Cerita Nina

Galing kay Dalwa_Berita

64 2 0

Kumpulan Cerpen Karya Santri Dalwa Higit pa

SPECIAL THANKS TO
Mimpi-Mimpi Salsa*
Tanaman Ayah
Teh Turki dan supir taksi
Tetes Tinta Yang Mengetuk Delapan Pintu
Cinta dalam Ketakutan Pandemi
Daging Yang Dijanjikan
Cerita Nina
Elegi Semusim
Seekor Katak Yang Sakit
Sepucuk Surat Lelaki Biasa
Hingga Nabi Musa Pun Cemburu
Hari Kita Bisa Bersama Lagi, Namun Bukan Denganku

Kampung Surga

1 0 0
Galing kay Dalwa_Berita

Oleh: Bintang Eben Rusyd

Siapa pun tahu. Jika dia adalah orang yang selama ini mengubah kampung tersebut. Sebuah kampung yang dulunya begitu makmur seperti surga di dunia, hingga para tetangga kampung iri melihat kejayaan yang mereka miliki. Mengapa tidak, kampung itu memiliki segalanya. Bebuahan lebat. Persawahan subur. Air sungai yang mengalir jernih, seperti air PDAM di perkotaan besar. Para warga selalu menyirami dan mengairi persawahan mereka lewat sungai itu. Begitu makmur nan subur. Mereka pun menamainya dengan sebutan Kampung Surga, hingga datanglah seorang warga. Yang katanya, ia adalah seorang perantauan dari pulau seberang. Ya, begitulah kisah kedatangannya. Yang menyebabkan kampung itu menjadi berubah.

Bagaimana hal itu bisa terjadi? Begini ceritanya, saban hari Pak Sukma_Kepala desa disana. Seorang tua berwajah putih bersahaja, yang hendak kemanapun selendang putih selalu melilit di lehernya, senantiasa mengelilingi rumah warga satu per-satu. Memberikan wejangan untuk jangan pernah melalaikan sholat.

Sudah dua periode lamanya ia memegang jabatan, kampung itu makmur. Tak sedikit juga mereka para pejabat, mulai dari lurah hingga dewan DPR mendatanginya. Hanya untuk sekadar menanyakan, apa yang selama ini Pak Sukma gunakan? Lalu, pria tua bersahaja itu hanya menjawabnya dengan kikikan tawa.

"Kalian datang dari jauh hanya menanyakan hal itu kepadaku?" Pria tua itu tertawa kecil.

"Sebenarnya, saya tidaklah memakai apa pun. Hanya saja, saya selalu menyerukan kepada para warga untuk senantiasa jangan pernah meninggalkan sholat." Ucap kepala desa.

Ketika jawaban itu yang terlontar. Setiap dari mereka yang datang mengernyitkan dahi. Menganggap Pak Sukma hanya sedang bergurau. Padahal tidak. Saat mereka menyadari raut wajh kepala desa yang tulus bahwa itu bukan sekedar gurauan. Mereka malah menertawakannya. Lalu menarik diri kembali dengan hasil sia-sia. Mereka menganggap Pak tua itu sudah gila. Gila dengan agamanya. Sok suci-lah. Sok menceramahi-lah. Sok agamis-lah. Dan sok-sok yang lain. Entahlah, sudah berapa banyak sudah orang yang berkunjung dan mendengar jawaban yang sama seperti itu. Lalu malah meremehkan agama yang ia pegang. Bahkan menginjaknya kalaupun perlu.

Namun semua itu benar apa adanya, pria tua itu selalu mendatangi rumah warga satu per-satu. Apakah kalian sudah menunaikan sholat? Mengapa ada diantara kalian yang belum sholat? Sholat apakah yang terasa begitu sulit untuk kalian kerjakan? Jika ia mendapati salah seorang warga yang tak melakukannya, Pak tua itu langsung menegur dan mengingatkan terhadap adzab kubur layaknya orang tua kepada anaknya. Mengingatkan bahwa hidup itu sebentar. Hidup itu hanya ibarat sebuah permainan.

Maka, hanya berbekal sepeda motor Astrea butut pemberian mendiang Abahnya, tiap pagi hingga menjelang Dhuhur. Ia berkeliling menghampiri rumah warga. Seperti sudah menjadi kebiasaan. Sebab, ia teringat dulu pesan mendiang Abahnya sebelum meninggal, jangan pernah lalai mengerjakan sholat!

Dan tang terakhir. Pria tua bersahaja itu mendatangi rumah si orang rantau. Hanya ia seorang yang tinggalnya paling jauh dari warga sekitar. Di dekat hulu sungai. Sebab tak ada lagi rumah kontrakan yang tersisa. Punya mbok Mariam_juragan di kampung itu. Habis ditempati oleh para orang rantauan pula. Ya jadilah rumah kontrakan itu satu-satunya yang tersisa.

Pada awal mula, semua nampak baik-baik saja. Tak ada kerusuhan ataupun masalah. Orang rantauan itu pun nampak baik di mata masyarakat. Jika ditanya Pak Sukma pun ia menjawab, "Sudah melakukan sholat. Sudah mengerjakan sholat."

Namun, suatu ketika, bertepatan dengan hari Jumat. Hanya orang rantauan pelosok itu yang tidak datang. Bisa dibilang masjid itu kecil bila dibanding dengan masjid lainnya di kampung sebelah. Jadi untuk mencari seseorang sangatlah mudah. Apalagi Pak Sukma sudah terbiasa seakan mengabsen warganya per satu.

"Dimana Sulam, sedari tadi aku belum melihatnya masuk masjid?" Tanya Pak Sukma kepadaku, sebab rumahku lah yang paling dekat dengannya

"Entahlah Pak. Saya sama sekali belum melihatnya. Tapi, anehnya Pak. Hampir saban hari, di depan rumahnya selalu tercecer botol-botol bekas. Juga banyak terlihat tepung putih berceceran tersebar di rumahnya." Jawab setahuku.

Pak Sukma pun mengernyitkan dahi. Tak mengerti apa yang kumaksud.

Pembicaraan kita pun terhenti. Entah Pak Sukma tak ingin meneruskannya. Atau entahlah. Tapi setelah kejadian tersebut, beberapa warga mulai komplain dengan perkebunan yang tak seperti dulu. Buah mulai banyak yang busuk. Ada juga sebagian pohon tidak mengeluarkan buahnya sama sekali. Padahal mereka selalu merawatnya dengan telaten. Seperti merawat anak sendiri. Begitu pula air yang mengairi persawahan mereka. Padi mereka tak nampak subur seperti dulu lagi. Tak menguning sebagus musim kemarin. Beberapa hektar kebun jagung juga mengalami gagal panen. Ada pula sebagian jagung yang berhasil dipanen namun, tidak lagi utuh karena dimakan burung. Padahal mereka sudah menjaganya dengan ketat. Entahlah, seakan kejadian itu terjadi secara kebetulan belaka.

Makin lama kejadian merugikan tersebut makin sering. Saban hari ada saja orang yang mengadukan keluhan perihal perkebunan atau pertanian mereka. Sekarang giliran sungai terkena imbasnya. Airnya tak sejernih dulu. Makin hari sungai itu semakin men–cokelat saja. Berbusa dan berlumpur. Bahkan terkadang sungai itu berwarna merah jika hujan turun deras menghujam. Malang, sekarang sungai itu terlihat semakin surut.

Setelah melalui pertimbangan warga dengan kepala desa. Pak Sukma mengajak seluruh warga melakukan untuk musyawarah terbuka. Para warga begitu antusias mengikutinya.

***

"Jadi bagaimana ini bisa terjadi?" Pak Sukma membuka acara tersebut.

Para warga saling berbisik satu sama lain. Membicarakan hal yang sama. Mereka bingung, apa sebenarnya yang terjadi. Lalu, entah dari mana seakan Pak Sukma mendapat ilham. Untuk menanyai mereka satu per-satu tentang ketelatenan melaksanakan sholat.

"Apakah disini, kampung kita ini, ada yang tidak melaksanakan sholat? Sebab, mungkin kurangnya ketekunan sholat lah yang mempengaruhi ini semua."

Mereka semua tak berani menjawab. Menundukkan kepala. Takut ditanya atau malah dituduh.

Lantas, aku pun mulai angkat suara.

"Saya curiga dengan warga baru kita, Pak Sukma!"

"Yang kamu maksud si Sulam Kah? warga yang tinggal di hulu sungai itu?"

"Benar pak Sukma. Bukannya saya menuduh yang jelek-jelek. Tapi, bukankah ia dulu pernah tidak ikut melaksanakan sholat Jumat beberapa waktu yang lalu? Dan sekarang saya bertanya pada semua warga yang berhadir disini. Apakah selama ini ada yang pernah liat Sulam pergi sholat ke masjid?"

Riuh bisik-bisik seluruh hadirin. Para warga serentak ribut kubuat. Mereka langsung menyebut-nyebut Sulam. Ada pula yang membenarkan ucapanku tadi. Selama ini mereka juga tak pernah melihatnya sholat walau sekali. Mungkin itulah penyebab kerusakan kampung ini. Hilangnya sebuah cahaya keimanan. Dan mungkin juga, ia penyebab air sungai menjadi surut. Bukankah saban hari ia selalu menyandangkan kebutuhan kesehariannya terhadap sungai itu. Hingga membuat Allah murka terhadap kampung itu. Betapa tidak, ternyata ada seorang hamba yang meninggalkan kewajiban beragama. Maka, Allah pun menyurutkan sungai itu.

"Iya benar, bukankah kanjeng Nabi pernah berkata, malapetaka itu ditimpakan menyeluruh. Yang akhirnya kita juga ikut terkena imbasnya." Seorang warga mulai berorasi.

"Sebaiknya kita usir saja dia!"

"Iya betul, secepatnya harus kita usir orang itu!"

"Para warga harap tenang!" Pak Sukma berusaha menenangkan suasana. "Mungkin itu bisa saja ada benarnya. Tapi kita tidak bisa menuduhnya begitu saja."

"Sebaiknya kita datangi rumahnya besok pagi saja. Lagipula sekarang sudah malam." Ucap yang lain menimpali.

Para warga pun langsung membubarkan diri. Pulang menuju rumah masing-masing. Benang merah pun mulai terlihat dari hasil musyawarah. Hanya tinggal menunggu keputusan esok hari.

***

Esok hari tiba. Mereka terkejut dengan yang terjadi di sekitar kampung. Betapa tidak. Seluruh dan tumbuhan pohon mendadak layu. Dedaunan jatuh beruguguran. Air sungai surut. Tak ada sama sekali yang mengalir. Hektaran ladang mengering seluruhnya. Padi, jagung, gandum semua. Mereka semua bingung. Begitu juga denganku. Semua kebun manggaku habis tak tersisa. Kering kerontang. Batang pohon rontok. Antara percaya atau tidak. Allah begitu murka. Sang Maha berkehendak menurunkan adzab terhadap kampung ini.

Kesabaran mereka pun habis. Mereka tak habis pikir dengan kejadian itu. Berbondong-bondong para warga menuju rumah Salam. Ingin mengusirnya sesegera mungkin. Tapi semua itu terlambat. Pak Sukma juga tercengang saat itu. Sebagian warga sudah berkerumun di depan rumahnya. Sesak. Sangat ramai. Orang berdesakan ingin melihat apa yang terjadi. Menutup hidung dengan telapak tangan. Sebagian lainnya berkata lirih.

"Kasihan, bagaimana mungkin ia meninggal dalam keadaan sedang meminum arak."

Gunung Ser, Sukunan

Ipagpatuloy ang Pagbabasa

Magugustuhan mo rin

9.7M 881K 51
#1 In Horor #1 In Teenlit (20.05.20) Tahap Revisi! Vasilla Agatha yang dijauhi orang tuanya dan tak memiliki teman satupun. Dia menjalani setiap har...
1.1M 3.6K 15
Ingin cerita lebih lengkapnya lagi, Silahkan klik Link di profil saya... 🙏🙏😊
8.3M 518K 34
"Tidur sama gue, dengan itu gue percaya lo beneran suka sama gue." Jeyra tidak menyangka jika rasa cintanya pada pria yang ia sukai diam-diam membuat...
3.7M 81.6K 51
"Kamu milikku tapi aku tidak ingin ada status terikat diantara kita berdua." Argio _______ Berawal dari menawarkan dirinya pada seorang pria kaya ray...