ANJING (Angkasa dan Jingga) |...

By milkitaheidi

616 85 7

[update seminggu sekali || Diharapkan follow akun dulu sebelum membaca, makasih] Jingga-acap kali dihubungkan... More

Prompt and Character
Opening
Satu
Tiga
Empat
Lima

Dua

70 14 1
By milkitaheidi

"Jingga,"

Sapaan Pak Adimas yang baru saja kembali dari mengajarnya itu membuat Jingga mengangguk kecil untuk membalas sapaan dari laki-laki dua puluhan akhir itu.

"Abis ketemu sama Pak Surya, ya?" tanya Pak Adimas berbasa basi.

Sebenarnya Pak Adimas sudah tahu bahwa Jingga memang baru saja selesai melakukan pertemuan empat mata dengan Pak Surya—rekan sekaligus dosen pembimbingnya Jingga.

"Iya, Pak. Abis konsultasi tadi," jawab Jingga.

Bohong. Mahasiswi angkatan muda itu sedang berbohong pada Pak Adimas. Karena setahu Pak Adimas, Jingga sedang terlibat masalah dan tidak mungkin ia begitu saja di minta melakukan pertemuan tidak terjadwal tanpa alasan. Jingga pasti sedang diberi nasehat atau lebih parahnya dimarahi habis-habisan.

Pak Adimas memandangi wajah Jingga yang nampak kusut. Di kulit putih wajahnya juga terlihat ada goresan tipis merah. Jingga terluka.

"Oh iya, kamu habis inin ada kelas lagi kah?" tanya Pak Adimas.

Jingga menggeleng, "Kebetulan hari ini mata kuliah saya udah rampung semua. Memangnya ada apa, Pak?"

"Itu, saya mau ngajakin kamu coffe break sekaligus ngobrol. Anggap aja ngajakin kamu nostalgia kayak dulu. Itupun kalo kamu berkenan," ajak Pak Adimas.

Jingga nampak menimbang tawaran Pak Adimas. Kalau diingat lagi, Jingga memang sudah jarang sekali berkomunikasi dengan dosen mata kuliah Kardiovaskulernya itu.

"Boleh, Pak. Tapi bapak yang bayar ya?"

Pak Adimas tertawa kecil dengan tengilnya Jingga yang tidak tahu malu meminta traktiran padanya yang notaben adalah dosennya di kampus.

"Boleh tapi nggak melebihi seribu rupiah ya,"

"Seribu mana cukup buat bayar kopi. Permen aja seribu cuma dapat 4 biji. Nggak kayak dulu yang masih dapet 10 biji," mendengar penuturan Jingga, Pak Adimas lagi-lagi tertawa.

"Yaudah. Saya yang bayar. Kamu cukup temenin saya ngobrol aja," Jingga hanya manggut-manggut saja mengikuti tawaran Pak Adimas.

"Kayaknya mending di kantin belakang aja kali ya? Soalnya jam segini lumayan agak sepi. Nggak kayak kantin depan,"

Jingga hanya bisa menurut dan mengekor lelaki itu. Mereka sempat mengobrol beberapa hal di sepanjang perjalanan menuju kantin belakang fakultas. Sesuai dengan janjinya, Pak Adimas mengabulkan permintaan traktiran dari Jingga.

"Kamu nggak apa-apa nih kalo ngobrol sama saya?" tanya Pak Adimas pada Jingga yang sedang membersihkan meja kantin yang basah bekas pengunjung sebelumnya dengan tisu.

"Nggak papa kok, Pak. Memangnya ada apaan dah?" jawab Jingga yang masih sibuk dengan kegiatan bebersihnya.

"Kali aja kamu ngerasa nggak nyaman mengingat kita udah jarang komunikasian. Apalagi saat ini kita jadi bahan tontonan mahasiswa disini," kata Pak Adimas.

Jingga mengendikan bahunya sembari menepikan bekas tisu yang digunakanya, "Kayak apaan aja sih, Pak. Biasa aja kali. Kecuali bapak sendiri yang ngerasa nggak nyaman sama tatapan mereka,"

"Saya sih nyaman-nyaman saja. Takutnya kamu merasa nggak nyaman karena mungkin saja nanti akan muncul gossip kalo kamu ada hubungan gelap sama saya,"

Jingga terkekeh mendengar penuturan Pak Adimas, "ya itu sih hak mereka mau bergosip seperti apa. Selagi itu gossip tidak benar kenapa harus dipikirin,"

Pak Adimas tersenyum, "kalo kayak gini, kamu betulan mirip dengan Sekala ya? sama-sama nggak perduli dengan pandangan orang sekitar. Kalian hanya perduli diri sendiri,"

Jingga mengendikan bahunya, "Mungkin Sekala lagi ngerasukin saya kayaknya. Huu~,"

Pak Adimas tergelak, "Ada-ada aja kamu,"

Jingga tersenyum menanggapi.

Jika diingat kembali, awal mula hubungan Jingga dan Pak Adimas sedikit rumit. Keduanya pertama kali di pertemukan oleh Sekala. Nama yang selalu muncul di setiap obrolan mereka.

Sekala, dulunya adalah mahasiswa magister psikologi tingkat akhir yang sedang menjalani masa magang di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) di kota tempat tinggalnya. Ia bertugas untuk melakukan konseling dengan beberapa anak yang melakukan pembinaan disana. Salah satunya adalah Jingga. Sewaktu masih SMA, Jingga sempat masuk ke sel tahanan LPKA karena melakukan suatu kejahatan dan akhirnya bertemu dengan Sekala yang kebetulan magang dan menjadi Psikolog disana.

Mereka memiliki hubungan yang cukup dekat. Kalo pengurus LPKA sering menyebut mereka seperti kakak-adik yang terlahir dari rahim dua ibu berbeda. Saking dekatnya ujar mereka. Di beberapa kesempatan, Pak Adimas sempat ikut hadir di kegiatan LPKA untuk menemani Sekala. Dari sanalah hubungan Jingga dan Pak Adimas terbangun meski tidak benar-benar sedekat Sekala dengan Jingga. Berkat pertemuan ajaib di tempat yang tak kalah ajaibnya, Jingga, Sekala dan Adimas memiliki hubungan dekat layaknya teman seumuran, kakak-adik dan dokter-psikolog-pasien.

Hingga suatu ketika, Jingga yang baru saja mendapatkan kebebasannya menerima suatu kabar duka. Sekala sudah tiada karena penyakit yang di deritanya selama ini. Suasana hati Jingga mendadak suram. Dengan ditemani Pak Adimas, dia berkunjung ke rumah duka. Melihat Sekala untuk terakhir kalinya. Jingga yang biasanya tidak bisa menangis meski ibunya telah tiada, akhirnya berderai air mata untuk pertama kalinya. Jingga merasa kosong seketika saat itu. Ia kehilangan sosok yang selama ini ada disampingnya, mendukungnya dan berperan sebagai kakak baginya.

Jingga menghela napas berat setiap kali teringat akan sosok Sekala.

"Jadi kangen omelan Kala, saya" gumam Pak Adimas.

Jingga menggelengkan kepalanya, "Jangan dikangenin. Nanti hahahihi orangnya disana,"

Pak Adimas kontan tertawa, "Masih dendam dengan Sekala rupanya," komentar Pak Adimas.

"Masihlah! Orang yang ngingkarin janjinya tuh emang cocoknya dimusuhin aja," kata Jingga.

Pak Adimas lagi-lagi tertawa. Ia merasa gemas dengan tingkah Jingga yang masih saja marajuk dengan Sekala yang sudah tenang disana.

"by the way, kenapa bapak ngajakin saya ngobrol? Bapak gabut ya?" tanya Jingga.

"Mau jawaban jujur apa dusta nih?"

Jingga memberengut, "Jujur aja deh. capek saya dibohongin terus,"

"Sebenarnya saya tuh iseng aja ngajak kamu ngobrol. Kasian nggak ada temennya," jawab Pak Adimas dibalas lemparan tissue bekas oleh Jingga.

"yeu...nggak usah diperjelas juga kali, Pak?!" Adimas terkekeh.

"Sebenarnya saya mau ngobrolin tentang undangan ke pengadilan kampus atas kasus kamu sama Joya," tutur Pak Adimas, "Saya penasaran, sebenarnya apa yang terjadi antara kamu dengan Joya sampai kasus pertengkaran kalian naik ke jalur pengadilan?"

"Bapak nggak mungkin nggak tau cerita lengkapnya, kan? soalnya kasus saya dengan Joya udah jadi berita paling hot sekampus Tujuh Belas Februari,"

Pak Adimas mengangguk, "Saya sudah dengar dari satu pihak, tinggal pihak kamu aja yang belum klarifikasi. Saya nggak mau ngambil persepsi tanpa tahu cerita aslinya. Bisa aja kan ceritanya dibumbuin macam-macam biar image kamu rusak,"

"Ya sudah. Bapak mau denger cerita yang versi panjang atau pendeknya?"

"Singkat saja tapi bisa langsung ke poin utama permasalahannya," jawab Pak Adimas.

"Duh, serasa sidang skripsi aja, Pak. Yang kudu dijelasin secara singkat padat dan jelas," celoteh Jingga.

"Kapan mulai ceritanya kamu kalo tadi celoteh aja,"

"Sabar, Pak. Kiamat masih jauh. Jadi woles," jawaban tengil Jingga sedikit memancing emosi Pak Adimas.

Pak Adimas hanya berdeham saja, sedangkan Jingga terkekeh disana.

"Kebetulan di beberapa kesempatan saya sama Joya dapat satu kelompok. Kita dapat tugas skill Lab. tapi selama penugasan Joya dan kawan-kawannya cuma kerja santai dan melimpahkan tugas sepenuhnya ke junior yang kebetulan mengambil mata kuliah lompat semester depan. Awalnya masih biasa saja, tapi makin kesini dia makin seenaknya.

Dia mengerjakan jobdesc miliknya asal-asalan dan copy paste milik kelompok lain secara menyeluruh. Dosen pengampu saya otomatis marah-marah karena tugas kami memiliki banyak kesalahan. Saya emosi dong, Pak karena saya jadi kambing hitamnya. Ya, saya labrak lah orangnya di kantin. Saya sudah bicara baik-baik tapi dia nyolot. Mati kesal, saya siram aja kepalanya pake jus jeruk saya,"

Mendengar penjelasan panjang dari Jingga, Pak Adimas dibuat kaget sekaligus salut. Jingga terlalu berani untuk ukuran mahasiswa junior. Apalagi lawannya adalah Joya—keponakan dekan fakultas kedokteran.

"Terus dia nggak balas kamu?"

"Baleslah. Dia jambak saya, Pak. Rambut saya tuh ditarik kasar banget," lanjut Jingga sembari memperagakan adegan perkelahiannya, "Tapi, karena saya nggak mau kalah. Saya jambak juga rambutnya terus saya potong sama gunting yang kebetulan kesimpen di kantung jaket saya,"

"Gunting?" Pak Adimas melongo, tidak percaya.

Jingga mengangguk antusias, "Iya, Pak. Setelahnya ya begitu deh. Saya dipanggil ke pengadilan kampus,"

"Ekstrem banget sih kamu, Jingga?!"

"Abisnya sih. Nyebelin banget mukanya," kata Jingga.

Pak Adimas dibuat tidak bisa berkata-kata dengan penjelasan Jingga. Ia masih terheran dengan tingkah ajaib milik Jingga yang sering kali Sekala ceritakan padanya.


ANJING
MilkitaHeidi

🌱🌱🌱

pada gemes nggak sama dosen yang satu ini?
kira-kira pada mau punya dosen kayak Pak Adimas nggak nih?
kalo aku sih, pastinya mau. Udah ganteng baik hati pula hehe :)

oh iya lupa, :0

Pembaca yang cerdas pasti tau apa yang harus mereka lakukan. Selamat menikmati karyaku :)

salam hangat seperti Pak Adimas, dari Heidi :)

Continue Reading