The Differences Between Us (C...

By Ayas_Ayuningtias

424K 46.4K 1.1K

[Pemenang Wattys 2023] [Pilihan Editor Wattpad pada Juni 2022] Waktu Cassandra dapat tawaran untuk membimbing... More

Cuap-cuap
Satu - Kesempatan dalam Kesempitan
Dua - Air Tenang Menghanyutkan
Tiga - Badai Pasti Berlalu?
Empat - Mulutmu, Harimaumu
Lima - Bagai Kena Buah Malaka
Enam - Bagai Orang Kena Miang
Tujuh - Bumi Berputar, Zaman Beredar
Delapan - Bermain Air Basah, Bermain Api Lecur
Sembilan - Nasi Telah Jadi Bubur
Sepuluh - Diam Seribu Bahasa
Sebelas - Seperti Pikat Kehilangan Mata
Dua Belas - Berat Sama Dipikul, Ringan Sama Dijinjing
Tiga Belas - Ada Nasi Di Balik Kerak
Empat Belas - Air Dalam Terenang
Lima Belas - Belum Mengajun Sudah Tertarung
Enam Belas - Angin Bersiru, Ombak Bersabung
Tujuh Belas - Duduk Sama Rendah, Tegak (berdiri) Sama Tinggi
Delapan Belas - Rambut Sama Hitam, Hati Masing-masing
Sembilan Belas - Akal Tak Sekali Tiba
Dua Puluh Satu - Terkalang Di Mata, Terasa Di Hati
Dua Puluh Dua - Pandang Jauh Dilayangkan, Pandang Dekat Ditukikkan
Dua Puluh Tiga - Malang Tak Boleh Ditolak, Mujur Tak Bisa Diraih
Dua Puluh Empat - Pikir Itu Pelita Hati
Dua Puluh Lima - Kaki Naik Kepala Turun
Dua Puluh Enam - Elok Lenggang Di Tempat Datar
Dua Puluh Tujuh - Seperti Cacing Kepanasan
Dua Puluh Delapan - Angguk Bukan, Geleng Ia
Dua Puluh Sembilan - Tak Boleh Bertemu Roma
Tiga Puluh - Usang Dibarui, Lapuk Dikajangi
Tiga Puluh Satu - Ikhtiar Menjalani Untung Menyudahi

Dua Puluh - Cencaru Makan Pedang

8.4K 1.2K 15
By Ayas_Ayuningtias

"Biar lambat asal selamat. Biar terlambat, asal ada usaha untuk memperbaiki." Pembimbing Anak Magang yang berbahagia.

Kata siapa bicara itu gampang? Aku sudah menghabiskan waktu dua puluh menit bersama dengan Ai tapi tidak ada satu pun kata yang keluar dari bibirku. Lagipula mungkin gadis ini terkejut melihatku tiba-tiba muncul di rumahnya pada akhir pekan.

Aku memutuskan untuk bicara pada Ai pada akhir pekan supaya lebih santai. Beberapa hari terakhir, Pak Anwar meminta para anak magang untuk berkeliling ke cabang-cabang sebagai bahan studi pembuatan project supaya lebih relevan. Hal ini yang membuatku tidak bertemu dengan mereka bertiga selama beberapa hari.

"Diminum, Kak." Ai menyilakan aku untuk meminum teh manis hangat yang dia hidangkan.

Rumah Ai tidak terlalu besar tapi cukup nyaman dan bersih. Ada beberapa foto dalam pigura yang dipajang di dinding. Namun ada satu keanehan yang menggelitik rasa ingin tahuku.

"Kamu di rumah sendiri?" tanyaku heran. Kalau di rumahku, setiap akhir pekan ada suara televisi menyala. Apalagi kalau ada Kak Ola dan suaminya, mereka akan menyalakan televisi lalu mengobrol dengan mama. Katanya biar suasana makin ramai.

"Nggak. Bapak lagi di kamar kerjanya, meningkatkan sistem keamanan database untuk kantor client-nya. Kakakku juga lagi di kamar. Biasa deh, main game sama teman-temannya." Ai mengangkat bahu seolah sepi ini sudah biasa.

Aku tahu kalau orang dalam keluarga Ai semuanya memiliki otak encer. Mereka mengetik bahasa pemrograman seakan itu adalah air yang diminum. Aku melihat sendiri bagaimana Ai membangun website dengan kecepatan mengetik tanpa melirik contekan bahasa pemrograman.

Ai memperhatikanku yang sedang mengamati foto-foto di dinding. Ada beberapa yang sepertinya diturunkan. Terlihat bekas putih berbentuk persegi di antara cat tembok yang mulai berubah warna.

"Bapak menurunkan frame foto Ibu di tahun kesepuluh ibu pergi. Bapak masih patah hati dan sepertinya nggak akan pernah sembuh."

Aku tertegun mendengar ucapan Ai. Dia terdengar santai tetapi aku bisa menangkap getaran dalam suaranya. Ai menyeruput teh manis hangatnya. Kuikuti jejak gadis itu dan mulai menyeruput teh manis hangat beraroma melati.

"Kamu yang mengurus rumah?" tanyaku pelan.

Lagi-lagi aku tertegun saat Ai mengangguk lalu bercerita kalau dia menghabiskan masa kecilnya dengan mengurus rumah di waktu luang. Dia bahkan bisa memasak di usia tujuh tahun, meskipun baru masakan sederhana.

"Ibu pergi meninggalkan rumah entah ke mana saat aku usia empat tahun. Tiga tahun pertama, Bapak memperkerjakan asisten rumah tangga yang berganti-ganti begitu sering seperti ganti pakaian. Akhirnya waktu asisten rumah tangga terakhir ketahuan mencuri, Bapak memutuskan untuk mengurus rumah sendiri."

Aku menahan diri untuk tidak berbicara. Mungkin Ai akhirnya akan terbuka padaku di momen ini. Gadis itu memutar cangkir tehnya sebelum kembali menyesap. Kuikuti jejak Ai untuk membuatnya semakin nyaman. Dari internet aku mengetahui teknik itu bernama mirroring, suatu metode dalam percakapan untuk menunjukkan ketertarikan atau kedekatan dengan lawan bicara. Teknik itu berhasil! Ai menghela napas lalu melanjutkan ceritanya.

"Tapi kakak tahulah kalau kebanyakan laki-laki kurang bisa bekerja secara multitasking. Pekerjaan Bapak berantakan, kakak juga sebelas dua belas dengan Bapak jadi aku yang mengurus rumah."

Kubayangkan Ai kecil mondar-mandir di rumah ini. Menyapu, mengepel, memasak dan mencuci pakaian. Gadis semuda ini, ditempa oleh cobaan yang cukup berat. Dia kehilangan masa bermain saat kecil karena harus mengurus rumah, kehilangan kasih sayang seorang Ibu. Mendadak aku mengerti kenapa Ai selalu berkata tajam. Dia sedang melindungi dirinya dari rasa keterikatan. Ai takut untuk dekat dengan seseorang yang kemudian akan berlalu meninggalkannya seolah dia tidak berharga. Mataku berkaca-kaca sementara gadis berpipi merah di hadapanku tersenyum lembut.

"Aku dulu senang kok, Kak. Bayangkan saja seperti main rumah-rumahan. Lagipula dulu untuk urusan mencuci dan menyeterika pakaian, Bapak pakai jasa laundry kiloan. Jadi aku ngggak terlalu capek."

Aku hanya bisa mengangguk-angguk. Tidak tahu kata apa yang harus diucapkan untuk gadis mungil di hadapanku. Sejak kedatanganku tadi, Ai juga tidak pernah berkata tajam. Dia seolah memperlihatkan Aileen yang berbeda dengan biasanya.

"Kak, masalah waktu itu ... aku minta maaf." Tiba-tiba saja Ai bicara. Dia menunduk dengan kedua tangan memegang cangkir teh.

"Aku juga ke sini untuk minta maaf, Ai. Mungkin sikapku yang terlalu taat pada peraturan membuat kalian sesak." Kuletakkan cangkir teh kami berdua supaya bisa menggenggam jemari Ai.

"Tapi itu bukan berarti aku bisa mengucapkan kata-kata kasar pada Kakak," gumam Ai.

"Yah, harus kuakui aku agak bingung menghadapi kalian. Baru pertama kali ini aku membimbing anak magang. Kalian pintar, punya banyak ide dan kebebasan. Sementara di sisi lain, aku harus menjaga agar peraturan dijalankan dengan baik. Bayangkan jika operasional kantor berjalan tanpa adanya aturan, potensi hal yang tidak kita inginkan bisa terjadi." Aku terdiam sejenak. Menyadari kalau Ai mungkin tidak suka diceramahi.

"Maaf, aku tidak bermaksud ceramah. Hanya saja, mungkin kita bisa saling mencoba memahami bagaimana karakter kita masing-masing. Terus terang, Ela bilang kalau aku memiliki kelemahan di generations gap. Seolah-olah aku lebih tua ratusan tahun dari kalian," keluhku sambil tertawa kecil.

Di luar dugaan Ai tertawa dengan suaranya yang jernih. Dia jarang sekali tertawa lepas. Biasanya Ai akan menjaga jarak dengan tersenyum atau tertawa kecil.

"Sebentar, Ai. Coba ulangi tawa yang tadi, biar aku rekam," ujarku bercanda. Ai kembali tertawa dan aku takjub.

Orang bilang tawa bisa mengubah dunia. Saat ini aku ingin berterima kasih pada orang yang mengucapkan hal itu. Suara tawa Ai mengubah sikap kami berdua. Setidaknya kami jadi lebih mudah memahami satu sama lain. Kami berdua tersenyum, saling memaafkan tanpa kata-kata lebih lanjut.

"Kakak serius mau main di rumahku hari ini?" tanya Ai ketika kunyatakan niat untuk main di rumahnya.

"Kecuali kamu nggak mau diganggu," ujarku cepat. Ai menggeleng lalu mengajakku ke dapur.

"Aku senang ada teman. Biasanya akhir pekan gini, aku lebih sering di dapur buat bikin kue. Tapi Bapak dan kakakku jarang makan kuenya." Ai mulai mengeluarkan bahan-bahan untuk membuat kue bolu.

"Terus ngapain kamu bikin kalau nggak dimakan sama mereka?" tanyaku ikut sibuk menyusun peralatan masak.

"Aku kirim untuk tetangga. Dulu waktu aku kecil, mereka sering menjagaku dan kakak saat Bapak kerja. Setidaknya kue adalah bentuk ucapan terima kasihku."

Ini adalah sisi lain dari Ai. Wajahnya melembut dan nada suaranya tidak sarkastik seperti biasanya. Ai banyak bercerita tentang masa kecilnya. Dia terlihat ceria dan berbeda dengan Ai yang di kantor.

"Kamu beda banget ya, Ai," kataku sambil menakar tepung lalu mengayaknya.

"Maksudnya?" Ai menimbang gula dan memisahkannya.

"Di kantor kamu lebih banyak diam dan sekalinya ngomong, setajam silet. Di rumah kamu lebih santai dan lembut."

Gadis dengan pipi yang selalu merona ini tertawa. Dia bilang kalau rumah adalah tempatnya merasa aman. Aku paham ucapannya. Gadis ini pasti mengalami masa kecil yang sulit. Ditinggalkan ibu entah kemana dan harus mengurus rumah seorang diri. Dia sulit untuk bersosialisasi. Mungkin karena tidak ada seorang ibu di sisinya.

Berada di dapur bersama Ai juga membuatku memahami kalau anak ini sangat taat pada resep. Dia benar-benar membuat bolu dengan mengikuti resep tanpa ada kesalahan. Padahal pasti dia sudah ratusan kali membuat bolu. Kalau kuingat-ingat lagi, sepertinya ide yang ajaib-ajaib memang keluar dari otak Mamet.

"Aku berpikir, kenapa ya Mamet senang mencetuskan ide ajaib?" tanyaku pelan sambil menuangkan adonan kue.

Ai tertawa mendengar pertanyaanku.

"Kakak harus tanya sama dia. Sekalian bedah otak saja, Kak. Aku juga mau tahu dia dapat inspirasi dari mana."

Kami tertawa berdua. Sebelum berangkat tadi pagi, aku merasa hari ini akan berat. Namun ternyata tidak juga. Semua berjalan dengan lancar.

"Aku senang kita bisa menghabiskan waktu bersama seperti ini, Ai," ucapku saat menunggu bolu matang. Kami duduk di meja makan setelah membereskan dapur yang seperti ditimpa angin puting beliung.

"Aku yang keberatan kalau sering-sering, Kak."

Meskipun ucapan itu terdengar tajam, aku hanya tertawa. Merasa lebih memahami gadis berambut cokelat di hadapanku yang menatap dengan mata jernihnya. Aku masih tinggal di rumah Ai selama beberapa jam ke depan, memotong-motong kue bolu dan membantu mengantarkannya ke para tetangga.

Aku juga sempat bertemu dengan Bapak dan kakak Ai. Mereka mirip sekali satu sama lain. Nyaris seperti gambar serupa tetapi tidak sama yang sering aku temui saat kecil dulu di majalah Bobo.

"Terima kasih ya, Ai. Hari ini menyenangkan sekali." Menjelang pukul empat sore, aku memutuskan untuk pamit.

"Ya, aku juga senang hari ini, Kak." Ai memberikan pelukan yang membuatku terkejut.

"Omong-omong, Kak Cassie. Kakak nggak tertarik sama Kak Baron? Waktu kita bertengkar itu, Kak Baron khawatir banget loh, Kak. Mungkin saja, siapa tahu Kak Baron benar-benar punya perasaan sama kakak?" Tiba-tiba saja Ai mengucapkan hal itu ketika taksi online yang kupesan datang.

Tanpa menunggu reaksi, Ai tersenyum lalu mendorongku masuk ke dalam mobil. Dia menutup pintu dan meminta supir taksi online untuk jalan. Sementara aku termangu, terlalu terkejut untuk berpikir atau membalas ucapannya. Aku hanya sanggup melambaikan tangan dengan kaku. Beberapa menit setelah meninggalkan rumah Ai, baru kusadari lupa mengucapkan terima kasih.

***

Catatan Peribahasa:

Cencaru makan pedang = Pekerjaan yang lambat, tetapi hasilnya baik.

Continue Reading

You'll Also Like

163K 20.3K 25
Annetta Shelladhika Putri tak pernah menyangka bahwa ia memiliki cacat bawaan. Dalam delapan belas tahun kehidupannya, gadis itu selalu merasa normal...
771K 55.2K 13
Okay, siapa sih yang tidak kesal karena diperlakukan semena-mena? Lagi, kenapa Arin sangat teramat sial karena bertemu dengan orang jutek, tidak tah...
55.2K 6.1K 42
Happy Quarantine by Anneliese Shofia [Winner Wattys 2021 - Fiksi Penggemar] Pandemi virus ini tidak hanya dialami oleh para Muggle. Di dunia sihir pu...
150K 7K 29
π™π™Šπ™‡π™‡π™Šπ™’ π™Žπ™€π˜½π™€π™‡π™π™ˆ 𝘽𝘼𝘾𝘼~ ____________πŸ•³οΈ____________ Jika ditanya apakah perpindahan jiwa keraga lain, kalian percaya? Menurut saya perc...