. Saya tidak rida dengan kecerobohan yang kamu lakukan, jika kamu tidak mau menikahi putri saya. Di luar dari ini tidak ada lagi pilihan."

"Oke. Saya mau." Saya menyerah.

"Mau apa?" tanyanya yang membuat saya mengulangi kalimat yang sama.

"Saya mau menikahi anak Ibu."

Ya. Saya menyerah. Tantangan pada diri saya mungkin akan berakhir dalam waktu dekat. Saya tidak punya pilihan selain menikahi 'ia' yang tidak saya kenal, ini lebih baik daripada harus menerima kenyataan bahwa ada satu orang yang tidak mau memaafkan saya atas semua kelalaian yang tidak sengaja saya lakukan.

Perkara cinta, ia bisa datang seiring waktu berjalan. Ia bisa datang dari rasa nyaman. Mungkin membutuhkan waktu yang lama, tapi segala sesuatu itu tidak instan. Jika mengenai luka, saya akan coba bertahan untuk tidak melukai hatinya seperti yang sudah saya lakukan pada hati masa lalu saya.

Rasa bersalah itu masih ada, tapi bisa saya pastikan, kalau sampai detik ini masa lalu saya tidak bahagia, maka saya juga tidak bahagia. Saya akan terus merasa bersalah sampai saya bisa menemukan dia kembali. Karena sudah hampir 10 tahun, dia menghilang dan meninggalkan semua kenangannya.

Harusnya saya tidak memiliki hak untuk berkata dia telah menghilang dan meninggalkan semua kenangannya, padahal saya sendiri yang telah mengakhiri semuanya.

"Ini foto anak saya."

Bu Ratna menyodorkan ponselnya. Terlihat sebuah foto selfi seorang perempuan. Wajahnya tertutup masker, tapi iris matanya membuat saya seakan mengenalnya. Familiar, tapi siapa?

Lamunan saya dibuyarkan oleh ucapan Bu Ratna. "Saya tunggu kamu ke rumah saya besok. Ini alamatnya," kata Bu Ratna sambil menyodorkan KTP-nya.

"Silakan dicatat." Saya mengangguk dan menuruti perintahnya.

-----

Pulang ke rumah saya merasa malas melakukan sesuatu. Hanya ingin menidurkan diri di kasur empuk yang saat ini sudah terlihat menarik oleh mata. Setelah melepaskan dasi dan mencuci kaki, saya merebahkan diri sambil menimang-nimang keputusan yang sudah saya ambil tadi pagi.

Apa harus dengan ini? Sesulit inikah berhadapan dengan manusia. Mengapa harus selalu ada negoisasi yang menyulitkan satu pihak seperti ini?

"Nif." Saya mempersilakan Mama masuk ke dalam kamar setelah beberapa kali beliau memanggil nama saya.

"Makan malam udah siap. Ayo makan bareng," kata Mama lalu kembali menutup pintu kamar setelah mendapat anggukan dari saya. Selama ini saya memang masih tinggal bersama mereka, di rumah yang sama. Bedanya, semua tak lagi sama sejak hari perpisahan dengan cinta saya setelah Mama.

Saya menempati kursi kosong yang sudah disediakan khusus untuk saya. Sebelum mengambil nasi saya mengedarkan pandangan sebentar sambil senyum tipis. Sepertinya setelah makan malam saya harus membicarakan semua ini dengan Mama dan Ayah.

"Faniya mana?" tanya saya begitu mendapati adik pertama saya tidak ada di meja makan.

"Biasalah, dia lagi latihan bulu tangkis," sungut adik bungsu saya, Inayah. Saya hanya menganggukkan kepala memaklumi kebiasaan Faniya. Kelakuannya memang sedikit cowok, daripada Inayah yang lugu.

Makan malam selesai. Suasana mendadak menjadi abnormal di dalam diri saya. Bulu-bulu di kulit saya agaknya kini berdiri meremang. Astaghfirullah, suasananya bahkan sebelas dua belas dengan melihat teman-teman saya menikah.

"Nif, kok tegang banget, kenapa?" tanya Mama setelah mengelap tangannya dengan tisu. Ayah yang awalnya berdiri hendak meninggalkan meja makan mendadak kembali duduk setelah mendengar pertanyaan Mama.

Saya menarik napas dalam-dalam sebelum mengeluarkan kalimat yang nantinya pasti akan membuat senam jantung.

"Sebenarnya ada yang mau Hanif bicarakan," kata saya.

"So, what do you want to say?" tanya Ayah.

"Kamu ... mau nikahin anak orang, ya?" selidik Mama yang spontan membuat mata saya melebar. Insting ibu memang tidak bisa diragukan lagi.

"Hem, gini." Saya menarik napas, lalu menghembuskannya pelan-pelan. "Tadi pagi Hanif telat dateng ke kampus."

"Bukannya Bang Hanif tadi berangkatnya pagi banget?" tanya Inayah. Saya sudah menebak akan ada pertanyaan seperti ini di antara mereka.

"Ya, tapi tadi Abang nggak sengaja nabrak orang."

"Astaghfirullah!" pekik mereka bersamaan.

"Terus gimana orangnya?" tanya Ayah. Wajahnya terlihat panik.

"Beliau baik, tapi Hanif harus tanggung jawab."

"Kamu belum tanggung jawab?" tanya Mama dan Ayah bersamaan. Saya meneguk ludah. Usia saya sudah matang untuk menikah, tapi perhatian mereka seakan-akan saya masih balita.

"Of course I'm done. Masalahnya ...." Saya sengaja menggantung kalimat. Wajah mereka serempak terlihat semakin penasaran.

"Apa?"

"Hanif harus tanggung jawab dengan menikahi anak gadisnya." Bersamaan dengan kalimat itu berakhir terdengar suara gemuruh petir yang membuat ketegangan saya bertambah.

•••••

To be continued.

Halo, Pasukan Nila. Masih pada antusias untuk lanjut?

Kalau gitu, don't forget to touch star in below if you want to read the necxt chapter-!!

All rights reserved. Tag me on instagram @syadrabakri if you want to share special part or everything about this stories.

Indonesia, 25 Mei 2022 | Jangan lupa prioritaskan Al-Qur'an.

Continue Reading

You'll Also Like

268K 15.4K 38
Spin off: Imam untuk Ara cover by pinterest follow dulu sebelum membaca.... ** Hari pernikahan adalah hari yang membahagiakan bagi orang banyak,namun...
26K 136 12
Naya Intana Sofia, seorang wanita muda berusia 21 tahun, terjebak dalam pernikahan dengan seorang ceo terkenal dan tampan, Devano Aldebaran. Gadis it...
19.2K 3.6K 3
[A DAN Z UNIVERSE] Dibaca berurutan: A dan Z, ATHARRAZKA, ATHARRAZKA 2: Aryan, ATHARRAZKA 3: Zyana. Zyana Falisha Atharrazka, anak perempuan semata w...
5.5M 476K 53
- Zona teka-teki 1 - Kalian baca cerita ini siap-siap jadi detektif - Terbit di Hesthetic official "Menikahlah dengan suamiku dan jaga baby Hamzah...