Mencintai Istriku Sepenuh Hati

By Rozen91_

9.7K 1.1K 340

Draco Malfoy meninggal secara tragis dan menjadikan istrinya seorang janda. Seorang janda Malfoy yang kaya ra... More

prologue
Cinta Hermione
Rencana Draco
Campur Tangan Pansy
Mengatasi Gosip
Lawan-lawan Draco Malfoy
Seseorang yang Tak Bisa Dicintai
Kemunculan yang Tak Disangka-sangka
Malam yang Bergetar
Tak Tergoyahkan
I am ready, but are you?
the secretive smile of a rose
Harapan Berwarna Putih
Pertanda yang Jelas
Seseorang yang Bergerak di Belakang Layar

A Woman Called Hermione Malfoy

392 44 28
By Rozen91_

  Hermione menyelipkan sejumput rambut di belakang telinga. Bibir yang dipoles dengan lipstik merah velvet mengulas senyum kecil, terarah pada Harry yang tampak bahagia dengan pertemuan mereka. Pertemuan Trio Emas sudah termasuk jarang setelah Hermione menikah. Ron bahkan tak bisa pulang ke Inggris karenanya. Mereka mengkhawatirkan banyak hal yang bisa membuat posisi Hermione semakin buruk di manor Malfoy. Harry menahan geram saat memikirkannya.

"Apa yang sedang kau pikirkan hingga membuatmu berwajah seram seperti itu, Harry?" Begitu ringan kata-kata yang keluar dari mulut Hermione Malfoy. Menampakkan muka sumringah seolah-olah hidupnya amat bahagia tanpa beban—tanpa belati tajam bernama Draco Malfoy yang menjulang tinggi membayangi hari-harinya.

Harry mau tak mau menghela nafas, tersenyum tak berdaya dan bangga atas ketegaran sahabatnya.

"Hanya sedikit masalah di kementrian," bohongnya. Hermione mengeluarkan suara "hmm" yang entah apa artinya. Sepasang permata hazel berkerling di bawah sinar matahari. Harry merasa lega melihat gadis itu tampak rileks.

"Kuharap kau sedang tidak sibuk."

"Tentu tidak, aku menyelesaikan semua urusanku hari ini lebih cepat supaya bisa berlama-lama denganmu."

"Oh, kau merindukanku, Harry?"

Harry menatapnya sayang. "Kau sahabatku yang berharga. Aku merindukan masa-masa dimana kau, Ron, dan aku bisa berkumpul bersama. Membagi senang dan duka. Semuanya terasa menyenangkan saat kita bersama."

Hermione diam sejenak. Manik hazel menatap mata hijau Harry lalu perlahan ia menjatuhkan pandangannya ke bawah. Di bibirnya ada senyum kecil namun entah kenapa di matanya nampak kesedihan. Mungkin dia mengerti apa yang Harry rasakan. Mungkin juga dia memikirkan hal yang sama sekali berbeda.

"Kita sudah bukan anak kecil lagi," ujar Hermione, mengatur set teh dan piring cemilannya. Menata sendok emas di piring kecilnya, perbuatan yang tanpa arti. Lalu menyatukan kedua tangannya di atas meja. "Segala hal tampak lebih mudah dan sederhana dulu. Berbeda dengan sekarang. Kita bertiga, masing-masing kini memiliki tanggung jawab. Ada sesuatu yang tak bisa lagi kita ketahui bersama. Sekarang aku menyimpan banyak rahasia yang enggan aku bagi bersama kau dan Ron, Harry. Aku tidak tahu apakah ini arti dari tumbuh dewasa. Rasanya buruk dan terkadang aku ingin lari darinya."

"Hermione..."
"Tapi, kalau begitu.... kalau masih berlari mengadu pada kedua orangtuaku, atau melampiaskan rasa frustrasiku pada kalian berdua, kurasa itu menunjukkan bahwa aku masih tak berkembang dari diriku yang dulu. Aku, sebagai seorang wanita dewasa yang sehat, bukankah sudah seharusnya berdiri dan menghadapi permasalahanku sendiri?"

Mulut Harry sontak terbuka, namun di detik terakhr ia berhasil menahan diri untuk tidak menimbulkan suara. Kalau tak ditahan, mungkin ia bisa membeberkan banyak hal yang seharusnya tak diketahui Hermione. Harry menarik nafas, kali ini ekspresinya tenang.

"Hermione, aku," Harry merapatkan bibirnya. Keningnya berkerut. "Aku mengerti apa yang kau bicarakan."

"Begitu, Harry?" Lalu untuk pertama kalinya semenjak Hermione memulai narasinya, wanita itu menaikkan kelopak matanya. Manik hazel lurus menatap mata hijau yang bingung. Memandang dengan sorot mata yang tulus. Memancarkan kebaikan. Sembari ia berkata, "Aku memaafkanmu."

Pria di seberang meja mengernyitkan alis. Kini menyadari pikirannya tak sejalan dengan arah pembicaraan waniita itu.

Kemudian Hermione mengulang ucapannya. "Harry, aku memaafkanmu," lalu menambahkan dengan nada muram, "tapi aku akan sangat sedih kalau kau masih menganggapku seperti anak kecil yang tak berdaya, yang tak bisa melakukan apapun untuk menolong dirinya sendiri. Seolah-olah kita berdua tidak pernah mengalami pengalaman yang sama dan memetik pelajaran yang sama dari semua pengalaman itu."

Harry menelan ludah. Tangannya bergetar ketika ia melepaskan kaca matanya dan memijit pangkal hidungnya. Urat-urat di kepalanya timbul menunjukkan ia sedang berpikir keras. "Kau tidak lemah. Sejak dulu, kau tidak pernah lemah. Aku tahu itu. Aku tidak pernah meragukannya. Kau bisa melakukan semuanya seorang diri jika kau mau."

"Kita sudah melalui banyak hal bersama," timpal Hermione, melankolis.

Harry menumpukan keningnya di telapak tangan. Sosoknya tampak seperti orang banyak pikiran. Ketika mendengar perkataan Hermione, ia melirik ke arahnya sekilas lalu mengganggukkan kepala sebisa mungkin dari posisinya. "Ya! Ya! Kau dan Ron, terus menolongku."

"Karena kami sahabatmu. Tidak mungkin kami meninggalkanmu sendirian."

Harry mengusap wajahnya, menatap manik hazel Hermione dalam-dalam. Setengah berbisik, "Kau mengerti, 'kan? Aku juga akan melakukan hal yang sama untukmu. Untuk Ron. Untuk kalian berdua."

"Terima kasih," ucap Hermione sungguh-sungguh, namun entah kenapa sorot matanya hampa. Seolah perkataan Harry telah menderanya dengan nestapa dan luka yang begitu dalam.

"'Mione, aku berusaha untuk membantumu. Kau dan Ron tidak layak mendapatkan takdir seperti ini. Aku merasa sangat berdosa karena hanya aku yang...." Kata-kata yang tak mampu ia keluarkan. Harry merasa ini tidak adil, seenaknya ia memiliki keluarga bahagia dan dikaruniai anak-anak yang lucu sementara Hermione dan Ron justru hidup dalam penderitaan.

"Aku tidak mengerti apa yang membuatmu merasa berdosa atas keadaanku dan Ron," mulai Hermione, "Aku senang melihatmu bahagia, Harry. Aku yakin Ron merasakan hal yang sama. Kenapa kau harus berpikir bahwa kau harus ikut menderita bersama kami?"

"Ini tidak adil, Hermione! Aku tidak bisa merasa bahagia sendirian saja! Itu namanya egois, 'kan!?"

"Tidak, kau tidak egois. Kami juga tidak iri melihat keadaanmu, Harry. Kami ingin kau bahagia, bukan menderita. Apa kau orang yang akan marah jika aku atau Ron bahagia sementara yang lainnya tidak? Aku percaya kau bukan orang seperti itu, Harry. Karena itu, kau jangan menganggap kami serendah itu."

"Aku tidak—" Harry memejamkan matanya erat, "Ini bukan tentang kalian! Akulah! Akulah yang penuh masalah!"

"Harry, tenangkan dirimu," ucap Hermione, meremas tangan pria itu saat melihatnya terengah-engah. "Apa kau baik-baik saja?" tanyanya cemas.

Harry tidak menjawabnya, ia justru balik bertanya, "Kau tidak nyaman jika aku mencampuri urusanmu?"

Sorot mata Hermione berubah kalem. Harry bisa mengetahui jawabannya biarpun wanita itu tidak berbicara. Lantas Harry mengalihkan matanya ke segala arah seraya menarik nafas dalam beberapa kali.

"Hermione," Harry menggenggam kedua tangannya, menatapnya lekat, "Keadaanmu ini tidak normal. Kau tahu itu, 'kan? Kau pernah mendengar Sindrom Stockholm? Kurasa itulah yang terjadi padamu. Kau—kita semua tahu kau terpaksa menikahi Malfoy lalu dia—oh tuhan, kau jangan lupa dia mengontrol hidupmu seperti boneka! Awal mulanya kau membenci situasi itu. Kau tidak berdaya, tak bisa melawannya. Lalu perlahan kau mulai bersimpati pada Malfoy dan beradaptasi dengan keadaanmu yang sekarang. Setelah itu, kau mulai menganggapnya biasa, padahal sama sekali tidak! Dia memanipulasi dirimu!"

Semakin lama mendengarkan perkataan Harry, kernyitan alis Hermione semakin dalam. Raut wajahnya terluka. "Lalu apakah yang menurutmu terbaik bagiku, Harry? Situasi macam apakah yang bisa kau sebut 'normal'?"

"Kau dan Ron! Kalian berdua adalah pasangan sebelum Malfoy merenggutmu!" ujarnya, tak mampu menelaah kenapa Hermione mesti bertanya lagi padahal jawabannya sudah jelas.

"Tapi, Harry," sahut Hermione, "Aku tidak mencintai Ron sebagaimana aku mencintai Draco."

Harry terdiam.

Pernyataan itu adalah sesuatu yang sebelumnya tak pernah terlintas di pikirannya. Menurutnya sangat mustahil bagi Hermione untuk mencintai Malfoy. Dan jikapun terjadi, pasti itu ada sangkut-pautnya dengan sihir!

Karena itu, kali ini Harry benar-benar merasa Hermione di depannya ini membingungkan dan agak sinting. Atau mungkin telinganya yang mesti dicek ke penyembuh, kemungkinan ada pixie yang tinggal di lubang telinganya dan bermain-main dengan indra pendengarnya.

"Kau bilang apa tadi?"

"Aku tidak mencintai Ron dan aku tidak ingin menikah dengannya."

Harry tertegun. "Kupikir...kupikir kalian sepasang kekasih?"

"Kami sudah putus sejak lama."

"Bukannya kalian hanya berpisah sementara? Kalian hanya membutuhkan waktu untuk diri-sendiri dan, well, kembali bersama?"

"Tidak. Aku dan Ron setuju bahwa kami berdua lebih cocok menjadi sahabat daripada pasangan," jelas Hermione dengan sabar.

Hening.

"Aku...tidak tahu harus bilang apa." Harry tampak lemas seolah kehabisan energi. Pikirannya kosong. "Kau dan Ron tak punya hubungan yang lebih dari sahabat. Tapi, Hermione, aku tidak mengerti... kenapa Ron tak boleh kembali ke Inggris?"

"Aku tidak tahu, Harry. Bukankah kalian yang membuat peraturan seperti itu?"

"Benarkah? Benarkah?" Harry memegang kepalanya, betul-betul merasa dirinya yang berubah sinting, "Kalau kalian tak punya hubungan apa-apa, Ron bisa kembali ke Inggris..." gumamnya, lebih pada dirinya sendiri.

Sudut bibir Hermione berkedut seolah baru saja mendengar sesuatu yang lucu. "Kalau kau menginginkannya, aku tidak akan menghentikanmu."

"'Mione?" tanya Harry heran.

"Koran-koran sudah memuat banyak gosip murahan tentangku. Jika Ron kembali, kupikir akan lebih aman bagi kita semua untuk tidak bertemu dulu."

Harry menundukkan wajah. Kedua tanganya di atas meja tampak terkepal kuat. "Sudah kuduga. Kau bilang gosip-gosip itu tidak mengganggumu, tapi tetap saja mau tak mau kau pasti tak senang."

Hermione hanya diam. Sekilas ekspresinya dingin dan hampa. Manik hazel itu menggelap tanpa cahaya. Bagaikan abyss yang menyembunyikan jutaan rahasia dan misteri di dalamnya. Bibirnya sempat terbuka, menggumamkan kalimat yang tak didengar siapapun.

Ditiup oleh angin, kata-kata yang menyakitkan itu.

Harry menegakkan kepalanya. Ia bertanya dengan hati-hati. "Kau bilang tadi... kau mencintai Malfoy?"

Hermione menggangguk pelan seraya mengaduk tehnya.

"Kau... benar-benar tidak apa-apa?"

"Aku baik-baik saja. Tidak seperti imajinasimu yang liar itu,"—Harry berjengit— "Draco memperlakukanku dengan baik. Dia memenuhi semua kebutuhanku. Aku tidak merasa sedikitpun kekurangan semenjak menikah dengannya."

"'Mione, aku...aku tidak bermaksud jahat... aku benar-benar minta maaf jika perkataanku telah menyakiti hatimu."

Hermione menatapnya sejenak dengan sorot mata tak terbaca. Kemudian ia tersenyum ringan. "Kau bisa saja berbuat lebih dari itu," katanya, "dan aku memaafkanmu, Harry."

Harry merasa kalah sebelum bertarung. Punggungnya terhempas ke badan kursi dan sosoknya nampak linglung.

Kini jelas sudah apa maksud Hermione mengajaknya bertemu. Berbicara empat mata tanpa diganggu oleh siapapun. Hermione tahu apa yang dilakukan Harry di belakangnya. Hal itu tidak membantu apa-apa, tapi justru menyulitkan Hermione. Harry merasa seperti orang bodoh sekarang.

Ia membungkukkkan badan, jari-jarinya menjambak rambut hitamnya. Hermione tak perlu melihat ekspresi Harry. Rasa bersalah di nada suara Harry sudah cukup menjelaskan perasaannya saat ini.

"Maafkan aku....Oh 'Mione, aku benar-benar minta maaf..."

.

.

xxxx

Di teras restoran, seorang wanita dengan anggun menyilangkan kaki dan menyesap tehnya. Pria berkacamata yang tadi bersamanya tak lagi terlihat. Ia sendirian, menikmati angin sore dengan khidmat.

Wanita itu berkata dengan nada getir, "Kuharap kau tidak akan mengecewakanku."

Kelopak matanya setengah terbuka, membuat tatapannya tampak malas namun di saat yang bersamaan terasa dingin menusuk. Selanjutnya ia memejamkan mata seraya memakai sunglasses, menutupi rahasia dari pandangan orang-orang. Kemudian wanita itu beranjak pergi dengan senyum tipis yang terkulum di bibir velvet merah. Melenggang dengan gayanya yang dewasa dan berkelas.

xxx

Hermione Malfoy yang terkenal itu pulang dari restoran dengan taksi muggle.

Alasannya?

Karena Draco menutup akses perapian dan merapatkan mantra anti-apparate di lingkungan manor. Hermione menaruh tangan di bibirnya dan tertawa geli. Alasannya? Well, karena alasan yang sama kenapa ia pulang dengan taksi muggle.

Supir taksi terbengong-bengong ketika menurunkan penumpang mewahnya di daerah tak berpenghuni di Wiltshire. Berkali-kali bertanya pada Hermione pada alamatnya sudah benar di sini? Hermione dengan sabar meyakinkannya bahwa ya, dia tidak salah alamat.

"Nak, jangan akhiri hidupmu di sini," nasihat si supir yang kurang bisa memilih kata-kata yang tepat.

"Oh, paman," balas Hermione, "aku terlalu bahagia untuk itu."

"Huh?"

Hermione melangkah pergi dan menghilang ke dalam ilusi mantra penghalang manor.

Dan pintu gerbang dibuka oleh Pross yang sepertinya sudah menunggunya sejak tadi. Hermione berhenti di depan peri rumah itu. Memandangnya dengan mata berkerling.

"Semarah apa Draco hari ini?"

"Jangan bercanda, nyonya, Tuan masih setenang biasanya. Tak mungkin ada hal yang bisa membuat tuan marah pada nyonya."

"Begitukah, Pross?" Hermione tersenyum kecil, "kau masih terus membuatnya terkesan baik di depanku."

"Nyonya, aku hanya berbicara kenyataan."

"Dan aku tak bisa menyangkalnya," tandas Hermione main-main seraya melanjutkan langkah.

Pross bukan ahlinya dalam mempersatukan hubungan suami istri. Dia hanya tahu bahwa bagaimanapun Hermione harus tetap berpikir bahwa Draco mencintainya, dan begitu pula sebaliknya bagi Draco. Hermione menganggap tingkahnya itu sangat lucu. Tapi ia tak tega mempermainkan Pross dalam hal yang tidak mampu dikuasainya. Dia tidak berubah, pikir Hermione, setengah ingin tertawa dan menggeleng.

Deru angin menarik perhatiannya ke samping hingga ia pun menoleh ke kiri. Suara apa itu tadi? Bukan angin, tapi lebih seperti sesuatu yang melaju cepat. Mungkin hanya perasaannya saja.

Atau bukan.

Ketika kembali melihat ke depan, Draco sudah berdiri dua langkah di hadapannya. Lengkap dengan atribut hobi para penyihir sepertinya: Quidditch. Pria itu menurunkan google-nya ke leher.

"Dari mana saja kau?" tanya Draco dingin.

Hermione mengerjapkan mata. Lalu bertolak pinggang seraya mengedarkan pandangannya dari atas ke bawah.

Draco berdiri dengan memegang sapu Lightning Beam di tangan kirinya. Peluh membasahi wajahnya namun tak menampakkan sedikitpun rasa lelah. Sudah berapa lama Hermione tak melihat Draco bermain Quidditch? Seharusnya ia pulang lebih cepat.

"Kau sudah menguras tenaga padahal baru sembuh?" tanya Hermione balik, setengah bercanda. Karena sungguh, ia khawatir dengan kesehatan suaminya.

Ada kilat berbahaya di sepasang permata kelabu. "Kau keluar tanpa minta izin lalu sekarang kau tak mau menjawab pertanyaanku. Apa kau tidak menanggapiku dengan serius, Hermione?"

Hermione memperlihat ekspresi menyesal. "Ah, aku sudah kurang ajar padamu. Maafkan aku, Draco."

Draco merapatkan bibirnya, tampak ingin mengatakan sesuatu lebih banyak namun menahannya. Ia memalingkan mukanya dan mendesah. "Jangan ulangi lagi atau aku harus menghukummu."

Raut muka Hermione berubah. Agak tertarik pada ucapan di bagian akhir. Ujung mata Draco lantas mengejang. Apa yang sebenarnya kau pikirkan!

"Aku tidak ingin ada gosip lagi tentangmu. Apa kau pikir aku tak cukup sibuk hingga harus menyelesaikan masalahmu juga?" cecar Draco, kembali memainkan peran 'favorit'nya. "Entah kenapa kau keluar tanpa sepengetahuan siapapun. Kuharap itu bukan untuk sesuatu yang bisa mencoreng nama baikku. Nama baik margaku yang juga tertera di belakang namamu."

"Kau tak perlu cemas, suamiku," "—Huh! C-cemas? Aku tidak mengatakan ini karena cemas—" "Aku hanya menemui Harry."

Sorot mata Draco menajam.

Banyak.

Banyak hal lagi yang ingin Draco katakan tentang itu. Tentang manusia bernama Harry Potter. Tetapi Hermione punya alasan kenapa ia bisa bertemu orang itu. Mereka teman dekat, dan Draco ragu apakah dia bisa menyuruh Hermione untuk tidak lagi menemuinya. Apalagi sampai mengundang orang itu masuk ke manornya.

Oh, tidak. Tidak akan pernah. Draco tidak akan pernah membiarkannya.

"Sayang," panggil Hermione, tak peduli reaksi Draco yang memberengut. "Lihat, aku membawakan kue untukmu dari restoran kesukaanku."

Ia menyodorkan kantung coklat di tangannya pada Draco—yang sontak melotot seperti setan.

"Kau sengaja!?" tanya Draco gusar, terlihat berang. "Apa kau pikir ini lucu, hah!!"

Sekelebat lirikan cepat Hermione layangkan pada sapu itu lalu kembali pada wajah Draco. Kedua pundaknya merapat dan lehernya tegak hingga tulang-tulangnya timbul di bawah kulit. Itu sikap bersiap yang tidak pernah terlihat sebelumnya.

"Master," sela Pross tiba-tiba, "Nyonya pasti tidak tahu apa-apa. Nyonya hanya membeli kue itu karena ingin saja."

Draco memicingkan matanya.

"Ada apa? Kenapa kau menatapku dengan curiga seperti itu?" tanya Hermione datar. Sedikit kecewa dan terluka namun berusaha ia sembunyikan di balik air muka yang tenang.

Draco seperti tersentak saat melihat ekspresinya. Ia langsung membuang wajah. Diam sesaat kemudian menghembuskan nafas keras-keras. Disodorkannya sapu terbangnya pada Pross lalu dengan tangan itu juga ia mengambil kotak kue dari tangan istrinya.

"Ah," ucap Hermione. Mulutnya terbuka ingin bertanya, namun ia urungkan saat melihat wajah Draco yang mengeras.

Pross memilih saat itu untuk berbicara. "Ini hari yang spesial, Nyonya. Marga Malfoy dibentuk pada tanggal yang bertepatan dengan hari ini. Pada hari itu, pendiri keluarga Malfoy membuat sebuah tradisi unik yang harus dijalankan oleh seluruh anggota keluarga." Entah kenapa, Hermione merasa peri rumah itu terdengar agak gembira.

"Kenapa kau sangat cerewet? Apa perlu sekalian kau gantikan aku dan menjadi Tuan Malfoy yang baru, huh?" cela Draco.

"Saya tidak berani, Master," sahut Pross, dengan bijak mundur selangkah ke belakang. Licik, menyerobot dengan penjelasan itu lalu lari ke belakang. Draco tahu bahwa Pross berhasil menarik rasa ingin tahu Hermione.

"Tradisi?"

Draco tidak menjawabnya, ia justru menyuruhnya, "Ulurkan tanganmu."

Hermione tidak langsung mematuhinya. Wanita itu menghela nafas lalu menatap Draco dengan muka yang berkata 'apa boleh buat, kau memang tidak berubah' yang membuat Draco risih. Baru setelah itu, Hermione mengulurkan tangannya.

Draco merogoh kantung celananya lalu menaruh benda itu di tangan Hermione.

Sepasang iris hazel melebar. Terpana untuk beberapa saat.

"Aku tak tahu apakah kau pura-pura tidak tahu atau tidak. Tradisi ini membuat dua orang yang tak saling menyukai untuk bertukar benda sebagai tanda gencatan senjata." Tiba-tiba pria itu tersenyum meledek, "Kalau tidak salah, pertukaran benda seperti ini banyak ditemui di dunia muggle. Kau pasti sering melakukannya, ya? Bergaul dengan para muggle itu, heh."

"...."

Hermione menulikan telinga dan fokus pada benda di tangannya.

Sadar perkataannya tak didengar, Draco merapatkan bibir. Ada tatapan yang menusuk-nusuk belakang kepalanya—sudahlah! Jangan ceramahi aku dengan matamu, Pross!

"Kalau Nyonya Narcissa masih di sini, beliau akan menjewer kuping Anda, master."

Draco memutar bola matanya. Mengabaikan peringatan Pross, Draco hendak mencela Hermione untuk terakhir kalinya baru kemudian masuk ke dalam manor—mungkin untuk mengutuk diri sendiri dan meratapi nasibnya. Akan tetapi, manik kelabu menangkap binar-binar –yang boleh ia sebut 'kebahagiaan'?— di kedua mata istrinya. Tak teralihkan dari benda yang ia berikan tadi.

Satu tangannya yang bebas langsung Draco tempelkan di bagian bawah mukanya. Draco kelihatan memberengut dengan kedua alisnya yang tertekuk dalam. Tapi jika ia menurunkan tangannya, tentu ekspresi lain yang akan dilihat orang-orang.

Tanpa banyak bicara, ia berbalik tajam, hampir saja layangan kakinya menendang Pross yang berdiri tepat di belakangnya. Pross yang cekatan berhasil menghindar. Dan kejadian itu tak membuat gerakan master-nya berhenti.

Pross melirik ke belakang lalu mengikuti Draco, tergopoh-gopoh mencoba menyamai langkah. "Master akan membiarkan Nyonya melamun sendirian?"

"Bukan urusanku, 'kan?" sahut Draco, sedikit memiringkan kepala dari arah Pross di sampingnya.

"Sangat tidak gentleman," lirih Pross seraya menggelengkan kepala. Dan mungkin itu tujuannya berlari kepayahan di samping Draco. Karena sudah berhasil melayangkan komentar pedas pada tuannya, ia memelankan langkah. Membiarkan masternya sendirian berjalan cepat seperti diburu Troll.

"Persetan dengan gentleman!" desis Draco. Masih menutupi sebagian wajahnya dengan tangan. Mengambil langkah panjang-panjang. Menjauh dari ledekan Pross yang menyebalkan. Dan dari sikap Hermione yang, well, abnormal!

Demi tuhan, itu hanya sebuah snitch! Kenapa kau harus terus memerhatikannya dengan ekspresi yang— ugh! Wanita yang memesona, mintalah apa saja, aku akan memberikannya padamu!

Snitch Emas yang jatuh di atas telapak tangan. Terasa tekstur yang memiliki banyak sejarah. Seseorang mungkin sudah memegangnya selama bertahun-tahun. Melepasnya, lalu menangkapnya. Begitu seterusnya.

Snitch Emas yang tak ternilai. Tak ada duanya di dunia. Hanya snitch ini.

Ah, suatu gestur sederhana.

Sangat membekas di hati.

Aku tahu kau tidak akan peduli,

karena sejak dulu kau memang acuh seperti itu.

xxx

Di sebuah kotak kaca berbentu prisma, snitch emas melayang di ruangan kecil. Mengepakkan sayap di posisi yang stagnan. Jika burung kecil yang ada di dalamnya, orang-orang akan mengatakan hal ini kejam. Ya, tidakkah menurutmu penampakkan snitch itu memberi kesan kebebasan yang terkekang.

Namun, Hermione Malfoy, lulusan Hogwarts dari asrama Gryffindor, memandang snitch itu tanpa bosan dengan air muka bahagia.

Draco banyak memberinya hadiah—atau seperti katanya, 'barang-barang yang diperlukan seorang nyonya Malfoy'. Hadiah di prisma kaca itu lebih bernilai dari yang lain. Ini benda yang selalu bersama Draco sejak ia masih remaja. Hermione rasa inilah hadiah yang patut didapatkan seorang istri dari Draco Malfoy.

Hadiah yang tak bisa dibandingkan dengan apa yang dulu pernah Draco berikan pada wanita itu.

Atau wanita-wanita lainnya.

Tok, tok!

Ketukan di pintu, lalu sebuah pengumuman, "Nyonya?"

"Masuk."

Peri rumah yang ia tunggu-tunggu muncul dari balik pintu.

Penuh keramahan ia menyambutnya. Mata yang melengkung seperti bulan sabit, berkerling dan sekali lagi menyembunyikan rencana.

"Oh, Pross, apa yang kau butuhkan dariku?" tanya si empunya.

Sejenak Pross terhenti dan terdiam.

Senyuman sang nyonya sama seperti hari-hari biasa, namun entah kenapa terasa berbeda di waktu itu. Pross tidak mungkin berkata firasatnya keliru—umurnya sudah terlalu tua untuk itu.

"Karena ada pekerjaan mendesak, Chaff tidak bisa mengantarkan teh Anda, nyonya. Jadi, Chaff memintaku mengantarkannya pada anda."

"Terima kasih, Pross. Kau sangat baik."

Pross hanya menatap dalam diam. Masih belum terbiasa dengan manusia yang memberinya 'ucapan' aneh itu padanya. Tampaknya Hermione menelisik reaksinya, karena ia mendengus pelan sebelum menyesap teh camomile-nya. Tegukan pertama menimbulkan suara puas dari pita suaranya.

"Chaff, Chaff, aku tak tahu bagaimana dulu aku bisa tidur tanpa teh buatannya ini." Hermione melirik Pross. "Apa kau bisa membuat teh seperti ini?"

Bola mata Pross bergerak ke cangkir teh transparan. Wajahnya terpantul di layar cembung. "Keluarga Malfoy tidak pernah meminum teh camomile, tapi saya yakin bisa membuatkannya untuk nyonya jika nyonya mau," jawab Pross simpel.

Hermione tertawa kecil. "Aku memang Malfoy yang unik."

Bola mata Pross bergerak memandang wajah sang nyonya. Ia seolah ingin menanggapi ucapannya, tapi setelah dipikir lagi, tidak jadi ia utarakan. Ah, Pross memang begitu. Pada Draco ia tak pernah menahan lidahnya, namun di hadapan Hermione ia menahan banyak hal. Seolah cemas akan mengungkapkan sesuatu yang langsung membuat Hermione kabur dari manor.

Benar-benar lucu peri rumah ini.

Hermione menyilangkan kaki, sembari menopang dagunya di punggung tangan. Sorot matanya ramah namun Pross tahu ada suatu rencana di dalamnya. Karena wanita itu berkata, "Kenapa kau tidak duduk dan menemaniku, Pross? Rumah ini tak akan runtuh jika satu peri rumah tak ada di dapur, bukan?"

"Tidak, Nyonya. Manor Malfoy punya banyak peri rumah."

"Hmm." Hermione mengangkat cangkir tehnya ke bibir, ia berkata, "Tetapi pekerjaan Pross bukan di dapur, 'kan?"

"Tidak, tentu saja."

Tuk.

Cangkir teh dengan anggun kembali diletakkan di atas meja. Mata Pross tak lepas dari cangkir itu. Bahkan setelah jari-jari Hermione melepasnya. Ekspresi datar Pross tak memungkinkan siapapun untuk menebak isi pikirannya. Well, terlepas dari tekadnya untuk menjadi cupid, bagaimanapun juga Pross adalah peri rumah keluarga Malfoy yang pengalamannya termasuk paling banyak.

Tidak mudah bagi Hermione mengetahui tujuan Pross tentang dirinya dan Draco.

Betapa beruntungnya, Hermione mendapatkan pendukung seperti Pross.

"Maukah kau mendengar isi hatiku?"

"Isi hati?" ulang Pross, meragukan pendengarannya.

Hermione menegakkan punggung seraya menyatukan kedua tangannya di pangkuan. Mata hazelnya berkerling. "Tentang satu permintaan kecil."

Suara oboe berkelana menuju hati seseorang yang tengah bersedih.

Butir-butir hujan jatuh di atas bulu mata berwarna coklat dan lebat.

Sepasang permata hazel memandang ke bawah.

Meletakkan tangan di dada lalu menatap langit.

Ah,

kalau saja aku lebih memahami....

"Karena aku tak bisa melihat apa-apa selain dirimu, makanya hal ini terjadi. Kalau saja....kalau saja...."

Diredam oleh hujaman titik-titik air menghantam tanah,

suara oboe yang menyayat hati

harapan yang tak akan pernah terwujud itu.

xxxx

.

.

xxxx

Snitch emas yang selama bertahun-tahun menemani permainanku, kini telah kuserahkan pada Hermione. Snitch kemenangan yang dibelikan dad untukku dulu. 

Itu snitch yang sangat berharga. Kenangan akan masa remajaku bersama dad  saat ia masih hidup. Aku bahkan tak pernah membiarkan Pross memegangnya untukku. Tetapi  pada Hermione, tanganku begitu ringan saat memberikannya.

Memercayakan snitch itu padanya, kurasa tidak buruk juga.

Aku akan emintanya lagi saat kami berpisah nanti. Kuharap Hermione tetap bermurah hati padaku dan mengembalikan benda itu padaku.

Hari ini terlalu banyak kejutan dari istriku. Aku yang baru sembuh belum siap secara mental untuk semua emosi-emosi yang kurasakan sejak kutahu ia keluar manor tanpa bilang pada siapapun.

Kue pemberiannya masih tersimpan utuh di meja.

Aku sedang tak selera, tapi tak ingin kubiarkan benda itu jauh dari pandanganku.

Ahh...

Kusandarkan pipiku di punggung tangan, dengan siku menopang dari atas meja. Kelopak mata yang terasa berat merupakan tanda bahwa badanku lelah dan seharusnya aku berjalan ke kamar untuk tidur. Namun enggan kuturuti hal itu. Aku merasa sangat malas untuk bergerak.

Sesuatu mengganjal di hatiku sejak kemarin.

Aku tahu.

Mungkin karena mimpi waktu itu—ketika aku sakit dan keliru akan hal di sekitarku, mimpi yang mengingatkan akan kejadian di kehidupanku yang pertama.

Maka aku....maka akupun akan memikirkan seseorang yang kutinggal pergi setelah kematianku.

"Draco..."

Suara yang bergaung memanggil namaku dengan nada memohon. Mata yang sembab, memelas agar aku berpikir ulang tentang keputusanku.

Hermione yang telah memulai hidupnya yang baru.

Di dunia yang dulu itu, apa yang selanjutnya terjadi?

Pandanganku jatuh ke bawah. Termenung. Pikiranku penuh akan pertanyaan ini.

Tanpa sadar mataku telah terpejam erat.

Di dalam mimpi, aku melihat seorang wanita berdiri di tengah-tengah hamparan bunga mawar berwarna putih. Berbalut gaun hitam rapat dari leher hingga kaki. Melekat di atas dadanya, bros silver emblem M yang berkilau. Rambut coklatnya yang ikal terurai panjang hingga ke pinggang. Seluruh wajahnya tertutupi tudung hitam transparan hingga aku tak bisa melihat ekspresinya.

Kurasa aku tahu siapa wanita yang menyelimuti dirinya dalam duka ini.

Tanpa melihat, ia berjalan lurus melewatiku. Mataku terpaku pada sosoknya.

Tampak malang dan menyedihkan.

Hermione Malfoy masuk ke dalam manor yang memancarkan cahaya temaram.

Dari punggungnya yang tegak seharusnya aku berpikir dia tetap kuat dan tangguh sebagaimana kepribadiannya sejak dulu.

Akan tetapi, kenapa?

Kenapa perasaanku berbisik bahwa yang kulihat dengan kedua mataku ini....adalah seorang wanita yang hatinya telah mendingin, yang terus merasa pahit dari hari ke hari?

_bersambung_

Continue Reading

You'll Also Like

86.3K 8.2K 33
Supaporn Faye Malisorn adalah CEO dan pendiri dari Malisorn Corporation yang memiliki Istri bernama Yoko Apasra Lertprasert seorang Aktris ternama di...
1M 75.9K 57
[Brothership] [Not bl] Tentang Rafa, hidup bersama kedua orang tuanya yang memiliki hidup pas-pasan. Rafa tidak mengeluh akan hidupnya. Bahkan ia de...
798K 58.7K 53
"Seharusnya aku mati di tangannya, bukan terjerat dengannya." Nasib seorang gadis yang jiwanya berpindah ke tubuh seorang tokoh figuran di novel, ter...
76.5K 8.3K 86
Sang rival yang selama ini ia kejar, untuk ia bawa pulang ke desa, kini benar-benar kembali.. Tapi dengan keadaan yang menyedihkan. Terkena kegagalan...