π™Ύπšžπš› π™³πšŽπšœπšπš’πš—πš’ (#𝟸 𝙴...

By _sidedew

613K 30.9K 2.5K

#Book-2# BIJAKLAH DALAM MEMBACA! 18++ . . . π‘Ήπ’Šπ’„π’‰π’†π’π’π’† π‘ͺπ’“π’†π’”π’†π’π’„π’Šπ’‚ π‘¬π’…π’Žπ’π’π’… π’Žπ’†π’π’šπ’Šπ’Žπ’‘π’–... More

CAST
-Prolog-
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 28
Chapter 30
Chapter 31
Chapter 32
Chapter 33
Chapter 34
Chapter 35
Chapter 36
Chapter 37
Chapter 38
Chapter 39
Chapter 40
Chapter 41
Chapter 42
Chapter 43
Chapter 44
Chapter 45
Chapter 46
Chapter 47
Chapter 48
Chapter 49
Chapter 50
Chapter 51
Chapter 52
Chapter 53
Chapter 54
Chapter 55
Chapter 56
Chapter 57
Chapter 58
Chapter 59
Chapter 60
Chapter 61
Chapter 62
Chapter 63
Chapter 64
Chapter 65
Chapter 66
Chapter 67
Chapter 68 [END]
-Epilog-
EXTRA CHAPTER

Chapter 29

7.4K 489 130
By _sidedew

Playlist : 88 Letters - Why Don't We

Beri Dedew pertanyaan random! Dan aku bakal jawab tapi boleh juga dijawab sama pembaca yg lain

..

Jam berapa kalian baca part ini?

Tulis juga emot cuaca di daerah kalian saat ini gaes!

Me : 🌧️

|HAPPY READING|

BANTU TEMUKAN TYPO 🔎

🌷🌷🌷

Acara terus berlangsung meski sempat terjadi kekacauan kecil yang diakibatkan Richelle namun tidak menjadi perhatian banyak orang. Beberapa media yang hadir pun berlomba-lomba memotret sekaligus menyebarkan kabar pewaris William yang telah mengenalkan wanita sebagai tunangannya.

Skyla dan Fernando tidak begitu hangat menyambut Vanessa. Hanya sekedar sapaan juga senyum tipis sebagai formalitas di depan banyak orang yang mengucapkan kata selamat atas pertunangan anaknya.

Untuk itu, Vanessa tidak berbaur lebih lama lagi. Wanita itu kembali ke apartemennya seorang diri. Tanpa ada kekhawatiran sedikit pun Jay membiarkannya begitu saja dan tidak menyuruh satu orang pun untuk mengawalnya. Ia rasa itu tidak penting.

Di lain ruangan, terlihat tiga pria tampan dan berkuasa berada di ruangan yang sama. Satu pria, pemilik tempat itu tengah berdiri menatap pantulan dirinya dari kaca jendela yang menghadap langsung ke pekarangan mansion yang masih terdapat banyak mobil terparkir rapih.

Menegak habis wiski di gelas kaca tanpa sedikit saja mengalihkan bola matanya dari satu objek yang ditatapnya kosong. Rahangnya mengetat menandakan bahwa dirinya sedang marah.

Marah atas dirinya yang telah berhasil membuat gadis yang selama ini ia jaga baik fisik maupun batinnya, tapi justru ia lah sumber kekecewaan sekaligus alasan tumpahnya tangis yang begitu menyedihkan.

Jahat memang. Tapi ia perlu melakukan ini. Terpaksa. Dan tidak ada cara lain yang lebih baik lagi.

Selepas mengumumkan kabar baik tapi buruk bagi orang terdekat, mata elangnya tidak berpindah pada sosok yang melangkah rapuh menghindari acara yang belum selesai.

Ada sesak yang samar menghinggapi perasaannya, agak terganggu memang saat ia menangkap wajah sendu juga tatapan luka yang begitu kentara. Percikan api seolah membakar ulu hati yang menimbulkan perih menyakitkan.

Jay segera menelpon beberapa pengawal untuk mengikuti ke mana pun Richelle pergi. Tentu ia khawatir jika terjadi sesuatu padanya. Bahkan belum ada beberapa detik saja dalam telepon- orang suruhannya mengatakan jika Richelle hampir saja menabrak pembatas kolam yang berada di pekarangan mansionnya.

Sungguh, jika hal itu terjadi dan mengakibatkan Richelle cedera- kemungkinan besar dirinya tidak akan bisa berdiam diri sebagai penonton bagaimana Richelle dibopong dalam pertolongan keluarganya. Tidak, ia pasti akan menjadi orang pertama yang membantu gadisnya sekaligus mengobati luka dari kecelakaan ringan itu walau ia perlu memutar otak kembali dan mengambil rencana baru demi menjauhinya dari kehidupan Richelle untuk sementara.

Urusan Ichel dengan polisi wanita yang mengejar sekaligus menilang atas kesalahan Richelle yang menerobos lampu lalu lintas tidak perlu diselesaikan karena sepertinya polisi itu hanya sekedar menegurnya saja. Entahlah, itu yang Jay tahu dari laporan mereka yang masih setia membuntuti Richelle.

"Kau begitu menjaganya bagai berlian mahal yang langka untuk didapatkan, tapi dalam satu malam gadis itu kau hancurkan tak bersisa. Sangat disayangkan." Celetuk dari pria yang duduk menawan di single sofa.

Oliver Max Harold. Teman sekaligus partner kerja dalam berbisnis. Mereka bertemu saat melakukan kerjasama dengan pebisnis asal Italia. Sayangnya mereka terkena tipu sebesar jutaan poundsterling, tentu keduanya tidak tinggal diam. Berkat itu lah Jay sedikit tahu tentang Oliver yang merupakan ketua mafia di negaranya. Rusia.

Tidak ada tanggapan apa pun dari Jay. Dia masih memilih bungkam dan membiarkan lukisan sendu yang diciptakannya lewat wajah yang tak ceria seperti sebelumnya itu- terekam jelas sampai sekarang.

"Aku sudah mewanti-wanti," Alejandro Miller menarik punggung dari posisinya, meletakkan gelas kosong untuk ia isi kembali cairan pekat dari botol bening itu. "Tidak menyetujui rencana mu demi alasan yang jelas."

Alejandro adalah sepupu Oliver, dia merupakan anak angkat dari pamannya yang juga saudara tiri dari pihak ibu. Sedari kecil mereka berdua tidak begitu dekat nyaris tak mengenal satu sama lain. Tapi sekarang, tepatnya saat mereka melakukan pemberontakan dari kuasa sang kakek- bekerja sama dan saling mendukung adalah hubungan yang sudah terjalin erat hingga sekarang.

Sedangkan hubungannya dengan Jay karena mereka adalah teman seperkuliahan.

Oliver tersenyum miring. Amat tipis. "Biarkan dia mengoyak perasaannya sendiri karena begitu lah resiko menjadi pria pengecut."

"Aku jadi sangsi, sedang apa gadis kecilmu. Ku harap loncat dari atas jembatan tidak terpikirkan di otaknya yang kosong itu." Ale mendesah hangat ketika cairan itu meluruh di tenggorokannya.

"Jika bukan dengan melompat, lalu menabrakkan diri?" Tebak Oliver asal jadi.

"Dan romantisnya, Richelle diselamatkan oleh sang pangeran ber-limousine putih. Itu lebih bagus, bukan?" Ale terkekeh tanpa suara.

"Dan kisah mereka selesai begitu saja?"

Ale mengedikan bahu. Menggoyangkan gelas di tangan sebelum meneguk wiski itu kembali.

"Bagus lah. Banyak yang menunggu kisahku dengan Vio."
Lanjut Oliver bergumam tanpa bisa didengar oleh mereka.

"Ayolah.... Aku muak dengan ocehan kalian." Berbalik badan, menatap jengah pada dua pria yang mentertawakannya di balik wajah setenang air laut.

Jay membanting bokongnya mencium sofa empuk yang kosong. "Aku mengandalkan kemampuan kelompok mu demi Richelle." Tunjuknya pada Oliver.

"Kenapa harus kelompok ku hanya untuk menghadapi seekor lalat itu?"

"Ck, kau tidak tahu bagaimana licik dan cerdiknya sepupu ku itu, dude. Selain itu, bukan seekor saja yang harus menjauhi Richelle."

"Kau punya banyak pengawal. Tentunya membayar bodyguard untuk menjaga Richelle bukan jadi masalah." Ale menimbrung. Pria bertato burung di punggung tangannya itu menggaruk pelipisnya.

"Ichel tidak menyukai itu. Dia benci harus dibuntuti oleh orang lain." Jay menerawang jauh, teringat kala ia ingin mengutus dua sampai tiga orang untuk menjadi pengawal Richelle tapi gadis itu menolaknya mentah-mentah bahkan ia mengancam tidak akan mau bicara lagi dengannya kalau Jay tetap menyuruh pria-pria berbadan kingkong untuk terus mengawal setiap langkahnya.

"Hanya lima tahun. Dan semuanya selesai." Tambahnya dengan nada yang penuh keseriusan dan tekad.

Bugh..

Satu tinjuan sebagai izin seseorang untuk masuk ke ruangannya.

"Tidak sopan. Siapa dia?" Ale penasaran dan mengarahkan tatapannya pada daun pintu yang terkunci dari dalam. Masih terdengar suara gedoran yang cukup keras.

Jay mengetuk meja kaca dengan jari telunjuknya sebanyak dua kali. Terlihat layar seperti komputer yang merekam Vidio di balik pintu itu.

Ia tidak menyembunyikan helaan napasnya yang panjang. "Aku harus menyambutnya."

Baik Oliver maupun Alejandro sama-sama menyeringai.

"Ku rasa, hidung mu yang menjadi sasaran utamanya." Ucap Oliver seraya berdiri dan diikuti Alejandro.

"Aku harap David lebih dulu menendang sumber sperma mu. Nak" balas Ale perihatin yang dibuat-buat.

Tidak mengindahkan pendapat yang mereka harapkan, Jay menarik tali pada sebuah lampu di meja kecil yang ada di samping sofa.

Terdengar suara kunci yang tergeser. Tak lama, seorang pria paruh baya yang tidak begitu terlihat tuanya melangkah tenang dengan ekspresi yang biasa saja.

Jay berdiri lantas maju beberapa langkah, masih menyisakan jarak yang cukup diantara ia dan David.

Tidak ada suara percakapan apa pun untuk beberapa menit lamanya. Tapi mereka bisa saling merasakan ketegangan antara dua pria yang memiliki hubungan atas insiden di acara yang sempat kacau itu.

"Bisa tinggalkan kami?" David berterus terang.

Tanpa berfikir ulang, Alejandro dan Oliver mengangguk samar. Lantas meninggalkan mereka berdua di ruangan yang menjadi ruang kerja Jay William.

Begitu pintu ditutup. David melangkah hingga menyisakan satu meter saja di hadapan Jay. Kedua tangannya disembunyikan dalam saku celana.

"Aku minta kejujuran mu, Nak."

Tidak ada kemarahan atau pun ekspresi murka yang David ciptakan di raut wajahnya begitu pun nada suara yang terdengar. Tapi tidak membuat Jay tenang begitu saja. Ia sedang menebak dihitungan ke berapa kemarahan David akan meledak.

"Tanyakan saja. Aku pasti menjawabnya dengan jujur, Sir."

Lain halnya dengan Stephanie yang ia panggil Mama. Ada sikap formal yang selalu Jay lakukan pada pria itu.

"Kau menganggapnya sebagai wanita atau hanya adik semata?"

"Wanita." Lugasnya tanpa jeda satu detik pun sebagai jawaban atas pertanyaan David. Ia paham kemana arah pembicaraan ini.

"Kau menyukainya?"

"Tentu saja. Aku pun menyayanginya."

"Pernah kah kau berniat mencintai putriku dan membalas perasaannya selama ini?"

"Selalu ku coba. Dan itu berhasil, aku yakin rasa cinta itu telah tumbuh di hatiku untuk putri mu."

Bugh.

"Ini untuk pertanyaan pertama ku." Dan terlihat jelas David begitu murka sekarang. Pukulan keras tak terbaca tidak bisa Jay hindari. Wajahnya menoleh ke kiri atas hantaman dari kepalan tangan David.

Bugh.

"Untuk pertanyaan yang kedua." Jika tadi kiri. Kini wajahnya yang kanan dan itu dua kali lipat lebih keras sehingga ada denyutan panas yang terasa memar.

Bugh.

Jay meringis karena David memukul telak di ulu hatinya.

"Cinta? Omong kosong apa yang ku dengar? Hatimu tidak pantas menyimpan cinta untuk putriku yang sudah kau hancurkan perasaannya."

David mendorong tubuh Jay dengan sebelah kakinya hingga lelaki itu terjungkal dengan satu tangan menopang tubuhnya dari belakang.

"Aku sudah tidak lagi menganggapnya adik. Dia adalah wanita ku." Jawab pria setengah tak berdaya itu. Jay masih mengatur napas yang perlahan membaik meski erangan kesakitan masih dirasakannya.

"Bajingan. Belum ada satu jam kau mengumumkan siapa wanita mu, tapi lihatlah sekarang! Putriku pun kau anggap wanita mu!"

David terlanjur berang. Bisa-bisanya Jay mengatakan kalimat yang amat menjijikkan untuk didengar. Begitu lah baginya.

"Karena itu memang faktanya! Aku harus melakukan ini. Beri aku waktu hingga semua urusan ku selesai dan dengan begitu aku sendiri yang akan memperbaiki semuanya termasuk luka yang terlanjur ku torehkan padanya."

Napas Jay memburu kasar. Ia lantas berdiri seraya memegang perutnya yang masih terasa sakit. Untuk beberapa saat, mereka saling beradu tatap. David dengan tatapan murka dan penuh kekesalan namun tidak sampai membenci, ia hanya kecewa dan menyesal telah berharap bahwa putrinya akan bahagia jika ia biarkan terus mengejar pria bodoh yang tak pernah membalas perasaan putrinya itu.

Sedangkan di hadapannya, Jay, sudah memasang wajah dengan tenang meski ada kegundahan yang tertangkap oleh penglihatan David. Nampak samar namun itu cukup berhasil dilihatnya.

"Apa urusan yang kau maksudkan? Dan apa hubungannya dengan putriku sehingga kau tega melukainya!"

Sedikit ragu untuk menceritakan alasan dibalik ini semua. Tapi jika Jay tetap bungkam yang ada ia akan kesulitan untuk mendapatkan Richelle nantinya atau yang lebih parahnya, David tidak akan memberi restu lagi padanya.

"Duduk lah. Kita harus bicara baik-baik selayaknya pria yang memiliki alasan untuk menjaga wanita yang kita cintai, Sir."

David mendengus dan menatapnya sinis. Melepas jas dengan caranya yang begitu elegan lalu diletakkan begitu saja ke lengan sofa.

🌷🌷🌷

"Jay," bertepatan dengan Jay yang masuk ke mansion Edmond, Stephanie baru saja keluar dari kamar Richelle dengan satu gelas kosong yang sepertinya bekas susu putih. Terlihat dari sisa-sisa yang terlihat.

"Apa Richelle sudah tidur?" Tanya Jay langsung.

"Sudah. Sepertinya dia meminum obat tidur lagi tanpa bisa ku cegah." Jay bisa melihat tatapan sedih dan lelah bercampur menjadi gerakan tanpa emosi dari Stephanie.

"David akan marah jika melihat mu di sini terlebih lagi untuk bertemu dengan putrinya."

"Jika." Tersenyum tipis sebelum kembali meneruskan ucapannya. "David tidak mungkin marah karena dia tidak melihat aku datang ke sini. Ku harap kau mau menyembunyikan fakta malam ini, Mama."

Mendesah pelan, Stephanie melangkah untuk mengikis jarak lalu mengusap bahu Jay dengan hangat. "Masuk lah. Suamiku bilang dia akan pulang dini hari dan aku ingin kau pergi sebelum jam itu."

Jay hanya mengangguk dan membalas senyumnya dengan tipis. Sedikit memiringkan tubuh untuk melihatnya yang berjalan menuruni undakan tangga.

Pertama yang menyambutnya ketika ia masuk ke dalam kamar Richelle adalah kegelapan juga aroma yang khas milik gadis itu. Strawberry juga campuran melon yang tercium manis.

Ia duduk di sisi ranjang. Menatap wajah tenang dari putri tidur yang begitu nyenyak. Menyingkirkan helaian rambut yang sedikit menutupi wajahnya.

Cantik. Richelle amat sangat cantik. Jay membenarkan dalam benaknya.
Selama empat hari ini, setiap malamnya Jay akan selalu menyempatkan diri untuk mengunjungi Richelle. Pengecut memang, tapi hanya itu yang bisa dilakukannya karena jika Ichel sadar dengan keberadaannya di sini gadis itu pasti akan mengusirnya.

Untuk beberapa waktu yang tersisa sebelum ia beranjak pergi lagi, Jay hanya menatapnya penuh cinta juga genggaman yang tidak lepas dari tangan lembut gadis itu. Ia juga menciumi punggung tangannya seraya membisikkan kalimat-kalimat penuh makna maaf.

Pernyataan bagai sumpah yang dilontarkannya telah pupus. Jay ingkar atas pengakuan bahwa Richelle hanya lah gadis yang ia anggap adik. Nyatanya selama kebersamaan mereka, Jay tidak bisa menapik jika ia mulai jatuh cinta entah sejak kapan tapi yang jelas dalam benaknya hanya Richelle yang ia inginkan.

Tapi, ada alasan yang belum bisa ia jelaskan dan mengharuskannya mengakui Vanessa sebagai tunangannya. Itu semua hanya lah satu rencana dari sekian yang dibuatnya.

"Tunggu aku, sayang. Jika kau sudah tidak lagi mengejar ku maka aku lah yang akan melakukan itu. Aku akan memohon padamu dan kau pun akan kubuat bertekuk lutut padaku, baby." Jay mencium keningnya dengan hangat dan dalam lalu beralih pada bibirnya yang merah alami tanpa tambahan warna. "Sama halnya denganmu, aku pun percaya bahwa kau adalah takdir ku, Richelle."

.
.
.
-to be continued-

🌷🌷🌷

Jadi apa dong alasan Alaric
jadi pria brengsek buat Richelle
yang katanya sementara doang?

Tolong lah Bang, jangan PHP-in Ichel 🙃

Keluar kan kata-kata mutiara kalian untuk Alaric Jay

Beri nasihat dan petuah untuk Richelle Cresencia

Continue Reading

You'll Also Like

11.5K 698 8
Di cerita ini menceritakan sepasang suami istri yg sangat berbakat Mereka mempunyai 1 anak bernama Vio umur nya 6 tahun Papah nya alias afan mempunya...
16.9M 751K 43
GENRE : ROMANCE [Story 3] Bagas cowok baik-baik, hidupnya lurus dan berambisi pada nilai bagus di sekolah. Saras gadis kampung yang merantau ke kota...
3.3K 159 61
"Jangan tinggalin aku, aku gak bisa hidup tanpa kamu" Ucap laki - laki yang belum selesai dengan masa lalunya "Kamu bisa balik sama masa lalu kamu. a...
88.9K 6.7K 47
Sequel dari Best Friend in Love. Bisa dibaca terpisah. Cerita in bergenre young adult ya, jadi yang belum cukup umur jangan baca!πŸ˜‰ *** "Lo bukan pac...