FWB: Friends With Bittersweet

By rahmatgenaldi

1.4K 120 14

❝Antara aku yang terlalu naif, dan kamu yang terlalu baik.❞ • • • Toko buku, toko perabot, tumbler dan desser... More

1. Tentang
2. Hantu Masa Lalu
4. Julian dan Masanya yang Telah Usai
5. Bab Terakhir Untuk Julian
6. Rajendra Rama Hakmani
7. Kali Pertama
8. Simbiosis Mutualisme
9. Usik
10. Sedikit Celah
11. Dua Sisi
12. Menolak Mengabaikan
13. Distraksi
14. Balada Toko Buku
15. Pertanyaan Berbahaya
16. Netra Cokelat & Degup Jantung
17. Mengusahakan Topik (1)
18. Mengusahakan Topik (2)
19. Menghadapi Kegelisahan
20. Rama & Toko Buku
21. Kamu?

3. (Masih) Tentang Julian

103 8 2
By rahmatgenaldi

Sejak tubuhku sudah masuk di dalam mobil Julian dan duduk tepat di sampingnya, tanpa kalian caci pun aku sudah tau bahwa kepasrahanku waktu itu adalah kebodohan. Sungguh, aku tidak ingin Julian mempermainkanku lagi seperti kemarin-kemarin. Menarik ulur, menerbangkanku terlalu tinggi sebelum kemudian menjatuhkanku lagi ke dasar jurang paling dalam. Tapi entah kenapa aku merasa bahwa kali ini berbeda, tatapan yang diberikan Julian untukku seakan menyiratkan sesuatu yang selama ini aku harapkan. Balasan cinta yang hangat? Entahlah. Sebut saja aku naif, tapi kurasa kesempatan kedua memang tak ada salahnya jika kuberikan untuk manusia yang sempat kukagumi itu.

Kita berdua terhipnotis oleh suasana. Suara guyuran hujan yang mengenai aspal jalan seakan meminta kami berdua untuk tetap diam dan menikmati keheningan yang ada. Ingat, aku adalah seorang capricorn sejati. Memulai percakapan bersama tipikal lelaki seperti Julian tentu akan merusak kegengsianku, aku tidak akan melakukannya—bahkan jika aku dan Julian harus terus saling diam sampai mobil ini selesai mengantarku pulang pun, aku akan memilih untuk tetap diam.

"Raina."

Syukurlah. Julian yang mengambil inisiatif lebih dulu untuk bicara. Aku hanya menoleh, menunggu dia melanjutkan ucapannya.

"Aku tidak ingin kamu pulang dulu."

"Maksudmu?" Aku sedikit bingung, dari pupil mataku yang melebar bisa diartikan bahwa kali ini aku menahan degup jantungku yang memacu lebih cepat.

Julian sama sekali tak menatapku ketika bicara, matanya fokus menatap jalan di depan yang mulai terhalangi oleh lebatnya hujan. "Bolehkah kita jadikan ini sebagai kencan pertama yang mendadak?"

Seketika, aku seperti kehilangan kemampuan untuk merangkai kata. Apa dia bilang? Kencan pertama? Apa itu artinya ada keseriusan yang akan dia bangun setelah ini semua? Jika Julian pikir aku sama bodohnya dengan Raina yang dulu, maka aku harus menegaskan kepadanya bahwa kali ini dia salah menduga.

"Hentikan Julian," ucapku dengan mata terpejam.

Ia sekilas menoleh ke arahku, kemudian kembali fokus dengan setirnya.

"Jika kamu pikir kamu bisa membuatku bingung lagi dengan sikapmu yang labil itu, kamu salah. Aku tidak akan terjebak dengan teka-teki membingungkanmu lagi. Jadi, hentikan ini semua. Tolong."

"Kamu bicara apa sih, Na? Ini hanya sebuah kencan untuk kita saling mengenal lebih jauh lagi. Santai, jangan pikirkan hal-hal yang bahkan sama sekali belum terpikirkan olehku. Kita ikuti saja alurnya akan ke mana. Intinya, sekarang ini aku hanya ingin memastikan bahwa seluruh waktu yang kamu miliki hari ini hanya akan dihabiskan denganku. Mengerti?"

"Tunggu." Aku memperbaiki posisi dudukku, berusaha untuk membuatnya ikut fokus tentang apa yang akan kita bicarakan. "Setelah ini apa, Julian? Setelah kamu memperlakukanku dengan semanis ini, besok-besok perlakuan seperti apa lagi yang akan kamu berikan untuk membuatku berpikir bahwa kamu hanya main-main? Ayolah, kamu pasti tau bahwa setiap manusia punya perasaan. Kamu tentu tidak punya rasa tega untuk melakukan hal sekeji itu terhadapku, kan? Kecuali jika kamu memang manusia yang tidak berhati."

Julian hanya diam. Aku yang sama sekali tak mendapatkan respon akhirnya memilih untuk ikut diam. Sepanjang mobil ini berjalan, dalam hati aku menebak-nebak. Ke mana sekiranya lelaki membingungkan ini akan membawaku. Sampai akhirnya mobil ini terparkir di depan sebuah hotel dengan plang bertuliskan "Rinjani Hotel" di bagian depan. Refleks aku langsung menoleh ke arahnya, dengan mata melotot seakan menuntut penjelasan.

"Tenang. Kalau hujannya sudah reda, akan kuantar kamu pulang."

"Untuk menunggu hujan reda memang harus di sini, ya? Wajar bukan jika sekarang aku takut?"

Julian terkekeh, kemudian tangannya yang lancang itu langsung mengacak-acak rambutku. Hanya itu, namun sukses membuatku lupa bahwa sebaiknya aku menjaga diri. Sejurus kemudian lelaki itu turun, membukakan pintu mobil sebelum menggiringku masuk ke dalam hotel.

Ingatkan aku untuk mengutuk kaki dan diriku sendiri yang nyatanya sudah lupa akan tekadku sebelumnya yang berjanji agar keluar dari lingkaran Julian. Hanya karena dia tersenyum manis saat mengacak rambutku, aku membiarkan lelaki membingungkan ini mencuri kesadaranku, membawaku berjalan bahkan hingga memasuki lobi hotel? Oh, yang benar saja Raina!

Sang resepsionis menyapa hangat, tak tau bahwa dalam hati aku menyimpan rasa takut bercampur penasaran bahkan sampai aku dan Julian sudah berdiri di depan pintu kamar hotel.

"Tunggu di sini sebentar," titahnya sebelum masuk lebih dulu dan menutup pintu. Entah apa yang dia siapkan di dalam sana, aku tak punya waktu untuk menebak. Yang kuingat, selang lima menit Julian langsung kembali untuk mepersilakan aku masuk.

Aku melangkah ragu, menaruh tas yang sedari tadi menggantung di bahuku ke sisi kasur secara asal. Kulihat Julian sudah langsung membuang dirinya ke kasur. Jika aku di sini berdiri dengan perasaan yang campur aduk, Julian justru terlihat santai sekali dengan caranya meregangkan tubuh, melepas segala lelah yang sempat membungkus tubuhnya.

"Aku menginap di sini sejak dua hari yang lalu," ucapnya dengan posisi rebahan di atas kasur. "Jadi seharusnya kamu tidak perlu mencemaskan apapun, apalagi sampai berpikir bahwa aku sengaja membawamu ke sini untuk melakukan hal yang tidak-tidak. Sungguh, Na. Aku hanya ingin menunggu hujannya reda."

Oh ya? Untuk apa menunggu hujan reda di dalam kamar hotel jika kendaraan yang kita naiki adalah mobil yang sama sekali tidak akan tembus oleh air hujan, Julian? ucapku dalam hati. Ketika Julian memberikan klarifikasi yang menyatakan bahwa dia tidak benar-benar berniat membawaku ke sini, diam-diam aku kecewa. Entah karena apa, tapi pikiran liar itu mulai meracuni pikiranku. Memangnya, apa yang akan hinggap di pikiran setiap gadis muda sepertiku jika harus berdua di kamar hotel bersama lelaki yang pernah ia sukai? Munafik jika kukatakan pikiranku masih normal.

Malu-malu, aku mulai mendudukkan diriku di pinggir kasur, membelakangi Julian yang sepertinya sudah akan tertidur. Yang terjadi kemudian adalah keheningan. Aku berinisiatif untuk menyalakan televisi demi membunuh keheningan yang mencekam, namun segala pergerakanku terhenti ketika telingaku mendengar Julian berucap. Atau mungkin... berbisik. Tepat di telingaku.

"Na, apakah kamu masih menyukaiku?"

Aku menoleh untuk memastikan, lalu sedikit terkejut demi mendapati wajah Julian yang sudah tak berjarak dari sisi wajahku. Tatapannya telak menghujam mataku.

"Apakah perasaan yang sempat lama kamu simpan itu... masih untukku?" desisnya lagi.

Aku menelan ludah, berusaha memberanikan diri untuk membalas tatapannya. "Pertanyaan itu untuk apa, Julian?"

"Untuk memastikan bahwa tidak akan ada penolakan  yang akan aku dapatkan setelah ini."

Aku terdiam, lebih tepatnya tak bisa berbicara ketika manik mata Julian menatapku dengan jauh lebih dalam. Tatapan itu semakin lama terlihat sayu, seakan ada hawa kehangatan yang meninabobokan kami berdua hingga kelopak mata sayu itu terasa akan tertutup dengan pelan, seiring dengan wajah kami yang saling mengikis jarak. Kita terlalu dalam saling menatap hingga tak sadar bahwa  hampir tak ada jarak yang mengantarai wajah kami. Sekarang aku bahkan bisa merasakan embusan napas Julian menerpa bibirku.

Jarak itu terkikis, membuat Julian berhasil mencuri satu kecupan manis tepat di bibirku. Mataku terbelalak, tak percaya dengan apa yang aku dapatkan barusan. Saat wajahnya kembali menjauh, mataku justru terpejam seakan menanti Julian mengulangi kecupan itu lagi.

Ketika mataku masih setia terpejam, saat jantungku berdebar dengan lebih cepat dari biasanya, di saat itu juga aku kembali merasakan sesuatu yang manis, lembut nan hangat menyapu bibirku.

Aku terbuai. Seakan tak sadar, aku membalas kecupan itu dengan satu pagutan hangat, lantas membiarkan Julian menarik wajahku demi memperdalam ciumannya.

Jujur saja, saat itu aku malah berharap agar hujan di luar sana tidak akan berhenti hingga kami selesai dengan ini.

• • •

Mimpi burukku dimulai ketika sinar matahari pagi yang menyilaukan itu membuatku terbangun. Mataku terbuka, sejenak aku mengumpulkan kesadaran sebelum akhirnya terkesiap kala menyadari bahwa di balik selimut putih tebal ini, tubuhku dalam keadaan tanpa busana.

Aku langsung menoleh ke kanan-kiri, berusaha menggali ingatan mengapa aku bisa berada di sini.

"Ju-Julian? Julian!" teriakku histeris. Tentu saja nama itu langsung muncul di kepalaku kala ingatan tentang kejadian semalam mulai kembali. Yang terakhir kuingat adalah ciuman hangat itu, dekapan Julian, suara hujan di luar sana, juga bisikannya yang memintaku agar segera tidur.

Kulihat Julian keluar dari kamar mandi dengan bertelanjang dada. Aku langsung menatapnya nanar, ketika dia justru menatapku dengan heran.

"Ada apa, Na? Kamu mengejutkanku sepagi ini?"

Aku menggeleng tak percaya, dengan napas memburu aku berusaha merubah posisiku menjadi duduk bersandar pada sandaran kasur, sembari menutupi dadaku dengan selimut, tentunya.

"Apa-apaan ini? Ka-kamu... apa yang kamu perbuat terhadapku?"

"Aku?" Mata Julian memicing, lantas naik ke atas kasur untuk mengikis jarak antara kami. "Semalam kita melakukannya bersama-sama, Na. Jangan bikin ini seakan-akan aku yang memaksamu."

Aku terdiam. Apa yang Julian katakan memang tidak salah. Entah perasaan apa yang kini menguasai diriku, aku merasa terganggu. Aku merasa takut, namun sebagian dari diriku seakan memberikan pikiran menenangkan yang justru membuatku merasa kotor. Raina, bukankah ini yang sejak dulu kau tunggu-tunggu? Bercinta dengan lelaki idamanmu? Aku menggeleng kuat, membuyarkan segala lamunan yang membuat pikiranku semakin merembet ke mana-mana.

Julian masih diam di sana, berdiri menatapku dengan tatapan yang sama sekali tidak kuketahui apa artinya. Sebelum aku hendak berucap untuk melancarkan cacian dan rasa tidak terima, ia justru balik badan dan berjalan ke arah lemari.

"Pakai bajumu. Akan kuantar kamu pulang."

"Memang harusnya seperti itu," sahutku tanpa ekspresi.

Julian yang tengah sibuk mengenakan kaos oblongnya seketika menoleh, menatapku dengan alis terangkat.

Aku gelagapan. "Maksudku, bukankah seharusnya aku memang sudah harus kamu antar pulang sejak kemarin sore? Tidak sepatutnya aku berada di sini semalaman. Kamu tau maksudku, kan?"

Julian tersenyum kecut, membuatku semakin tak berkutik demi mendengar ucapan akhirnya. "Bukan salahku jika nyatanya kamu terbuai, terlalu nyaman berada di sini denganku sampai-sampai tertidur semalaman. Sudahlah, Na. Pakai bajumu, lalu kuantar kamu pulang. Menyesali hal yang sudah terjadi hanya akan membuatmu semakin banyak membuang waktu."

Ingat ketika Julian beralasan bahwa dia membawaku ke sini hanya untuk menunggu hujan reda? Seharusnya sejak awal aku sudah waspada, bahwa omongan lelaki memang tidak akan berakhir jauh dari kebohongan.

Tentu saja bukan hal yang mudah bagiku untuk bisa bersikap biasa saja terhadap Julian setelah apa yang dia lakukan terhadapku semalam. Kurasa kecanggungan itu juga dirasakan olehnya, terbukti dari tidak adanya percakapan antara kami berdua bahkan sampai mobilnya sudah terparkir di depan pekarangan rumahku.

"Na, tunggu," cegat Julian saat tanganku sudah hampir membuka pintu mobil. Aku menatapnya dengan alis terangkat, menunggunya berucap.

"Aku harap kamu masih sudi menemuiku setelah ini."

Aku tersenyum kikuk, sejujurnya tak bisa menanggapi apa-apa berhubung aku tipikal manusia yang takut berbuat janji. Seperti yang aku yakini, setiap orang ada masanya untuk pergi, maka aku tak akan berani menjanjikan apapun kepada Julian. Namun demi membuat ini menjadi mudah dan lebih cepat selesai, aku lebih memilih untuk menanggapi ucapannya dengan tanggapan yang menurutku lebih aman.

"Justru aku yang sebenarnya ingin mengatakan itu, Jul. Dari yang kutahu,  beberapa lelaki akan pergi begitu saja meninggalkan perempuan dengan dua alasan. Pertama setelah mendapatkan apa yang dia mau, kedua setelah rasa penasarannya berubah menjadi rasa bosan. Dari kejadian semalam, kamu akan meninggalkanku dengan alasan yang mana?"

Ayolah, Raina. Tanggapan macam apa itu?! Kau bahkan membuat percakapan ini akan semakin panjang. Julian tersenyum kecil, membuatku ingin turun dari mobilnya secepat mungkin.

"Mengapa kamu begitu pesimis, Raina? Aku sejahat itu, ya, di matamu?"

Aku mengerjap beberapa kali, sempat terjebak dengan pikiranku sendiri. Tunggu dulu. Memangnya untuk apa aku mengkhawatirkan hal ini? Setiap orang akan datang dan pergi, mengapa perginya Julian harus membuatku takut?

"Maaf , Julian. Aku harus masuk," ucapku mengakhiri percakapan sulit itu.

Sepanjang langkah kakiku yang terburu-buru melewati pekarangan rumah, aku tak berani menoleh untuk memastikan apakah Julian masih di sana atau tidak. Persetan! Dia tidak berhak mengganggu pikiranku sampai sedalam ini.

. . .

"Dari mana saja kamu?"

Kenalkan, dia Mulan. Ibuku yang saat itu sepertinya tengah menyeduh teh untuk kekasihnya yang sepertinya tengah menginap. Aku memutar bola mataku dengan malas, sebab kutahu bahwa dia tidak benar-benar peduli, sekalipun aku menjawab pertanyaannya itu dengan jawaban asal.

"Rumah Kirei," jawabku berbohong sebelum masuk ke dalam kamar. Tak lupa aku membanting pintu untuk menggertak pria menjijikkan yang kuyakini tengah berbaring santai di kamar ibuku yang letaknya tepat di samping kamarku sekarang ini. Sialan. Aku selalu  berharap punya keberanian untuk menceritakan semuanya kepada Ayah, tentang ciuaman menjijikan yang tanpa sengaja kulihat di ruang tamu rumahku itu, tentang pacar-pacar Ibu, juga perselingkuhan keji itu. Tapi  bagaimana caranya? Aku bahkan tidak ingat kapan terakhir kali Ayah menelponku. Atau jangan-jangan ayahku pun sudah memacari pekerjaannya sendiri di luar kota sana hingga dia tak punya waktu untuk menghubungiku?

Ah, peduli setan. Aku langsung membuang diri ke kasur, menatap langit-langit kamarku sembari membiarkan pikiranku mengembara hingga jauh. Jauh, sampai nama Julian kembali terbesit. Aku langsung meraih ponsel, mencari tau keberadaan sahabatku Kirei sebelum pergi menemuinya. Kirei adalah sahabat yang paling dewasa pemikirannya dibanding Angel, Putri dan Anisa. Menceritakan Julian kepadanya tentu akan sedikit membantu pikiranku.

Semoga.

. . .

"Kau tau? Kau hanya mempersulit dirimu sendiri."

Kalimat pertama dari Kirei. Ini yang aku senangi dari gadis berkulit kuning langsat itu. Ketika aku bercerita, dia hanya diam memerhatikan. Sama sekali tak pernah menyela atau memotong, dia benar-benar akan bicara—mengeluarkan pendapatnya baru setelah 'pasien' nya selesai bicara. Entahlah, kurasa selain diriku Kirei pun salah dalam hal memilih jurusan kuliah. Ia seorang model peragawati, namun dituntut oleh orangtuanya menjadi seorang ekonom, persis seperti yang dilakukan Ayah terhadapku.

Bahkan dengan kemampuan Kirei dalam hal mendengarkan cerita dan memberikan solusi ini, kurasa dia jauh lebih pantas berkuliah di jurusan psikologi ketimbang Angel yang kalau menjadi teman cerita lebih banyak menentang ini dan itu, menyalahkan banyak hal, menyimpulkan semuanya atas dasar prinsipnya sendiri.

"Mempersulit diriku?"

Kirei mengangguk mantap, menatapku dengan tangan bersedekap. "Kau terlalu banyak memikirkan hal-hal yang sama sekali tidak perlu dipikirkan. Tentang apa yang dia lakukan terhadapmu di malam itu, mungkin saja itu caranya untuk mengembalikan ketertarikanmu terhadapnya yang sempat hilang? Siapa yang tau?"

"Entahlah, Rei. Aku hanya takut jika setelah ini Julian akan membuangku seperti sampah. Kau tentu tau seberapa keras aku berusaha melupakan semua rasa sukaku terhadapnya, lalu sekarang... ah! Sialan!  Dia tidak sedang bermaksud membuatku gila, kan?!

Kirei tertawa, dengan tawa renyahnya yang menurutku selalu terkesan elegan. "Seperti yang kukatakan tadi. Kau hanya mempersulit dirimu dengan pikiran-pikiran yang belum tentu benar. Ayolah, ikuti saja alurnya. Santai, jangan terlalu tegang. Kalau Julian sudah berani menciummu, atau bahkan lebih, sudah menjadi kewajibannya untuk bertanggung jawab jika sahabatku yang cantik ini sudah kembali jatuh cinta. Awas saja kalau itu tidak sampai terjadi."

"Baiklah. Aku akan mengikuti ini semampuku, jujur saja, kali ini dia membuatku jatuh lagi. Bahkan jauh lebih dalam dari sebelumnya."

Kirei berdiri dari duduknya, menarik napas dan melengkungkan alisnya ke atas. "Jangan lupa diskusikan ini juga dengan Angel. Selain karena dia juga sahabat kita yang berhak tau, kau juga perlu mendengarkan pendapat lain yang bisa saja jauh lebih benar dan masuk akal dari pendapatku."

Meski sebenarnya enggan, aku mengangguk pasrah. Tentu saja aku harus siap untuk mendengarkan cercaan Angel yang akan dengan senang hati mengataiku bodoh karena sudah kembali memuja Julian.

Ah, Julian. Dimana pun kamu sekarang, kamu harus tau bahwa bukan hal yang mudah untuk diriku menggali kembali memori tentangmu setelah sekian lama kubiarkan usang. Berbanggalah, atas dasar jemariku yang masih sudi mengetikkan namamu di dalam cerita berhargaku ini.

• • •

Sampai jumpa di chapter selanjutnya❤️

Continue Reading

You'll Also Like

4.8M 178K 39
Akibat perjodohan gila yang sudah direncakan oleh kedua orang tua, membuat dean dan alea terjerat status menjadi pasangan suami dan istri. Bisa menik...
1.8M 145K 30
"Saya nggak suka disentuh, tapi kalau kamu orangnya, silahkan sentuh saya sepuasnya, Naraca." Roman. *** Roman dikenal sebagai sosok misterius, unto...
674K 1.3K 15
WARNING!!! Cerita ini akan berisi penuh dengan adegan panas berupa oneshoot, twoshoot atau bahkan lebih. Untuk yang merasa belum cukup umur, dimohon...
2.4M 20K 43
harap bijak dalam membaca, yang masih bocil harap menjauh. Kalau masih nekat baca dosa ditanggung sendiri. satu judul cerita Mimin usahakan paling b...