The Differences Between Us (C...

By Ayas_Ayuningtias

424K 46.4K 1.1K

[Pemenang Wattys 2023] [Pilihan Editor Wattpad pada Juni 2022] Waktu Cassandra dapat tawaran untuk membimbing... More

Cuap-cuap
Satu - Kesempatan dalam Kesempitan
Dua - Air Tenang Menghanyutkan
Tiga - Badai Pasti Berlalu?
Empat - Mulutmu, Harimaumu
Lima - Bagai Kena Buah Malaka
Enam - Bagai Orang Kena Miang
Tujuh - Bumi Berputar, Zaman Beredar
Delapan - Bermain Air Basah, Bermain Api Lecur
Sembilan - Nasi Telah Jadi Bubur
Sepuluh - Diam Seribu Bahasa
Sebelas - Seperti Pikat Kehilangan Mata
Dua Belas - Berat Sama Dipikul, Ringan Sama Dijinjing
Tiga Belas - Ada Nasi Di Balik Kerak
Empat Belas - Air Dalam Terenang
Lima Belas - Belum Mengajun Sudah Tertarung
Enam Belas - Angin Bersiru, Ombak Bersabung
Tujuh Belas - Duduk Sama Rendah, Tegak (berdiri) Sama Tinggi
Delapan Belas - Rambut Sama Hitam, Hati Masing-masing
Sembilan Belas - Akal Tak Sekali Tiba
Dua Puluh - Cencaru Makan Pedang
Dua Puluh Satu - Terkalang Di Mata, Terasa Di Hati
Dua Puluh Tiga - Malang Tak Boleh Ditolak, Mujur Tak Bisa Diraih
Dua Puluh Empat - Pikir Itu Pelita Hati
Dua Puluh Lima - Kaki Naik Kepala Turun
Dua Puluh Enam - Elok Lenggang Di Tempat Datar
Dua Puluh Tujuh - Seperti Cacing Kepanasan
Dua Puluh Delapan - Angguk Bukan, Geleng Ia
Dua Puluh Sembilan - Tak Boleh Bertemu Roma
Tiga Puluh - Usang Dibarui, Lapuk Dikajangi
Tiga Puluh Satu - Ikhtiar Menjalani Untung Menyudahi

Dua Puluh Dua - Pandang Jauh Dilayangkan, Pandang Dekat Ditukikkan

8.3K 1.2K 33
By Ayas_Ayuningtias

"Setidaknya usaha dulu baru pasrah." – Pembimbing Anak Magang yang pantang menyerah memahami para anak magang.

Kondisi Baron ternyata tidak terlalu serius. Dia hanya demam dan sakit kepala karena kelelahan. Pada Timon, laki-laki itu mengaku sibuk mengurusi segala macam strategi dan rencana untuk kuartal dua sampai terkadang lupa makan malam.

Baron dipersilakan untuk rawat jalan setelah menghabiskan satu kantung infus dan sakit kepalanya mereda. Sebenarnya aku mau ikut Timon untuk mengantar Baron pulang, tapi Pak Anwar menelepon dan berkata bahwa dia memerlukanku di kantor. Jadi kuserahkan antar mengantar Baron pada Timon. Untung saja tadi aku bertemu Timon.

Sambil mengisi waktu dalam perjalanan pulang, aku mengirimkan pesan pada Ai. Menanyakan kira-kira apa kesukaan Mamet. Nyaris saja tawaku tersembur saat tahu apa hobi Mamet untuk mengisi waktu luang.

Sesampai di kantor, aku langsung masuk ke dalam ruang rapat. Ada Divina, anak marketing yang mengurusi kerjasama dengan client besar beserta dengan satu orang dari divisi finance bernama Dandi. Divina membawa kabar bahwa ada peluang kerjasama dengan salah satu perusahaan yang membutuhkan sponsor.

Tugasku adalah memperkirakan apa saja yang bisa kami lakukan sebagai pertukaran sponsor tersebut. Biasanya kami mengadakan seminar, talk show atau workshop. Namun dalam kerjasama yang ditawarkan tersebut sepertinya La Beauté bisa melakukan pendekatan yang lebih personal.

"Bagaimana kalau kita mengadakan beauty clinic. Jadi bukan hanya bicara tentang make-up, melainkan juga tentang perawatan kulit. Selain itu, kita bisa mengadakan talk show terkait dengan kesehatan kulit." Aku menawarkan ide, sementara Dandi mengkalkulasikan biaya-biaya.

"Sepertinya itu masih bisa dilakukan. Harus ada perhitungan detailnya nanti saya kirimkan, ya?" Dandi mengangkat wajah dari laptop.

"Baiklah. Kalian bisa berdiskusi dan membuat proposal untuk hal ini, ya? Masukkan juga informasi keuntungan dan kerugian yang mungkin terjadi." Pak Anwar menutup rapat lalu keluar dari ruangan menyisakan kami bertiga meneruskan pembicaraan.

Membuat proposal kegiatan acara tidak berlangsung lama. Sudah ada pola yang bisa digunakan berulang-ulang. Begitu juga dengan perhitungan biaya, kami tinggal memasukkan angka-angka untuk melihat kemungkinan terselenggaranya acara tersebut.

Pukul tujuh malam baru semuanya beres. Setelah mengirimkan proposal tersebut ke surel Pak Anwar, aku beranjak menuju ruang kerja untuk menaruh laptop. Aku harus pulang dengan kendaraan umum dan membawa laptop kantor pulang, sungguh berisiko.

Kupikir ruang kerja sudah kosong, ternyata lampu masih menyala terang benderang dan ada Mamet di sana. Padahal tadi aku sudah mengirimkan pesan untuk mengatakan kalau pembicaraan kami akan ditunda sampai besok.

Laki-laki yang biasa berisik itu menoleh saat mendengar aku masuk. Sepertinya Mamet mengisi waktu luang dengan mengecek toko-toko online sambil mendengarkan musik.

"Kenapa belum pulang, Met?" Aku melangkah mendekati laki-laki dengan rambut berwarna ash brown. Mamet hobi mengubah warna rambut. Setidaknya aku menghitung selama magang di La Beauté, sudah dua kali dia mengubah warna rambut.

"Nungguin kakak. Aku mau ngomong saja hari ini, Kak."

Berhubung beberapa hari ini Mamet menghindariku, rasanya ada sesuatu yang terjadi sebelumnya. Mungkin Ai yang bicara pada teman-temannya. Aku melirik toko online yang sedang dilihat Mamet.

"Nyari benang, Met?" tanyaku mencoba mencairkan suasana. Wajah Mamet yang terlihat kaget membuatku tidak bisa menahan senyum lebar.

"Kok, Kakak tahu?" Mamet balas bertanya.

"Mamaku juga suka membuat kristik, menyulam atau merajut untuk mengisi waktu. Kupikir kamu membeli benang untuk orang tua, ternyata kamu yang suka, ya?"

Wajah Mamet sedikit memerah. Kupikir anak itu akan marah atau mengelak apalagi saat melihat gelagatnya.

"Iya. Aku suka karena setidaknya kegiatan itu bisa membuatku tenang," ucap Mamet akhirnya sambil sedikit membuang pandangan. Ternyata anak ini tidak mengelak atau menghindar. Padahal pasti tidak sedikit orang yang mengganggunya karena memiliki hobi yang berbeda dengan yang lain.

Aku hanya mengangguk-angguk sambil meletakkan laptop dan membereskan meja. Memiliki hobi yang berhubungan dengan benang bukan suatu kejahatan. Aku juga tidak paham ketika ada orang lain yang mengganggu orang yang memiliki hobi berbeda. Untuk itu aku sangat menghargai Mamet dengan keberaniannya.

"Kamu udah makan malam? Mau makan bareng?" tawarku ketika Mamet menggeleng dan menyatakan belum makan malam.

Kami memutuskan untuk makan di warung pinggir jalan dekat kantor yang terkenal dengan ayam penyetnya. Sebenarnya ayamnya sih biasa saja, sama dengan masakan ayam penyet lainnya tapi yang istimewa itu sambalnya. Jika lembur, kami biasanya memesan makanan di sini.

"Nggak apa-apa di sini, Met?" tanyaku meyakinkan saat kami memasuki tenda warung.

Malam itu warung cukup ramai. Kami harus menunggu beberapa saat sebelum mendapat tempat duduk. Seperti biasa aku memesan ayam penyet dengan level pedas medium sementara Mamet memesan dengan level pedas maksimum.

"Sampai sekarang aku masih takjub sama perut kamu, Met. Nggak pernah meledak walaupun sering diisi sama cabai." Aku tertawa yang lalu diikuti oleh Mamet.

Aku bukan pencinta garis keras sambal dan hal yang pedas-pedas. Cukuplah untuk menambah rasa dalam masakan. Tidak seperti Mamet dan Ela yang menurut mereka semua masakan haruslah pedas supaya nendang.

"Kak Baron gimana?" tanya Mamet sambil mengaduk es teh manis pesanannya yang baru datang.

"Cuma kecapekan. Tadi dia diantar Timon soalnya aku harus balik ke kantor." Kuucapkan terima kasih pada orang yang mengantar pesanan teh tawar panasku lalu kembali fokus pada Mamet.

"Jadi, kamu lagi nyari apa tadi?"

"Crochet doily," sahut Mamet pelan.

"Wah! Kamu mau buat sweater?" Sungguh aku takjub dengan hobi Mamet. Tiga bulan bergabung dan aku baru tahu apa hobi anak cerewet ini? Diam-diam aku merasa malu.

Crochet doily adalah jenis benang katun tipis yang biasanya digunakan untuk merajut sweater tipis. Aku tahu bahan itu bisa menyerap keringat dan paling nyaman digunakan di negara tropis seperti Indonesia ini. Kardigan dan sweater karya mama yang sering kukenakan ke kantor juga menggunakan benang tersebut.

"Kakak juga tahu benang?" tanya Mamet agak terkejut. Mungkin dia juga heran karena aku tidak mengejeknya.

"Sedikit. Seperti kubilang tadi mamaku suka membuat kristik, menyulam atau merajut. Aku sendiri tidak bisa membuat mahakarya seperti itu, tapi mama sering menyuruhku membelikan benang di pasar. Untung sekarang ada toko online, ya? Jadi lebih praktis." Sambil terkekeh aku mengenang masa-masa saat mama memaksaku untuk berangkat sangat pagi hanya demi membeli benang di pasar sebelum berangkat kerja.

"Jadi sweater toska yang waktu itu kakak pakai, buatan tangan mama kakak ya?" tanya Mamet lagi sambil menerima pesanan ayam penyetnya. Aku mengangguk.

"Kupikir itu beli di toko, lho. Kualitasnya bagus, Kak."

Mama memang paling jago dalam membuat rajutan di antara saudara-saudaranya. Hobi yang kemudian berkembang setelah kepergian papa karena merajut dapat menenangkan hati mama. Itu sebabnya banyak sekali pakaianku merupakan buatan mama.

"Kenapa kakak nggak ngejek aku seperti orang-orang lain yang tahu?" tanya Mamet penasaran.

Ada banyak hal yang menjadi pertimbanganku. Salah satunya adalah menjahit atau merajut bukan milik kaum perempuan semata. Seperti halnya mengutak-atik mesin bukan milik kaum laki-laki saja.

Namun, orang-orang di luar sana masih ada yang berpikiran sempit dan mengkotak-kotakan segala hal termasuk warna dan hobi. Mama berkata kalau seseorang melakukan hobinya dengan senang hati, maka akan tercipta rasa nyaman dalam diri mereka. Terlepas dari apa pun hobi yang dilakukan. Mamet mengangguk dan tersenyum saat tahu alasanku.

"Aku jadi mau bertemu dengan mama-nya kakak."

Senyum di bibirku semakin lebar.

"Silakan! Main saja ke rumah di akhir pekan. Mama pasti senang kalau kamu main. Dia sudah lama tidak bertemu anak-anak cerewet." Kami tertawa bersama-sama.

Seperti halnya pada Ai dengan tawa yang bisa memperbaiki suasana, ketika tawa memudar, aku menyadari kalau Mamet sudah lebih rileks dan terbuka.

"Kak, aku mau minta maaf. Ucapanku waktu itu keterlaluan." Kali ini Mamet menunduk. Nasi ayam penyet dengan taburan sambal merah membara itu diabaikan olehnya. Padahal biasanya Mamet akan langsung menyerbu makanan pedas kesukaannya.

"Aku juga minta maaf kalau sikapku yang kaku membuat kalian kesal," ujarku.

"Ai cerita kenapa kakak selalu tegas dalam peraturan. Mulai dari disiplin masuk dan pulang kerja, melakukan segala sesuatu sesuai prosedur sampai pada peraturan-peraturan kecil. Aku sekarang ngerti, Kak."

Senyumku melebar. Tidak salah memang aku menghabiskan akhir pekan di rumah Ai, membuat berantakan dapurnya dan mengolah kue. Aku tahu gadis itu yang bicara pada teman-temannya.

"Bagus kalau sekarang kamu ngerti." Aku mengangguk-angguk seperti burung pelatuk sambil menyuapkan nasi dan ayam menggunakan tangan. Makan ayam penyet seperti ini paling nikmat pakai tangan, bukan sendok.

"Satu lagi, Kak. Maaf kalau aku bilang kakak itu perawan tua. Aku tahu Kakak sekarang bertunangan dengan Kak Baron. Maaf, ya?"

Aku tidak lagi mendengar permintaan maaf Mamet. Terlanjur tersedak saat mendengar ucapan bahwa aku dan Baron bertunangan. Mamet menyuruhku minum dan tanpa disuruh dua kali aku sudah menyambar gelas teh.

Sayangnya aku lupa kalau memesan teh panas tawar. Teh ini bukan sekedar panar melainkan panas bukan main. Lidah dan tenggorokku seperti terbakar dalam sekejap. Wajahku merah padam, sementara Mamet panik meminta air mineral pada pemilik warung.

***

Catatan Peribahasa:

Pandang jauh dilayangkan, pandang dekat ditukikkan = Menyelidiki sesuatu dengan teliti.

Continue Reading

You'll Also Like

2.4M 13K 26
Menceritakan kehidupan seorang lelaki yg bernama Nathan. dia dikenal sebagai anak baik yg tidak pernah neko neko dan sangat sayang pada keluarganya...
771K 55.2K 13
Okay, siapa sih yang tidak kesal karena diperlakukan semena-mena? Lagi, kenapa Arin sangat teramat sial karena bertemu dengan orang jutek, tidak tah...
24.8K 2.6K 31
Bukannya apa-apa, masalahnya Radit ini menyebalkan sekali bagi Tata. Ia selalu mau tahu urusan Tata, selalu merecoki apa pun yang menjadi masalah Tat...
2K 264 23
Topan Antara Dika dan Hening Sidara Gasik. Sepasang manusia yang dihantui kematian orangtua yang misterius. Topan yang paranoid dengan racun dan kem...