GUE CANTIK, LO MAU APA?! (End)

By svanhild28

64.4K 12.7K 3.5K

"Mantanku memang dekat, lima langkah dari rumah." Jangan nyanyi, please! Tahu tidak, rasanya bertetangga deng... More

Prolog : Mantan yang tak dianggap
Part 1: Mantan jahanam
Part 2: Mabok kecubung
part 3: Trio babu Nindi
Part 4: Pacaran sama lo itu khilaf
Part 5: Konten settingan Dimas
Part 6: Lo masih ngarep gue kan?
Part 7: Cara modus sultan
Part 8 : Santi hilang, Nindi menggila
Part 9 : Pacar baru Mahes
Part 10 : Kadang hidup juga perlu pahit
Part 11 : Perebutan hak asuh Santi
Part 12: Ketika dihadapkan dengan dua orang yang sama-sama mencintaimu
Part 13 : Penilaian tentang Nindi dari dua sudut pandang
Part 14: Pengen nikah muda
Part 15: Masih tentang menikah muda
Part 16: Amankan Nindi dari bujuk rayu Mahes
Part 17: Mahes si moody-an dan labil
Part 18: Jangan pernah sepelekan pelecehan dalam bentuk apa pun
Part 19: Dimas dan rencana liciknya
Part 20: Dimas si tukang kompor
Part 21: Nindi dan kegalauannya
Part 22: I will always be the one who pull you up, when everybody push you down
part 23 : Viral
Part 24: Yang tidak Nindi tahu
Part 25: Pacar ganteng, bikin Insecure
Part 26: Bimbang
Part 27: Bingung mau kasih judul apa
Part 28: First dating
part 29: Pacarku ternyata hatersku
Part 30: Physical abuse and sexual harassment
Part 31: Setelah kejadian itu
Part 32: Dibalik rahasia Abel
Part 33: Gosip menggosip
Part 34: Curhatan anak broken home
Part 35: Seseorang yang dikalahkan oleh lelah
Part 36: Terciduk season 2
part 37: Masalah yang datang bersamaan
part 38: Menghilangnya si manusia freak
Part 39: Munculnya bocah Prik
Part 40: Gimana? udah mual belum?
Part 42: Gagal memahami perasaan sendiri
Part 43: Yang tulus bukan cuman Radit
Part 44: Titik terang tentang Abel
Part 45: Hari ini tanggal kita
part 46: Minions Pepes
Part 47: Mimpi buruk yang terlalu nyata
Part 48: Menuju ending
Part 49: Udah sah, kenapa nggak?
The End (Part 1)
The End (Part 2)
sequel?

Part 41: Setelah cuitan itu

686 172 105
By svanhild28

Part 42: Setelah cuitan itu

Sehari setelah ia meng-upload cuitan di Twitter, setiap waktu ia dilanda waswas, dan takut. Banyak notifikasi yang masuk di ponselnya mengenai cuitan yang ia bagikan. Abel tak tahu betul bagaimana respon mereka yang membaca threat-nya, sebab Abel terlalu takut sekadar melihat jumlah like, apalagi balasan dari mereka.

Entah telah sampai mana cuitannya, tak tahu sebanyak apa orang yang tahu kalau ia mantan PSK, dan sebanyak apa pula orang-orang yang mencacinya. Ia takut, namun risikonya berusaha ia telan sepahit apa pun dampaknya.

Ia tak menyembunyikan identitasnya di sosial media mana pun, orang-orang pun dapat jelas melihat foto-foto yang ia upload, barang kali setelah cuitan itu dilihat banyak orang, di mana pun ia berada ia akan dikenali sebagai PSK.

Ia menumpangi angkot yang searah dengan sekolahnya dengan hati tak tenang, duduk bersama orang-orang sambil meremas-remas tangannya yang basah oleh keringat.

Ada satu perempuan muda berumur sekitar dua puluhan yang duduk tepat di depannya, matanya sedari tadi menjurus padanya, terutama pada name tag yang berada di seragamnya. Ia curiga, wanita itu mengenalnya lewat cuitan itu.

"Kamu Sabella yang itu?" Akhirnya wanita itu bersuara setelah sedari tadi menahan rasa penasaran.

Abel tak segera menjawab, melainkan sibuk merangkai kata yang tepat untuk menjawab pertanyaan perempuan itu.

"Y-yang mana?" tanya Abel, ia berdusta soal dirinya. Ia tahu, yang dimaksud perempuan itu adalah dirinya.

"Kamu yang di Twitter 'kan?"

Benar dugaannya, sebetulnya unggahannya telah sampai mana? Cepat sekali menyebar.

"Bukan, salah orang," tepis Abel, berusaha bersikap biasa saja, meski keringat dingin di dahinya membuatnya kentara bahwa sedang tidak biasa-biasa saja.

"Tapi kamu tahu nggak?"

"Tahu."

Perempuan itu menghela napas panjang." Terlepas benar-nggak ceritanya, kasian dia udah dijadiin budak sama bapaknya, mana pisah sama ibunya dari kecil."

Benar, kasihan sekali nasibnya. Tuhan membuat skenario seolah-olah seluruh kesialan di muka bumi dijatuhkan padanya, tanpa ampun. Dimulai dari saat ibunya pergi, kecelakaan yang menimpanya, perlakuan kasar, sampai dijadikan budak oleh ayahnya.

Ceritanya tak luput dari hujatan, pasti sebagian menilai ceritanya mengada-ada, namun mendengar perempuan itu bersimpati padanya, membuatnya yakin, bahwa di luar sana banyak pula yang percaya padanya.

"Tolong bantu share ya, Mbak. Tujuan utamanya buat cari ibunya," tutur Abel, seraya menunduk menyembunyikan wajah layunya.

"Udah pasti."

Abel menyadari angkot itu hampir mendekati sekolahnya, Abel lantas berkata,"Bang, depan sekolah," dengan suara sedikit nyaring agar si supir menangkap suaranya.

Perlahan laju angkot itu memelan, dan berhenti tepat di depan sekolah yang bisa dibilang cukup maju di kota ini.

Abel meneguk ludah sambil menatap takut sekolah dan hiruk-pikuknya dari pintu angkot, setelah akhirnya ia memberanikan diri turun dari angkot.

Banyak pasang mata menyambutnya, sorot mata menilai, tak percaya, sinis, dan kasihan. Abel menelusuri setiap orang yang menatapnya dengan mata sayu nan sembabnya, mencoba mengatakan lewat mata bahwa yang ceritanya nyata adanya. Jika bisa jujur pada semua orang, ia memang sedang butuh rasa kasihan dari mereka. Rasa kasihan yang bisa mengantarnya bertemu ibunya.

Selangkah maju dari tempat ia berdiri, sesosok perempuan seusianya menghadangnya. Abel terkesiap, namun ia berusaha bersikap seperti biasa, ---angkuh dan sombong.

"Lo cuman mau viral 'kan? Bisa-bisanya ngerendahin bapak sendiri demi famous?" tuding gadis itu, jemawa.

Perempuan satu ini mengundang yang lain mendekat, mengerumuninya. Abel semakin menegakkan tubuhnya dan sedikit menaikkan dagu. Tak ingin siapa pun menganggapnya lemah usai mengakui siapa dirinya.

"Dari muka-muka lo keliatan kalau emang cewek nggak bener! Bikin malu sekolah lo!" maki gadis lainnya.

"Kalau lo emang kerja begituan, nggak usah pakek bawa-bawa orang tua lah! Gini amat cari followers." Yang lain juga ikut menimpali.

Ia memang dikenal congkak di depan banyak orang, hingga apa pun yang keluar dari mulutnya akan dianggap omong kosong. Abel menerimanya, itu sudah jadi konsekuensi menjadi orang jahat.

Abel tersenyum miring seraya memutar bola mata, congkak dan angkuh itu sudah jadi ciri khasnya. Jadi, dalam keadaan apa pun ia tak boleh terlihat lemah dan kalah.

"Nggak percaya? Gimana kalau lo pada ketemu langsung sama bapak gue?" tantang Abel. Mereka pun tak berkutik, ingin menjawab, namun tak punya nyali. "Cobain sehari jadi anak bapak gue, biar tahu rasanya disuruh jadi lonte, kerja nggak bener!" imbuhnya.

"Jaga omongan lo ya!" Perempuan yang pertama kali mendatanginya membulatkan mata, sambil menunjuk wajah Abel.

"Kalau nggak, gini aja deh. Lo nikah sama bapak gue aja, kebetulan emak gue belum ketemu, atau udah mati kali."

"Lo masih punya muka ngomong gitu ke gue? Nggak malu lo kerja begitu?"

Abel menahan tawa geli. Sangat lucu ketika tahu orang-orang percaya setengah ceritanya, namun tak percaya fakta yang mengiringi. Untuk apa Abel tega memajang foto pria itu jika tak sesuai fakta yang ada? Untuk apa mempermalukan ayahnya sendiri jika faktanya ayahnya baik? Abel tidak terobsesi jadi terkenal, hingga melakukan berbagai cara agar ia dikenal banyak orang. Pun jika Abel memang ingin terkenal, bukan seperti ini caranya.

"Jadi lo nganggep gue lebih rendah dari lo? PD banget? Lo siapa? Dih." Abel mengedikkan bahu tak acuh, lantas menerobos kasar kerumunan yang mengelilinginya.

Tak ada yang baik-baik saja ketika sasarannya langsung mengarah ke hati, apalagi dalam bentuk cacian. Hati yang semula telah ringkih, hancur membentuk kepingan.

Sepanjang koridor, tatapan mata itu seperti ingin membunuhnya, padahal ia tak melakukan kejahatan apa pun. Apakah membeberkan kebenaran merupakan sebuah kejahatan? Apakah ia pantas mendapat sanksi sosial, sementara di sini dirinya menjadi korban?

Sampai di ruangan yang menjadi kelasnya, ia tak henti-hentinya disambut dengan tatapan sinis dan bertanya-tanya mereka. Dirinya bak dikejar penjelasan, padahal unggahannya menjelaskan semua yang ada, tak ada yang ia tutup-tutupi atau dilebih-lebihkan. Ini lebih sakit dari panyiksaan yang ia alami, di mana kebenaran dianggap karangan demi menjadi selebriti. Abel tak gila ketenaran.

Pintu kelas di tutup oleh salah satu siswa, dan kini ia seperti dijadikan mangsa oleh predator buas, ia dikepung seperti ingin dibunuh saat itu juga.

Itu beneran lo?

Jangan bikin drama deh!

Ngaku-ngaku PSK karena disuruh bokap nggak lucu banget Bel!

Bikin malu temen sekelas! Satu sekolah malah ikut nanggung malu!

Kalau emang yang lo ceritain fakta, gue harap bokap lo sadar deh.

Enak kerja begituan?

Anak broken home Lo ya? Kasian.

Setidaknya kalimat itu yang bisa Abel tangkap jelas, belum lagi yang tak terdengar jelas, pasti lebih keji dari apa yang ia terima sebelumnya.

Suara-suara gaduh mereka memenuhi kepalanya, semuanya tertampung di otak sampai-sampai saraf otaknya seperti tak berfungsi dengan semestinya. Telinganya ia tutup, karena dirasa tak mampu lagi menerima hinaan yang menyayat hati. Namun hal itu ternyata tak cukup kuat menghalau suara gaduh itu untuk tak terdengar.

Bak memory card yang bisa tak muat menampung banyak file, begitu pun otak Abel yang agaknya akan pecah.

"CUKUP!" Abel memekik sangat lantang, hingga suaranya mendominasi kegaduhan yang ada. Suara-suara itu pun raib bak dilahap pekikan Abel.

Deru napas kasar dan sorot matanya yang tajam agaknya sudah cukup menunjukkan bahwa perempuan itu tengah dirundung emosi. Tangannya mengepal kuat, seperti siap memukul siapa pun yang berani berbicara lagi.

"Gue nggak peduli mau kalian percaya atau nggak! Karena tujuan utama gue mau cari nyokap gue!" gertak Abel.

"Halah, ngeles! Mau ngebela diri kok, bawa-bawa nyokap?"

Tangannya secara tak terkendali melayang pada wajah salah satu gadis, dan menghantamnya sangat kuat, sampai-sampai suara tamparannya membuat seisi kelas terkesiap.

Ditengah emosinya yang berapi-api, seorang gadis menerobos kerumunan dan berdiri di samping Abel, ---Nindi. Tampak Nindi juga sama emosinya terlihat dari gurat wajahnya.

"Kita sekelas lho. Kalau lo semua nggak percaya, seenggaknya jangan menghakimi seenaknya. Tolong banget, jangan main circle-circle-an buat kali ini!" Nindi berbicara dengan lantangnya, tak peduli mau dianggap sok jadi pahlawan.

Walau mereka berada di kelas yang sama, namun mereka belum bisa dianggap teman yang solid, sebab dalam satu kelas terdapat banyak circle. Terkadang circle yang satu bermusuhan dengan circle lainnya, hingga jika satu orang mendapat masalah, simpati jarang mereka berikan. Justru semakin memperkeruh suasana.

"Udah-udah, bubar! Cewek-cewek pada heboh giliran masalah ginian!" Suara tegas seorang lelaki berhasil memecah kerumunan, hingga Abel tak lagi dikelilingi.

"Tenang Bel, banyak kok, yang percaya sama lo," tutur Nindi, bermaksud menenangkan Abel agar tak terlalu memikirkan cemoohan yang ia dapatkan.

Abel menunduk dengan mata terpejam, menikmati denyut panas di kepala, dan nyeri di dadanya. Rasa sakit yang berbeda dari sakit yang biasa ia rasakan, rasa sakit yang mengantarkannya pada takdir hidup berikutnya. Entah, bagaimana jalan takdir menuntunnya setelah ini, Ia berharap mendapat kelegaan setelah bertahun-tahun hidup menyembunyikan rahasia memilukan.

Jika pun ia tak mendapat takdir bahagia, ia ingin hidup tanpa bayang-bayang ayahnya. Jika ibunya belum juga ia temukan, maka ia dengan lapang dada menganggap bahwa wanita itu telah mati. Antara mati jiwa, dan mati rasa kemanusiaannya.

"Nih, ada yang ngaku-ngaku tetangga lo. Bener nggak?" Nindi menyodorkan ponselnya pada Abel untuk memastikan bahwa pengakuan pemilik akun itu benar atau sebaliknya.

Abel membaca dengan teliti balasan dari pemilik akun itu, yang menerangkan bahwa orang itu merupakan teman kecil Abel, sekaligus menjadi saksi kekerasan ayahnya semasa kecil dulu.

Tanpa sadar setetes air mata menjejaki pipinya, hatinya tersentuh kala membaca tulisan yang terkesan membelanya itu. Ia mengenal jelas siapa dia, teman kecilnya yang sekarang tak pernah ia jumpai lagi.

"Iya, ini temen gue. Si Mahmudin," akunya.

"Tapi dia kayaknya sekalian pansos deh."

"Biarin aja, pas banget timingnya buat pansos. Kalau lo mau, lo juga bisa pansos jalur ngaku temen gue," kelakar Abel, sambil terkekeh.

"Bukan gue banget sih, itu."

Saat Abel hendak melanjutkan langkahnya menuju bangku miliknya, suara pintu terbuka dengan kasar mengejutkan dirinya dan seisi kelas. Seorang pria berperawakan tinggi, dan dikenal sebagai guru paling sabar, kini berdiri dengan tatapan mata penuh amarah. Mengarah langsung pada Abel yang tak berkutik.

Abel tahu setelah ini apa lagi yang akan terjadi padanya, mungkin dikeluarkan dari sekolah. Namun tak apa, ia telah menerima konsekuensinya. Lagi pula, ia tak perlu lagi mengaku bahwa ia PSK untuk dikeluarkan dari sekolah ini seperti yang ia ingin sebelumnya, sekarang ia hanya tinggal menerima surat drop out.

"Ikut saya!"

****

Adanya kasus Abel, membuat semua orang beradu kemampuan ghibah mereka, termasuk dua pemuda yang katanya amat dikenal cool di sekolah, namun siapa yang menyangka dibalik lagak jantannya kemampuan ghibah mereka mengalahkan ibu-ibu kompleks.

Melupakan perseteruan tempo hari, dua pemuda julid itu kembali dipersatukan lewat kasus yang sedang hangat-hangatnya dibicarakan.

Pagi ini di kantin yang masih lengang, satu-satunya tempat ghibah paling tenang.

"Sebenarnya gue udah tahu dari kelas 11, gue nemu video dia di situs biru!" Mahes berbicara dengan antusiasme tinggi. Selama satu tahun, Mahes menyembunyikan kasus Abel, dan hal itu tak mudah, karena sesekali keinginan untuk cepu selalu menghantui. Tetapi kali ini, Mahes bisa bernapas lega karena ia tak perlu menyembunyikan rahasia Abel lagi, dan menikmati ghibah tanpa merasa bersalah.

"Pengkhianat lo!" Dimas mendorong bahu Mahes, geram." Bisa-bisanya lo nggak bagi tahu gue! Sebagai bestie gue merasa dikhianati!" omelnya.

"Gue udah sepakat sama Nindi buat nggak sebar video itu."

"Nindi juga tahu?"

Mahes mengangguk." Malah kita nobar."

Refleks mata Dimas membulat, sebagai reaksi terkejutnya." Serius? Pacar gue nonton?

"Nggak usah lebay! Pacar kesayangan lo itu alim kok! Nontonnya sambil merem."

"Lah, mana bisa nonton sambil merem?"

"Nontonnya pakek mata batin."

Dimas manggut-manggut tidak paham. Kalau berbicara dengan Mahes pasti endingnya bakal ke mana-mana, bodohnya ia merespon dengan serius perkataan Mahes.

"Iri banget gue sama lo. Udah seiman, tetanggaan pula!" keluh Dimas. Ia tak pernah menganggap remeh masalahnya, hari-hari ia jalani dengan mengeluh perihal tembok pembatas yang terlalu tinggi.

Tiada hari tanpa mengeluh. Ia tahu, apa pun yang menyangkut keyakinan pasti berat, namun bodohnya ia tetap memaksakan keinginannya.

"Lagian di sekolah ini yang Kristen bukan lo doang. Noh, anak kelas sebelah! Sama-sama China! Kenapa nggak sama dia aja sih, daki gorila!"

"Salahin Nindi, kenapa dia ngeselin, kayak orang gila, agak dongo, pecicilan, gemesin. Gue 'kan jadi tergila-gila."

Dimas akui, yang aneh bukannya Nindi, tetapi hatinya yang melemah jika dihadapkan dengan gadis itu. Acap kali ia bertanya-tanya, kenapa hatinya mudah sekali takluk oleh keanehan tingkah Nindi. Padahal gadis itu 11, 12 sama gilanya seperti Mahes. Ia bisa muak dengan kegilaan Mahes, namun jika dihadapkan dengan Nindi tipe-tipe ideal pacarnya langsung lenyap dari otak.

"Oh, jadi sekarang tipe pacar lo bukan yang penting cantik lagi? Tapi yang dongo kayak Nindi?"

"Nggak gitu! Kalau cewek lain harus cantik, kalau Nindi nggak pa-pa lah, mau dia prik sekalian, gue tetep cinta."

"Idih." Mahes mulai sewot, sepintas ingatan masa lalu terbayang kembali. "Dulu nyuruh gue putus sama Nindi karena ke-perfeksionis-an lo. Eh, sekarang ngembat juga!"

Dimas tersenyum miring, matanya menyorot Mahes dengan tatapan licik."Denger ya, di cerita lo, gue emang antagonis. Tapi di cerita gue, lo yang antagonis."

Mahes mengalihkan tatapannya ke objek lain. Ternyata bisa muak juga melihat lagaknya yang sok licik itu.

"Lo mah, emang mau sama Nindi pas gue masih jadi pacarnya kali!"

"Kalau iya kenapa?"

Mata yang semula malas menatap Dimas, kini saling beradu. Mereka saling mengintimidasi lewat sorot mata.

"Jangan kepancing dulu. Gue cuman nanya," lanjut Dimas.

"Denger, kalau lo emang mau sama Nindi silakan! Jangan tanya sesetia apa gue sama lo Dim. Karena walau gue masih sayang banget sama Nindi, gue nggak ada niatan marah atau musuhin lo."

Mahes kembali mengalihkan tatapannya, dan menghembuskan napas kasar. Ia tak mau memperpanjang perkara yang bisa memicu hancurnya bertemanan, apalagi hanya masalah percintaan.

"Yang penting lo nge-treat dia like a queen," lirik Mahes, nyaris berbisik. Sejujurnya ia amat kecewa dengan balasan Dimas yang seakan-akan mengiyakan dugaannya. Namun jika dia lebih bisa membuat Nindi nyaman, Mahes tak akan membahas masalah-masalah yang sudah berlalu.

"Tapi kalau Nindi nggak nyaman sama lo." Mahes melanjutkan kata-katanya." Tolong lepasin dia, biarin dia milih."

"Nggak bakal gue lepasin."

****

Mumpung hari Minggu aku update wkwkw. Lagi ga capek:)

Continue Reading

You'll Also Like

S M A K S A By Miil

Teen Fiction

16K 3.3K 38
"Selamat datang di SMAKSA! Apa dosa orang tuamu?" ***** Sekolah Menengah Atas itu berbeda. Setiap tahun menerima siswa baru, tetapi tidak pernah memi...
631K 17.5K 49
Cerita sudh end ya guys, buru baca sebelum BEBERAPA PART DIHAPUS UNTUK KEPENTINGAN PENERBIT. Kata orang jadi anak bungsu itu enak, jadi anak bungsu...
1.2K 130 45
Tidak ada pendeskripsian panjang. Yang perlu kalian tahu adalah 'bagaimana cara yang baik untuk mengalahkan ego bagi sebagian orang'. re-frain ©2020...
27.9K 2.2K 43
-Selesai- Naik kelas 2 udah buat cowok blasteran kantin dan Rooftop kayak Rangga lebih pintar. Selain bertekad bisa nepuk nyamuk dengan kedip, dia ju...