ALDRICH

Bởi shintasandani

137K 10.8K 2.7K

Aldrich Bagaskara. Julukannya penguasa jalanan, ketua geng motor terkenal di Jakarta. Si tampan bak dewa yang... Xem Thêm

VISUAL TOKOH
1 - Raja Jalanan
2 - New School
3 - Tatapan ketua Wynzelle
4 - Salah Sasaran?
5 - Hampir Jatuh
6 - Markas
7 - Duh Ketauan
8 - Heboh
9 - Saturday Night
10 - Aldrich vs Nindys
11 - Konsekuensi
12 - Serangan Ravens
13 - First Request
14 - Arsen Bertingkah
15 - Dinner
16 - Bagaskara Big Family
17 - TPU
18 - Cemburu
19 - Balas Dendam
20 - Mall
21 - Baper
22 - Sesi Curhat
23 - Insiden Pagi Hari
24 - Galium (Ga)
25 - Class Meeting
26 - Loser
27 - Amarah & Pernyataan
28 - Tidak A6!
29 - ILY
30 - Yakali Gak Resmi

31 - 💖

4.1K 358 86
Bởi shintasandani

BINGUNG GAK SAMA JUDUL? Absen warna kesukaan kalian dulu yukkk! me; biru, ungu, pink

Selamat membaca, jangan lupa tinggalkan jejak. Ramein vote & komennya okei

•••

"BUKA PINTUNYA NINDYS!"

Dengan tidak manusiawi Vanes terus menggedor kencang pintu kamar Nindys. Wajah perempuan itu memerah dan napasnya memburu karena emosi yang berada di ujung tanduk. Di genggaman tangannya terdapat sebuah baju.

"Kenapa sih teriak-teriak mulu?!" Nindys kesal. Raut wajahnya tampak kusut seperti tengah memikirkan masalah paling berat dalam hidupnya.

"Lama banget buka pintu! Sengaja pengen ngehindar dari gue? Atau mau lari dari tanggung jawab?"

"Dih apaan nggak jelas. Gue lagi ngerjain tugas, tuh liat sendiri pake mata." ia menunjuk meja belajar yang berserakan buku serta cemilan. "Lo nya aja nggak sabaran jadi orang,"

"Bodo. Gue butuh penjelasan, " lalu Vanes mengangkat baju di tangannya tinggi-tinggi supaya sejajar ke muka Nindys. "Ini lo apain sampe baju gue bolong? Lo kan yang tadi ngegosok?!"

"Ah iya lupa ngomong. Gosokannya kepanasan tadi, terus nggak sengaja kena baju lo. Sorry." ucap Nindys sedikit tak enak hati. Walau bagaimana pun memang kesalahannya yang ceroboh.

"Nanti gue ganti," Nindys menyambung.

"Gimana sih lo timbang gosok doang nggak becus," geram Vanes masih tidak rela baju miliknya menjadi korban. Ditambah harganya terbilang mahal.

Nindys menghela napas. "Gue udah minta maaf kali. Nggak usah bikin masalah jadi panjang. Gue nggak ada waktu buat ngeladenin."

"Bukannya ngerasa bersalah malah ngejawab terus kalo di bilangin. Durhaka lo sama gue!" Vanes menampilkan muka nyolot bikin siapapun pengen nampol.

Satu tangan Nindys mengepal erat. Membuktikan bahwa dirinya ikut terbawa emosi. Semua orang juga punya batas kesabaran masing-masing. Lagian kurang apa sih? Ia sudah minta maaf, bahkan berniat mengganti bajunya. Memang Vanes aja demen cari masalah!

"Mending minggat dari sini sebelum kesabaran gue bener-bener habis," Nindys memperingati. Tapi sama sekali tidak di tanggapi.

"Gak,"

"Mau lo apa sebenernya?" decak Nindys frustrasi. Jika tidak segera di tuntaskan permasalahan ini, Vanes akan semakin menjadi.

"Ganti baju gue."

"Gue udah bilang gitu. Telinga lo nggak berfungsi dengan baik?"

Vanes kembali menimpali. "Sekarang."

"Stress!" tidak habis pikir Nindys geleng-geleng kepala. Kayak nggak ada hari lain. Udah tau sekarang dirinya sedang tidak bisa di ganggu alis sibuk.

"Gue aduin Mas Chrys nih?" ancam Vanes dengan ekspresi serius seakan paham kelemahan Nindys.

"Sana gih. Lagian Papa belom pulang kerja."

Betepatan Vanes hendak berbalik badan, terdengar suara mesin mobil memasuki halaman rumah. Selang beberapa detik Chrys langsung berujar, "Papa pulang."

Nindys membolakan mata. Sedangkan Vanes sudah berlari untuk menemui suaminya. Takut wanita itu mengadu lalu di lebih-lebihkan, alhasil ia berencana menyusul sekalian menyapa Papanya.

"Mas!" panggil Vanes manja.

"Mas capek sekali. Bisa buatkan Mas kopi?" Chrys menjatuhkan tubuhnya di sofa dengan muka lesu. Jarinya bergerak melonggarkan dasi yang terasa mencekik lehernya.

"Aku juga sekalian, Ma. Teh anget hehe," tiba-tiba Nindys melengos melewati Vanes dengan santainya.

Vanes memaksakan senyum. "Oke. Tunggu sebentar."

"Papa akhir-akhir ini sering pulang lambat. Lagi banyak kerjaan, yah?" tanya Nindys perhatian sembari melangkah mendekat dan duduk tepat di sebelah Chrys.

"Ya begitulah." jawab Chrys seadanya. Mengangkat sebelah tangan untuk mengusap puncak kepala putrinya. "Bagaimana sekolah kamu, sayang?"

Kesibukannya di kantor membuat Chrys kurang memantau aktivitas putrinya. Padahal biasanya setiap saat ia suka menanyakan Nindys pada Pak Dion. Beruntung kini orang kepercayaannya tersebut melapor bahwa baik-baik saja.

Mengetuk dagu pura-pura berpikir. Nindys membalas. "Aman kok, Pa. Tapi tugasnya aja yang nggak aman."

"Memang ada apa dengan tugas kamu?"

"Gak ada abisnya. Selesai di kerjain satu tumbuh seribu,"

"Butuh bantuan Papa?" Chrys menawarkan diri sungguh-sungguh.

"Sejauh ini Nindys masih bisa nge-handle. Aku kan strong." iya strong, stress tak tertolong!

Tidak berselang lama Vanes datang membawa nampan berisi segelas kopi dan teh. Bibirnya mengulas senyum yang dibuat semanis mungkin. Justru membuat Nindys memincingkan mata merasa curiga.

Papanya menyeruput kopi dengan nikmat. Ia pun berniat mencicip tehnya, tidak lupa di tiup terlebih dulu. Gadis itu melotot ke arah Vanes bahkan hingga terbatuk. Benar dugaannya ada yang tidak beres sejak awal. Sialan.

"Loh kenapa, Nindys? Teh buatan Mama nggak enak?" ujar Vanes sedih.

"Lo ngerjain gue ya?! Rasanya asin!" semprot Nindys ngegas seolah lupa akan kehadiran Chrys yang memberikan tatapan bingung.

Dia mengelak. "Masa sih? Perasaan seinget aku yang di masukin gula deh. Oh jangan-jangan aku salah ambil."

"Bilang aja lo bales dendam sama gue gara-gara baju, kan? Mata lo nggak rabun, segala pake alesan salah ambil." timpal Nindys tidak mau kalah.

"Jangan asal nuduh. Emang kenyataannya gitu kok!"

"Ada apa sebenarnya?" suara Chrys sontak melerai. Agaknya sesuatu yang tak ia ketahui telah terjadi sehingga istri dan putrinya bertengkar.

"Nindys tuh Mas bikin baju aku bolong gara-gara gosoknya terlalu panas," adu Vanes memulai aksinya.

"Gue—"

"Nindys, bahasa kamu yang sopan." sela Chrys menegur Nindys tidak suka dengan gaya bicara lo-gue di dalam keluarga.

"Aku nggak sengaja, Pa. Aku juga udah minta maaf sama dia."

"Minta maafnya nggak ikhlas,"

"Apa lo bilang?"

"NGGAK IKHLAS. Masih kurang jelas? Atau perlu gue ejain hm?"

Belum sempat menyahut ucapan Vanes. Chrys keburu buka mulut bermaksud menghentikan perdebatan.

"Cukup. Untuk apa masalah kecil di besar-besarkan? Tidak malu kalian sudah dewasa masih sering bertengkar?" Chrys marah menatap mereka bergantian.

"Papa sedang capek. Pulang ke rumah niatnya untuk istirahat. Bukan malah di sambut dengan keributan."

Atmosfer berubah hening. Perasaan bersalah melingkupi. Menundukkan kepala, Nindys memilin jari-jarinya. Lalu sedetik kemudian menengadah menatap Chrys. "Maaf, Pa."

"Aku juga minta maaf, Mas." Vanes ikutan seraya melirik sinis ke arah Nindys. Seakan lewat tatapan tersebut berkata 'gara-gara lo'

Chrys memijat pelipis. "Papa jadi ragu untuk meninggalkan kalian berdua."

"Memang Mas ingin kemana?" istrinya bertanya, memberanikan diri.

"Mas ada kerjaan di luar. Tidak tentu waktunya sampai kapan. Mungkin sekitar dua mingguan atau bahkan lebih."

•••

"Permisi, Bu. Di dalam masih ada orang?"

Guru penjaga perpustakaan berujar. "Sepertinya sudah pada pulang nak, Al. Sebentar lagi perpusnya juga mau Ibu tutup."

"Saya boleh masuk?" tanya Aldrich sopan.

"Boleh dong. Kalau begitu Ibu tinggal ke ruang guru dulu yah. Mau beresin barang-barang sekalian ambil kunci."

Cowok itu mengangguk.

Sepi. Itulah yang Aldrich dapati. Padahal teman-teman Nindys bilang kalau gadis itu pergi ke perpustakaan saat jam kosong pada pelajaran terakhir. Dan sampai bel pulang tak kunjung kembali.

Langkah kakinya berjalan menuju meja pojok yang terhalang oleh rak buku. Ternyata gadis yang Aldrich cari sedari tadi sedang asyik memejamkan mata dengan satu tangan menjadi bantalan. Ia mengambil posisi duduk di sebelah Nindys perlahan karena takut mengusik tidur sang empu.

"Cantik." Aldrich tersenyum setelah menyingkirkan rambut yang menghalangi wajah gadisnya.

Tatapan Aldrich berganti pada buku tulis Nindys yang terdapat berbagai macam coretan. Tawanya spontan pecah. Lucu sekali gadis ini!

"Bangun hei," untung hanya dengan beberapa kali tepukan di pipi Nindys melenguh dan langsung mengerjapkan mata hingga terbuka.

"Gue ketiduran?" ujar Nindys serak sambil mengucek matanya sekaligus memandangi sekeliling yang minim cahaya karena gorden sudah tertutup.

"Udah jam pulang. Untung lo nggak di kunciin di sini. Dasar ceroboh," seloroh Aldrich.

"Mana tau bakal ketiduran. Niatnya kan pengen kerjain tugas doang gara-gara di kelas pada gaduh." balas Nindys sewot. Kemudian ia mengingat sesuatu.

"Mampus tugas gue belom selesai!"

Matanya melotot saat Aldrich menunjukan buku tersebut ada di tangannya. "Ini buku tugas atau dairy? Kok isinya curhatan," ledek Aldrich.

"Lo baca isinya?!" Nindys ngegas, lebih tepatnya untuk menutupi rasa malu. Aldrich pun manggut meresponnya. "Al, nggak sopan tau. Iseng banget deh, kembaliin sini."

"Kalo perlu bantuan bilang, Nindys. Gue emang nggak sepinter Nathan. Tapi bisa sedikit bantu lo kok."

"Prinsip gue, awalnya harus usaha sendiri dulu. Meskipun ujung-ujungnya bakal stress. Gue nggak mau terlalu bergantung sama orang." jawab Nindys dengan mata menatap Aldrich dalam.

"Kenapa?"

"Karena itu cuma bikin kita jadi lemah."

Ada yang mengganjal di hati Aldrich mendengar Nindys berkata demikian. "Lo dan gue udah bukan orang asing lagi, Dys. Lupa?"

Tangan kanan Nindys terangkat mengusap rahang tegas milik Aldrich. Bibirnya mengukir senyum manis. Senyum yang mampu membuat cowok itu seketika deg-degan. "Gue tau, Al. Gue nggak mau nyusahin lagi. Selama ini kan gue sering banget nyusahin lo."

Berdecak pelan, Aldrich menyentil kening gadis itu karena tidak suka dengan ucapannya. Justru ia malah suka di repotkan, apalagi Nindys orangnya. Itu artinya Aldrich merasa jadi pacar yang berguna.

"Aduh, kok di sentil sih?" Nindys mengaduh. Bibirnya mengerucut ke depan.

"Refleks." sahut Aldrich acuh. Ia nengok dan mendapati Nindys makin manyun. "Gak usah manyun-manyun gitu. Jelek."

"Iya emang jelek. Sana cari aja cewek lain yang lebih cantik, lebih segalanya pokoknya." menaikkan dagu dengan kedua tangan bersedekap, Nindys belagak menantang.

"Ngaco."

Seperdetik kemudian mendadak lampu ruangan mati hingga tidak ada cahaya sedikit pun. Nampak gelap, apalagi hari mulai sore. Nindys nyaris teriak saking terperanjatnya. Lantas, ia meraba sekitar berusaha mencari keberadaan Aldrich.

"Al, mati lampu. Tolong nyalain senter. Gue lupa naruh hp di mana," tutur Nindys panik bukan main, ditambah tidak menemukan tanda-tanda Aldrich berada.

Hening.

"Aldrich? Jangan bercanda ya! Lo nggak ninggalin gue beneran, kan?"

Rasa takut berlebih bukan karena punya phobia gelap. Hanya saja kadang hati dan pikiran itu suka berlawanan. Di saat hati mencoba untuk tenang, pikiran malah mikir aneh-aneh. Gimana kalo tiba-tiba ada yang nongol di depan mukanya? Kan nggak lucu.

"Denger-denger kalo takut malah makin di datengin." Aldrich bisik-bisik dari arah belakang seakan tau isi pikiran Nindys.

"Sekali lagi lo ngomong gitu, sumpah gue marah. Kemusuhan setengah hari!" ancam Nindys menggebu-gebu.

Aldrich menaikkan alis walau tak terlihat. "Setengah hari doang?"

"Ya terus berapa lama? Gue nggak kuat lama-lama." balasannya bikin Aldrich tergelak. Tidak habis pikir dengan Nindys yang asal ceplos. Namun sialnya hal tersebut candu bagi Aldrich.

Senter yang berasal dari ponsel Aldrich lalu menyala sesuai permintaan Nindys. Ia bergumam. "Kalo suatu saat nanti gue bikin lo kecewa, lo boleh hukum gue apapun. Kecuali satu, jangan pernah berpikir buat pergi yah, Dys?"

"Lo ngomong seolah-olah lo bakal ngelakuin kesalahan,"

Aldrich membuang napas. "Takdir nggak ada yang tau. Entah itu hari ini, besok, dan seterusnya."

•••

"Aduh Non, dari mana saja? Saya cariin muter-muter sekolah tidak ketemu juga. Saya sempet mikir Non sudah pulang duluan." Pak Dion cosplay jadi ibu-ibu yang panik ketika anaknya hilang.

Menoleh sejenak, seketika matanya menyorot tajam pada cowok di sebelah putri Bosnya. "Kamu lagi! Masih berani deket-deket Non Nindys? Pasti semua ini ulah kamu, kan?"

"Bukan, Pak. Bukan salah Aldrich. Tadi aku habis dari perpus makanya lama." jawab Nindys menginterupsi.

Pak Dion manggut meski tidak sepenuhnya percaya. Bukan tidak percaya pada Nindys, namun pada Aldrich. "Mari Non kita pulang. Bos sudah menanyakan Non sudah sampai rumah atau belum,"

"Bapak duluan ke mobil ya? Aku mau bicara sebentar sama, Al." Nindys menyahut. Sementara Pak Dion memberi tatapan ragu. "Cuma sebentar kok beneran." lagi, ia meyakinkan.

"Tapi Non—"

"Nindys nggak bakal saya culik." cetus Aldrich menegaskan.

"2 menit." celetuk Nindys mengangkat kedua jarinya.

Pria itu pasrah, alhasil memutuskan untuk meninggalkan mereka berdua walau sebelumnya saling adu tatap dengan Aldrich. Kini Nindys memutar tubuhnya menghadap samping, di mana kekasihnya berada.

"Bosen nggak debat mulu sama Pak Dion?" hanya mendapat respon gedikkan bahu dari Aldrich. Cowok itu lebih memilih menyelipkan rambut Nindys ke belakang telinga agar leluasa memandangi wajah cantiknya.

"Mau ngomong apa?"

"Oh iya. Lo langsung pulang atau kumpul dulu?" kata Nindys pengen tau.

Aldrich menggeleng. "Nggak dua-duanya."

"Terus?"

"Ngawal lo sampe rumah,"

"Ih ngapain, gak usah! Kan udah ada Pak Dion. Gue nggak mau waktu lo cuma terpusat sama gue. Temen-temen lo juga butuh lo."

"Sekarang bukan jadwal kumpul, Nindys. Misalnya kumpul juga bisa lah gue pastiin lo sampe rumah dulu baru ke warung Babeh."

"Itu namanya pemborosan, Aldrich. Bulak-balik, nggak hemat bensin."

"Ck, pom bensin nanti gue beli."

Nindys melotot, lalu mengulurkan tangan mencubit perut cowok di sebelahnya. "Sombong! Udah 2 menit, gue susul Pak Dion deh,"

Tidak enak membuat Pak Dion menunggu lama akhirnya mereka berpisah. Selama di perjalanan pulang, Nindys menoleh ke belakang untuk memastikan apakah Aldrich mengikutinya atau tidak.

Dan ternyata, Aldrich benar-benar serius dengan ucapannya.

Ketika mobil sampai di depan pagar rumah dan Pak Dion turun membuka pagarnya, ia melihat Aldrich juga berhenti agak jauh. Dengan pandangan masih mengawasinya.

Nindys Arnetha : Pulangnya hati-hati. Jangan ngebut, awas!

Aldrich Bagaskara : 💖

Nindys Arnetha : Apa tuh nggak ngerti

Aldrich Bagaskara : 💖

Nindys Arnetha : Ck, Aldrich! Keyboard lo rusak ya, makanya cuma bisa kirim emot?

Aldrich Bagaskara :

•••

GIMANA CHAPTER INI??

Suka gakkk banyak adegan Aldrich & Nindys? next chap ada yg mau request bole komen yh

SAMPAI KETEMU NANTI, MAKASI BANYAK KALIAN UDA SETIA NUNGGU AK UPDATE<33 LV ALL!

FOLLOW IG : @wynzelle_ofc

tertanda, —shinta

Đọc tiếp

Bạn Cũng Sẽ Thích

727K 38.2K 75
The end✓ [ Jangan lupa follow sebelum membaca!!!! ] ••• Cerita tentang seorang gadis bar-bar dan absurd yang dijodohkan oleh anak dari sahabat kedua...
2.2M 129K 42
Kanaya Tabitha, tiba tiba terbangun di tubuh seorang figuran di novel yang pernah ia baca, Kanaya Alandra Calash figuran dingin yang irit bicara dan...
513K 24.1K 48
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...
4.9M 371K 52
❗Part terbaru akan muncul kalau kalian sudah follow ❗ Hazel Auristela, perempuan cantik yang hobi membuat kue. Dia punya impian ingin memiliki toko k...