Complicated Inside [END]

By alyahanunar

5.9K 1.6K 291

Janganlah terus mengeluh tentang kehidupanmu yang rumit, tetapi bersabarlah. Mungkin belum saatnya kamu bahag... More

Awal Kata
1. Sebuah Tragedi
2. Kisah Hidup
3. Percakapan Singkat
4. Dibayarin
5. Hanya Kebetulan
6. Tombak Es
7. Masih Sama
8. Hangat Yang Ditolak
9. Mendadak
10. Maaf Dan Bersemu
11. Dream Come True
12. Rumah Tanpa Kehangatan
13. Manusia Kutub
14. Kembali Indah
15. Sepenggal Masa Lampau
16. Amarah Itu
17. Kamu
18. One Person
19. With You
20. Sama-sama Terluka
21. Kesekian Kalinya
22. Difficult
23. After Gone
24. By Your Side
25. Waktu
26. Pengorbanan
27. Song
28. In The Moonlight
29. Unexpected
30. Stranger
31. Video Misterius
32. Painful
33. Kesalahpahaman
34. Whatever
35. Musibah
37. Alone
38. Different
39. Pupus
40. Berakhir
41. Titik Terendah
42. Self Harm
43. Terbiasa
44. Detektif
45. Bunuh Diri
46. Malaikat Pelindung
47. Titik Nadir
48. Terungkap
49. Sadar
50. Penyesalan
51. Kehilangan
52. Goodbye

36. Broken

81 23 0
By alyahanunar

Aku bisa menerima perlakuan kasar tapi sebuah pengusiran membuatku hancur. –Alana

~~~

Alana berjalan sendirian di sebuah taman luas. Atensinya tertuju kepada perempuan berambut panjang dengan dress putih di bawah lutut duduk di bangku panjang membelakanginya.

"Kak Anna...," panggil Alana pelan.

Perempuan itu menoleh menghilangkan keraguan Alana. Pandangan mereka bertemu dan tidak ada sepatah kata yang keluar untuk beberapa saat. Keduanya saling terdiam.

"Kak Anna!" Alana langsung menghambur ke pelukan kakaknya.

Anna tampak terkejut mengetahui keberadaan Alana bersamanya. Tangannya membelai lembut rambut adiknya. Apa yang membawa Alana sampai ke tempatnya berada?

"Kakak rindu kamu, Alana!"

"Alana juga rindu Kak Anna!"

Alana menguraikan pelukan agar dapat menatap wajah Anna. "Kakak jangan nangis! Alana udah di sini Kak!" ujar Alana menghapus jejak air mata Anna.

"Kamu tumbuh besar tanpa Kakak. Kamu tambah cantik, Adik kecilku."

"Kak Anna juga tumbuh dewasa dan tambah cantik!" Alana kembali memeluk Anna.

Letupan penuh haru tidak dapat mereka bendung. Air mata bahagia menambah syahdu pertemuan kakak-beradik itu. Rindu yang membunuh perlahan berurai sembuh dengan sebuah pertemuan.

"Bagaimana keadaan kamu? Baik-baik aja 'kan, Dik?" tanya Anna menuntun Alana duduk di bangku.

"Lebih baik dari sebelumnya setelah ketemu sama Kakak! Aku senang banget bisa ngobrol lagi! Bareng sama Kak Anna lagi!" Binar bahagia jelas terpancar di wajah Alana. Ia tidak mengira akan bertemu Anna secepat ini. "Kabar Kakak gimana setelah tinggal di sini?"

Anna tersenyum teduh. "Kakak bahagia di sini. Kakak baik-baik saja seperti yang kamu lihat." Bagaimanapun Anna hanyalah manusia biasa. Terkadang merasa kesepian tingal jauh dari keluarga. Kini telah berbeda alam pula. "Saat Kakak rindu rumah tapi gak bisa berbuat apa-apa," lanjutnya melirih.

"Kak..."

"Kabar Avia, Mama, sama Papa gimana? Mereka sehat dan bahagia 'kan?" tanya Anna antusias kembali mengulas senyuman.

"Ya, mereka sehat semua. Mereka bahagia juga rindu sosok Kak Anna. Kepergian Kak Anna amat membekas sampai sekarang." Alana menjawab dengan lugas. Dan akulah penyebabnya yang pantas mendapatkan ganjaran. Everything so complicated, lanjut Alana dalam hati.

"Alana bisa ketemu Kak Anna karena koma."

"Maksud kamu?" tanya Anna tidak mengerti.

"Alana sama Avia kecelakaan. Untungnya nyawa kami berdua bisa terselamatkan. Luka-luka kami cukup serius. Mungkin Avia juga akan ketemu Kak Anna."

Perbincangan terus berlanjut dari hal spele hingga serius. Alana dan Avia tertawa bersama ketika sesuatu mengandung humor. Tak lupa Alana bercerita hubungannya dengan Arlyn yang disambut baik oleh Anna. Mereka berjalan di hamparan rumput yang asri disuguhkan pemandangan bukit dan danau biru kehijauan yang cantik.

Kakak beradik itu menikmati kebersamaan. Tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang ada.

Sampai di sebuah jembatan yang menghubungkan dua alam yang berbeda keduanya harus berpisah.

"Jaga diri kamu, Lan. Jangan menanggung beban dan sesak terlalu lama. Lepasin aja. Kakak selalu ada di hati kamu. Dan Kak Anna yakin kalau Alana bisa melewati semuanya."

"Alana mau di sini bareng Kak Anna."

"Gak bisa. Tempat kamu bukan di sini, Lan. Kamu harus kembali. Banyak orang yang nunggu kamu."

Alana sudah berderai air mata. "Tapi...."

"Percaya sama Kakak. Kehidupan kamu lebih baik daripada Kakak. Belum waktunya Alana menetap di sini."

"Kembalilah, Alana."

Tautan jari mereka perlahan mengendur. Jarak di antara mereka perlahan menipis.

"Kak Anna! Jangan tinggalin aku!" Raungan Alana tidak mengubah apa-apa. Dia merasakan tubuhnya ditarik ke dimensi sebenarnya. Gadis itu menangis sejadi-jadinya harus berpisah dengan kakaknya.

"Kakak!!"

"Selamat tinggal Alana," ujar Anna yang tidak dapat didengar Alana sambil melambaikan tangan.

Walau kesedihan menerpa, Anna tetap mengukir senyuman mengiringi kepergian Alana. Dia tidak mau menambah kesedihan Alana karena perpisahan mereka. Anna harus terlihat tegar di depan adiknya.

~~~

"Alana!"

"Ayo buka mata kamu! Gak capek tidur mulu?"

"Katanya kamu mau menjelajah dunia, ayo kita wujudkan bareng. Kamu harus siuman dulu."

Arlyn menggenggam tangan Alana yang dingin sedang terlelap damai di atas brankar rumah sakit dengan berbagai macam alat bantu. Dua puluh jam lamanya Alana tak kunjung siuman setelah mendapatkan donor darah. Hal itu membuat Arlyn cemas.

Sedari tadi Arlyn bercerita apapun berharap dengan ceritanya dapat membangunkan Alana dari tidurnya. Namun, laki-laki itu tidak menyerah menunggu sang pujaan hati.

"Kamu harus bangun. Kamu kuat. Papa kamu donorin darahnya buat kamu. Akhirnya kamu merasakan pengorbanan Papa kamu lagi."

Dipandangi wajah pucat Alana yang tetap cantik di mata Arlyn. Apa yang Alana lakukan dalam mimpi panjangnya?

"Aku rindu kamu. Senyum kamu, tawa kamu, Lan. Kamu gak rindu aku? Gak kasihan sama aku?"

"Jangan tinggalin aku, Lan," lirih Arlyn mencium punggung tangan Alana. "Kamu harus tetap di samping aku. Tetap jadi universe Manusia Kutub ini."

Menit-menit berlalu Alana tidak memberikan respons apa-apa.

Arlyn bangkit merapikan rambut Alana ke belakang telinga. "Cepat siuman, Sayang. Aku selalu nunggu kamu."

Kemudian Arlyn mendaratkan kecupan di kening Alana cukup lama yang dibalut perban hingga tidak sadar setetes air mata jatuh ke pipi gadis itu. Alana tetap dalam mimpi panjangnya. Arlyn memutuskan keluar dari ruang inap Alana untuk menghirup udara sejenak. Tak lupa menghapus jejak air mata yang sempat menetes.

Setelah Arlyn keluar pintu tertutup sempurna.

"ARLYN!"

Alana terbangun dari tidur panjangnya sambil meneriakkan nama Arlyn. Dia mengedarkan pandang tidak ada siapa-siapa di ruangan ini. Perkataan dan sentuhan Arlyn benar-benar nyata hingga Alana keluar dari alam bawah sadarnya. Jelas-jelas Alana merasakan Arlyn ada di sampingnya tapi saat ia sadar justru sebaliknya. Tidak mungkin kejadian barusan adalah mimpi. Sungguh terasa nyata.

Sudah berapa lama ia terbaring di sini? Alana ingat ia mengalami kecelakaan bersama Avia petang itu. Bagaimana kondisi Avia sekarang?

Gadis itu melepaskan selang oksigen di hidungnya dan selang infus. Pandangannya terpaku pada bucket mawar putih di nakas-bunga kesukaannya. Aroma wangi menyeruak ketika Alana menghirup bucket tersebut.

Alana keluar dari kamar inapnya dengan pakaian lengkap rumah sakit dan beberapa luka diperban. Koridor terlihat sepi karena waktu tengah hari. Kaki Alana melangkah ke ruang inap sebelah. Jantungnya berdegup kencang hendak membuka pintu tertera nama Avia yang sedikit terbuka. Sekilas Alana melihat sosok laki-laki di dalam sana.

Sebuah suara menginterupsi Alana. "Ngapain kamu di situ! Sejak kapan kamu siuman?"

"Barusan, Ma." Alana melirik bucket di tangannya. "Arlyn tadi ke sini, Ma?"

"Itu gak penting. Apalagi yang kamu perbuat? Gara-gara kamu Avia kecelakaan! Sekarang belum siuman! Selalu aja, kalau Avia sama kamu, hal buruk terjadi!" murka Sisca.

"Maaf, Ma, Alana gak ada waktu buat menghindar. Alana mau jenguk Avia, Ma."

"Nggak boleh! Kamu harus ikut sama saya!"

"Mau ke mana Ma? Tapi Alana belum pulih," ujar Alana kala Sisca menariknya untuk ikut pergi.

"Buang bunga itu!"

Alana mengeratkan bucket bunga dalam pelukannya yang ia yakini pemberian Arlyn. "Nggak mau! Bunga ini dari Arlyn!"

Terjadilah aksi merebut dan mempertahankan antara Sisca dan Alana. Sampai akhirnya Sisca berhasil merebut bucket itu dari tangan Alana. Dijatuhkannya ke lantai dan diinjak oleh wanita itu.

"Jangan, Ma!" teriak Alana histeris memunguti bunga yang sudah tak berbentuk dan banyak kelopak yang berguguran.

"Cih, cocok! Sampah mungut sampah!"

Dengan perasaan sedih Alana membawa setangkai mawar putih masih bagus kondisinya sebelum Sisca menyeretnya pergi. Bertepatan bertemu dengan Frendi. Sisca menyuruh Frendi mengantarkan keduanya.

Kepala Alana mulai berdenyut. Tubuhnya merasakan sakit pada beberapa bagian. Gadis itu pasrah dibawa kedua orang tuanya pergi. Ingin sekali Alana berbaring di brankar ruang inapnya.

Maaf, Arlyn, hanya ini yang tersisa, batin Alana melirik setangkai mawar putih di tangannya.

~~~

"Kenapa kamu selalu mengacaukan rumah ini? Kenapa kamu selalu menjadi petaka di rumah ini? Apa maumu sebenarnya?!"

"Saya sudah muak!"

Sesampainya di rumah, Alana dicaci-maki tanpa ampun oleh kedua orang tuanya. Alana memejamkan mata mendengar makian yang memekangkan telinga tepat di hadapannya.

"Maaf, Ma, Alana gak bermaksud celakain Avia," lirih Alana dengan kepala menunduk.

"Saya salah mempercayakan Avia sama kamu. Sudah tahu kamu itu tidak bisa dipercaya. Saya pikir Avia sama kamu lebih aman ternyata naas."

"Sudah takdirnya-"

"Diam kamu! Saya gak minta kamu bersuara!"

Teriakan Sisca membungkam Alana.

"Salah Avia apa sampai kamu setega itu? Kalau dibandingin, Avia hanya gadis malang yang tega ditelantarkan orang tuanya! Hidup sendirian! Rindu orang tuanya! Kesepian! Dia kuat tapi sebenarnya rapuh! Sedangkan kamu, punya segalanya, bisa tinggal di sini dengan berat hati saya dan suami saya menampung kamu! Saya masih punya hati nurani kalau nggak, kamu udah jadi gelandangan di jalanan!"

"Itu dulu, sebelum kamu hancurkan semuanya! Kebahagiaan keluarga ini hingga mengorbankan nyawa! Anna pergi gara-gara kamu! Avia kritis gara-gara kamu!"

Alana mulai terisak akan perkataan Sisca semakin dalam. Menyayat hatinya.

"Bukan salah Alana, Ma! Alana bukan orang jahat tega melenyapkan kebahagiaan orang lain!"

"Diam kamu!" Frendi mencengkram kuat dagu Alana hingga kesakitan.

"Jangan banyak berharap kamu bisa diterima di rumah ini! Kamu itu pembawa petaka! Anak pembawa sial! Gak perlu dikasihani!"

Tanpa belas kasih Frendi ikut menambah penderitaan Alana. "Terimalah kalau kamu perenggut kebahagiaan orang lain! Setiap ada kamu kebahagiaan lenyap!"

Belum sempat Alana bernapas lega saat cengkeraman Frendi terlepas, dalam hitungan detik tubuhnya terhuyung ke belakang akibat dorongan Sisca.

"Aawwh!" ringis Alana merasakan perih luka di tubuhnya yang belum pulih.

"Aakhh!"

Alana mengerang kala tulang keringnya terdapat luka tiba-tiba ditendang Sisca. Sisca mendesis melihat raut kesakitan Alana. "Sakit?"

"Jawab saya!"

Sisca yang geram tidak ditanggapi langsung menjambak rambut Alana agar mau berkontak mata.

"S-sa-kit ma..."

Tarikan Sisca tidak main-main seperti ingin mengundulkan rambut Alana. Gadis itu terus memohon agar Sisca berhenti melakukan hal keji tersebut, namun tidak digubris sama sekali. Frendi hanya menonton, membiarkan istrinya berbuat semaunya.

"Berdiri kamu!" bentak Sisca menarik paksa Alana keluar rumah.

Sebuah koper besar lengkap dengan ransel berada di teras membuat Alana heran mengapa barang-barangnya di luar. Sebelum Alana mengajukan pertanyaan Sisca lebih dahulu berseru.

"Sekarang kamu pergi dari rumah ini! Jangan pernah kembali!" Sisca mendorong tubuh Alana.

Karena tidak siap Alana jatuh terduduk di samping kopernya. Ia meringis saat telapak tangannya sebagai tumpuan harus benturan dengan konblok. Alana hancur saat itu juga.

"Pergi kamu!" tekan Frendi sambil mengarahkan telunjuknya ke jalanan.

"Ma, Pa, jangan usir aku. Aku gak mau pergi," tutur Alana dengan deraian air mata.

"Pergi! Saya gak terima kamu lagi di rumah ini!"

Alana bangkit dan berlutut di depan Frendi. "Pa, Alana mohon jangan usir Alana! Alana pengen tinggal sama kalian!"

Hanya dengan satu tendangan, gelayutan Alana di kaki Frendi berhasil terlepas. Alana merintih kesakitan memegangi perutnya sebagai sasaran empuk tadi.

"Pergi kamu! Tampang melas kamu gak mengubah niat kami!"

"Oh mau cara kasar?" tantang Frendi. Benar pria itu menepati perkataannya mencengkram lengan Alana melintasi halaman.

Tidak tinggal diam Alana berusaha memberontak tapi apalah daya cengkraman Frendi benar-benar kuat. Langkah kaki Alana terseok-seok mengimbangi langkah besar papanya. Di depan sana Sisca memberhentikan taksi. Langsung saja Frendi memasukkan Alana ke kursi penumpang tidak lupa menutup pintu kembali.

"Bawa dia pergi, Pak! Jauh sejauh-jauhnya! Sekarang!" seru Sisca seraya memberikan uang berwarna merah dua lembar kepada sopir melalui jendela mobil.

"Ma, Pa, jangan usir aku!" teriak Alana dari kursi penumpang.

"Jangan, Pak!" pinta Alana kepada sopir.

"Cepatan jalan, Pak!" seru Frendi tak kalah cepat.

Sopir taksi itu bingung akan situasi yang terjadi.

"Ngapain masih di sini?!" geram Sisca.

Sopir taksi itu mengangguk patuh mulai melajukan mobilnya. Tidak ada gunanya Alana berteriak agar orang tuanya menarik kata-katanya. Alana terisak hebat mobil yang ditumpangi semakin menjauh dari kediamannya.

Untuk terakhir kalinya Alana memandangi rumah yang sejak kecil ia tinggali dan banyak kenangan di dalamnya.

"Neng, gak apa-apa?" tanya sang sopir iba dengan kondisi gadis yang baru saja diusir dari rumah.

"Gapapa, Pak," jawab Alana masih dengan tangisnya tak kunjung reda.

"Ini, Neng." Pria paruh baya itu menyodorkan sebuah tisu.

"Makasih, Pak."

Frendi dan Sisca mengusir Alana. Dibenci keluarga sendiri sungguh menyakitkan. Mengapa ia harus mengalami kepedihan berkepanjangan ini?  Bolehkah Alana menentang takdirnya dan ketidakadilan ini?

Alana ingin bahagia. Gadis itu ingin hidup normal seperti teman seusianya. Memiliki keluarga yang saling menyayangi dan mengayomi.

Nyeri akibat perlakuan kasar orang tuanya masih Alana rasakan. Berpakaian rumah sakit, beberapa bagian tubuhnya diperban dengan bercak darah, rambutnya berantakan bekas jambakan, keadaannya sekarang amat memprihatinkan.

Harus ke mana Alana bernaung bila rumah ternyamannya tega meniadakannya?

TBC!

Akhirnya bisa up lgi. Gimana reaksi kalian di chapter ini? Ikut sedih pastinya tahu Alana diusir😭

Frendi, Sisca kejam bgt apa pantas disebut orang tua huh emosi😤

Jangan lupa vote ya kawan.

Makasih yg masih setia baca Double A. See you di chapter selanjutnya ❤

26-12-21

Continue Reading

You'll Also Like

27.1K 3.5K 11
Ketika dua orang kembali dipertemukan, disaat mereka saling melupakan. Ketika mereka berdua tidak mengingat tentang masa lalu mereka lagi. Bukan kare...
5.3K 1K 26
Mereka berpisah dengan perpisahan tidak baik selama 17 tahun lebih, membuat Luna sangat membenci Sky walaupun rasa benci itu tidak sebesar rasa cinta...
Incoming Call By b

Teen Fiction

1.2K 76 5
SERIAL PENDEK. "Ar, lo lagi sendiri, kah?" "Iya, kenapa?" "Sama nih gue juga, jadian yuk" "..." 'a nuisance call being a priority' __________________...
443K 33.8K 42
"Seru juga. Udah selesai dramanya, sayang?" "You look so scared, baby. What's going on?" "Hai, Lui. Finally, we meet, yeah." "Calm down, L. Mereka cu...