Afterglow | In Repair

By Tirecstasy

15.5K 2.9K 2.8K

Kenapa orang yang takut menyakiti hati orang lain malah tetap berpeluang disakiti oleh orang lain..? Juga ke... More

prolusio: jelita renjani
prolusio: joshua gautrama
prolusio: viart farhanidar
‼️read this before you start reading the whole story‼️
1 | nayna and her fiance
2 | requirements
3 | as husband and wife
5 | an old friend's wish
6 | joshua's future wife
7 | the gautrama(s)

4 | depends on her, he said

911 217 342
By Tirecstasy

"DEMI APA SIH DUNIA SEMPIT BANGET?!?!"

"Ngomongnya biasa aja, Mah, muncrat ke muka Papa nih!"

Kalimat itu bukan dilebih-lebihkan, melainkan benar begitu adanya. Solwa yang mulanya tengah mengunyah buah pir penuh ekstrak kandungan air tersebut sungguhan memuncratkan sedikit liurnya pada wajah Jehan ketika dirinya terkejut selepas mendengar cerita belum tuntas dari Joshua.

Jehan mengelap wajah dengan sisi kaus yang dikenakannya, "Untung ngomongnya di sini, kalo di meja makan udah abis tuh kena kuah semua." sindir Jehan.

Solwa malah menjitak kecil Jehan, "Yailahh... kalo gue kasih ludah eksklusif langsung dari bibir ke bibir juga biasanya lo seneng. Nggak usah sok jijik gitu deh!"

"Bisa-bisanya cipokan disama-samain sama ludah muncrat." balas Jehan dengan frontal.

"Ya sama lah, kan sama-sama ada ludahny—"

"Ekhem, ada orang lain di sini kalo kalian lupa."

Daripada menyaksikan keributan tak berkesudahan antara pasutri yang memang gemar berdebat hal-hal sepele tersebut, Joshua—pria yang mengunjungi kediaman Jehan dan Solwa di pagi hari dengan berbusana rapi itu pun memilih menegur duluan sebelum telinganya dipenuhi argumen tak jelas dari keduanya.

"Oiya, suka lupa... Maaf lahir batin ya Bapak Shua si calon pengantin baru~" ledek Solwa sambil menaik turunkan alisnya, orang-orang terdekat Joshua memang lebih akrab menyapanya dengan nama Shua.

Jehan meneguk singkat teh manisnya, dilihat-lihat dia dan Solwa malah nampak seperti gelandangan kucel yang habis dipungut oleh Joshua dari kolong jembatan sebab sepasang suami-istri tersebut belum mandi pagi ini, wajah berminyak dan rambut rada semrawut belum sisiran menghiasi. Sementara Joshua rapi sekali dengan atasan berkaus polos yang dilapisi cardigan rajut berkancing yang bagian lengannya digulung sedikit untuk memperlihatkan gelang serta jam tangan yang pria itu lingkarkan baik di lengan kanan dan kiri.

Rambut yang dijuluki style 'jidat mengintip' itu hanya dipolesi sedikit pomade agar tak begitu nampak formal secara keseluruhan. Sepanjang Jehan mengenal Joshua, pria itu selalu berpenampilan rapi apapun keadaannya. Tidak urak-urakan seperti jaman dirinya masih bujangan dulu.

"Shua, lo pake OOTD gituan apa nggak dikira mahasiswa pas baru masuk kampus?" komentar Solwa.

"Kenapa emangnya?"

Jehan menimbrung, "Kalo celana bahan lo diganti pake ripped jeans juga 100% gue gak bakal percaya kalo lo itu malah dosennya."

Kening Joshua berkerut, mengecek penampilannya sendiri. "Kan lo sendiri, Han, yang bilang katanya bosen liat gue pake kemeja terus?"

"Yeee.., tiati lo Pah, nyuruh-nyuruh Shua pake style kating-able begini. Nanti makin banyak mahasiswi yang kepincut, udah jadi calon laki orang neh!" Solwa mulai menyalahkan Jehan lagi.

"Alah, emang percuma gue suruh lo well dressed tiap mau ngajar, ujung-ujungnya bukannya kepincut sama mahasiswa eh malah kepincut sahabat gue sendiri." Jehan tak begitu berniat menanggapi istrinya.

"Eh tapi Shua, gimana ceritanya lo bisa mau nikah sama Jelita dah?? Papa pasti udah tau dari lama, kok gak cerita-cerita ke Mama sih?!?!" protes Solwa, lagi-lagi pada suaminya.

"Tanpa Papa cerita juga akhirnya Mama bakalan tau, 'kan?"

"Yakan kalo tau duluan bakalan lebih asik???"

"Asik buat dijadiin bahan gibah?"

"Nah, tuh paham."

"Tolong, ya, Ibu Solwa Yang Terhormat. Kurang-kurangin lah begitunya. Masa anak perdana gue lahir dari rahim wanita si biang gibah??"

Joshua tergelak terhadap ujaran Jehan barusan, sementara Solwa melotot tak terima.

"Orang mah bersyukur! Daripada lahir dari rahim peranakan bencong???"

"Bencong kaga punya rahim, bloon! Lagian Papa gak pernah kumpul kebo sama bencong, ngasal aja lu kalo ngomong!" Jehan mengapit leher Solwa dengan keteknya, yang membuat Solwa menggerutu keras sebab seperti yang sudah dibilang, Jehan belum mandi.

"BAU KETEK JEHAN KAMPRET!! BERANI-BERANINYA NGETEKIN WAJAH CANTIK GUE!!!"

Dengan santai, Jehan merespon. "Itung-itung skincare alami. Terbuat dari ekstrak burket sang suami."

"Dih jijik! Merusak skin barrier gue sampe lapisan paling dalam ini mah!!" meraba bantal di sofa, Solwa berhasil memukul-mukul Jehan hingga suaminya itu kini melepas apitannya.

"Shua, ayo kita makan! Kasian Mak Lampir udah masak daritadi." Jehan berlari menuju meja makan sebelum diberikan bogeman mentah-mentah oleh Solwa. Joshua yang perutnya mulai keroncongan itu pun mengekori Jehan—sudah menjadi rutinitasnya singgah ke apartemen Jehan dan Solwa sebelum dirinya pergi mengajar ke kampus. Solwa pula selalu menyediakan porsi sarapan berlebih untuk dinikmati juga oleh sahabat suaminya tersebut.

Bermula dari undangan Jehan untuk beberapa kali mampir sebab jarak dari apartemen ke kampus tujuan Joshua yang lumayan dekat, lama-lama Joshua terbiasa menyantap sarapan bersama kedua pasutri ini tanpa ada masalah keberatan yang berarti. Kadang juga ia absen bila Mami sempat memasak sesuatu untuknya di rumah—bagaimana pun, Joshua akan memprioritaskan Mami.

"Jadi kan baik Shua maupun Jelita itu sahabat Papa dua-duanya. Terus Papa dapet kabar mereka mau nikah itu dari Jelita-nya duluan apa dari Shua duluan?"

Tidak berniat memperpanjang masalah seputar perketekan beberapa menit lalu, Solwa yang sepertinya tengah kepalang penasaran akan cerita lanjutan Joshua pun bertanya kembali. Kali ini mereka telah duduk di meja makan sembari menyendokkan nasi goreng pada piring masing-masing.

Kunyahan Jehan sedikit melambat, mentimun di mulutnya seketika tak begitu membuatnya berselera lagi. "Dari Shua. Kan Papa udah nggak pernah kabar-kabaran sama Jelita."

"Sama sekali? Mama gak pernah larang Papa loh buat kontakan sama sahabat lamanya Papa. Meskipun Mama tau kalo si Jelita-Jelita ini cuantiknya kebangetan."

"Emang bukan karena dilarang Mama, tapi dilarang sama seseorang dari pihak Jelita-nya."

Ah, Solwa kerap lupa akan Jehan yang pernah bercerita soal Jelita yang selalu dikendalikan oleh pria yang punya banyak minus kepribadian. Pria yang membuat Jehan dan Jelita dijauhkan. Sehingga Solwa yang semestinya kenal Jelita sebaik Jehan menengal wanita itu pun malah hanya sebatas tahu nama Jelita tanpa pernah banyak mengobrol berdua. Padahal Solwa bayangkan pasti akan sangat seru bila ia bisa akrab dengan satu lagi orang terdekat Jehan.

"Shua, kalo nantinya Viart masih suka manipulasi Jelita, gue harap lo nggak main terima gitu aja." pinta Jehan, wajahnya cukup serius.

Joshua membatalkan suapannya, "Itu tergantung gimana Jelita-nya. Ibarat dia lagi sekarat mau jatuh ke jurang, pilihannya pun ada pada dirinya sendiri. Mau berusaha teriak cari cara agar selamat atau putus asa lalu sengaja pasrah nyemplungin diri."

"Alasan gue gak bisa berbuat banyak buat Jelita kemarin-kemarin adalah karena dia memilih opsi kedua. Dia memilih sesuatu yang membuat dirinya sendiri jatuh sampai paling dasar, dan terjebak tanpa tau caranya keluar." timpal Jehan.

Suasana mendadak berubah hening sejenak, Solwa jadi yang paling kebingungan karena tak banyak tahu-menahu soal Jelita. Sekilas raut kosong dan muram suaminya mengundang tanda tanya besar alih-alih memancing cemburu, Solwa tidak terpikir untuk menanam curiga apalagi pada salah seorang penting dari hidup Jehan. Hanya saja, mengapa Jehan sampai nyaris kelihatan miris begitu bila tiap mengulik seputar Jelita dan kehidupan yang wanita itu jalani selama ada jarak yang membentang di antara mereka.

"Ini jatohnya lo kayak dijodohin gitu ya, Shua, sama nyokap lo dan nyokap Jelita?" Solwa membuat topik baru.

Joshua mengangguk.

"Tapi... kok bisa? Kok bisa orang kayak lo mau dijodohin? Ini kan soal pernikahan..? Lo pernah bilang sendiri kalo pernikahan itu hal yang hanya akan lo lakukan sekali seumur hidup."

"Jawaban simplenya, karena orang itu Jelita. Jawaban panjangnya, rahasia." balas Joshua menggantung.

"Just because she's pretty?"

"I've met so many pretty girls in my life. Of course not."

"Agak-agak menjengkelkan ya anda, bikin penasaran aja." Solwa merotasikan bola mata, "Coba aja kalo pas acara lamaran Sanca lo nggak telat dateng, pasti lo ketemu Jelita deh."

"Dia dateng ke acara itu juga?" Joshua nampak baru tahu.

Jehan menyerobot menjawab, "Dateng tapi balik duluan. Acara belom selesai udah dijemput Viart. Sakit sih tuh orang, akhlakless parah."

"Jehan??? Selemes-lemesnya mulut lo ke gue, setau gue lo nggak pernah sampe ngegerutuin orang yang nggak lo suka. Si Viart-Viart ini emang udah separah itu ya???" Solwa cukup tidak menyangka.

"Lebih parah dari yang Mama kira." singkat Jehan.

"Tante Amara bilang, selama lo nggak dibolehin ketemu Jelita, lo jadi lebih sering ketemuan sama beliau, ya?" Joshua mengingat ucapan Mama Jelita dua minggu lalu seputar apa yang baru saja dirinya tanyakan.

Mulut yang menggembung itu mengangguk, siap bernicara selepas kunyahan tertelan. "Nyokapnya Jelita itu udah kaya nyokap gue sendiri. Dia banyak cerita soal kesedihannya setiap liat hubungan Jelita sama Viart. Dan dia berharap banyak sama lo, Shua. Berharap lo bisa ngasih apa yang seharusnya udah Jelita rasakan selama ini yaitu bahagia."

Mulai banyak hal yang menghinggapi punggung Joshua, hal-hal yang seolah minta untuk dia emban tanpa menganggapnya sebagai beban. Tentang orang-orang yang ingin dirinya membahagiakan Jelita. Membuat Joshua pula menimbang seberapa pantas Jelita mengecap bahagia darinya. Atau seberapa tidak pernahnya wanita itu merasakan bahagia yang sesungguhnya. Juga apakah Jelita mau berbahagia bersamanya.

Mengemban banyak pengharapan orang lain memanglah sulit. Tapi alih-alih memusatkan pikiran tentang itu, yang ada Joshua malah semakin tertantang menyelami kehidupan Jelita. Dia pernah menganggap hal yang akan terjadi ini mustahil. Siapa sangka takdir mendadak merestuinya nyaris dalam sekejab mata. Persetan dengan yang namanya pernikahan sementara, Joshua perlu berfokus pada waktu yang sebentar lagi tiba. Waktu yang diperuntukkan padanya. Waktu dimana dirinya patut mengerahkan usaha demi memanifestasikan permintaan orang-orang terhadapnya. Mengulurkan tangan untuk Jelita yang masih kelabu soal ingin diajak bangkit atau tidaknya.

Topik perbincangan tiga orang di meja makan itu sempat beralih seputar acara lamaran Sanca dan Nayna tempo hari. Ditimpali alasan terlambatnya Joshua yang katanya diperalat oleh beberapa mahasiswi centil dengan dalih konsultasi—Joshua memang kelewat baik untuk meladeni mereka-mereka yang bahkan sebelumnya tak pernah membuat janji. Menjadikan para mahasiswi itu semakin berani mengingat image Joshua sebagai dosen muda paling baik hati.

"Nggak kebayang nanti lo sama Jelita gimana. Lo sama Jelita sama-sama orang paling sabar yang pernah gue kenal. Rumah tangga lo berdua pasti bakal tentram sentosa banget kali, ya?"

"Bakalan berbanding terbalik dari rumah tangga kita, maksudnya???" Solwa memelototi Jehan.

"Bukan Papa yang ngomong..." Jehan mengedikkan bahu pada Solwa yang sedang mengumpulkan piring bekas mereka makan.

Joshua memasang ekspresi yang sulit diartikan, "Gue pernah denger, katanya problem pernikahan itu nggak se-klise yang sering diperbincangkan orang. Bukan cuma soal selingkuh, KDRT, ataupun masalah materi. Bakalan ada permasalahan yang nggak pernah kita duga-duga yang bisa kapan aja terjadi. Itu... beneran?"

Joshua melempar tanya, bisa jadi Jehan dan Solwa lebih memahami penyataan yang Joshua lontarkan barusan meski usia pernikahan mereka baru jalan hampir dua tahun.

"Mama dulu apa Papa dulu yang jawab nih??"

"Mama! Mama! Gue duluan!" serobot Solwa. "Awal nikah sama Jehan... Selama beberapa bulan, GUE MUAK BANGET cuma gara-gara Jehan suka naro handuk basah di atas kasur sama kalo ngambil baju suka berantakan. Gue udah capek-capek ngesetrika eh dia main tarik-tarik baju dari dalem lemari. Udah gitu kalo abis makan, piringnya nggak pernah langsung ditaro di tempat cucian piring. Kalo abis futsal, bukannya langsung mandi malah rebahan di kasur dalam keadaan keringetan. Terus—"

"Buset Solwa binti Solwa, lo mau ngumbar semua aib laki lo sendiri nih ceritanya???????" potong Jehan, tak terima meski semua itu benar adanya. Terlebih tatkala Joshua terkekeh menertawainya. Walau Joshua sudah lebih banyak tahu kebiasaan buruk Jehan namun tetap saja Jehan tidak mau berujung dipojoki dua orang ini sekaligus.

Solwa menjawil dagu Jehan sekilas, "Hehe... itu kan dulu. Sekarang Papa udah jarang begitu. Apalagi sekarang juga udah rajin cuci piring. Hari ini jatah Papa yang cuci piring kan?"

"Jangan ngada-ngada. Ini hari senin, giliran Papa sabtu-minggu!"

Bibir Solwa mencebik, "Yah... pake inget hari segala lagi lu."

"Lanjutin, dong, topik yang tadi." pinta Joshua, "Kalo dari lo sendiri gimana, Han?"

"Waduh, kalo permasalahan gue ke Solwa menyangkut masalah plus-plus. Waktu awal-awal gue sama Solwa ngelakuin—argh! sakit, Mah!"

"JEHAN BERANI LO LANJUTIN, GUE GEDIG LO PAKE KUALI GOSONG! GUE GAK BERCANDA!!"

Gelak tawa Jehan mengudara kencang ketika Solwa mengancamnya dengan wajah merah padam. Kening Joshua berkerut bingung, butuh beberapa saat untuk mencerna kalimat Jehan sampai sepersekon kemudiam Joshua mengerti kemana arah pembicaraan Jehan tadi.

"Shua, nanti aja gue ceritain kalo kita lagi berdua—"

"JEHAN!!! MAU TIDUR DILUAR?!?!"

"Tenang aja, Wa, gue nggak berminat dengerin hal-hal se-private itu. Lagian, kayak nggak tau Jehan aja? Dia kan mulutnya doang jahil, mana pernah dia keceplosan ngomongin gituan beneran." cetus Joshua, ampuh menenangkan Solwa.

Selanjutnya, Solwa mengangkuti piring dan barang-barang di atas meja lain bekas sarapan mereka. Solwa sekalian pergi untuk mencucinya, meninggalkan Jehan dan Joshua berdua yang masih betah menduduki area meja makan.

Keduanya membahas soal perencanaan sparing futsal dan beberapa keluh-kesah seputar pekerjaan. Sampai pada beberapa menit yang telah berlangsung, Jehan tiba-tiba diam dan berubah raut serius. Dia meminta sesuatu pada Joshua.

"Shua." Joshua tidak menyahut, dengan tak beralihnya pandangan pria itu dari wajah Jehan sudah mencerminkan dia dengar panggilan samar Jehan barusan. "Lo... bisa temuin gue sama Jelita?"

"Widiiihh, udah cantik aja lo pagi-pagi. Bukannya jadwal mangkal itu nanti malem?"

Yoli merotasikan bola matanya malas, padahal dia sudah mindik-mindik agar si kampret Else itu tidak terbangun sampai ia benar-benar pergi. Tau-taunya tetap saja insting wanita itu berjalan hingga memergokinya.

"Bagi, dong!" Else mencomot asal roti milik Yoli yang baru sekali gigit. "Mau kemana, sih? Kok nggak bilang dulu?"

"Dih, emang lo siapa gue makanya gue harus bilang-bilang segala?"

"Sudah jelas diriku adalah pasangan lesbimu."

"Ngaco!"

Else menyengir, menampilkan selai cokelat yang menempel di giginya. Else sebenarnya tidak sepenuhnya salah juga, sih. Banyak yang mengira kalau Yoli dan Else itu pasangan lesbi karena kemana-mana nempel mulu kayak biji. Terlebih, ketika mereka memutuskan untuk tinggal bersama di apartemen yang baru mereka tempati dua hari lalu ini, makin-makin saja mendukung adanya giringan opini.

Kendati demikian, Yoli bersumpah kalau dirinya masih berada di jalan yang benar. Nggak belok-belok dan nggak juga nyerong-nyerong. Yoli masih suka titit, sedangkan Else nggak tau deh soalnya Yoli beberapa kali suka mergokin dia nelen ludah sendiri kalo Yoli lagi pakai baju harom. Gimana pun, bisa dibilang nggak mungkin juga kalo Else termasuk ke golongan kaum mejikuhibiniu mengingat Else punya banyak teman bobo yang bisa kapan saja dia calling kalau lagi horny.

"Mau kemana, Yol?" Else belum menyerah bertanya.

"Interview kerja."

"Kok pake jeans???"

"Gue mau naik busway. Masih cukup waras buat melindungi pantat gue dari predator lakik brengsek yang kalo diteriakin salah malah playing victim dan nyalahin pakaian perempuan."

"Bagus, bebski. Kalo ada yang macem-macemin lo langsung telepon gue aja, jangan sebut nama gue tiga kali soalnya gue bukan jin Aladdin."

"Apa sih?" Yoli merebut kembali rotinya yang tinggal sedikit. Suapan Else segede gaban, kalau muat mungkin dia bisa lahap roti itu dalam sekali telan. "Lo nanti keluar nggak? Tolong beresin barang-barang gue yang masih di dalem box, dong. Nanti baliknya gue beliin ayam geprek."

"Nggak. Gue perginya nanti malem. Mau meeting sama klien."

"Meeting di diskotik apa hotel?"

"Meeting beneran anjir bukan meeting yang iya-iya!"

"Masa?"

"Bener. Klien gue bisanya ketemunya nanti malem. Dia minta gue bawa sekalian jelasin desain kue yang udah gue bikin semalem. Ilustrasi gaunnya juga."

Memang, Else punya usaha di bidang kue dan gaun. Kalau untuk kue, Else melakukan semua prosesnya sendiri dari mulai mengolah adonan, baking, hingga menghias sampai finishing. Kalau gaun, Else hanya bisa menggambar sampai desain. Jika klien suka desainnya, Else akan menyerahkan desain itu pada penjahit yang sudah lama bekerja sama dengannya. Tentu bukan penjahit ecek-ecek, penjahit yang acap dijadikan langganan oleh usaha butik.

Else tiba-tiba menatap menyelidik, "Lo... interview di Deguns, ya?!"

"Bukan. Di Giatop."

"Sama aja! Giatop kantor cabangnya Deguns, bodoh!"

"Yang penting bukan di Deguns-nya langsung."

"Alah, tetep aja. Lo pasti mau sekantor sama Toby, kan?!"

"Nggak lah. Gue di Giatop, dia di Deguns. Beda. Beda jauh." tekan Yoli.

Tidak seperti namanya, Deguns bukanlah perusahaan yang bergerak di bidang perpistolan atau senjata tajam lainnya. Deguns merupakan kependekan dari Dear Daraguns, perusahaan milik Keluarga Daraguna yang digadang-gadang sebagai salah satu perusahaan terbesar di Asia Tenggara. Perusahaan tersebut menjulang tinggi membelah lagit Jakarta Selatan, sementara Yoli akan interview di Giatop daerah Jakarta Utara.

"Sama aja. Yang namanya petinggi mah bisa tiba-tiba muncul di cabang mana aja."

Else meledek, yang dia maksud itu Tobias. Tobias baru-baru ini diumumkan sebagai salah satu petinggi Deguns bersama Sanca yang notabenenya adalah sepupunya. Kalau Yoyo, nggak usah ditanya soalnya kerjanya masih slengean makanya belum cukup pantas disetarakan oleh Tobias dan Sanca yang lebih mumpuni.

"Dari sepuluh email yang gue kirim, cuma Giatop yang acc gue. Gue yakin kalo lo ada di posisi gue, lo bakalan melakukan hal yang sama."

"What if yang nge-acc email lo dan nyuruh lo interview sekarang bukan tim HRD tapi Toby?"

"Nggak usah halu. Genre kehidupan gue nggak sama kayak series penuh uwu-uwu yang suka lo tonton."

"Huh? Kita liat aja. Kalo gue bener, lo harus traktir gue seminggu penuh!"

"Deal."

Yoli asal menanggapi karena menurutnya yang Else bicarakan itu tidak masuk di akal, hanya berbentuk karangan yang menakut-nakuti. Yoli pergi tak lama setelah segelas susunya habis, menenteng paper bag berisi rok span yang akan mengganti jeans-nya ketika dia sudah sampai di perusahaan nanti. Ditambah sneakers yang dia kenakan kini bakal ia ganti dengan stiletto yang juga dia letakkan di dalam tentengannya itu.

Sudah lama Yoli tidak naik busway. Memilih mengenakan kendaraan umum sementara dirinya sudah punya kendaraan yang nyaman mungkin akan terdengar menyusahkan bagi sebagian orang. Yoli sendiri tidak merasa begitu, hitung-hitung dia olahraga berjalan kaki karena bila dia sudah keterima kerja nanti itu artinya Yoli tidak punya lagi waktu jogging di pagi hari.

Feeling Yoli mulai tidak enak ketika di tengah perjalanan, pihak HRD menyuruhnya ganti lokasi ke Jakarta Selatan—katanya, seluruh pelamar serentak di arahkan ke Deguns termasuk para pelamar di Giatop dan kantor cabang lainnya.

Yoli berhasil mengganti jeans-nya ketika baru beberapa menit sampai. Rok span yang mulai terasa mengetat itu mengiringi langkah Yoli yang agak kesulitan dibuatnya, dia dihalangi oleh dua orang penjaga ketika ingin masuk ke ruangan dimana para pelamar sudah duduk manis sembari menunggu.

"Kenapa ya, Pak? Saya disuruh Pak Darsono untuk datang interview ke sini."

"Sebentar—"

Yoli bisa lihat salah satu penjaga bergantian memandangi wajah dan ponsel di tangannya, seolah memastikan bahwa Yoli adalah orang yang sedang mereka cari. Namun Yoli tidak ingin kegeeran sebab dia tahu kalau keamanan di Deguns itu cukup ketat.

"Yoanda Libisana?"

"Iya, benar—loh? Bapak tau nama lengkap saya?" Yoli memastikan kalau dia belum memakai name tag, dan benar saja name tag-nya memang belum terpasang sama sekali.

"Silahkan ikut saya."

Yoli mengekori dengan seribu tanda tanya di kepala. Dia diajak masuk ke dalam ruangan sepi, katanya dia disuruh menunggu beberapa menit sampai pihak HRD datang. Akan tetapi, rupanya feeling buruknya tadi betulan terealisasi. Ketika seorang pria dengan kemeja putih dan dasi itu masuk dan duduk tepat di hadapannya, Yoli tak lagi bisa menyembunyikan ekspresi terkejutnya.

"Maaf, kayaknya saya yang salah ruangan—"

"Duduk."

"Saya disuruh bertemu Pak Darsono—"

"Saya yang memerintahkan Pak Darso untuk menyuruh kamu kemari."

Yoli terbungkam sesaat. Jantungnya berdegup dengan kencang semenjak Tobias menampakkan eksitensi di ruangan yang sama dengannya itu. Yoli terpaksa harus menjawab pertanyaan interview sembari menahan kegugupan berkali-kali. Tangannya mengepal, sampai keringat kian membasahi telapak tangannya.

"Kalau gitu, besok kamu datang ke sini lagi. Kamu bisa langsung mulai kerja." kata Tobias sambil memperhatikan kertas-kertas dari dalam map berlabelkan nama Yoli. Dia semakin tampan dengan kacamata yang bertengger di batang hidung mancungnya.

"S-saya... ke sini, Pak? Bukan ke Giatop?"

"Kamu interview di sini apa di Giatop?"

"Di sini, Pak."

"Ya sudah."

"T-tapi... saya kan ngelamarnya di Giatop, Pak..."

"Kamu besok datang lagi ke sini. Pakai rok yang lebih panjang dari yang kamu kenakan sekarang. Ruangan kamu ada di lantai enam belas, sebelah ruangan saya."

"Divisi pemasaran ruangannya bersebelahan dengan ruangan Bapak?"

"Siapa bilang kamu keterima di divisi pemasaran? Kamu keterima sebagai sekretaris saya."

"HAH?!" Yoli buru-buru membekap mulutnya yang menganga, "T-tapi... saya kan nggak melamar di posisi itu, Pak..."

Selanjutnya Tobias membalas dengan pertanyaan yang membuat Yoli skakmat. "Mau kerja, nggak?"

"Mau, Pak."

"Ya sudah, besok datang sesuai instruksi saya tadi." Tobias melepas kacamatanya, menaikkan sebelas alisnya pada Yoli. "Mengerti, Yoanda Libisana?"

"Mengerti, Pak Tobias."

Yoli bersumpah, dia akan mengutuk dirinya berkali-kali nanti karena telah meremehkan insting Else. 

"Why don't you sleep?"

Suara serak Viart menginterupsi lamunan Jelita seiring dengan mengendurnya jemari pria itu yang melingkar pada pinggangnya. Tadinya, Viart tertidur di pelukan Jelita selama setengah jam, tapi Jelita tidak menyangka kalau pria itu akan bangun secepat ini.

"I'm not sleepy." Jelita mengarahkan kepala Viart untuk tenggelam pada sebelah bahunya lagi—posisi keduanya memang tengah berbaring di atas ranjang empuk milik Viart. "Kenapa bangun? Katanya ngantuk banget?"

"Aku kira kamu juga tidur."

"It's okay, you can still sleep comfortably in my arms."

"Nggak pegal?"

"Just a little."

Viart menurut untuk kembali memeluk Jelita. Namun kali ini, alih-alih tertidur lagi, Viart malah menenggelamkan wajahnya pada sisi leher Jelita—menghirup serta menikmati aroma violet soft yang memberi kesan feminim. Itu cukup membuat leher Jelita terasa menggelitik, sampai akhirnya Jelita bertindak menjauhkan kepala Viart tatkala pria itu mulai melakukan pergerakan mengecup yang menuntut.

"V... ngapain?"

Mata layu Viart menatap agak memohon, "Honey, let's do it. I miss your touch."

"V..."

"C'mon, J. It's been a long time. I know you miss my touch too, just admit it." Viart mengelus rahang Jelita lembut dengan pergerakan menggoda.

"Stop it."

"J..."

"I told you to stop, Art."

"FINE!"

Viart menarik diri, setidaknya sampai jaraknya dengan Jelita muat untuk diselipkan satu buah bantal guling. Dia benci setiap kali Jelita kesal terhadapnya, wanita itu akan memanggilnya dengan 'Art' yang jelas amat tidak dia sukai.

"You changed."

"I already said I don't wanna do it. At least, sampai kita nanti menikah lagi." Jelita menekankan apa yang berkali-kali sudah ia ingatkan pada Viart tersebut.

"You really changed."

"In fact, it wasn't me who changed. But you are too horny."

"Men have desire, J."

"Women have too. But we can control it well."

Membuang pandangan malas, Viart kini baru mantap menyadari tentang adanya sedikit perubahan tak begitu ketara pada karakter Jelita. Entah Bandung yang jadi tempat singgahan sementara itu berbuat apa pada Jelita, yang jelas Jelita-nya yang dulu tidak pernah seberani itu untuk menentang kemauan Viart yang anti tertolak. Dia rindu gadis penurutnya yang dulu.

Tercipta keheningan di antara mereka sejenak, sampai sepersekian menit barulah Jelita angkat suara.

"I met him."

Atensi Viart langsung tertarik, "Siapa?"

"Lelaki yang akan jadi suamiku."

"Kamu udah nemuin orangnya?? Kan aku bilang, biar aku aja yang carii—"

"Not me. My mom did."

"She is so shitty! Lama-lama, aku bisa benci beneran sama mama kamu kalo begini terus."

"Don't curse my mom if you don't want to hurt my feelings."

"I'm sorry, honey, but should your mother be involved too? Kita udah nurutin kemauan dia untuk buat kamu menikah lagi sebelum kembali ke aku, kenapa calonnya juga harus dia yang pilihin? Ini namanya nggak beres."

"If my mom starts the rules, my mom will end it too. She will be involved, including the process." Jelita menyibak rambutnya yang menghalangi sedikit bagian dari wajahnya, "Boleh aku tau kenapa kamu bersikeras mau pilihin calon buat aku juga?"

"Aku cuma nggak pengen kamu dapat seseorang yang lebih baik dari aku lalu kamu mendadak berpaling."

"Apa maksudnya, kamu maunya aku menikah dengan lelaki yang berkelakuan buruk?"

"Nggak gitu—hey, honey, look at me." Viart mengambil sebelah jemari Jelita untuk dia genggam dan mengelusnya lembut. "I just... don't want to lose you. I'm afraid it will happen."

Jelita menggenggam balik jemari yang lebih besar dari miliknya tersebut, duduk agak menyerong yang langsung membuat Viart merebahkan kepalanya di pangkuan Jelita.

"Nggak ada yang perlu kamu takuti. Kita udah melewati banyak tahun bersama, sedangkan aku sama dia hanya akan menikah selama enam bulan."

"There is still a possibility that one day you will fall in love with him."

"You are overthinking too much."

"Then, tell me." Viart butuh memastikan sesuatu, "Gantengan aku atau dia?"

Jelita terkekeh, "Seriously? Kamu pake nanya begitu segala?"

"Oh tentu. Soalnya kalo gantengan dia, peluang kamu suka sama dia jadi lebih besar."

"Ganteng itu kan relatif—"

"Kamu beneran punya rencana buat suka sama dia?!"

"Maksudnya nggak gitu. Menurut aku sih gantengan kamu tapi..."

"Kok ada tapinya segala?!"

"Well, jujur, dia manis. Tapi kamu kan juga manis..."

"Okay that's enough. I trust you, J."

Jelita pikir, Viart akan menyudahi topik untuk menggali hal-hal lain tentang Joshua. Namun nyatanya Viart malah sampai meminta foto Joshua untuk benar-benar memastikan bahwa pria itu tak lebih tampan darinya. Sayangnya, Jelita tidak punya—sudah juga berusaha mencari akun sosial media Joshua yang ternyata digembok tanpa pakai foto profile.

Karena Viart belum bisa tenang sepenuhnya, dia meminta Jelita untuk mempertemukan Viart dengan Joshua minimal sekali saja sebelum pria itu mempersunting Jelita. Yang bikin Jelita mendadak pusing tentang bagaimana caranya dia menjelaskan pada Joshua nanti kalau Viart ingin bertemu dengannya hanya untuk memastikan Joshua tampan atau tidak? Belum lagi, takutnya Viart malah berbicara macam-macam yang bisa mengundang cekcok atau keributan.

"V, aku harus pulang."

Jelita berujar setelah nampak membalas pesan seseorang di ponselnya.

"Padahal aku berharap kamu nginep." Viart memasang wajah kecewa, "Can you stay tonight, please? Honey?"

"I can't. Aku harus pulang."

"Ngapain? Mau ketemu siapa?"

"Aku ada deadline." terdapat tatapan kurang suka dari Viart yang sudah tahu kemana maksud perkataan Jelita itu. "Kamu nggak mungkin mau pinjemin aku laptop, kan? Setidaknya, kalau kamu nggak mau lihat aku nulis di depan mata kamu, kamu nggak boleh ngelarang aku melakukannya di luar ranah tatap kamu."

Agak terpaksa, Viart merespon memperjelas. "Iya. Aku udah janji nggak ngelarang kamu nulis selama itu nggak dilakukan pas lagi sama aku."

"Good. I'm leave, babe. Have a good night."

"You too."

Jelita pergi meninggalkan kediaman Viart tanpa Viart antar pulang. Jelita kerap melarangnya untuk mengantar ketika Viart sedang kelelahan, yang berlanjut jadi tidak pernah mengantarnya sama sekali untuk pulang ketika larut malam mau Viart berkondisi lelah maupun tidak. Tidak ada rasa cemas sama sekali sebab selama ini pun Jelita tidak pernah kenapa-napa dan selamat-selamat saja.

Viart menatap punggung berbalut atasan berlengan panjang itu sampai eksistensinya tak lagi berjejak di dalam kamarnya. Menghela napas panjang dan masih merasa kecewa karena lagi-lagi dia harus tidur dalam kesepian tanpa ada Jelita di sisinya.

Ada sebuah perasaan yang cukup mengganggunya. Seputar lelaki yang akan menikahi Jelita. Yang Viart harap, perasaan itu bukanlah sebuah bentuk dari fisarat buruk.







to be continued
—❦—

Tira's notes :

Ada yang mulai panik takut "wanita"-nya diambil lelaki lain wkwkwkwk. Solwa aja ga pernah cemburu sama Jelita tapi si V-word.... ah sudahlah🙃

Kira-kira Yoli terima tawaran jadi sekretarisnya Toby ga yaa, terus apakah betul kata Else kalo Toby yang accin email lamaran kerjanya Yoli biar bisa sekantor sama mantan?? Apakah Joshua bisa temuin Jelita sama Jehan?? Hmm kita lihat saja nanti kelanjutannya.

Makasih buat prudens yang udah votment, semoga lebih banyak dan semangat lagi ke depannya. Happy satnight! Enjoy your weekend and see you di chapter selanjutnya💖💖


JEHAN, calon pahmud.

SOLWA, calon mahmud.

Jakarta, December 11th 2021

Continue Reading

You'll Also Like

725K 58.3K 63
Kisah ia sang jiwa asing di tubuh kosong tanpa jiwa. Ernest Lancer namanya. Seorang pemuda kuliah yang tertabrak oleh sebuah truk pengangkut batu ba...
86.1K 8.2K 33
Supaporn Faye Malisorn adalah CEO dan pendiri dari Malisorn Corporation yang memiliki Istri bernama Yoko Apasra Lertprasert seorang Aktris ternama di...
YES, DADDY! By

Fanfiction

306K 1.8K 9
Tentang Ola dan Daddy Leon. Tentang hubungan mereka yang di luar batas wajar
76.4K 8.3K 86
Sang rival yang selama ini ia kejar, untuk ia bawa pulang ke desa, kini benar-benar kembali.. Tapi dengan keadaan yang menyedihkan. Terkena kegagalan...