The Differences Between Us (C...

By Ayas_Ayuningtias

460K 48.8K 1.2K

[Pemenang Wattys 2023] [Pilihan Editor Wattpad pada Juni 2022] Waktu Cassandra dapat tawaran untuk membimbing... More

Cuap-cuap
Satu - Kesempatan dalam Kesempitan
Dua - Air Tenang Menghanyutkan
Tiga - Badai Pasti Berlalu?
Empat - Mulutmu, Harimaumu
Lima - Bagai Kena Buah Malaka
Enam - Bagai Orang Kena Miang
Tujuh - Bumi Berputar, Zaman Beredar
Delapan - Bermain Air Basah, Bermain Api Lecur
Sembilan - Nasi Telah Jadi Bubur
Sepuluh - Diam Seribu Bahasa
Sebelas - Seperti Pikat Kehilangan Mata
Dua Belas - Berat Sama Dipikul, Ringan Sama Dijinjing
Tiga Belas - Ada Nasi Di Balik Kerak
Empat Belas - Air Dalam Terenang
Lima Belas - Belum Mengajun Sudah Tertarung
Enam Belas - Angin Bersiru, Ombak Bersabung
Tujuh Belas - Duduk Sama Rendah, Tegak (berdiri) Sama Tinggi
Delapan Belas - Rambut Sama Hitam, Hati Masing-masing
Sembilan Belas - Akal Tak Sekali Tiba
Dua Puluh - Cencaru Makan Pedang
Dua Puluh Satu - Terkalang Di Mata, Terasa Di Hati
Dua Puluh Dua - Pandang Jauh Dilayangkan, Pandang Dekat Ditukikkan
Dua Puluh Tiga - Malang Tak Boleh Ditolak, Mujur Tak Bisa Diraih
Dua Puluh Empat - Pikir Itu Pelita Hati
Dua Puluh Lima - Kaki Naik Kepala Turun
Dua Puluh Enam - Elok Lenggang Di Tempat Datar
Dua Puluh Tujuh - Seperti Cacing Kepanasan
Dua Puluh Sembilan - Tak Boleh Bertemu Roma
Tiga Puluh - Usang Dibarui, Lapuk Dikajangi
Tiga Puluh Satu - Ikhtiar Menjalani Untung Menyudahi

Dua Puluh Delapan - Angguk Bukan, Geleng Ia

9.2K 1.3K 28
By Ayas_Ayuningtias

"Bagaimana ya caranya tahu isi hati sendiri?" - Pembimbing Anak Magang yang galau.

Aku menghabiskan malam dengan merenung di pinggir tempat tidur dengan jendela terbuka, tidak peduli dengan nyamuk yang mulai masuk ke dalam kamar. Gigitan nyamuk tidak lebih penting dari apa yang sudah terjadi seharian ini.

Kupejamkan mata dan merasakan sepoi angin malam menyapu rambut. Aroma bunga Wijaya Kusuma yang punya nama keren Night Blooming Careus, semerbak. Bunga ini mulai bermekaran sejak pukul sembilan malam. Mama sempat sibuk mengambil foto bunga kesayangannya dan baru saja masuk ke dalam kamar. Sementara aku masih terpaku tidak bisa tidur. Semua ini gara-gara Baron.

Tadi sore, seusai rapat, Baron langsung mengajakku pergi. Dia mengambil alih ranselku yang berat karena berisi berbagai macam barang lalu berjalan lebih dulu ke arah lift. Reno yang juga mau pulang memanggilku.

"Cass, besok lo sendiri, ya? Gue harus rapat buat bahas prosedur pembelian barang selama PSBB." Reno berjalan dengan santai di sampingku sambil memasukkan kedua tangannya ke saku celana.

"Oke. Kebetulan tadi di rapat juga udah ngebahas prosedur penyimpanan barang, jadi gue besok tinggal ngecek saja." Aku mengangguk. Di depan sana, Baron sudah memasukkan angka lantai yang dituju.

"Cowok lo cemburuan banget, ya?" tanya Reno sambil terkekeh.

"Heh? Cowok gue yang mana?" Seingatku Reno tidak pernah tertarik dengan gosip kantor.

"Cowok yang lagi bawain tas lo itu." Kali ini Reno berdecak tidak sabar. Dia menunjuk Baron dengan dagunya.

"Dia bukan cowok gue," sahutku cepat.

"Oh, ya?"

Kami tinggal sepuluh langkah dari Baron yang saat ini sedang sibuk dengan ponselnya. Aku menoleh ke arah jendela gedung yang terletak antara lorong dan lift. Masih ada semburat merah sisa-sisa matahari terbenam. Selagi aku melamun sambil berjalan, tiba-tiba saja Reno menyelipkan lenganku pada lengannya.

"Woy! Apa-apaan, nih?" seruku keras sampai Baron menoleh. Wajahnya langsung mengeras saat melihat tanganku bertaut dengan Reno.

"Lo mau lihat bukti, kan? Gue kasih bukti," bisik Reno sambil tersenyum jahil.

Seharusnya aku menendang Reno atau mengomelinya saat itu. Namun aku terlanjur terpana saat langkah Baron yang panjang mendekati kami. Dia bahkan tidak peduli dengan dentang yang memberitahukan lift kami sudah tiba.

"Lo ngapain pegang-pegang Cassie?" tanya Baron sambil menatap tajam pada Reno.

"Cassie kan teman gue. Kita biasa, kok, kaya gini."

"Lepasin tangan lo dari Cassie. Sekarang!"

Reno langsung melepaskan tanganku dan mengangkat tangan. Dia tertawa menang sambil menatapku jenaka lalu mengedipkan sebelah mata dan berlalu. Wajahku langsung merah padam saat sadar apa maksud kelakuan Reno.

Baron juga sepertinya menyadari itu karena dia membuang muka dengan telinga memerah. Dia tidak mengatakan apa-apa sampai lift kembali berdentang dan kami masuk. Untunglah ini jam pulang kerja, jadi lift tidak terlalu sepi jadi aku bisa mengurangi rasa gugup yang mendadak datang.

Sampai di dalam mobil Baron pun suasana masih canggung. Begitu masuk mobil, aku buru-buru memakai seat belt supaya kejadian yang membuat jantung olahraga tidak kembali terulang.

"Sorry buat kejadian tadi. Reno lagi kumat." Aku membuka mulut lalu langsung menyesal. Seharusnya tidak kubahas lagi soal itu. Baron tidak mengucapkan sepatah kata pun. Dia hanya mengangguk lalu menyetir kendaraannya.

"Omong-omong, kita mau ke mana, sih?" tanyaku saat mobil mengarah ke wilayah Kebon Sirih.

"Kejutan."

Kucibir jawaban Baron. Kalau melihat wilayah Kebon Sirih, otakku langsung teringat pada nasi goreng kambing. Bibirku mengerucut sambil berpikir-pikir dan menimbang kata-kata yang harus diucapkan supaya Baron tidak merasa tersinggung. Aku tidak suka masakan dengan daging kambing.

"Gue nggak makan kambing, loh," kataku memberikan petunjuk.

Baron tertawa kecil mendengar ucapanku.

"Ngeri juga sih kalau lo makan kambing gitu saja."

"Serius gue, Ron," ucapku sekali lagi.

"Gue juga serius, Cass." Kali ini Baron menoleh padaku dan tersenyum. Hatiku berdenyut entah kenapa.

Perjalanan kami cukup singkat meskipun macet di mana-mana. Ketika melihat gedung Take Mansion & Hotel, aku baru paham. Diam-diam aku tertawa dengan pilihan Baron untuk makan malam kali ini. Dia menoleh dan tersenyum.

"Lo pernah mau ke sini sama Ela, kan?" tanyanya dengan nada kemenangan sambil tersenyum.

Aku memang pernah mau pergi ke sini bersama Ela. Sayangnya rencana kami gagal setelah pekerjaan datang bertubi-tubi dan kami terlalu lelah untuk menuju pusat kota. Tidak kukira akan datang ke sini di malam hari bersama dengan Baron pula.

"Kok, lo tahu?" Rasa penasaranku hanya dijawab dengan tawa kecil

Gara-gara membicarakan tempat ini, perjalanan kami menuju lantai paling atas gedung tidak lagi seperti mimpi buruk. Suasana yang cair di antara kami mampu membuatku terus menyunggingkan senyum.

Rooftop yang menjadi tujuan kami berada di bawah langit Jakarta. Sebagian tempat dinaungi oleh kanopi dengan atap kaca sehingga kami bisa memandang langit sama leluasanya dengan tempat yang tidak dinaungi kanopi. Ada pula area dengan meja rendah dan dikelilingi oleh beanbag. Tempat yang menyenangkan untuk menghabiskan waktu bersama kekasih atau sahabat. Pikiran itu membuatku tertegun.

Baron membawaku ke meja yang terletak di tepi. Kupandangi langit yang cerah meskipun bintang sulit terlihat. Polusi dan lampu kota telah menghalangi cahaya bintang. Namun bagiku tempat ini sangat menyenangkan.

"Tadi pagi sempat hujan tapi siang dan malam cerah, jadi udaranya enak." Baron tersenyum padaku.

"Jadi ... mau makan apa, Cass?" tanyanya lagi.

Aku melihat-lihat menu yang merupakan perpaduan antara Indonesia dan Barat. Setelah lama menimbang-nimbang, aku memesan Mie Tiktok Jawa sementara Baron memesan Mie Ayam Sangka. Kami tertawa saat menyadari sama-sama memilih menu mie.

"Jangan kenyang-kenyang, Cass. Katanya di sini paling enak minum kopi sambil makan donat."

Hal itu tentu saja sudah kuketahui. Sejenak kami terdiam. Suasana canggung kembali naik ke permukaan. Aku mencoba mencari-cari bahan pembicaraan yang sekiranya dapat memecahkan kecanggungan kami.

"Janina apa kabar, Ron?" tanyaku akhirnya setelah bingung mau membicarakan topik apa. Baron sepertinya cukup kaget saat aku malah menanyakan tentang Janina.

"Baik. Dia lagi sibuk-sibuknya persiapan nikah sampai nggak sempat main-main lagi. Gue, kan, jadi kesepian."

Malam itu aku mengetahui bagaimana hubungan Baron dengan sepupunya.

Baron bercerita tentang ibunya yang bekerja sebagai perawat dan baru saja pensiun. Ibunya ternyata orang tua tunggal dan Baron sudah terbiasa mengurusi rumah serta adik kembarnya. Dalam hal ini aku jadi mengingat Ai. Bayanganku langsung dipenuhi imaji tentang Baron yang menyapu atau memasak dan menyuapi adik-adiknya.

"Rumah lo pasti ramai," kataku saat kami melanjutkan obrolan setelah pesanan masing-masing datang.

"Luar biasa. Sampai kalau sepi, gue jadi kehilangan. Bercanda dan tertawa bersama itu sangat menyenangkan walaupun kalau iseng mereka kumat, gue harus pasrah." Mata laki-laki itu menerawang seolah mengingat kenakalan adik-adiknya sementara wajahnya melembut dalam senyum.

Ucapan Baron sedikit banyak mengingatkanku akan para anak magang. Sebagai anak bungsu dari dua bersaudara, kehidupan persaudaraanku memang tidak terlalu ramai. Apalagi aku dan Kak Ola sama-sama anak perempuan. Sementara rumah Baron berisi tiga anak laki-laki. Kehadiran para anak magang mungkin sedikit banyak seperti kehidupan Baron dan adik-adiknya. Mungkin itu pula sebabnya Baron selalu nyaman berada di antara kejahilan anak-anak magang.

"Cass ... masalah posisi asisten manajer. Apa yang akan lo lakukan kalau gue nggak bisa mundur?" Tiba-tiba saja topik pekerjaan masuk di antara kami.

Aku memandangi mata cokelat muda Baron yang terlihat jujur tetapi penuh keresahan. Mungkin dia berpikir kalau hubungan kami yang baru saja membaik harus berubah menjadi buruk seperti dulu.

Kalau saja Baron mengucapkan hal itu dua bulan lalu, tentu aku sudah mengamuk dan marah padanya. Namun setelah lebih mengenalnya, aku merasa kalau Baron memang benar memiliki kualifikasi sebagai pemimpin. Dia memiliki banyak ide-ide bagus dengan pandangan bisnis jauh ke depan. Mungkin pekerjaan sehari-hari membuatnya semakin terasah. Selain itu Baron juga pandai menempatkan diri di segala situasi dan diatas semuanya, dia bisa menghadapi kelemahannya sendiri.

"Harus gue akui, dua bulan lalu pasti gue marah. Kalau sekarang ... Sekarang gue tahu lo punya kualifikasi sebagai pemimpin yang baik dan setelah dipikir-pikir kemungkinan besar gue dulu marah karena merasa terintimidasi."

"Lo merasa terintimidasi sama gue?" Senyum Baron mengembang.

"Siapa yang nggak? Lo pinter, paham bisnis, bahkan manajemen juga mau dengerin alasan lo."

Aku pasti sudah gila. Kenapa juga aku memuji-mujinya?

"Tapi menurut gue lo juga pantas, Cass. Lo orang paling pantang menyerah dan berani yang pernah gue kenal."

Keningku berkerut bingung, bagian mananya dari diriku yang mencerminkan keberanian? Tawaku keluar lalu menulari Baron. Lagipula hal yang aneh jika kami saling memuji satu sama lain.

"Gue nggak keberatan harus bersaing sama lo, Ron. Misalkan jabatan itu bukan buat gue, yah, apa boleh buat. Berarti gue harus belajar lagi sampai memenuhi kualifikasi yang dibutuhkan. Kalau jabatan itu jatuh ke tangan gue, itu artinya lo yang harus traktir gue lagi." Aku tertawa dan Baron tersenyum. Orang bilang, makanan bisa membuat dua manusia yang berbeda bisa menjadi satu. Mungkin itu arti pepatahnya.

Setelah makan malam, kami memesan kopi dan tentu saja donat yang ditaburi dengan gula. Semilir angin membuat rambut keritingku bergerak dengan bebas. Aku mencari-cari jepitan rambut yang biasanya selalu ada di tas. Tepat saat itu angin berhembus lalu tiba-tiba jemari yang asing tetapi kukenal, sudah menyelipkan anak rambut yang nakal tertiup angin dan menahannya. Mataku bertemu dengan mata cokelat lembut yang indah dan jantungku kembali menggila.

***

Catatan Peribahasa:

Angguk bukan, geleng ia = Lain dimulut lain dihati.

Continue Reading

You'll Also Like

1.5M 66.6K 41
"Jalang sepertimu tidak pantas menjadi istriku, apalagi sampai melahirkan keturunanku!" Bella hanya menganggap angin lalu ucapan suaminya, ia sudah...
137K 9.8K 44
Tidak ada yang seabadi aksara dalam menyimpan sebuah cerita. Bahkan ketika ingatan mulai berkarat dihujani sang waktu... Bahkan ketika hati membeku s...
1.9M 157K 36
"Nikah sama anak Tante, hutang-hutang almarhum Ayahmu akan Tante dan suami anggap lunas." Kalimat itu terus terngiang di kepala Elin Nafisah. Selama...
29.2K 5.8K 30
「"Mawar peach artinya ketulusan, ranunculus berarti menarik, dan lisianthus putih bermakna seumur hidup. Jadi, kira-kira siapa Ibu Lis ini?"」 Seorang...