π™Ύπšžπš› π™³πšŽπšœπšπš’πš—πš’ (#𝟸 𝙴...

By _sidedew

614K 30.9K 2.5K

#Book-2# BIJAKLAH DALAM MEMBACA! 18++ . . . π‘Ήπ’Šπ’„π’‰π’†π’π’π’† π‘ͺπ’“π’†π’”π’†π’π’„π’Šπ’‚ π‘¬π’…π’Žπ’π’π’… π’Žπ’†π’π’šπ’Šπ’Žπ’‘π’–... More

CAST
-Prolog-
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 28
Chapter 29
Chapter 30
Chapter 31
Chapter 33
Chapter 34
Chapter 35
Chapter 36
Chapter 37
Chapter 38
Chapter 39
Chapter 40
Chapter 41
Chapter 42
Chapter 43
Chapter 44
Chapter 45
Chapter 46
Chapter 47
Chapter 48
Chapter 49
Chapter 50
Chapter 51
Chapter 52
Chapter 53
Chapter 54
Chapter 55
Chapter 56
Chapter 57
Chapter 58
Chapter 59
Chapter 60
Chapter 61
Chapter 62
Chapter 63
Chapter 64
Chapter 65
Chapter 66
Chapter 67
Chapter 68 [END]
-Epilog-
EXTRA CHAPTER

Chapter 32

8.1K 436 46
By _sidedew

Playlist : Dawin - Dessert


|Happy Reading|

🌷🌷🌷

Richelle membanting pintu mobil dengan pelan lalu menekan kunci yang ada di remote control. Merasa pegal dibagian tungkai kaki, ia pun melepaskan kedua high heels tujuh centimeter itu yang kebetulan ada seorang maid, pun ia menyerahkan benda mahal berwarna hitam tersebut untuk disimpannya.

"Mama ada di rumah?"

"Nyonya berada di dapur bersama Nona Sherin sejak pagi tadi, Nona."

"Sedang apa mereka?" Ada sengatan kecil yang tidak disukainya ketika mendengar hal itu. Oh, Richelle seolah iri melihat kedekatan Stephanie dan Sherin.

"Membuat kue, Nona Sherin ingin belajar seperti Anda." Pelayan itu tersenyum sopan dan berlalu ketika Richelle mengangguk pelan seraya melangkah ke ruangan dimana Stephanie dan Sherin berada.

"Lawrence Academy juga bagus. Kau ingin melanjutkan JHS di sana?"

"Apa boleh? Mengingat keluarga kita memiliki sekolah sendiri."

"Pemilik sekolah tidak harus sekolah di situ juga. Jika kau berkeinginan melanjutkan pendidikan di tempat lain, tentu saja boleh."

"Kalau begitu, aku harus bicara dengan Papa. Siapa tahu Papa tidak mengizinkan."

Terdengar suara tawa dari Stephanie setelahnya. Richelle tetap bergeming di balik dinding sebagai pembatas antara lorong dengan ruang makan. Oh, sepertinya menguping pembicaraan di keluarga ini sudah menjadi hal yang ia sukai.

"Kenapa kau beranggapan seperti itu, sayang? Memangnya apa yang kau inginkan tapi kami larang? Papa pasti akan semakin bangga jika kau semakin pintar saja sekolah di sana. Ingat, bisnis perhiasan milik keluarga kita harus kau pegang nanti."

"A-apa? Tidak. Tidak. Itu tidak mungkin."

"Apanya yang tidak mungkin? Sebagian bisnis Papa akan jatuh pada pewaris utama. Kakakmu, tentu kau pun memiliki bagian lain. Kami mempercayai Pearl'e untuk kau kelola nanti. Untuk itu, Mama mohon kamu sudah mau sedikit-sedikit belajar soal bisnis, ya?"

"Ma, apa tidak masih dini? Aku bahkan belum menginjak dunia perkuliahan, bagaimana bisa memahami soal bisnis."

"Kau itu putri Mama paling cerdas dan pintar! Hal semacam itu Mama yakin kau mudah menguasainya. Yang penting kau berniat, kan, menjalani bisnis keluarga? Setidaknya mengurangi beban Mama. Tidak mungkin di masa tua nanti aku tetap disibukkan oleh pekerjaan."

Sherin tersenyum lucu melihat wajah sang ibu yang merajuk seperti bukan wanita seusianya. "Baik lah. Mama tahu aku tidak sanggup menolak keinginan mu."

Richelle menelan ludahnya dengan kasar. Ia mulai menghirup napas dalam-dalam untuk meminimalisir sesak yang tak nyaman dalam rongga dada. Pembicaraan mereka mengapa begitu mengganggu?

Menampilkan senyum lebar seperti biasanya. Richelle berjalan riang mendekati mereka.

"Waw! Apa aku sedang berada di festival kue? Kenapa banyak sekali hidangan di sini- astaga! Siapa yang membuat cake yang cantik ini?"

Kedua matanya berbinar-binar melihat banyak kue yang tersaji di atas meja makan termasuk pada dua cake yang paling mencolok.

"Ichel! Aku berusaha keras membuatkannya untuk mu. Bagaimana? Kau suka?" Sherin bergelayut manja di lengan kirinya.

"Jadi, ini kau yang buat? Warnanya lembut. Sangat cantik. Ayo lah... Rasanya pun pasti membuatku ketagihan." Puji Richelle dengan tulus.

"Dan yang ini, khusus untukmu juga dari Mama."

Suasana hatinya mendadak sejuk. Perhatian yang seperti ini berhasil menghilangkan kekecewaan yang sempat terjadi di beberapa menit yang lalu.

Dan mereka bertiga pun menikmati semua kue yang tersaji. Rasanya sangat enak, kalau saja tidak merasa kenyang Richelle pasti akan menghabiskannya. Tapi perut kecilnya tidak sanggup menampung banyak makanan lagi.

Selang satu jam, David dan Kenrich ikut bergabung. Mereka nampak sangat harmonis karena banyak diselingi canda juga kehangatan keluarga di tengah acara makan serta bincang-bincang ringan.

"Ken, kapan kau berangkat ke Harvard untuk mendaftar?" Tanya Stephanie.

Kini semuanya sudah berkumpul di satu ruang utama. Televisi sengaja dinyalakan dan terlihat film yang pernah rilis di bioskop kini tayang di salah satu channel TV.

Kenrich tidak langsung menjawab, ia melirik sebentar ke arah sang Papa yang duduk berdampingan dengan Stephanie. Namun pria setengah baya itu tetap fokus pada tayangan di televisi.

"Minggu depan?" Lugasnya santai.

"Apa itu tidak terlalu mendadak, sayang? Kau perlu mencari apartemen juga."

"Ken akan berkuliah di Las Vegas. Bukan Harvard." David tiba-tiba berucap yang mendapat tatapan bingung dari Stephanie.

"Kenapa harus Las Vegas? Kau tahu aku benci kota itu." Stephanie mendumel yang membuat ketiga anaknya terkekeh kecil.

"Nanti kita bicarakan itu berdua." Ucap David kemudian yang mengusap lembut bahu sang istri dibarengi kecupan ringan pada pipi.

Seolah tahu apa yang akan dijelaskannya nanti, Stephanie mendesah gusar. "Aku tidak ingin terjadi sesuatu pada anakku." Lirihnya pelan yang tidak sempat terdengar mereka begitu pun David menoleh ingin tahu.

"Ichel, kau sudah memilih universitas mana?" Stephanie beralih pada putri pertamanya.

Berhubung sedang membahas tentang perkuliahan, Ichel akhirnya menyuarakan keinginannya. Ia mengubah posisi duduknya agar lebih nyaman lalu berdehem pelan.

"Aku tidak mau kuliah." Lugasnya dalam satu tarikan napas.

"Lelucon macam apa yang kau bicarakan." David menatapnya dingin.

"Aku tidak bercanda, Papa. Setelah ini Ichel ingin terjun ke dunia modeling."

"M-modeling?" Sherin bersuara dengan binar di matanya. "Kau pasti akan menjadi terkenal seperti para angel VS."

"Tidak akan ku biarkan kau berlenggak lenggok memakai pakaian laknat itu di depan banyak orang." David menjawab tegas dengan mata menghunus tajam padanya tapi yang ditatap justru bak anak kucing yang polos.

"Papa... Ichel tidak mau kuliah, Ichel punya cita-cita sendiri!" Keukeuhnya setengah merajuk.

"Melihat mu berpose di sosial media demi bayaran tak seberapa itu saja sudah membuat ku muak! Apalagi menjadi model pakaian dalam. Apa kau semurah itu!"

"DAVID!"

"PAPA!"

Stephanie dan Kenrich menyentaknya bersamaan. Sherin hanya tergagap dengan mulut setengah terbuka seolah ingin mengeluarkan kata namun di urungkan. Sedangkan Richelle, untuk beberapa detik menatapnya kosong karena terusik pada gelenyar yang menusuk hatinya. Perkataan David yang dibarengi suara setengah berteriak itu membuat ia mengigit bibirnya kuat-kuat juga mata yang mulai berkabut.

"Jaga ucapan mu pada putriku! Kenapa kau kasar sekali." Stephanie menggeram kesal.

"Setidaknya dengan aku berkata demikian, dia tidak berani mewujudkan keinginan yang ia anggap cita-cita. Mimpi macam apa itu." Setelah mengatakan itu, David melengos pergi begitu saja meninggalkan kecanggungan diantara keluarganya. Sempat menoleh pada Richelle yang juga menatapnya dengan tatapan sendu juga kecewa. Oh, David merasa bersalah sekali tapi yang dilakukan hanya berjalan tanpa ragu hingga tubuh tegapnya menghilang dengan pintu kamarnya yang tertutup.

"Sayang," lantas Stephanie bergerak untuk duduk di sebelah Richelle yang masih terdiam. "Mama akan bicarakan ini lagi dengan Papa. Jangan masukkan ke hati ucapan Papa mu tadi ya?"

Menereng pelan, Richelle mengerjap khawatir. "Papa membentak ku. Papa memarahi Ichel, Mama."

🌷🌷🌷

"Aaahh... Aahh..."

Stephanie terus bergerak liar dan cepat karena pelepasannya yang akan tiba. Tubuh telanjangnya mengejang ketika rasa itu meluruh melegakan. David membanting tubuh kecilnya ke atas ranjang lalu tanpa membiarkan Stephanie menikmati pelepasannya, giliran dia yang terus menusuknya dengan keras dan cepat sehingga keduanya menghentikan percintaan panas ketika sama-sama sampai di puncaknya.

David bergeser dan terlentang dengan satu punggung tangan menutupi kedua matanya yang terpejam. Stephanie beringsut, menarik selimut untuk menutupi tubuh polos mereka dan ia menyandarkan kepalanya di dada sang suami seraya memeluknya mesra.

"Ichel terlihat sedih." Sekian jeda tercipta, Stephanie memulai pembicaraan kembali setelah mengendalikan perasaan David dengan percintaan panas beberapa jam kala sebelumnya mereka beradu mulut dengan sengit. "Ia sedang murung di kamarnya, sudah pasti saat ini tengah menangis karena mu, Papa."

Helaan napas kasar adalah balasan David sebelum berkata. "Aku akan minta maaf."

"Tentu. Kau pasti ingat, selama ini kau tidak pernah membentaknya karena diam adalah pilihan terbaik mu untuk menjaga perasaan anak-anak kita. Terkecuali Kenrich yang sudah terbiasa mendapat didikan keras darimu."

"Ya, sayang. Aku begitu keterlaluan pada putri ku. Tapi aku tidak setuju dengan keinginannya- modeling? Kenapa harus itu?" David bergeser dan kini menjadi ia yang berada dalam pelukan Stephanie.

Wanita dengan paras cantik tak berpoles makeup itu mendekap tubuh besarnya dan mengelus rambut kaku nan lembutnya itu. Stephanie mengecup penuh sayang pada pucuk kepalanya.

"Seperti yang sudah aku bilang sebelumnya. Ichel memiliki passion di bidang itu, dengan aku sebagai desainer tentu menjadikan Richelle sebagai model semua rancangan ku akan jauh lebih baik. Aku yakin, Richelle akan menjadi model yang dikenal dunia. Ingat, kecantikan dan kelebihan nya mewarisiku."

"Tidak sepenuhnya. Di mataku kau lah yang paling cantik."

"Ssshhh." Mendadak ia meringis lirih ketika payudaranya dihisap oleh mulut hangat itu.

"Jadi bagaimana? Kau menyetujuinya?"

David sedikit mengikis jarak dan mendongak pelan untuk menatap langsung wajah yang sudah lama menemani usianya. "Tergantung," dia mengelus penuh kelembutan pada pipi yang terasa masih saja halus itu.

"Kau bisa memuaskan ku atau tidak malam ini." Ucapnya mesum dengan tatapan yang penuh gairah di sana.

"Jangan meragukan ku, sayang." Maka dengan cepat dan sedikit kasar, Stephanie mendorong tubuhnya hingga kini ia duduk di atas perut David dengan otot-otot yang tercetak sempurna itu.

Gairah David semakin membumbung tinggi tat kala Stephanie memutar tubuh polosnya hingga miliknya kini sejajar di depan wajahnya.

Malam itu pun sepasang suami istri itu terus melakukan kegiatan ranjang penuh kenikmatan sampai berjam-jam kemudian.

🌷🌷🌷

Richelle bingung harus melakukan apa di pagi ini selain hanya sembunyi dalam selimut yang cepat sekali mengundang kantuknya kembali padahal ia sudah mandi dan rapi dengan setelan rumahnya. Matanya sedikit sembab meski sudah dikompres dengan air hangat. Oh, semalam ketika Stephanie keluar dari kamarnya untuk mengantarnya tidur, Ichel segera saja mengeluarkan tangis diamnya hingga larut dalam kesedihan sepanjang malam itu.

Berbeda sekali dengan kegiatan orang tuanya bukan?

Tok.. tok.. tok.

Ia yakin itu pasti Diana atau Stephanie untuk mengantarnya sarapan. Mengingat sudah jam delapan pagi tapi ia masih mengurung diri di kamarnya.

"Boleh Papa masuk?"

"Papa," Richelle berbisik karena dugaannya salah. Ia lantas duduk di sisi ranjang dengan kaki bersila di balik selimutnya.

Setelah mendengar putrinya yang memperbolehkan ia masuk, David pun memutar handel pintu. Tanpa menutupnya kembali, David menghampiri Richelle yang tidak berani membalas tatapannya.

Setakut itu kah Richelle terhadapnya? Perasaan asing yang tidak nyaman pun menjadi akibatnya.

"Kenapa tidak turun? Ichel belum sarapan, kan?"

Mendengar ucapan lembut dari sosok pria yang kini sudah duduk di depannya, Richelle pun berani mensejajarkan wajahnya untuk bisa menatap David.

Pria itu tersenyum tipis dan meletakkan sepiring makanan sebagai menu sarapan hari ini. "Mau Papa suapi?"

Richelle menggeleng malu. Sikapnya itu persis sekali seperti bocah lima tahunnya.

Tidak ada pembicaraan apa pun sampai Richelle benar-benar menghabiskan sarapannya. Tentu menyisakan irisan tomat juga brokoli yang amat tidak ia sukai.

"Papa minta maaf sudah membentak mu,"

Richelle terenyuh pada netra kelabu yang nampak sayu penuh sesal juga cinta selayaknya ayah kepada putrinya.

"Ichel juga minta maaf karena membuat Papa kesal."

"Ya, itu benar tapi bukan berarti Papa memarahi mu hingga kau menangis semalaman."

"Ichel cengeng ya, Pa?"

David tertawa tanpa suara. "Kau memang putri Papa yang paling cengeng. Tapi Papa tahu, ada sifat Mama yang kau miliki, strong. Kau sebenarnya kuat dan selalu bisa menyembunyikan perasaan yang sebenarnya, untuk kau saja yang boleh melihatnya."

"Papa sudah bicara dengan Mama soal keinginan mu itu. Jujur, Papa sebenarnya berat menyetujuinya,"

"Me-menyetujui?"

"Jadi lah apa yang kau mau jika itu membuat mu bahagia. Tapi berjanji lah, jangan pernah menjadi objek foto yang mengharuskan mu terbuka seluruhnya!"

Richelle memberikan senyuman yang begitu lebar hingga memperlihatkan deretan giginya yang rapi. "aku tidak akan menjadi model majalah dewasa. Tidak juga bergaya dengan pakaian dalam seperti yang Papa khawatirkan."

"Good girl. Setelah ini Papa akan menemui agensi yang cocok untuk menaungimu."

"Pa, jangan bertindak karena kekuasaan. Aku ingin mereka benar-benar menyeleksi ku karena kemampuan yang ku miliki bukan karena nama belakang ku."

"Kau yakin, sayang?"

"Tentu saja! Walau aku tidak bisa menjadi murid pintar di sekolah, bukan berarti aku si pecundang yang tidak memiliki kemampuan!"

"Aku percaya padamu." David merengkuh wajah yang memiliki perbedaan tipis dari istrinya itu, lalu menariknya lembut untuk meninggalkan kecupan pada keningnya.

"You have to remember, we always love you, Ichel."

🌷🌷🌷

Mexico City, Mexico
Later, 3.00 pm

Di lain tempat, Jay terlihat begitu sibuk dengan dokumen-dokumen baru serta pemberkasan yang harus ia selesaikan di perusahaan barunya. Hampir satu tahun itu ia lebih sering menghabiskan waktu di ruangannya demi menyelesaikan segala urusan yang semakin hari semakin menumpuk saja.

Fernando benar-benar berniat menghukumnya di perusahaan yang sedang berkembang ini. Salah satu anak perusahaan William. Corp yang berada di Meksiko sebenarnya tidak layak untuk ia tempati. Tapi apa boleh buat? Selain karena memiliki rencana yang harus mengorbankan Richelle, Fernando pun mengeluarkan ultimatum yang tak bisa ia tolak.

"Sir, terjadi ledakan di pabrik utama dan-"

"Apa aku tidak salah dengar?!"

Hampir saja Jay melempar semua kertas-kertas penting itu pada seorang pria yang baru saja memasuki ruangannya yang sebelumnya ia hiraukan ketika mendengar ketukan pintu.

"Kita baru saja menerima laporan itu."

"Bagaimana sekarang keadaan di sana?" Jay semakin frustasi di tengah-tengah rasa penat karena pekerjaan yang menumpuk dan kini bertambah satu.

"Hampir delapan puluh persen hangus terbakar, produk yang seharusnya siap dikirim pun banyak yang tidak bisa kita selamatkan." Jelas pria itu yang berperan sebagai sekertaris sekaligus asistennya selama di sini.

Pabrik di bagian Utara adalah pabrik utama mereka, dimana pembuatan suplemen makanan yang menjadi produksi di kota ini berasal dari tempat itu sebelum diuji kembali di laboratorium yang berada di selatan kota Meksiko.

"Kita mengalami kerugian sangat besar."

"Kalau begitu selidiki. Aku ingin tahu apa penyebab kebakaran di sana dan pastikan jika ada pekerja yang juga menjadi penyebabnya, segera angkat kaki dari perusahaan ini katakan bahwa hukum berlaku bagi mereka yang salah apa pun itu alasannya karena tetap memicu kerugian besar di perusahaan ku." Ucapnya dengan lantang dan terselip kemarahan yang tertangkap oleh siapa pun yang mendengarnya.

Jay meninggalkan pekerjaannya karena sudah tidak memiliki konsentrasi yang tinggi di tengah kekalutan ini. Maka dia bergegas kembali ke apartemennya karena tentu saja ia butuh pengalihan.

Tidak membutuhkan waktu lama untuk sampai di tempat tinggalnya bersama Vanessa, Jay lekas saja melepaskan pakaian atasnya tanpa sabaran.

Baru saja ia akan menuju kamar namun ia mendengar Vanessa yang memanggilnya dari arah dapur. Ia menggeram lirih juga matanya yang menggelap ketika sosok wanita berpakaian minim dan transparan menyambutnya.

"Kau tidak biasanya pulang cepat-"

Vanessa tersentak karena serangan Jay yang tiba-tiba. Mendorong tubuhnya ke dinding hingga ia memekik kesakitan. Bibirnya dibungkam begitu paksa, liar terkesan buru-buru.

Vanessa tahu Jay sedang tidak baik-baik saja semenjak dimutasi ke sini dan entah bagaimana ceritanya tapi yang jelas dirinya pun ikut dimutasi langsung oleh firma tempat kerjanya dulu.

Dan sekarang, Vanessa tidak bisa berbuat apa-apa selain mendesah dan berteriak karena pria yang kini membawanya ke sofa untuk melanjutkan percintaan yang terlampau kasar ini.

Kewanitaannya masih ngilu dan perih karena semalaman pun Jay menggempurnya habis-habisan hingga pagi menjelang. Tapi Jay selalu bisa membuatnya puas walau sakit itu datang di detik terakhir berakhirnya sesi percintaan.

"Aaahhh..."

Vanessa mendesah lirih karena pita suaranya terasa putus akibat terlalu sering berteriak selama itu. Tidak terasa warna jingga pun menyapa dari dinding kaca tak bertirai itu.

"B-berapa lama kita bercinta?" Vanessa bersuara pelan diselingi desahan tak disengaja yang justru memancing libido Jay kembali.

"Ini pukul lima sore, aku bahkan sampai di jam tiga. Sex yang singkat bukan?" Jay terkekeh pelan.

Sedangkan Vanessa malah berdecak sebal. "Minggir lah. Aku harus mandi."

"Siapa yang mengizinkan mu mandi? Kau pikir ini sudah selesai?"

"Jay!" Vanessa memekik kesal ketika tubuh polosnya diangkat sehingga ia harus melingkarkan kedua kakinya pada pinggang pria itu.

"Dasar - maniak." Vanessa amat sangat lelah sekarang. Lihat lah pria yang kini masih berada di atasnya bergerak bagai manusia yang tidak mengenal kata lelah.

Ranjang adalah tempat paling nyaman untuk melakukan kenikmatan dunia. Jay tersenyum miring memandangi wajah kelelahannya.

"Oh. Jayhh..."

Jay pun selesai. Membaringkan tubuhnya yang penuh keringat dengan napas yang tersengal sengal.

"I love you, Jay." Wanita itu mengulas senyum tipis setelah mencium dada kekasihnya lalu memeluk mesra.

Jay tidak membalasnya. Cinta? Kata serta makna itu hanya ia miliki untuk gadisnya dan tentu saja bukan Vanessa.

Ia menggeser tubuhnya agar terlepas dari lilitan tangan Vanessa. Mengambil celana baru dari dalam lemari lalu ia keluar untuk menikmati keindahan kota malam.

"Satu tahun. Tunggu aku empat tahun lagi sayang." Ucapnya penuh maksud. Wajahnya terlihat begitu cerah ketika sosok yang sangat ia rindukan berseliweran di pikirannya.

.
.
.
-to be continued-

🌷🌷🌷

_sidedew

Continue Reading

You'll Also Like

1.9M 93.3K 56
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...
676K 27.4K 23
Berisi cerita keseharian putra kecil papi Jevan dan mami Seina πŸ“ 22 September, 2022 - ? πŸ…High rank #3 Nomin 11, Oktober 2022 #1 Jaemings 12, Oktobe...
2.1M 10.1K 17
LAPAK DEWASA 21++ JANGAN BACA KALAU MASIH BELUM CUKUP UMUR!! Bagian 21++ Di Karyakarsa beserta gambar giftnya. πŸ”žπŸ”ž Alden Maheswara. Seorang siswa...
15.9K 1.9K 25
Pikir Arumi, menikah dengan duda berusia delapan tahun lebih tua akan membuatnya dilimpahi cinta, kasih sayang, dan perhatian, dijaga dan diperlakuka...